Oleh: Dorothe Rosa Herliany
(MATABACA, Vol. 5, No. 5, Februari 2007)
Berulangkali saya merekonstruksi proses terjadinya karya-karya yang saya tulis, berulangkali juga saya menemukan hal yang berbeda.
Tapi benang merahnya selalu sederhana, bahwa menulis yang saya lakukan adalah peristiwa antiklimaks dari proses pengalaman dan perenungan tentang apa saya yang telah terjadi—saya alami atau tidak saya alami—dan tentang apa saja yang akan terjadi, atau saya bayangkan mungkin terjadi. Menulis adalah sakramen pungkas yang “gagal”. Saya sadari bahwa fase itu “belum selesai”. Ada proses lanjut dari itu, yaitu pemaknaan dan peng-“arti”-an dari tahap setelah tulisan itu jadi. Ini yang saya renungkan setelah saya melontarkan pertanyaan pada diri saya sendiri tentang proses kreatif menulis itu apa, terutama dalam penciptaan karya sastra yang saya lakukan. Banyak sastrawan tidak pernah merasa “selesai” dari tahap menulis itu. Sesungguhnya, bagi saya, yang tidak pernah selesai adalah penikmatan terhadap karya sastra. Pemaknaan terhadap simbol bagi sesuatu yang bisa jadi sama sekali berbeda.
Beberapa orang yang tidak terlalu antusias menikmati puisi menyangka saya menuliskan kesan-kesan turistik atas puisi-puisi yang saya tulis dalam buku Santa Rosa. Mereka mengira saya menulis tentang Berlin, Tokyo, New York, Ubud, Paris, Melbourne, atau Athena, karena kota-kota yang pernah saya singgai itu menandai setiap tempat penciptaan puisi saya. Saya katakan pengalaman-pengalaman dan pergulatan-pergulatan pikiran dalam puisi-puisi saya tersebut mengandung muatan historik, pengendapan realitas, dan perjalanan subjek yang panjang. Tempat penulisan, kalaupun itu berarti, hanyalah memberi suasana pikiran yang mewarnai lingkungan di mana tulisan itu terjadi. Terlepas dari itu semua, pembaca puisi memiliki ruang yang mutlak untuk menciptakan realitas baru dari teks yang dihadapinya. Oleh karena itu, proses kreatif bagi semua sastrawan sesungguhnya hanyalah perkara teknis. Saya kira yang membedakan Pramoedya dengan Eka Kurniawan, misalnya, saya pikir bukan pada seluruh pekerjaan teknisnya, melainkan pada berbagai muatan historik, pergulatan realitas, pemikiran, dan jiwa yang membentang di belakang urusan teknis itu. Oleh karena itu, karya sastra yang diperbincangkan pada tataran teknis hanyalah omong kosong belaka. Bahkan kadangkala karya sastra menjadi buntu di sekitar rekayasa lingustik. Banyak orang tidak berbicara apa-apa di lingkungan mewah kebahasaan yang mereka kuasai. Urusan teknis memberi jurang dan karya yang diciptakannya hanyalah sesuatu yang tak berarti. nothing...
Kegiatan menulis yang saya lakukan berangkat dari kertas kosong, atau sebuah bloknote (bagi sebagain penulis modern saat ini, mereka pasti tidak menggunakan bloknote, melainkan barangkai laptop atu notebook). Saya merasa peristiwa yag terjadi di dunia ini ada banyak sekali. Begitu penuh, dan secara terus-menerus bersliweran dalam pandangan kita, pikiran, hati, bahkan mimpi dan harapan. Peristiwa-peristiwa itu bagi seorang penulis adalah materi. Seorang fotografer tidak akan pernah berhenti untuk membidik peristiwa-peristiwa itu. Seorang sineas tidak akan kehabisan ide. Seorang pelukis akan menyapukan itu ke dalam kanvasnya. Saya menorehkan huruf demi huruf di sebuah halaman bloknote. Saya menuliskan apapun. Suatu hari yang berat, saya mengalami sebuah realitas imajiner yang panjang menyusuri peristiwa demi peristiwa. Saat yang lain, saya melakukan kegiatan ulang dari goresan-goresan bloknote itu. Saya pikir sesederhana itu proses lahirnya karya sastra.
Menulis “Ajaib”
“Apa aksud Anda menulis puisi ini?” tanya seseorang. Saya tidak pernah bisa menjawabnya. Suatu hari yang lain, saya sendiri takjub dan takut atas apa yang saya tulis, bukan karena sesuatu yang hebat, tetapi karena hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya terjadi dalam karya yang saya tulis itu. Suatu hari, saya menulis saja-sajak maut dan kereta api, suatu saat lain saya berada di dalam kereta api yang remuk dan ratusan mungkin ribuan orang bergelimpangan oleh ajal.
Saya mengira bahwa semua kegiatan menulis yang saya lakukan itu sesuatu yang “ajaib”. Saya sendiri tidak pernah menemukan jawaban untuk pertanyaan diri, tetapi sesungguhnya apa yang terjadi adalah hal yang sangat sederhana, dan semua orang akan mudah sekali melakukannya. Saya duduk di suatu bangku ketika sedang menunggu pesawat, saya merenung saat menunggu kereta, bahkan ketika saya sedang berada di dalam bus. Puisi dengan mudah lahir dari pena dan bloknote saya. Apakah itu proses kreatif? Saya berada di suatu tempat yang sangat asing, sendiri, gelap, tidak saya kenal, dan tiba-tiba mulut saya mencerocoskan kalimat-kalimat yang tumpah ruah, dan saya menyadarinya bahwa semua itu tadi adalah “teks sastra”. Saya menunggui teman di sebuah bangsal rumah sakit, saat ia mengalami stroke berat dan ruangan itu beku, mulut saya mencerocoskan fiksi yang tak henti-henti sampai waktu menjadi gelap. Apakah itu proses kreatif? Ketika saya dengan suami saya suatu ketika di hari yang berat melakukan perjalanan wacana yang kusut dengan perdebatan, amarah, luka, cinta, rindu ... apakah itu sebuah proses kreatif? Menulis sendiri apakah sebuah proses kreatif, dan definisi itu menghentikannya pada kata sebuah benda?
Pada suatu hari yang lain, saya berada di suatu tempat dan saya menuliskan sesuatu dengan mengalir. Apa yang saya tulis adalah sesuatu yang sudah berputar waktu, mungkin mengendap dalam hati dan pikiran saya. Saya tahu apa yang saya tulis adalah bukan sesuatu yang berada di hadapan saya saat itu. Bahkan ia berupa gumpan-gumpalan materi yang bercampur dengan berton-ton pergulatan entah, sebagian yang lain adalah histori. Saya kira, saya sedang merekonstruksi kata kerja, sementara kata kerja tu sendiri adalah satu bagian kecil dari sebuah perjalanan “entah” yang sebagian orang sering mengalaminya juga, dan mereka tidak sampai pada “bagian kecil” itu.
Mengarang Itu Gampang
Ingat, itu kata Arswendo. Dan itu juga kata sebagian penulis sukses. Setiap orang memiliki pengalaman, dan setiap orang mampu mereleksi sebuah pengalaman. Tetapi menulis hanya sekadar perkara teknis. Seperti mengendarai motor atau mobil.... Hal yang sangat mungkin dilakukan oleh setiap orang yang mau belajar. Memang kemudian dari urusan teknis semacam ini ada yang membedakan sesorang dengan Fernando Laonso atau Valentino Raossi, misalnya. Namun, saya kira banyak orang punya kesempata yang sama untuk menjadi Alonso atau Rossi ketika tidak hanya membahas perkara teknis.
Saya menulis pertama kali saat duduk di bangku SMP, dan dimuat sebuah majalah remaja yang terkenal saat itu. Saya menulis tidak belajar dari siapa-siapa. Apa yang saya tulis jika diberi nilai oelh guru mungkin tidak lebih baik dari yang ditulis tean-teman lain yang tidak dikirimkan ke media massa. Ketika duduk di SMA saya makin sering menulis dan saya krim ke media massa.
Media, apakah itu koran,majalah, atau buku adalah bagian yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam sebuah proses menulis. Media itulah yang mempertemukan karya tulis dan pembacanya. Barangkali, bagi penulis-penulis angkatan saya dan sebelum saya, pergulatan menkalukan media inilah yang mewarnai dinamika proses kreatif yang menarik.
Barangkali di sinilah persoalannya. Menulis adalah sebuah kegiatan sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang mau belajar dan mau mencobanya terus-menerus. Saya hanya bagian kecil dari kasus ini.
Yang kemudian menjadi problem kausal yang tidak menarik bagi sebagian orang adalah persoalan “teknis” lain ketika mereka berhadapan dengan media sekaligus menciptakan komunitas pembaca bagi sesuatu yang ditulisnya. Semua hal di atas, dalam proses kreatif kepenulisan saya memang saling bertautan erat. Ketika saya menulis Santa Rosa, misalnya. Di satu sisi ada peristiwa-peristiwa historik, ada pergulatan refektif atas peristiwa itu, ada proses peresapan rasa dan pikiran, dan kemudian menuju pada persoalan tekni ketika menuangkannya ke dalam boknote, memprosesnya dalam media dan komunitas pembacanya, dan kemudian melepaskannya ke dunia lepas.
Saya percaya hal di atas bisa dialami oleh siapa pun. Semua orang berhak atas berbagai hal yang bersliweran di hadapan kita, semua orang mampu menyelami pergulatan yang mungkin terjadi atas peristiwa-peristiwa itu, dan setiap orang bisa menuliskannya. Untuk saat ini, persoalan media bukan perkara sulit karena begitu banyak koran, majalah, bahkan penerbit, yang memungkinkan semua orang untuk mudah menjadi penulis. Maka, menutup tulisan ini saya suka mengutip provoasi yang dilontarkan Ernest Hemingway bagi semua penulis pemula di dunia. Begini kira-kira katanya, “Menulis itu suatu kesenangan melebihi apapun, itulah sebabnya mengapa kau mesti melakukannnya. Orang tak akan membayangkan hal itu sebelumnya karena semua terjadi secara bawah sadar. Jika kau merasakan suatu kesenangan saat melakukannya, itupun sudah lebih indah dari apapun.”
Dorothea Rosa Herliany
Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Pengelola Yayasan Indonesia Tera ini pernah menjadi guru dan wartawan. Peraih Khatulistiwa Award 2006 ini pernah menghadiri pertemuan sastrawan ASEAN di Filipina (1990). Festival Puisi Indonesia-Belanda di Jakarta dan Rotterdam (1995). dan sejumlah kegiatan sastra budaya lainnya.
Karya-karyanya antara lain: Nyanyian Gaduh (1997). Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Pagelaran (1993), Guru Tarno (1994). Cerita dari Hutan Bakau (1994), Dari Negeri Poci 2 (1994), Vibrasi Tiga Penyair (1994), Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1995). Candramawa (1995), Ketika Kata Ketika Warna (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Perempuan yang Menunggu (2000), dan lain-lain.
Dorothea Rosa Herliany, Penyair
Sumber: MATABACA, Vol. 5, No. 5, Februari 2007
0 komentar:
Posting Komentar