Oleh: Emha Ainun Nadjib
(TEMPO, No. 40, Thn. XV, 1 Februari 1986)
Anda yakin telah mampu melaksanakan aktivitas (maaf) perbuangan air besar dengan baik? Benarkah sudah Anda pahami prosedurnya yang tersehat dan modern? Terus terang, saya ragu. Karena itu, sebagai agent of change, saya ingin mengangkat persoalan ini sebagai isu. Jangan sampai nanti kita sudah mantap-mantap tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur, ternyata muncul problem struktural di bidang perberakan ini. Lembaga-lembaga studi sosial atau pengembangan kebudayaan saya kira perlu memasukkan tema ini ke arsip programnya.
Jangan remehkan. Bangsa kita termasuk primitif di bidang adat istiadat dan tata krama perkakusan. Bahkan terus terang saya sendiri dewasa ini masih cukup akrab dengan fenomena per-jumbleng-an di sektor pembuangan ampas manusiawi ini; karena itu, saya sedang berpikir untuk menyelenggarakan suatu revolusi kebudayaan, setidaknya bagi saya sendiri.
“WC harus digunakan dalam keadaan duduk. Si pemakai meletakkan diri, bersamaan dengan itu menurunkan pakaian bagian bawah demikian rupa sehingga pantat persis mencakup bundaran kloset.
Berat badan harus diusahakan merata untuk memperoleh keseimbangan: badan bagian atas agak maju ke depan – tidak ke belakang. Kedua ujung siku diletakkan di daging paha, sementara pandangan diluruskan arah hadapan. Di bawah pengaruh keluar-masuknya napas secara teratur, disertai kendur-tegangnya otot perut yang rapi pula, seluruh isi perut besar akan terdorong keluar menuju kloset.
Jika misalnya pembilas otomatis tiba-tiba bekerja, maka si pemakai harus berdiri dan menghentikan kegiatan perberakannya.
Setelah prosedur tersebut selesai dijalankan, ia sambil setengah berdiri berpaling ke kiri dan sekaligus mengangkat bagian bawah badan, kemudian menyobek kertas pembersih dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan, dengan jari tengah digunakan sebagai penyangga. Lantas menyapukannya pada selipan antara dua tonjolan pantat atau yang lebih ke dalam.
Kepada yang kidal disarankan memakai tangan kiri, untuk menghindarkan luka. Adapun cara menyapukan kertas di anus diserahkan sepenuhnya kepada pemakai: dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Yang penting, proses itu harus diulang sampai lima kertas terakhir benar-benar bersih. Jadi, harus selalu diperiksa dengan saksama.
Setelah selesai, si pemakai berdiri beberapa saat, diam, mengendurkan otot-ototnya. Dilanjutkan dengan membenahi kembali pakaian. Dan sebagai penutup, ia berputar 180 derajat sambil mengangkat kaki kiri (putaran dengan kedua kaki dilarang, mengingat kemungkinan kecelakaan), sekaligus menekan knop air pembilas.
Adapun selama berada di dalam WC, si pemakai dilarang tanpa izin istimewa untuk makan, minum, tiduran, atau mnerima hadiah”.
Demikianlah satu contoh literatur penyuluh, saya kutip dari lembaran peraturan resmi di sebuah negeri Eropa Barat. Tidak dijelaskan, umpamanya, bagaimana mengintegrasikan ritme pernapasan dengan prosedur mengejan. Atau bagaimana mengatasi keadaan darurat ketika orang sudah telanjur mencret. Juga banyak kemungkinan gejala komplikasi struktural lainnya dalam laju pembuangan air besar. Sebab, bisa mengundang bahaya laten. Tapi maklumlah, peraturan ini dikeluarkan tahun 1976, jadi kini sudah harus banyak direformasi.
Tapi gamblanglah sudah bahwa modin kaum Muslimin di sana tak diperkenankan menyelenggarakan kenduri di dalam WC. Ibu-ibu Darma Wanita juga seyogyanya tak mengadakan arisan, berhubung larangan makan dan minum. Pun tidak tepat jika parlemen bersidang di tempat itu, sebab dilarang tidur.
Saya kira ini salah satu bahan menarik bagi proses transformasi budaya di tanah air. Sebagai bangsa besar kita harus terbuka dan dinamis terhadap setiap kemungkinan inovasi menuju peradaban yang lebih modern dan kosmopolitan. Cuma proses alih budayanya harus dijalankan dengan filter-filter kualitatif tertentu, jangan asal tiru, sebab kita bukan bangsa imitator, bukan bangsa epigon, bukan bangsa karbon. Yang paling substansial untuk kita transfer kiranya perwujudan suatu sistem nilai sosial tempat segala sesuatu mesti jelas konsepnya, hukumnya, etiknya,normanya, bahkan bimbingan paling detil kepada setiap keperluan masyarakat.
Per-WC-an di Indonesia sungguh amat memerlukan peningkatan kesadaran ekosistem. Kita bahkan sudah patut memikirkan diadakannya penataran di sektor ini, jika saja kita cukup cerdas untuk mengasumsi bahwa jangan-jangan teori massa mengambang antara lain disebabkan oleh ketidakberdayaan psikologis tertentu akibat ketakmampuan berak, kualitatif maupun kuantitatif.
Hanya orang dengan level sosial tertentu yang cukup canggih melakukan kegiatan yang bahkan sudah dimulai sejak Adam ini. Masyarakat luas kita bahkan memerlukan penyuluhan, guidance, tentang tata cara bernapas, berjalan, ambil upil dari hidung, serta segala keperluan hidup yang paling mendasar. Basic need! Proyek kita bukan hanya jihad melawan kemiskinan absolut; bahkan Bank Dunia akan setuju bila sektor yang kita sebut belakang ini mulai dikedepankan. Siapa berani mengatakan bidang ini tidak kontekstual dengan, umpamanya, teologi pembebasan? Saudara-saudara, di WC kita justru menghayati makna terdalam dari small is beautiful.
Cuma, terus terang, saya sendiri awam di bidang ini. Dan lagi tak ada cita-cita saya menjadi Ksubdit Per-WC-an. Toh saya ingin share: bagaimana kalau kata WC dengan istilah pribumi saja – umpamanya: Sasana Buang Tinja.
Saya yakin para penyair Pemda pun akan mengakui nama itu cukup puitis. Bukankah kita ini bangsa estetis? Bangsa perajin keindahan, sehingga yang terburuk bisa kita poles menjadi rupawan? Bandingkan dengan bangsa Hungaria yang rendah daya estetikanya. Mereka menyebut WC itu mosdok. Itu mencuri dari bahasa Jawa: mosok ndodok – Indonesianya: masakan jongkok. Suatu protes halus kepada bangsa Asia.
Sumber: TEMPO, No. 40, Thn. XV, 1 Februari 1986
0 komentar:
Posting Komentar