Rocky Gerung dalam buku "Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek", menulis tentang pengertian politik bagus sekali. Dalam Pengantar buku tersebut Rocky menulis:
Tema buku ini adalah “mengembalikan politik”. The political (“yang politik”), memang hampir dinyatakan hilang dalam lalulintas kehidupan masa kini yang amat bising oleh hiruk-pikuk komoditi dan huru-hara komunalisme. Rasionalisasi masyarakat telah mengganti relasi kewarganegaraan (citizenship) dengan sejumlah “sistem efisiensi”.
Misalnya, politik tidak lagi penting karena distribusi kemakmuran dapat sepenuh-penuhnya diselenggarakan melalui efisiensi pasar. Politik juga dijauhi banyak orang karena yang tampil di jalan-jalan Jakarta hari-hari ini misalnya, adalah ultimatum kekerasan berdasarkan suatu efisiensi teologis.
Politik juga mati di tangan politisi, karena dia sekadar berarti “kursi DPR” atau “jabatan birokratik” yang langsung berkonotasi korupsi. Pemilu dan pilkada juga ikut menyingkirkan politik, karena yang mengambil alih permainan adalah transaksi uang dan brutalitas para pemain.
Dalam soal pembuatan kebijakan publik, politik tidak diperlukan karena yang didahulukan adalah kecakapan para ahli, suatu efisiensi teknokratis. Bahkan kualitas seorang politisi dapat dijulangkan melebihi potensinya melalui propaganda media, sebuah hasil efisiensi simulasi.
Kita memang sedang berada dalam sebuah konstruksi sosial yang “anti politik”. Lalu, mengapa perlu “mengembalikan politik”? Secara gampang, mengembalikan politik berarti meluruskan pengertian politik yang selama ini ditafsirkan dalam olok-olok: “manusia adalah binatang politik". Degradasi ini mewakili kondisi deskriptif politik kita sehari-hari, yaitu bahwa berpolitik berarti berperilaku tamak licik dan kasar.
Padahal paham yang sesungguhnya dari konsep zoon politikon adalah mulia, yaitu bahwa manusia adalah binatang (makhluk) yang berpolitik. Artinya, berbeda dengan binatang, manusia memiliki peralatan alamiah untuk mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil. Itulah politik.
Karena itu "ilmu" tentang politik disebut sebagai ilmu yang paling utama (the highest of all sciences), karena politik merupakan urusan keadilan umum, melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat. Preskripsi inilah yang perlu dikembalikan.
***
Politik-P
Oleh: Goenawan Mohamad
Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik.
Tapi di sini, ”politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, "politik-P”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, ”politik-R”.
”Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu suara 2009 itu. "Politik-R” datang karena ritus adalah reperitisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bisa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal, tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang.
Kira bisa juga mengatakan, "politik-R” adalah politik tanpa la passion pour le reel—untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.
Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le-reel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le reel ada dalam tubuh kita, di bawah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah Antah Berantah yang tak terjaring dalam ”pengetahuan", tak tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.
Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. "Politik-P" adalah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku, bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai subyek—bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi dengan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.
”Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata menduduki Parlemen sampai Soeharto terdesak mundur.
Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang ”politik-R” menggantikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing pada tahun 2009 bukan semata-mata ”politik-R” yang tak terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politikus itu tak menandai apa-apa—tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya sebuah symptom. Mereka gejala dua nihilisme yang bertentangan.
Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran—karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan beberapa partai bukanlah ”partai politik” (yang mengandung "kebersamaan”), melainkan ”partai palangki”: dibuat hanya untuk jadi tempat mengusung sang pemimpin. Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le reel. Maka tak ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain.
Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarnya melawan kebekuan dan represi, juga dalam pikiran sendiri.
Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme....
Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik suara, jadi pencontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta manusia?
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 9, h. 380-382
Tempo, 19 April 2009
***
Kita dapat melanjutkan proposal imperatif kebebasan ini, dengan memperhatikan konsep Lefort tentang politik sebagai “ruang kosong” (the locus of power is an empty place). Yaitu bahwa demi pengalaman kebebasan dan keadilan, politik tidak boleh dihuni oleh jawaban final, melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan. Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme. Sekali lagi, kita memperoleh argumen tentang bahaya dari semua obsesi yang hendak menjadikan politik sebagai praktik absolutisasi nilai. Fasilitas demokrasi adalah fasilitas yang disediakan untuk mengolah conflicting claims dalam masyarakat, dan bukan untuk memfasilitasi satu sistem etika tertutup atau suatu rasionalitas efisiensi. Kita perlu merelevansikan keterangan ini dalam upaya membentengi politik dari kepungan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Demokrasi memang harus mempertahankan suatu kondisi hermeneutis (qestionability), karena hanya dengan cara itu ia mampu mempertahankan ruang kosong itu agar terus berada dalam kondisi falibilis. Di sini, yang lebih penting bukan bagaimana menjalankan politik melalui lembaga-lembaga formalnya, melainkan bagaimana membuat politik terus hidup dengan mempertanyakan terus berbagai formalitas (hukum, moral komunal, agama, pemilu, ekonomi). (Rocky Gerung, Pengantar dalam Bagus Takwin, dkk., Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek)
***
Kembalinya Politik
Mengembalikan politik berarti mengaktifkan procedures of truth. Bagi mereka yang percaya pada demokrasi dan keadilan sosial, melibatkan diri dalam perjuangan politik berarti memproduksi truth, dan bukan mencarinya pada The Real. Sikap ini sudah menunjukkan sebuah penghormatan pada berbagai kemungkinan untuk menyelenggarakan kehidupan bersama secara sekuler, karena kebebasan dan keadilan sosial adalah kebutuhan primer yang harus terjadi "sekarang dan di sini”, dan “bukan nanti dan di sana”. Keaktifan dalam politik merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang percaya pada suatu kemungkinan yang lebih baik. Itulah keyakinan politik yang sesungguhnya, suatu politics of hope, yang dipilih seorang politico-intellectual, yang terus bekerja karena ia yakin bahwa tindakan itu adalah berguna untuk suatu perubahan (Rocky Gerung, Pengantar dalam Bagus Takwin, dkk., Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek)
0 komentar:
Posting Komentar