Oleh: Mudji Sutrisno SJ
(Kompas, 6 Februari 1999)
Sabtu ini, 6 Februari 1999 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara merayakan Dies Natalisnya yang ke=30. Pada saat berulang tahun akan baik bila kita renungkan lagi pokok-pokok pikiran Driyarkara beserta obsesinya untuk bangsa ini.
Menarik untuk dicatat bahwa Driyarkara lebih banyak menuliskan filsafatnya tidak dalam diktat-diktat tebal dan berat, tetapi dalam esai filsafat yang pendek secara tertulis maupun siaran-siaran radio pada saat ia masih hidup. Itu berarti ia benar-benar menghayati salah satu cara menyiarkan wacana pemikirannya lewat media tulis yang ringan.
Menarik juga untuk mencermati bahwa pemikiran Driyarkara dalam berfilsafat tepat berada di pergulatan peristiwa hidup kemasyarakatan, kebudayaan dan politik pada zamannya yang menukik pada problematika mendasar kehidupan manusia sebagai kawan bagi sesamanya (istilah dia: homo homini socious). Istilah ini ia lawankan dengan kecenderungan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi bahkan persaingan yang tega melibas sesama manusia demi kepentingannya sendiri yang terkenal dengan istilah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
***
Bingkai pertama yang paling merambahi pokok pikiran Driyarkara adalah perjuangannya untuk menempatkan manusia baik dalam hubungannya dengan sesamanya secara horisontal maupun vertikal dengan Tuhannya. Kalau Driyarkara mengambil ekssitensialisme pada zamannya ( baca: buku Pertjikan Filsafat) itu karena proses humanisasi yang menurut Driyarkara adalah makhluk yang mempunyai dorongan dan tekad untuk mengangkat harkat hidupnya sesuai kodratnya sebagai ciptaan Tuhan, lewat proses mengatasi diri (transendensi diri) dari kodrat alam dan determinasi dunia material, oleh Driyarkara proses ini disebut proses pembudyaan yang aktif.
Ada dua langkah yaitu hominisasi menuju humanisasi. Hominisasi adalah proses panjang faa’li dari kandungan, kelahiran sampai kematian, yang secara bilogis semakin matang secara simultan disertai dengan proses humanisasi yaitu pembudayaan diri dalam pemberian arti dan perajutan makna untuk menjadi manusia paripurna.
Humanisasi sebagai pemanusiaan kultural (oleh Driyarkara ditegaskan sebagai lawan dari pembuayaan) diberi empat dimensi. Pertama, dimensi ekonomis, karya manusia mengolah materi hingga berguna bagi manusia (Driyarkara kumpulan karangan, Kanisius, halaman 84 dan seterusnya). Kedua, dimensi teknik oleh manusia untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dan sifat dunia materi dengan memanfaatkan hukum alam dan mengembangkannya menjadi ilmu teknik. Ketiga, dimensi kebudayaan yaitu ekspresi diri, rasa, cinta dan jiwa manusia saat mengolah alam. Ekspresi ini paling menonjol dalam penggunaan budi untuk mengolah dunia materi. Dimensi keempat, adalah dimensi peradaban (civilization sebagai proses mempersantu ekspresi dalam budi bahasa dan ungkapan yang berkeadaban).
Dalam istilah pendidikan khas penemuan Driyarkara, proses di atas diungkapkan sebagai memanusiakan manusia muda dalam hidup konkretnya untuk menjadi insan yang tanggap dan bertanggung jawab. Bagaimana humanisasi dihayati? Ditunjukkan tiga matra, yaitu pertama, tematisasi pemberian makna penghayatan hidup. Kedua, universalisai: kesadaran manusia yang menghayati tematisasi tadi secara khusus diberi nilai bagi sesamanya atau orang lain. Ketiga, teorisasi proses pemberian bingkai pengertian yang lebih dalam sistematis dan dinamis dalam tematisasi dan universalisasi. Batu ujian pembudayaan ini adalah situasi-situasi krisi chaos yang oleh Driyarkara disebut situasi anti-nilai pada humanisasi, misalnya, perangkat hukum yang seharusnya untuk menegakkan harkat dan keadilan dipakai kekuasaan menjadi anti-nilai kalau ia menginjak-injak keadilan.
***
Bingkai kedua, arah maju ke depan dari pikiran Diyarkara (visioner). Pemikiran Driyarkara tetap relevan menanggapi tantangan ke depan karena dua sebab. Pertama, ia menempatkan humanisasi sebagai pergulatan manusia eksistensial baik dalam menghadapi penindasan-penindasan pikiran maupun struktur masyarakat karena manusia dipandang sebagai makhluk yang terus menerus merajut pembudayaan bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Maka ketika saat sekarang dengan aliran post-modernisme serta strukturalisme dan pascanya, yang memandang manusia sudah dari saat ia berbahasa terjajah oleh kerangka bahasa, terstruktur oleh determinasi kata, Driyarkara justru jauh-jauh sudah menempatkan manusia sebagai sang pelaku yang merajut proses menamai diri dan pembuat bahasa itu sendiri. Di sini transendensi manusia yang dengan kesadarannya selalu merdeka untuk memakai wacana dan bahasa membuatnya bukan menjadi objek penjajahan struktur kata atau bahasa.
Kedua, sisi futuris pikiran Driyarkara terletak pula pada kritiknya terhadap modernisasi. Modernisasi adalah paham yang berpendapat bahwa peradaban manusia bisa berkembang bila modernitas dan perkembangan iptek dipesatkan dan dimajukan di mana rasionalisme diterapkan dalam teknologi dan industrialisasi untuk mencapai kemajuan masyarakat. Segi-segi negatif modernisasi pertama, kecenderungan untuk memassalkan manusia dalam kerangka kerja teknis, yang menempatkan orang sebagai mesin atau sekrup dari sebuah teknis rasional (masivikasi). Segi negatif kedua, adalah sekularisme, yaitu tidak diakuinya lagi adanya ruang napas buat buat yang Ilahi dalam hidup ini. Segi negatif ketiga, adalah orientasi nilai yang menomorsatukan resep jawaban cepat, tepat, langsung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maka yang muncul adalah adalah jawaban paket terhadap persoalan hidup. Sisi negatif keempat, adalah atomisme dari modernisme dan terpencarnya tempat kerja keluarga dengan berkeping-kepingnya rasa aman ikatan keluarga, terkepingnya solidaritas kampung karena tercerabut akarnya dengan urbanisasi.
Segi-segi negatif di atas disongsong oleh Driyarkara dengan humanisasi dengan religiositasnya untuk kembali setiap kali merajut kepingan-kepingan krisis nilai akibat atomisasi menjadi rajutan makna-makna baru. Humanisasi sebagai proses eksistensialisme kehidupan manusia yang mengolah terus pengalaman-pengalaman hidup dalam terang makna (proses pembudayaan) akan menantang segi-segi negatif modernisasi di atas hingga krisis-krisis nilai bisa diatasi.
***
Bingkai ketiga: tesis manusia adalah kawan bagi sesama untuk Driyarkara juga dipakai sebagai titik tolak proses peradaban baik dalam pola kultural, yaitu kepastian perjalanan peradaban terletak pada ada tidaknya kita semua dalam memberikan ruang gerak kemerdekaan untuk berkembang dan pemekaran keunikan masing-masing individu, dalam saling menghormati sebagai sesama rekan dalam hidup ini. Tesis manusia sebagai sesama sahabat menjadi titik pijak pula untuk pola bernegara, bermasyarakat pada pijakan sang manusia dalam pemekaran bakat dan kemampuan-kemampuan kreatifnya, serta putusan-putusan pilihannya untuk bertemu, berkonsensus, berawacana bersama secara dialogal mendirikan negara yang manusiawi satu terhadap yang lain.
Obsesi pikiran di atas itulah yang membuat kita mengerti mengapa seorang Driyakarya meletakkan pemikiran Pancasilanya secara mendasar sebagai sila-sila yang merajut proses humanisasi terutama pandangan kemanusiaannya. Itu pula yang membuat kita menangkap ketika kekuasaan menjadi mutlak dan sewenang-wenang, saat akhir menjelang jatuhnya Bung Karno, Driyarkara dengan tegas memilih untuk mengritik kekuasaan yang mutlak itu dan memperjuangan peradaban humanisasi di saat menjelang wafat.
Nama Driyarkara telah menjadi nama Sekolah Tinggi Filsafat ini, namun kerap orang keliru menulis menjadi Dwiyakarya atau Dwiakara karena nama itu sendiri tidak mudah diucapkan. Semoga kesulitan mengeja namanya tidak menjadi simbol keengganan menangkap pikiran filsafatnya hanya karena kita malas berpikir. Justru berpikir rasional, kontekstual, kritis dan mendasar itulah obsesi paling utama Driyarkara untuk menjual filsafatnya.
Selamat Dies Natalis!
* Penulis adalah staf pengajar di STF Driyarkara
Sumber: Kompas, 6 Februari 1999
0 komentar:
Posting Komentar