alt/text gambar

Sabtu, 01 Februari 2025

Topik Pilihan:

SEBUAH WARISAN TANPA WASIAT


Oleh: Karlina Leksono-Supelli


All sorrows can be borne if you put them into a story or tell a story about them. Kalimat Isak Dinesen di atas, dikutip oleh Hannah Arendt dalam bukunya yang terkenal, Human Condition (1958). Ia percaya bahwa hanya melalui kisah, tindakan manusia akan menjadi sejarah. Sekalipun setiap orang memulai hidupnya dengan memasukkan dirinya sendiri ke dalam dunia manusia, namun tak seorang pun menghasilkan kisah hidupnya sendiri. 

Di Indonesia, kita mengenal pemikiran Hannah Arendt melalui buku pertamanya The Origin Totalitarianism (1951) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam tiga jilid Totalitarianisme (1995, Yayasan Obor; I: Antisemitisme, II: Imperialisme, III: Totalitarianisme). Namun, karya yang dianggap oleh banyak orang sebagai opus magnum Hannah Arendt, perempuan filsuf yang oleh Franz Magnis-Suseno dalam pengantar untuk jilid III Totalitarianisme disebut sebagai salah seorang pemikir politik abad ini yang paling menantang, adalah The Human Condition. 

Ketika dicetak ulang empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1998, gagasan-gagasan dalam buku ini masih menakjubkan. Bersama dengan karya-karya lainnya, Arendt menunjukkan bahwa ia adalah sedikit dari banyak pemikir yang mampu melakukan refleksi mendalam dan tetap  bernilai sampai sekarang, dengan berangkat dari dan keprihatinan manusia dalam berhadapan dengan kejahatan radikal kemanusiaan. 

Hannah Arendt sendiri, seorang putri Yahudi yang lahir tahun 1908, pernah ditangkap sebentar ketika Hitler dan kaum Nazi berkuasa. Ia juga sempat berhubungan akrab selama empat tahun dengan filsuf Martin Heidegger, pembimbingnya di Universitas Marburg. Namun, hubungan itu putus ketika keberpihakan Heidegger kepada Nasionalisme semakin nyata. Arendt kemudian pindah ke Heildelberg dan menulis disertasi tentang faman cinta menurut Agustinus di bawah bimbingan Karl Jaspers. Persahabatan hangat keduanya terjalin sampai akhir hayat. 

Perkembangan politik di Jerman menyebabkan Arendt lari ke Perancis pada tahun 1940. Ia bekerja untuk sebuah organisasi, Youth Aliyah, yang menyelamatkan anak-anak Yahudi dan mengirim mereka ke Palestina. Ketika Jerman menyerang Perancis beberapa bulan kemudian, Arendt ditangkap dan dibuang ke kamp konsentrasi perempuan terkenal, Gurs, di Perancis Selatan. Ia berhasil melarikan diri ke Amerika Serikat tahun 1941. 

Sepuluh tahun kemudian, Arendt menerbitkan karya pertamanya yang secara orisinal memperlihatkan bagaimana bentuk pemerintahan totaliter sungguh-sungguh menimbulkan rasa negeri. Contohnya adalah rezim Nazi di Jerman. Seluruh kehidup politik mengalami ideologisasi. Ideologi tahu dan menjelaskan segala-galanya sehingga realitas yang dialami dan dirasakan orang sehari-hari tidak diperlukan lagi. Semuanya menjadi mungkin. Teror total mengambil alih hukum dan menghancurkan semua musuh rezim, bahkan setiap jejak dari apa yang kita kenal sebagai martabat manusia. 

Arendt memang tidak melahirkan sistem pemikiran tersendiri, namun ia menyuguhkan cara berbeda untuk melihat dunia dan memahami persoalan-persoalan manusia. Kita mungkin membayangkan bahwa dalam sebuah sistem totaliter orang-orang kejam haruslah sedemikian banyak jumlahya sehingga memungkinkan negara melaksanakan kejahatan-kejahatannya dengan lancar. Namun, dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), misalnya, Arendt justru mengungkapkan kenyataan yang tidak muncul bahkan tidak dipahami oleh pengadilan itu sendiri: kedurjanaan adalah kemungkinan universal manusia yang bisa lahir dari tindakan orang-orang biasa yang semata-mata melaksanakan kegiatan rutin di belakang meja birokrasi. 

Ketika di satu pihak  jaksa penuntut Gideo Hausner terus menekankan betapa tak terperikan kekejaman Eichmann yang mampu merencanakan demikian rapi dan cermat strategi “penyelamatan masalah Yahudi”, Arendt memperlihatkan bahwa tindakan Eichmann mengirim jutaan perempuan, anak-anak dan laki-laki Yahudi ke kamar-kamar gas, adalah langkah-langkah rutin dalam menjalankan tugas. 

Eichmann bukan monster yang dengan bernafsu sengaja mau melenyapkan orang-orang Yahudi dari muka bumi; ia juga tidak sakit jiwa. Ia sepenuhnya orang normal—sedikit ambisius namun tidak terlalu imaginatif—yang moralitasnya larut ke dalam kepatuhan menjalankan perintah demi mencapai efisiensi optimal. Ia juga tidak sedikit pun bermaksud melanggar hukum. Sebaliknya, ia bertindak sejalan sempurna dengan aturan dan hukum; bahkan satu-satunya kesadaran yang masih ia miliki adalah rasa bersalah jika tidak mematuhi perintah. 

Analisis Arendt terhadapn Eichmann bukan tanpa kritik. Namun, lebih daripada kritik, buku itu melukai orang-orang Yahudi. Terlebih lagi karena ia juga menyebut bahwa bab paling gelap dari seluruh sejarah gelap perang dunia kedua adalah keterlibatan tokoh-tokoh Yahudi bersama para pemimpin Nazi dalam pembunuhan massal atas bangsanya sendiri. 

Arendt semakin terpinggirkan dari komunitas Yahudi, apalagi sebelumnya, pada akhir tahun 1950-an, ia memicu ketegangan dengan para pendukung berdirinya negara Israel. Ia menolek konsepi zionistik yang menghendaki bangsa Yahudi memiliki negara sendiri. Arendt khawatir bahwa faham negara nasional berdaulat untuk bangsa Yahudi akan mengakibatkan penduduk Palestina berbangsa Arab menjadi warga negara kelas dua. Sebuah kekhawatiran yang nyata. 

Ketiadaan berpikir

Kesimpulan Arendt dalam Eichmann bertentangan dengan keyakinan lama bahwa hanya makhluk jahat yang bisa melakukan perbuatan jahat. Ia memang sedang memberi contoh bagi kondisi yang ia kaji lewat Totalitarianisme, untuk kemudian mengingatkan kembali akan refleksinya dalam The Human Condition. Yang terakhir ini ia mengajak kita untuk menyadari bahwa jurang yang terbentuk antara kekuasaan dan tanggung jawab sudah menjadi sedemikian lebarnya, sehingga memikirkan apa yang kita lakukan menjadi amat penting. 

Ketiadaan berpikir telah memungkinkan kebencian irasional seorang penguasa totaliter seperti Hitler (atau seorang Polpot atau seorang Milosevic dalm konteks sekarang) bisa mendapat dukungan yang demikian masif. Ternyata caranya cukup sederhana, dan sangat kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengklasifikasi manusia. Orang dibuat percaya akan adanya label yang bisa membedakan satu orang atau satu kelompok, dari yang lainnya, entah itu orang Tionghoa, orang Yahudi, orang Islam, orang Kristen, ataupun kelas buruh, kelas profesional, kelas penguasa, dan lain-lain. 

Klasifikasi merupakan langkah awal memanipulasi pikiran sehingga orang dengan wajar menerima gagasan perlunya memperlakukan kelompok yang berbeda dengan dirinya secara berbeda pula. Dengan menerapkan kategori moral terhadap klasifikasi yang dibuat—misalnya lebih baik, lebih buruk, lebih berharga, lebih benar, salah, dan seterusnya—berdasarkan agama yang dianut, atau karena ras, atau karena ideologi yang diyakini, orang dengan mudah diputus dari realitas kehidupannya sehari-hari: saya bertetangga baik dengan orang di sebelah rumah. Setelah saya dengan rajin mengikuti berbagai kegiatan (agama, organisasi massa, dan lain-lain) saya mendengar dan akhirnya menyadari bahwa tetangga saya sebetulnya berbeda dengan saya. Ternyata ia adalah anggota PKI, atau GAM, atau seseorang yang lain agama, atau lain suku, atau lain ras. Nilai-nilai saya berbeda dengan nilai-nilai dia, maka tetangga saya ini tidak berhaga, tidak baik, tidak berguna; ia pantas saya kucilkan, saya bunuh, atau saya biarkan untuk dibunuh. 

Orang-orang seperti ini, yang menyangkal keberagaman manusia dan jumlahnya cukup banyak di sekitar kita, menolak untuk berpikir lebih jauh. Dengan cepat orang-orang seperti ini akan jatuh ke dalam sistem raksasa birokrasi pembunuh dan menjadi salah satu sekrup yang sepenuhnya menjalankan tugas. 

Dalam pandangan Arendt, di jantung kejahatan Eichmann terletak kepatuhan akibat ketiadaan berpikr (thoughtlessness) dan ketiadan imajinasi, bukan kebencian. 

Jaringan birokrasi menjadikan manusia sepenuhnya memusatkan diri pada kelanjutan pekerjaan semata-mata tanpa mempertanyakannya. Lahirlah robot-robot pekerja yang taat kepada aturan dan perintah secara otomatis, namun kehilangan otonomi individualnya. Bukan lagi upaya untuk menghasilkan sesuatu, atau memperoleh hasil, yang menjadi dominan dalam proses ini, melainkan gerak proses itu sendiri dan ritme yang dijalani para pekerjanya. Semua mejadi rutin, banal, biasa. 

Arendt membongkar kenyataan bahwa kejahatan radikal difasilitasi oleh elemen-elemen progresif peradaban modern dan oleh cara hidup kita yang menempatkan animal laborans di posisi tertinggi keragaman kegiatan manusia. Lebih daripada kebencian terhadap korban, ketepatan teknis, efisiensi, obyektivitas ilmiah, kompetisi, birokrasi, propaganda, kepatuhan, depersonalisasi,  pengabaian moral, distansi emosi, rasionalitas instrumental, merupakan faktor yang menentukan bagi kemungkinan terlaksananya kejahatan paling berbahaya dalam abad ke-20 yang terus-menerus, genosida. “Sikap obyektif—membahas persoalan kamp konsentrasi sebagai “administrasi” dan pembasmian kamp-kamp sebagai “ekonomi”—merupakan ciri mentalitas SS... dengan obyektivitas, para SS tersebut memisahkan diri dari orang-orang ‘emosional seperti...” (1963; 69). 

Pemikiran Arendt sempat melahirkan tuduhan bahwa ia sebetulnya sedang membela Eichmann. Padahal Arendt justru melihat, berdasarkan pertimbangan moral dan dari sudut pandang institusi-institusi hukum yang berlaku,  banalitas itu sendiri yang sesungguhnya jauh lebih menakutkan daripada semua kekejaman yang telah terjadi. Seperti diimplikasikan dalam pengadilan Nuremberg, penjahat-penjahat itu melakukan tindakan-tindakannya dalam sebuah lingkungan sebegitu rupa sehingga hampir-hampir membuat mereka tidak merasa atau mengetahui kejahatannya (1963; 276). Hal yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa kebanyakan kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah berpikir tentang baik dan buruk. 

Menolak kesalahan kolektif: makna tanggung jawab

Ketiadaan berpikir, kepatuhan, atau bahkan keadaan tidak menguntungkan dalam situasi perang, tidak dapat dijadikan alasan bagi seseorang untuk melepaskan diri dari tuntutan tanggung jawab pribadi atas tindakan-tindakannya. Menurut Arendt, dalam politik tidak ada perbedaan antara kepatuhan dan dukungan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan. 

Tanggung jawab pribadi atas tindakan menjadi penting karena Arendt melihat bahwa tindakan adalah satu-satunya kegiatan langsung di antara manusia, yang terjadi tanpa pemerantaraan apa pun, sekaligus juga tidak bisa teramalkan hasilnya. Tindakan merupakan ungkapan kebebasan manusia, sekaligus berhubungan dengan kondisi keberagaman manusia, yaitu bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring hubungan dengan manusia lainnya. Untuk itu, dalam The Human Condition Arendt sengaja memakai bahasa Latin yang menyebut “hidup” sebagai inter homines esse (“berada di antara manusia-manusia”). Tidaklah mengherankan jika Arendt mengatakan bahwa justru dalam kapasitas manusia yang hakikat terdalamnya adalah kebebasan, manusia tampak menjadi paling kurang bebas. 

Orang bertanggung jawab atas keadilan karena fungsi keadilan adalah melindungi komunitas kemanusiaan. Dapatlah dimengerti jika Arendt menolak baik konsep kesalahan kolektif, maupun merasa bersalah secara kolektif. Arendt memang mencatat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan hanya mungkin berjalan karena masyarakat secara umum menyediakan kondisi untuk itu, baik dengan cara terlibat langsung ataupun dengan tidak peduli. Namun, ia menolak gagasan bahwa orang bisa bersalah ataupun perlu merasa bersalah atas tindakan orang lain dalam komunitasnya, yang tidak melibatkan dirinya sama sekali. 

Konsep kesalahan kolektif merupakan upaya murahan untuk melarikan diri dari tanggung jawab moral masa kini atas ketidakberhasilan menegakkan keadilan atas kejahatan di masa lalu. Ia menulis bahwa yang seharusnya dirasakan oleh seseorang adalah kemarahan—sekalipun ini mengandung risiko—jika melihat kenyataan bahwa mereka yang justru betul-betul bersalah, masih berkeliaran bebas di masyarakat, atau bahkan memegang jabatan pemerintahan, tanpa merasa bersalah sama sekali. 

Sekalipun demikian, Arendt mengakui adanya tanggung jawab politik, sekalipun tidak berhubungan dengan  tindakan langsung sebagai pribadi. Setiap pemerintah menerima tanggung jawab politik atau perbuatan ataupun keburukan pendahulunya, seperti juga setiap bangsa menerima tanggung jawab atas masa lalu. Namun, ini bermakna hanya sebagai sebuah kenyataan politik yang paling dasar. Setiap generasi, karena tidak mungkin menyangkal kelahirannya di dalam kesinambungan sejarah, senantiasa akan menerima beban yang diwariskan kepadanya sebagaimana mereka juga menerima berkah keberhasilan para pendahulunya. 

Antara masa lalu dan masa depan

“Warisan ditinggalkan kepada kita tanpa surat wasiat,” demikian Arendt dalam Between Past and Future, mengutip aforisme aneh yang ditulis oleh penyair Perancis Ren_Char. Arendt kemudian mengartikan sendiri kalimat itu dengan meminjam Tocqueville dalam Democracy in America (1945), “karena masa lampau gagal menerangi masa depan, kesadaran manusia mengembara dalam kabut.”

Suatu keadaan yang bisa saja tidak dapat dihindari dalam realitas politik, baik karena pelupaan atau kegagalan ingatan yang menimpa bukan hanya si pelaku, tetapi juga si pewaris, saksi-saksi, atau mereka yang pernah pada suatu masa oleh suatu alasan menggenggam kisah, ingatan, tradisi, yang semestinya diwariskan. Arendt memaksudkan warisan sebagai keadilan, penalaran, tanggung jawab kebaikan, dan keagungan, yang kehilangan maknanya dalam dunia modern. 

Bisakah manusia menyelesaikan beban masa lalu dan memperoleh kembali kekayaannya yang hilang pada saat manusia melarikan diri dari pikiran ke kerja? 

Masa lalu tidak akan pernah menjadi masa lalu kecuali kita sungguh-sungguh bermaksud meletakannya di sana. Pada saat yang bersamaan, masa depan terus menarik kita. Dengan indah Arendt mengutip “HE” karya Kafka untuk memperlihatkan perjuangan sulit manusia dalam kancah pertarungan antara masa lalu dan masa depan masa depan: 

Dia mempunyai dua antagonis; yang pertama mendorongnya dari belakang, dari asal usul. Yang kedua menghalangi jalan di depannya. Dia bertarung melawan keduanya. Ketika harus melawan musuh kedua, musuh pertama akan memberikan dukungannya karena musuh pertama ingin dia terus terdesak ke depan. Dengan cara yang sama, musuh kedua justru menolongnya saat dia berhadapan dengan musuh pertama, karena musuh kedua selalu ingin dia balik kembali ke belakang. Kenyataannya, bukan hanya kedua antagonis itu yang ada, tetapi juga diri sendiri, dan siapakan yang bisa mengetahui apa sebenarnya yang dia kehendaki? Bagaimanapun dia bermimpi, pada saat tak ada satu pun yang mengawasi—dan ini berarti malam haruslah lebih pekat daripada malam-malam yang pernah ada sebelumnya—dia akan melompat keluar dari garis pertarungan dan kemudian, akibat dari pengalamannya bertarung selama ini, dia menjadi wasit untuk para antagonisnya yang saling bertarung sendiri (1968; 7). 

“Dia,” jika ingin bertahan, tidak bisa lain kecuali bertarung melawan kedua kekuatan itu. Padahal, pertarungan itu sesungguhnya terjadi justru karena “dia” ada. Tanpa “dia”, masa lalu dan masa depan mungkin sudah meniadakan sejak lama. 

Pertarungan “dia” berawal di titik ketika aforisme Ren_Chan berakhir dan mulai menggantung di udara kosong. “Dia” memulainya ketika rantai tindakan manusia sudah bergerak namun ketika kisah-kisahnya, yang merupakan buah dari tindakan, masih menunggu untuk diselesaikan “dalam kesadaran para pewaris yang akan mempertanyakannya.” Tugas kesadaran adalah memahami apa yang terjadi, sehingga manusia mampu berbaikan kembali dengan realitas, dan menghasilkan perdamaian dengan dunia. Persoalan muncul ketika kesadaran tidak mampu membawa perdamaian, karena ini berarti ia segera terlibat dengan perangnya sendiri. 

Maaf dan janji

Di sinilah kita bisa menoleh kembali ke The Human Condition menemukan pesan Arendt yang paling hangat dan membesarkan hati, yaitu mengenai kelahiran (natality) dan permulaan. Arendt sebetulnya sudah mulai bergelut dengan pemikiran tentang kelahiran sejak menyelesaikan disertasi doktornya tahun 1924. Dengan memaknakan kembali gagasan Agustinus tentang “memasuki dunia melalui kelahiran,” Arendt seperti menantang Heidegger yang menggeluti konsep kematiannya. 

Arendt percaya bahwa keajaiban yang menyelamatkan dunia dari kehncuran, adalah adanya kenyataan tentang kelahiran. Dalam disertasinya, ia mengutip Agustinus yang menyatakan bahwa kapasitas manusia untuk memulai sesuatu yang baru, mengakar di kelahiran. Kelahiran memberi kepercayaan dan harapan karena manusia-manusia baru setiap waktu lahir ke dunia. Setiap manusia yang baru lahir itu unik, dan masing-masing mampu menghadirkan inisiatif baru yang dapat menghentikan atau membelokkan rantai kejadian yang digerakkan oleh tindakan-tindakan manusia sebelumnya. 

Tindakan manusia memang menakjubka, tetapi sekaligus tidak terduga. Manusia bukan hanya tidak selalu mampu mengetahui dan mengontrol efek dari tindakannya, ia juga seringkali bahkan tidak bisa menghentikan rangkaian tindakan yang muncul, begitu ia memulainya. Padahal tindakan sekali dilaksanakan, tidak akan pernah dapat dibalikkan lagi. Kita tidak akan pernah mungkin bisa kembali lagi ke keadaan sebelum tindakan dilakukan. 

Sekalipun demikian ada tiga kemungkinan, menurut Arendt, yang dapat menjadi pemulih untuk berbagai situasi yang muncul sebagai akibat tindakan manusia yang tak terbalikkan (irreversible) dan tak terduga. Kemampuan manusia menghentikan tindakan sebelumnya atau mengubah orientasinya seperti tersebut di atas, merupakan kemungkinan pertama. Hanya saja, kemungkinan ini tidak dapat memulihkan kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh perbuatan masa lalu, tidak juga memberi jaminan bahwa masa depan akan menjadi lebih aman. Hanya maaf yang dapat memulihkan masa lalu. Akan tetapi, maaf tidak berhubungan dengan masa depan. Jalan untuk mengatasi tindakan manusia yang tidak terduga untuk menjamin masa depan, tersimpan dalam kemampuan manusia untuk membuat dan menepati janji. 

Maaf dan janji saling menenun; sebuah jalinan antara tindakan dan tuturan yang bergantung ke adanya kehadiran dan tindakan orang lain. Tak seorang pun dapat memberi maaf kepada dirinya sendiri atas tindakannya terhadap orang lain. Begitu juga, janji kepada diri sendiri tidak akan cukup kuat untuk mengikat seseorang. 

Maaf dapat mengobati, karena maaf bukan sekadar re-act. Maaf adalah sebuah tindakan baru yang tidak lagi diikat oleh tindakan sebelumnya, sehingga maaf membebaskan kedua belah pihak, yang dimaafkan dan yang memaafkan, dari konsekuensi tindakan sebelumnya. Itu sebabnya Arendt  mengatakan bahwa memaafkan adalah kunci untuk tindakan dan untuk kebebasan. Proses pemaafan selalu merupakan sesuatu yang bersifat personal—namun tidak individual—dalam arti bahwa apa yang sudah dilakukan dimaafkan demi siapa yang melakukannya. 

Alternatif terhadap pemaafan, tetapi sama sekali bukan lawannya, adalah penghukuman. Keduanya sama-sama merupakan upaya untuk mengakhiri tindakan yang jika tidak dihentikan dengan paksa, bisa berlangsung terus-menerus tanpa henti. Maka Arendt mengingatkan bahwa orang tidak mungkin memaafkan apa yang tidak bisa mereka hukum; sebaliknya orang juga tidak bisa menghukum orang yang terlibat dalam tindakan yang ternyata tak bisa dimaafkan. Inilah yang sudah sejak zaman filsuf Immanuel Kant dikenal sebagai kedurjanaan radikal (radical evil); suatu tindak kejahatan yang hakikatnya tetap saja sukar untuk dimengerti sekalipun kita sudah melihat banyak contoh sejak perang dunia kedua. Setiap kali muncul mengemuka, kejahatan radikal menghancurkan hubungan-hubungan manusia dan daya-daya kemampuan manusia. 

Berbeda dengan pemaafan yang seringkali dianggap tidak realistik dan umumnya diandaikan sukar sekali berlangsung dalam wilayah publik, kemampuan manusia untuk membuat janji sudah sejak lama dikenal dalam berbagai kebiasaan di masyarakat. 

Tindakan tak terduga manusia yang hendak dihalau oleh pemberian janji bisa berupa tindakan yang berasal dari dalam diri manusia sendiri, bisa juga berasal dari kenyataan bahwa manusia menemui kesukaran untuk memprakirakan konsekuensi setiap tindakannya. Ketidakmampuan manusia untuk berpegang ke dirinya sendiri merupakan harga yang harus ia bayar untuk kebebasannya. Sedangkan ketidakmampuan manusia untuk terus menjadi satu-satunya agen yang menentukan tindakan dan mengetahui konsekuensi masa depannya, adalah harga untuk pluralitas dan realitas. 

Bagaimanapun, janji yang dilaksanakan dalam wilayah publik lebih bisa memberi kepastian, daripada janji orang per orang. Namun, ketika banyak orang setuju untuk berjanji bersama demi masa depan, Arendt mengatakan bahwa kesepakatan yang tercipta pada saat itu ibarat harapan untuk menemukan pulau-pulau kepastian di tengah lautan ketidakpastian. Baik maaf maupun janji, lahir dari keinginan terdalam manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, dalam tindakan serta wicara. 

Melampaui alam, menantang kemanusiaan

Dalam prolog untuk The Human Condition, Arendt menyebut bahwa peluncuran satelit pertama ke ruang angkasa merupakan peristiwa paling penting yang tidak tertandingi (tahun 1958) dalam sejarah modern umat manusia, karena menjadi langkah pertama manusia untuk melepaskan diri dari penjara Bumi. Arendt membayangkan bahwa peristiwa ini  seharus mendapatkan sambutan yang luar biasa.Namun, yang terjadi adalah sebaliknya; dan ini sudah terjadi beberapa kali terjadi setiap kali ilmu pengetahuan dan teknologi memperlihatkan kemajuannya. 

Margaret Conovan, dalam pengantar untuk buku itu menyebutkan bahwa Arendt melihat kegalauan masyarakat bukan karena manusia secara harfiah sudah berhasil menantang alam bahkan melampauinya, tetapi karena seluruh kemajuan itu juga akan menyebabkan pertanyaan-pertanyaan politik, sosial, dan etika semakin rumit. Dalam konteks masa kini, kita melihat kemajuan teknologi informasi mungkin akan membuat ancaman mekanisasi dunia berganti ke virtualisasi dunia. Sementara, ketika keberhasilan pemetaan material genetik manusia yang berisi—katakanlah—resep untuk membuat manusia hanya tinggal beberapa tahun lagi, kapasitas manusia untuk memulai hal-hal baru dengan dukungan kemajuan sains dan teknologi jelas membuat masa depan sepenuhnya terbuka, tetapi juga penuh dengan ancaman. Namun, seperti kata Arendt, sejauh manusia masih berpikir atau tidak membiarkan ketiadaan berpikir melanda diri, ia akan selalu kembali merenungkan kondisi kemanusiaannya. 

KARLINA LEKSONO-SUPELLI, Pengajar program Pascasarjana STF Driyarkara


Sumber: Kompas, Rubrik “Bentara”, 2 Februari 2001

0 komentar:

Posting Komentar