alt/text gambar

Minggu, 02 Februari 2025

Topik Pilihan: ,

GM dan Anti-Demokrasi Platon: Caping “Demos”

Oleh A. Setyo Wibowo


“Catatan Pinggir” (Caping) GM berjudul “Demos” (29 September 1984) membahas tentang sikap Sokrates/Platon yang nadanya anti kepada demokrasi, anti kepada rakyat (demos). Caping dimulai dengan kalimat menohok: “Ada seorang termasyhur yang menentang demokrasi. Namanya Sokrates.”

Sikap anti demokrasi Sokrates tampak dalam salah satu pernyataannya: “Supaya sebuah pilihan itu tepat, menurutku, ia harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan (episteme)” (Lakhes 184e-185). Dalam bahasa yang sederhana: bagi Sokrates, kebenaran tidak bisa ditentukan lewat suara terbanyak. Dalam dirinya sendiri, pernyataan ini tentu benar. Kebenaran rumusan matematika tidak pernah menjadi hasil voting suara terbanyak, tetapi temuan orang yang memang berpengetahuan. Dengan tepat GM menuliskan alasan pokok mengapa Sokrates/Platon tidak suka pada demokrasi. 

Demokrasi adalah nonsens, kata Sokrates. Suara rakyat sering kali suara gombal. Kebajikan (arete) yang terutama adalah pengetahuan. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungutan suara itu tak masuk di akal. Bukankah seorang nakhoda juga tak dipilih dengan pemungutan suara?

Demokrasi di mata Sokrates/Platon adalah rezim anarki insting. Kebebasan yang menjadi prinsip pokok demokrasi dirayakan dalam bentuk pemuasan nafsu akan uang (epithumia) secara tanpa batas. Saat nafsu uang membuat polis (kota-negara) makin tak terkendali, muncullah anarki yang menyiapkan munculnya rezim Tirani. Dalam situasi kacau, saat semua melawan semua, orang berprinsip lebih baik ada satu tangan besi yang memerintah dan kita hidup aman, daripada semua menjadi pemimpin tapi kita senantiasa waswas. 

Kekhawatiran Sokrates/Platon terbukti. Tak lama setelah kematian Platon, Philippos dari Makedonia merangsek mengalahkan Athena. Polis termasyhur yang mampu menahan serbuan super power Persia dua kali (490 dan 480 SM), runtuh diserbu kekuatan asing karena di dalam dirinya sendiri sudah keropos digerogoti pertentangan internal partai-partai kaum demokrat yang saling melumpuhkan. Seorang demagog dan orator Athena bernama Desmosthenes mengeluhkan hal ini: 

« Yang utama, ia menjadi satu-satunya pemimpin, komandan absolut bagi mereka yang mengikutinya (pasukannya) yang selalu siap dengan senjata di tangan, dan ia (Philippos) memiliki banyak uang yang bisa ia gunakan semaunya tanpa harus membuat dekrit, tanpa harus membuat pertimbangan publik yang transparan, tanpa harus mengambil risiko diseret ke pengadilan oleh kaum sycophantes, tanpa harus berisiko dituduh bertindak illegal, tanpa harus membuat laporan pada siapapun, benar-benar satu-satunya komandan absolut, pemimpin, yang paling berdaulat dari semuanya. Dan saya sendiri, yang hendak melawannya, saya ini tuan atas apa? Saya sama sekali bukan tuan atas apa pun ».

Berbeda dengan Philippos, raja Makedonia yang sekali mengedipkan mata bala tentaranya langsung bergerak (artinya anggaran, persenjataan, logistik dan lain-lainnya otomatis mengikuti), Demosthenes adalah panglima perang yang tak punya kuasa apa-apa. Ia harus membuat proposal anggaran dan jumlah pasukan, menunggu persetujuan Majelis, baru kemudian bisa menggerakkan mereka. Itu pun, ia masih dikontrol oleh para pengawas. Ia juga harus membuat laporan. Dalam rezim demokrasi di Athena, birokratisasi terbentuk sedemikian rupa sehingga melumpuhkan dirinya sendiri. Tak heran, Philippos dengan cepat mengalahkan Athena yang keropos. 

Kalau kita melongok sejarah, kata “demokrasi” hanya populer di Athena abad ke-5 SM. Setelah itu, sampai Revolusi Prancis (1789), semua bentuk pemerintahan yang ada hanyalah aristokrasi, teokrasi, tirani atau oligarki. Baru setelah Revolusi Prancis, nama “rakyat” mendapatkan aura kekudusan. Sekarang, semua politisi mau tak mau harus menyebut "rakyat" kalau hendak survive

Di tahun 1984, saat artikel “Demos” ditulis, GM mencoba memahami kontradiksi yang ia lihat ada dalam diri Sokrates. Hidup Sokrates dipersembahkan untuk pengetahuan. Doktrinnya yang terkenal adalah: “aku tahu bahwa aku tidak tahu.” Untuk itu ia bertanya dan berdiskusi dengan banyak tokoh dan anak-anak muda untuk “mencari tahu”. Ia percaya tiap orang memiliki kemampuan melahirkan pengetahuannya sendiri. Itu makanya ia puas memerankan diri sebagai bidan, dan bukan pakar laboratorium bayi tabung (yang memilihkan mana “bayi” yang layak dilahirkan atau tidak). 

Sokrates adalah sekadar contoh bagaimana seorang pemikir, yang begitu setia kepada kemerdekaan berpikir dan menyatakan pendapat, justru hendak menunjukkan bahwa "demokrasi" tak dengan sendirinya berhubungan dengan kemerdekaan itu. 

GM menulis sesuatu yang rumit di situ: “demokrasi tak dengan sendirinya berhubungan dengan kemerdekaan berpikir.” Apakah menurut GM sikap Sokrates yang memuja kemerdekaan berpikir tetapi ia sendiri anti demokrasi adalah sebuah sikap yang tidak sinkron? Ataukah GM sedang berspekulasi bahwa sikap merdeka berpikir tak selamanya mendapatkan tempat dalam demokrasi? Saya tidak terlalu paham dengan maksud GM di frase itu. Allan Bloom, yang menulis dengan bagus sebuah komentar untuk buku The Republic karya Platon justru berpendapat sebaliknya. Bila semua rezim yang ada (timokrasi, oligarki dan tirani) memusuhi filsafat, justru demokrasilah yang memberi tempat filsafat untuk hidup. Demokrasi tidak membunuh filsafat, ia membiarkan dan indifferent terhadapnya. Dalam pembacaan Leo Strauss (guru Allan Bloom), demi survival-nya, Platon memiliki strategi menulis yang esoterik. Di satu sisi, ia memanfaatkan kebebasan untuk berfilsafat, di sisi lain, ia sadar bahwa ancaman terhadap filsafat juga riil sehingga ia harus menulis dengan terselubung. 

Selain karena tidak dilandaskan pada pengetahuan, ketidaksukaan Sokrates/Platon adalah karena lembaga-lembaga demokrasi Athena disusupi oleh kepentingan uang. Awalnya, uang diberikan sebagai pengganti penghasilan harian dari para warga negara miskin yang datang menghadiri rapat di lembaga-lembaga demokratis. Namun lama kelamaan, soal bayaran ini, kata GM, membuat banyak keputusan Majelis keliru. GM menulis:

"Di sekitar tahun 400 sebelum Masehi, kaum demokrat yang menang menganggap perlu bahwa warga yang miskin harus hadir di Ekklesia. Majelis permusyawaratan rakyat memang hendak dihindarkan dari kekuasaan para orang kaya. Maka, tiap warga yang hadir pun memperoleh imbalan uang, kurang-lebih memadai sebagai pengganti pendapatan satu hari. Tak ayal, majelis itu pun dengan segera dikuasai rakyat yang miskin. Yang kaya lebih baik tinggal di rumah." 

Selain alasan pengetahuan dan uang yang membuat kualitas keputusan buruk, dalam artikel ini ada kesan bahwa GM menarik garis lurus antara kecaman Sokrates/Platon pada - demokrasi dengan rezim-rezim otoriter modern seperti di Uni Sovyet, Cina dan Iran. Rakyat memang tidak bisa dipercaya, sehingga perlu dibimbing oleh seorang pemimpin. GM menulis: 

"Baik di Uni Soviet maupun di Cina, para pemimpin 'demokrasi rakyat' toh merasa bahwa 'rakyat' itu tak bisa dibiarkan tanpa kediktatoran pucuk pimpinan partai. Di Iran yang Islam, baik Ayatullah Khomeini maupun Ali Shariati sama-sama menggarisbawahi 'kepemimpinan', dengan asumsi bahwa para demos itu sering kali mirip anak-anak yang butuh bimbingan. 

Di depan sikap Sokrates/Platon, dan turunan modernnya yang tidak percaya pada rakyat, GM menulis: “Di abad ini kita bicara tentang 'rakyat' (kadang disebut sebagai 'massa') dengan lebih hormat. Yang menarik ialah, ditutupi atau tidak, orang sebenarnya tetap cemas dalam memandang 'rakyat' yang terhormat itu.” Di era Orde Baru yang represif GM menunjukkan sikapnya yang pro kepada rakyat. Tetapi GM juga tahu bahwa “rakyat” yang marah, cemburu dan penuh benci, manakala menemukan kanalnya, dan diangkat dijadikan panji-panji oleh para demagog, akan melahirkan rezim populis (seperti Mussolini dan Hitler) yang mengerikan. 

Jadi, bagaimana menyikapi rakyat? Di tahun 1984, di era rezim Soeharto sedang kuat-kuatnya, meminjam mulut Platon, GM menunjukkan sikapnya yang serba susah. 

"Maka, Plato pun bicara tentang ”dua kota” yang bersengketa, yang satu milik si kaya dan yang lain si miskin. Yang tampak hanyalah dua ekstrem. Dalam situasi seperti itu, sang filsuf, yang menyerukan sikap moderat, yang sadar bahwa sebaik-baiknya perkara adalah di tengah-tengah, tak ada guna. Ia, dalam kata-kata Plato, ibarat 'seorang manusia yang jatuh di antara hewan yang liar'. Tak didengar, meskipun luka di hati yang dalam."

Di naskah “Demos”, GM berbicara lugas tentang Sokrates/ Platon yang anti demokrasi, anti rakyat. Namun, dengan kesadaran bahwa kata “rakyat” bisa berujung pada populisme (yang di masa lalu tampak dengan Mussolini dan Hitler, dan di 2016-2020 muncul dalam Trumpisme di AS dan ancaman ideologi ekstrem kanan di seluruh dunia), GM, sepertinya, memahami kegalauan Platon. GM cukup simpatik pada Sokrates/Platon disini. 

(Sumber tulisan: A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 362-368).

0 komentar:

Posting Komentar