Oleh: Goenawan Mohamad
Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik.
Tapi di sini, ”politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, "politik-P”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, ”politik-R”.
”Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu suara 2009 itu. "Politik-R” datang karena ritus adalah reperitisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bisa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal, tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang.
Kita bisa juga mengatakan, "politik-R” adalah politik tanpa la passion pour le reel—untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.
Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le-reel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le reel ada dalam tubuh kita, di bawah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah Antah Berantah yang tak terjaring dalam ”pengetahuan", tak tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.
Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. "Politik-P" adalah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku, bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai subyek—bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi dengan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.
”Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata menduduki Parlemen sampai Soeharto terdesak mundur.
Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang ”politik-R” menggantikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing pada tahun 2009 bukan semata-mata ”politik-R” yang tak terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politikus itu tak menandai apa-apa—tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya sebuah symptom. Mereka gejala dua nihilisme yang bertentangan.
Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran—karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan beberapa partai bukanlah ”partai politik” (yang mengandung "kebersamaan”), melainkan ”partai palangki”: dibuat hanya untuk jadi tempat mengusung sang pemimpin. Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le reel. Maka tak ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain.
Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarnya melawan kebekuan dan represi, juga dalam pikiran sendiri.
Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme....
Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik suara, jadi pencontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta manusia?
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 9, h. 380-382
Tempo, 19 April 2009
0 komentar:
Posting Komentar