alt/text gambar

Kamis, 25 Desember 2025

Kebenaran dan Para Kritikusnya: Sebuah Prakata

buku F. Budi Hardiman, Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2023


Oleh: F. Budi Hardiman


Agenda filsafat adalah pencarian kebenaran. Untuk itu, dalam sejarahnya, filsafat selalu berpolemik tentang kebenaran. Jawaban yang diperoleh tidak pernah final. Karena itu, termasuk dalam pencarian kebenaran, filsafat memeriksa bagaimana orang memberi jawaban-jawabannya. Filsafat bertanya dan mengajak berpikir lebih lanjut. 

Pertanyaan-pertanyaan filosofis menyentuh persoalan kebenaran. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti: apakah asal-usul segala sesuatu? apakah manusia itu? bagaimana kita tahu sesuatu? apa makna sejarah dan apakah waktu itu? diberikan oleh bidang-bidang yang berbeda-beda dalam filsafat, seperti metafisika, antropologi, epistemologi, dan seterusnya. 

Namun, tetap saja persoalan kebenaran membayangi bidang-bidang itu karena pada gilirannya kita bisa mengajukan pertanyaan: benarkah jawaban-jawaban itu? Jika ya, dalam arti apa benar? Tampaknya kita tidak akan pernah bisa mengelak dari persoalan kebenaran, maka sebaiknya kita dengan sengaja mempersoalkannya. 

Dengan judul “Kebenaran dan Para Kritikusnya”, buku ini mendiskusikan problem kebenaran dalam filsafat, khususnya dalam filsafat sains kontemporer. Tentu saja diskusi buku ini sebagian kecil saja dari diskusi tentang masalah kebenaran dalam filsafat.

Kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat adalah konsep kebenaran, yaitu pemahaman tentang apa itu kebenaran. Ketika orang berkata: “Itu benar”, kita bisa balik bertanya: "Apa maksudmu dengan 'benar'?", maka jawaban orang itu sedikit banyak mengacu pada 'konsep' tentang kebenaran. Jawaban orang itu merupakan bagian argumentasi tentang apa itu kebenaran. Argumentasi macam itulah yang kita sebut di sini diskursus kebenaran. 

Jadi, buku ini adalah sebuah diskursus kebenaran. Tentu saja diskursus kebenaran bukanlah kebenaran, maka bisa benar atau salah. Bukankah Anda tidak perlu menyetujui sebuah argumen sebagai kebenaran? Meski demikian, penting untuk mengetahui manfaatnya. 

Dengan mengikuti diskusus kebenaran kita menjadi lebih kritis, dan sikap kritis sangat penting justru di era komunikasi digital ketika kemampuan untuk memilih dan memilah informasi secara bijaksana cukup menentukan kelangsungan hidup kita. 

Alasan untuk itu jelas: diskursus kebenaran membantu kita mengeksplisitkan konsep kebenaran yang diandaikan begitu saja di dalam komunikasi baik digital maupun korporeal sehingga kita dapat berhati-hati dengan klaim-klaim kebenaran yang diucapkan siapa pun dan dari sumber mana pun. 

Buku ini dibingkai dengan sebuah tilikan historis filosofis: kebenaran yang semula menyangkut seluruh eksistensi kita lambat laun menyempit menjadi klaim rasional. Konsep ontologis tentang kebenaran, sebagaimana masih terdapat di dalam agama-agama dunia dan filsafat kuno, bergeser menjadi konsep epistemologis tentang kebenaran. 

Awalnya pergeseran ini terjadi di Barat, tetapi kemudian juga sampai kepada kita semua di belahan lain bumi kita. Saya akan bergargumen bahwa sains modern dan modernitas berpengaruh sangat besar terhadap apa yang nanti akan kita sebut epistemologisasi kebenaran itu. 

Epistemologisasi kebenaran ini merupakan alasan mengapa kebenaran dipahami secara sempit sebagai fakta atau kebenaran faktual yang praktis telah memperoleh supremasi dan hampir tidak dapat dibantah lagi. Diskursus kebenaran kemudian akan masuk ke dalam kritik-kritik atas sains dan kebenaran faktualnya. 

Saya mengulik konsep itu dengan bantuan para filsuf kontemporer yang saya sebut 'para kritikus kebenaran'. Tentu saja kritik mereka adalah sebagian saja dari kritik-kritik atas positivisme, objektivisme, saintisme, naturalisme. 

Saya hanya mengambil beberapa contoh, yakni dari filsafat ilmu baru, hermeneutik, fenomenologi, poststrukturalisme, teori kritis. Semuanya merupakan bagian kesinambungan proyek dalam beberapa buku saya terdahulu untuk memproblematisasi positivisme. 

Akan jelas dari isi buku ini bahwa saya tidak menolak konsep kebenaran faktual sebagaimana dipegang teguh dalam sains modern, jurnalisme, pengadilan, dan bahkan demokrasi. Yang saya upayakan dengan bantuan para kritikus kebenaran itu adalah mendudukkan konsep kebenaran faktual pada tempatnya dalam arsitektur pemikiran yang terbuka terhada kemajemukan nilai. 

Setelah melakukan intellectual Odyssey melalui interpretasi kritis atas pemikiran delapan filsuf kontemporer, diskursus kebenaran akan pulang kembali kepada konsep ontologis tentang kebenaran. 

Namun, alih-alih merehabilitasi konsep ontologi klasik tentang kebenaran, diskursus akan menawarkan tipologisasi ontologi-ontologi agar kita menjadi lebih terbuka terhadap kemajemukan nilai masyarakat dewasa ini. 

Pendirian terbuka tidak perlu dikategorikan entah sebagai konservatif atau progresif. Filsafat memang memiliki tugas retrospektif untuk memahami sejarah. Kita bisa membaca ilustrasi Hegel tentang burung hantu dari Minerva dalam prakata bukunya tentang filsafat hukum. Katanya, filsafat baru muncul sesudah proses sejarah selesai, yakni kehidupan menjadi tua. 

“Burung hantu dari Minerva mulai terbang baru di saat senja datang”, begitu tulisnya. Artinya, kebenaran baru dipahami di akhir sejarah. Namun, kita belum di titik itu. Karena itu, selain memiliki tugas retrospektif, filsafat juga memiliki tugas prospektif untuk mengantisipasi kebenaran yang akan datang. 

Dalam arti ini, pemikiran terbuka tidak akan memastikan bahwa pencarian kebenaran sudah selesai, entah dalam sains tertentu, dalam filsafat tertentu atau dalam agama tertentu, karena kebenaran yang menyingkap kepada pemikiran itu berada di dalam tegangan antara sudah dan belum. Saya akan berargumentasi ke arah itu. 

Buku ini selesai ditulis di awal tahun 2023 yang dipenuhi dengan harapan akan pemulihan dari pandemi Covid-19. Atas selesainya buku ini pertama-tama saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Komunitas Salihara Jakarta yang telah mengundang saya untuk memberikan seri kuliah publik bertopik “Kebenaran di Medan Tempur Pasca Kebenaran” di bulan Maret 2021 yang lalu.

Makalah-makalah kuliah itu merupakan studi awal atas topik buku ini yang saat itu merupakan respons atas politik pasca kebenaran dan perdebatan tentang sains dan agama yang berlangsung lewat Facebook (perdebatan itu kemudian dibukukan dalam Goenawan Mohamad et.al. (ed), Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran). 

Ucapan terima kasih juga tertuju kepada para kolega Universitas Pelita Harapan, khususnya Faculty of Liberal Arts, yang telah memberikan kondisi yang menantang saya untuk memikirkan problem buku ini. 

Akhirnya, saya juga berterima kasih kepada Penerbit PT. Kanisius yang telah menerbitkan buku ini sehingga sampai ke tangan para pembacanya. Semoga buku ini dapat memprovokasi pikiran agar kita tidak terlalu cepat menerima sesuatu sebagai kebenaran. 

F. Budi Hardiman, guru besar filsafat

Tangerang Selatan, 1 Januari 2023 

Sumber

Prakata buku F. Budi Hardiman, Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Ide Besar yang Memandu Zaman Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2023

Sampul belakang

Sinopsis:

Buku ini adalah sebuah diskursus kebenaran. Jalan masuknya bukan lewat pintu agama, melainkan lewat pintu filsafat sains kontemporer. Dahulu dalam agama dan filsafat, kebenaran masih menyangkut seluruh kenyataan. Namun, dalam pengaruh sains modern, kebenaran mulai dipahami secara sempit sebagai kebenaran faktual. 

Mengapa kebenaran faktual bukan seluruh kebenaran? Bagaimana kebenaran terkait zaman?Mengapa kebenaran tidak lain daripada kedok kekuasaan? Bisakah kita mengatasi relativisme kebenaran lewat komunikasi rasional? ) Di manakah posisi agama, filsafat, dan sains dalam pencarian kebenaran? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, penulis mengomentari secara kritis pemikiran Kuhn, Feyerabend, Rorty, Dilthey, Heidegger, Gadamer sampai Foucault dan Habermas. Lewat perjalanan intelektual yang cermat dan penuh kesabaran ini, ia mengajak kita keluar dari pemikiran yang menyempitkan kebenaran sebagai fakta.

Bersama Heidegger, ia melakukan ontological turn dengan mengangkat kembali diskursus kebenaran ke ranah ontologis, di mana agama, filsafat, dan sains dapat dilihat sebagai upaya-upaya pencarian kebenaran. 

Sebuah buku yang mengingatkan kita agar tidak terburu-buru memetik kebenaran sebelum matang, sehingga kita terbebas dari jebakan saintisme, ideologi, dan radikalisme agama. 


Prof. Dr. F. Budi Hardiman. Guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan. Menulis belasan buku filsafat antara lain: Demokrasi Deliberatif (2009), Seni Memahami (2015), Demokrasi dan Sentimentalitas (2018), Aku Klik maka Aku Ada (2021). Buku ini adalah bukunya yang ke-16. 


Catatan: judul tulisan di atas bukan dari FBH, tapi dari saya. 



ADA YANG TIADA


Resensi oleh: Imam Walujo


Judul buku: ANGKATAN 66, SEBUAH CATATAN HARIAN MAHASISWA

Penulis: Yozar Anwar

Penerbit: Sinar Harapan, 1980

Tebal: 210 halaman


(TEMPO, No. 43, Thn. X, 20 Desember 1980)

Sebuah catatan harian seorang aktivis mahasiswa, kala Angkatan 66 muncul dan bergerak. Apa sebenarnya yang diperjuangkan angkatan itu? Dan menjadi apa "Angkatan 66" itu kemudian?


Bila ingin membaca kisah tentang semangat dan kepahlawanan, buku ini cukup memenuhi yang diharap. Heroiknya perjuangan Angkatan 66 dilukiskan dengan semangat yang tinggi. Maklum, Yozar Anwar sendiri, penulis buku ini, salah seorang ketua presidium KAMI Pusat mewakili Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal) ketika itu. Bisa dipahami kalau Yozar dalam mengisahkan peristiwa yang berlangsung 8 Januari 1966 sampai dengan 11 Maret 1966 (menurut catatan hariannya), hampir tak mengambil jarak antara dirinya dan peristiwa yang dilukiskannya.


Sama halnya dengan buku Christianto Wibisono, Aksi-Aksi Tritura (1970), buku ini pun menggambarkan perjuangan Angkatan 66 dengan penglihatan hitam-putih. Isi kedua buku pun boleh dikata hampir sama. Bahkan komentar pribadi penulis yang disisipkan di sana- sini, hanya menambah makin hitam-putihnya cara menyajikan perjuangan Angkatan 66. Pokoknya: Soekarno dkk. hitam, KAMI dkk. putih.


Tak Terasa?


Dari sebuah buku yang ditulis berdasar catatan harian, sebenarnya tak banyak ulasan yang dapat diberikan. Tapi satu dua pertanyaan memang mengganggu di kepala – selesai membaca buku ini.

Misalnya, kalau benar demikian hebat perjuangan Angkatan 66, seperti yang dilukiskan Yozar, mengapa tampaknya dalam perkembangan selanjutnya seperti tidak terasa? Dan entah kebetulan entah tidak, baik Yozar maupun Christianto mengakhiri kisah perjuangan Angkatan 66 pada 11 Maret 1966. Yaitu saat dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Ini menimbulkan kesan seolah perjuangan Angkatan 66 berakhir pada tanggal tersebut. 


Kenyataannya, sejak itu tubuh KAMI memang tanggal satu persatu – dan mati beberapa tahun kemudian. KAMI muncul di panggung politik secara spontan untuk kemudian hilang tanpa bekas. Bila demikian, apa sebenarnya yang diperjuangkan secara mendasar oleh Angkatan 66?


Kita mengetahui perjuangan Angkatan 66 terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura): bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora dan turunkan harga. Pada 11 Maret 1966 yang menjadi kenyataan baru dwitura: dibubarkannya PKI oleh Letjen Soeharto dan perombakan kabinet yang dilakukannya setelah itu. Sedang tuntutan yang ketiga belum terlaksana – bahkan sampai sekarang.


Tapi nampaknya perjuangan Angkatan 66 memang hanya sampai di situ. Yozar menulis: "Sabtu, 12 Maret siaran pagi warta berita RRI: Letjen Soeharto dengan Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan segala ormasnya. Dengan demikian, kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini. Jakarta diliputi suasana pesta kemenangan . . . (hal. 198). Dan di halaman 199: "Tapi, apakah dengan kemenangan yang tercapai berarti perjuangan telah selesai? Apakah perjuangan Tritura tamat riwayatnya?"


Yozar menutup tulisannya dengan harapan agar kita tidak mengulangi kegagalan revolusi '45. ". . . Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru dan dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Namun, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Pengalaman pahit ini tidak boleh terulang lagi. Kita sudah cukup banyak dan lama mengalami penderitaan" (halaman 200).


Bila disimak, yang diharap Yozar Anwar – seorang tokoh mahasiswa ketika itu – terhadap perjuangan Angkatan 66, jelas bukan sekedar pembubaran PKI. Ada yang lain yang lebih dari itu: "suatu kemenangan yang mencerminkan perubahan dan kemajuan. Suatu kehidupan yang aman dan damai, demokratis, kepastian hukum. Pendek kata, suatu jaminan hak-hak asasi manusia dan adanya keadilan dan kebenaran yang berlaku" (halaman 200).


Bila demikian, perjuangan Angkatan 66 harus diakui memang besar dan mendasar. Kami percaya, apa yang dirasakan di hati Yozar juga dirasakan ribuan mahasiswa dan pemuda lainnya ketika itu. Tapi kenyataan kemudian menunjukkan, bahwa Angkatan 66 tidak lebih hanya merupakan persekutuan taktis yang sesaat untuk suatu kepentingan politik tertentu.


Bukan maksud kami dalam kesempatan ini mengupas perjuangan Angkatan 66. Tapi alangkah baiknya, bila dalam kesempatan mendatang dapat ditulis buku mengenai perjuangan Angkatan 66 secara lebih obyektif. Bahwa pada 1966 mahasiswa dan pemuda beraksi dengan gagah dan berani, adalah benar. Tapi di balik itu, apa? Ini perlu, agar Angkatan 66 tidak menjadi sesuatu yang ada tapi tiada. Sekaligus memenuhi anjuran Yozar sendiri, agar kita mampu belajar dari sejarah.


Imam Walujo. ▪


Sumber:TEMPO, No. 43, Thn. X, 20 Desember 1980

Rabu, 24 Desember 2025

,

Seputar Dekonstruksi Derrida


Penjelasan tentang filsafat dekonstruksinya Jacques Derrida berikut ini saya ambil dari buku F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015, h. 273-307).

Keraguan Menyimpulkan

Boleh diragukan bahwa sebuah kesimpulan untuk ulasan tentang dekonstruksi dapat diberikan. Bukankah penarikan kesimpulan bertentangan dengan dekonstruksi karena menyimpulkan berarti memutuskan? Namun untuk tujuan pembelajaran kita tetap perlu mengambil pokok yang telah dibahas di atas. Pertanyaan yang sama seperti yang telah dilontarkan dalam bab-bab sebelumnya kita ulang di sini: Apakah memahami menurut Derrida?

Memahami sebagai menangguhkan makna

Jika dekonstruksi adalah sebuah cara baca, memahami teks yang dibaca itu lebih merupakan proses kognitif—meski bukan proses metodologis seperti pada Dilthey—dan bukan konsep eksistensial seperti pada Heidegger. Namun jika di dalam hermeneutik biasa targetnya adalah memahami makna, entah dengan mereproduksinya (Schleiermacher dan Dilthey) atau memproduksinya (Gadamer), di dalam hermeneutik radikal Derrida makna selalu ditangguhkan dengan munculnya kemungkinan-kemungkinan makna lain, sehingga tindakan memahami juga tidak pernah dipastikan. Memahami itu sendiri sebuah kegiatan penangguhan karena hermeneutik radikal membiarkan makna tidak pernah definitif. Pertanyaan, apakah makna teks dipahami, akan dijawab dengan provokasi bahwa teks itu dipahami sekaligus tidak pernah dipahami karena cara-cara baca lain akan menangguhkan klaim pemahaman yang telah dicapai. h. 306

**

Teks Benjamin adalah sebuah dekonstruksi: pembacaan Derrida atas teks Benjamin juga sebuah dekonstruksi, dan menurut saya interpretasi Derrida lebih radikal daripada yang dilakukan Benjamin karena Benjamin memutuskan, sedangkan Derrida tidak, sehingga bagi Derrida dasar makna yang menjadi acuan hilang atau tak pernah ada. Penafsir tidak perlu mencari pegangan di sana, yang perlu dilakukan penafsir adalah differance, yakni tak memutuskan oposisi-oposisi biner (karena memang tidak bisa diputuskan) dalam sebuah teks dan mengganti-ganti perspektif terus-menerus, sehingga sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tak terhingga. 

**

Apakah dengan demikian kita dapat menyamakan dekonstruksi Derrida dengan kritik Benjamin atas kekerasan? Di bagian akhir ceramahnya, Derrida memberikan pendiriannya, dan pendiriannya itu menurut saya penting untuk menjelaskan kekhasan dekonstruksinya sebagai hermeneutik radikal. Seperti sudah saya jelaskan di atas, dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perspektif terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”. Namun apa yang dilakukan oleh Benjamin justru berkebalikan dari Derrida: Dia memutuskan. Di mana keadilan: di luar atau di dalam sistem hukum? Benjamin memutuskan: di luar sistem hukum, yaitu dalam kekerasan ilahi (Yahudi), maka seluruh oposisi biner dalam sistem hukum yang berpangkal dari kekerasan mitis (Yunani) meruntuhkan dirinya, dan sejarah mempertontonkan hal itu. Keputusan itu membuat makna dikembalikan pada sebuah dasar primordial, yaitu keadilan ilahi. 

**


Tiadanya Dasar untuk Interpretasi

Kita lalu dapat mengerti mengapa dekonstruksi sebuah hermeneutik radikal. Prioritas tulisan atas tuturan berarti tiadanya dasar untuk interpretasi. Setiap hermeneutik yang masih memiliki dasar untuk memahami, entah dasar itu bernama intensi penulis, otoritas atau horizon tradisi, belum radikal, karena akarnya (dari kata Latin “radix”) masih menjadi sumber interpretasi. Namun dekonstruksi adalah sebuah hermeneutik radikal, karena bahkan radix itu tidak ada, sehingga seluruhnya diserahkan kepada interpretasi. Namun karena makna juga tidak dapat distabilkan, melainkan selalu ditangguhkan lewat diferance, hermeneutik radikal bukan upaya membakukan makna, melainkan mencairkannya lewat interpretasi dalam pergantian perspektif terus-menerus, sehingga makna itu tinggal sebagai jejak, seperti jejak-jejak kaki yang menghilang di pasir pantai. “Tugas dekonstruksi,” demikian Madison, “nyatanya adalah menunjukkan bahwa teks-teks filosofis tidak berarti apa yang tampak mereka artikan, tidak berarti apa yang para penulis mereka ingin mengartikan mereka (apa yang mereka “maksudkan"), nyatanya tidak memiliki arti yang dapat diputuskan sama sekali. Cara baca seperti itu memang sia-sia untuk memahami makna, namun bagaimanapun sebuah pergumulan dengan makna yang memang tak pernah diputuskan, maka ia tetap adalah sebuah hermeneutik, hermeneutik yang mengingkari tujuannya sendiri.

Pokok Gagasan 

Hermeneutik radikal tidak menawarkan suatu cara baca teks, melainkan upaya untuk mengatasi logosentrisme dengan praktik interpretasi tanpa dasar apapun, yakni tanpa kehadiran subyek. Prioritas tulisan atas tuturan berarti bahwa subyek itu absen, dan teks menjadi otonom, terbuka untuk interpretasi tanpa batas.
**

Menghentikan Rehabilitasi makna asli

Hermeneutik mulai dari Schleiermacher, Dilthey sampai Gadamer mencoba merekonstruksi (dalam kasus Schleiermacher dan Dilthey) atau mengkonstruksi (dalam kasus Gadamer) makna yang terkandung di dalam sebuah teks lewat aktivitas interpretasi dan pemahaman. Di dalam hermeneutik reproduktif Schleiermacher dan Dilthey kegiatan interpretasi dimaksudkan untuk menemukan “makna asli” teks, sedangkan dalam hermeneutik produktif Gadamer kegiatan interpretasi dimaksudkan untuk menemukan susunan makna yang baru dalam horizon baru. Kegiatan interpretasi seperti itu dapat disebut hermeneutik normal, karena memang hermeneutik — termasuk hermeneutik kritis dan hermeneutik kecurigaan —bertujuan untuk memahami susunan makna teks, entah untuk merehabilitasi makna asli ataupun mengkonstruksi makna baru. Dekonstruksi menghentikan upaya rehabilitasi ataupun konstruksi seperti itu. Berbeda dari hermeneutik normal, dekonstruksi justru mengandaikan bukan hanya tiadanya makna asli sebuah teks, melainkan juga ketidakmungkinan keutuhan makna sebuah teks. Jika demikian, aktivitas interpretasi tidak lagi memiliki fondasi dan menunda setiap upaya konstruksi makna yang koheren. Sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tak terhingga. Itulah sebabnya dekonstruksi dapat disebut hermeneutik radikal. h. 283-284

Apakah dekonstruksi, hermeneutik radikal, juga bertujuan untuk Verstehen? Baik hermeneutik Gadamer maupun dekonstruksi Derrida merupakan perkembangan kreatif dari pemikiran Heidegger yang memberi prioritas pada bahasa. Namun seperti telah dikatakan di atas, tekanan keduanya berbeda. Hermeneutik meyakini kemungkinan untuk mendapatkan kesatuan makna, maka penguatan tradisi merupakan hasil yang dapat diharapkan. Dalam hal ini hermeneutik, juga dalam versi Habermas dan Ricoeur, menganggap makna sebagai sesuatu yang dapat diputuskan, sehingga “makna yang benar” itu dapat dicari dan ditemukan. Dengan demikian, bagi hermeneutik memahami (Verstehen) masih mungkin. Dekonstruksi justru menganggap bahwa makna tidak dapat diputuskan. Setiap upaya untuk menentukan suatu makna “diintai” oleh suatu makna yang berbeda dari makna yang ingin diputuskan itu, karena saat membaca seorang penafsir terbuka terhadap “yang lain” di dalam maupun dari sebuah teks. Dalam arti ini dekonstruksi adalah, seperti disebut Kimmerle, sebuah interpretasi yang ditandai dengan “pergantian perspektif terus-menerus”. Dalam arti ini tujuan dekonstruksi bukanlah memahami (Verstehen) lewat peleburan horizon-horizon, melainkan mengolah perbedaan-perbedaan yang tidak dapat ditangkap dalam sebuah keutuhan.

Pokok Gagasan
Dekonstruksi merupakan sebuah hermeneutik radikal karena mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial yang dicari di dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya koherensi makna suatu teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak terhingga. h. 284-285
***

Karena tidak lagi dapat merehabilitasi makna asli teks, sebuah teks menjadi otonom dari maksud-maksud penulisnya, dan penulisnya tidak dapat mengontrol makna teks yang dihasilkannya. Teks menjadi terbuka untuk interpretasi dari arah manapun. Teks dapat dibaca dalam konteks-konteks yang silih berganti secara arbiter. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa makna teks itu selalu ditangguhkan dan tidak dapat diputuskan. h. 287
**

Membebaskan tulisan dari tuturan

Apakah duduk perkara metafisika Barat sebagai fonosentrisme itu? Duduk perkaranya tak lain daripada persoalan interpretasi makna. Tuturan atau suara mengandaikan kehadiran subyek. Kita dapat mendengarnya dan merasakannya. Di dalam bahasa lisan terdapat kehadiran serentak si penutur, pendengar, obyek yang dibicarakan, sedemikian sehingga bahasa lisan itu menjadi medium sempurna untuk kehadiran kebenaran. Tuturan menjamin bahwa makna dapat dimengerti sepenuhnya. Kehadiran subyek itu lalu menjadi kontrol atas interpretasi kebenaran yang dihasilkan. Yang dipinggirkan dalam fonosentrisme dan logosentrisme adalah tulisan. h. 293

***

Kontaminasi oposisi-oposisi biner

Dekonstruksi menyangkut kontaminasi atau “bartardisasi” oposisi-oposisi biner, pasangan makna yang berlawanan. Oposisi-opisisi biner, seperti: kultur/natur, rasional/irasional, maskulin/feminin, fiksi/realitas, manusia/hewan, aktivitas/pasivitas, absen/presen, ordol/chaos, dst., beroperasi dalam seluruh peradaban Barat dan membangun hierarki makna dengan mengunggulkan salah satu. Menurut McQuillan, dekonstruksi menempuh dua "tahap”. Pertama, oposisi biner itu harus dibalikkan, misalnya, pria/wanita menjadi wanita/pria, lalu ditunjukkan bahwa seluruh makna teks sebenarnya telah didikte oleh oposisi biner itu. Dengan membalikkan oposisi itu, tercipta semacam keseimbangan, tetapi hal itu tidak cukup tanpa tahap selanjutnya. Kedua, setelah dibalik, sekarang seluruh sistem pemikiran yang didikte oposisi biner itu harus disingkirkan, sehingga istilah-istilah dalam oposisi biner itu dipikirkan tanpa pemikiran biner lagi. Tanpa menghentikan pemikiran biner ini, pembacaan hanya akan terjebak ke dalam logika biner yang lain. McQuillan hanya menyuratkan tahap-tahapnya; dalam proses tersebut akan memperlihatkan bahwa kutub-kutub dalam oposisi-oposisi itu tidak bisa dijaga kemurniannya dan konsistensinya; kedua kutub akan saling menodai, yaitu mendekonstruksi diri. Nanti kita akan berkenalan dengan apa yang disebut Derrida differance untuk menjelaskan kontaminasi itu. h. 279-280
***

Dekonstruksi bukan metode, melainkan peristiwa pembacaan

Pemikiran Derrida dikenal dengan nama “dekonstruksi”, dan dekonstruksi tidak dapat disamakan dengan hermeneutik yang telah kita bahas di sini. Suatu alasan yang mungkin untuk memasukkannya ke dalam hermeneutik adalah bahwa dekonstruksi merupakan sebuah cara baca teks. Apakah dekonstruksi itu? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab karena dekonstruksi tidak dapat didefinisikan. McQuillan dapat membantu kita untuk memperjelas hal itu. Menurutnya sekurangnya ada “lima strategi” untuk memahami dekonstruksi.” Pertama, kata “cara” (dalam cara baca) atau “metode” sebetulnya tidak tepat dipakai untuk dekonstruksi. Derrida sendiri menyebutnya “pas de methode”, dan kata pas dalam bahasa Prancis berarti baik “tidak” maupun langkah”. Jika begitu, dekonstruksi bukan metode, karena--seperti dikatakan McQuillan “tak ada perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti dalam dekonstruksi”. Akan tetapi ia juga sekaligus suatu “langkah”. Apakah bukan metode sekaligus langkah metodologis itu? Peristiwa pembacaan. Ia tidak bisa diulangi seperti metode, ia singular dan unik, karena ia adalah peristiwa. Dekonstruksi itu mustahil karena membiarkan yang lain berbicara, sehingga tujuan pemahaman atau--lebih tepat--Sang pemahaman dibuat sia-sia oleh kemunculan yang lain itu. h. 278-279

***




Selasa, 23 Desember 2025

SKALA PRIORITAS IBADAH

(TEMPO, No. 43, Thn. XIII, 24 Desember 1983)


Oleh: Abdurrahman Wahid


Apa yang dilakukan para kiai di Rembang, beberapa waktu yang lalu, memang terasa aneh: membuat skala prioritas ibadah. 

Di kota pantai utara Pulau Jawa itu, seorang pemilik toko yang menjual skuter dan sepeda motor, sisa-sisa kelas pedagang santri yang jaya di masa lampau, tiap tahun melakukan ibadah haji ke Mekah. Ibadah haji pertama memang wajib, tetapi pengulangannya tidak. Hanya diseyogyakan; dalam istilah hukum agama (fiqh) disebut disunahkan.

Ada yang menanyakan kepada para kiai di Rembang itu status haji sunah yang dilakukan berkali-kali, padahal ada yang lebih membutuhkan pembiayaan. Yaitu pembangunan gedung sekolah agama, alias madrasah.

Jalan pikiran penanya itu sebenarnya sesuai dengan penalaran manusia yang membangun. Bukankah Nabi Muhammad bersabda, "menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim, pria dan wanita"? 

Para kiai lantas membahasnya dalam majelis fiqh yang mereka selenggarakan secara teratur. Sudah dapat diduga: mereka akhirnya membenarkan pendapat–dan imbauan–penanya di atas. Namun, bukan keputusannya yang penting, melainkan proses tercapainya.  Dasar pengambilan keputusan itu tepat kalau disebut "indikator skala prioritas ibadah”. Seolah-olah merupakan sesuatu yang empiris, padahal bukan.

Para kiai di Rembang ternyata tidak mendasarkan keputusan mereka pada penalaran yang dikemukakan si penanya. Penalaran seperti itu terlalu rasionalistis, tidak sesuai dengan sendi-sendi pemikiran keagamaan mereka. Menurut "kamus fiqh" yang mereka anut, tidak ada tempat untuk penalaran rasional yang tuntas, yang langsung  dengan menggunakan ayat Quran atau sabda Nabi. Itu kelancangan–apalagi kalau dilakukan orang yang tidak kompeten.

Dalam pandangan mereka, untuk penalaran di bidang fiqh, harus ada kerangka penglihatan yang jelas dan kerangka berpikir serba deduktif itu disistematisasikan dalam sebuah teori hukum, yang dinamai usul fiqh. Metode inilah yang menentukan bagaimana ayat Quran, atau sabda Nabi, harus diberlakukan dalam setiap masalah yang timbul. Juga bagaimana keputusan diambil kalau tidak ada "dalil" berupa ayat Quran atau sabda Nabi–melalui analogi (qias), konsensus (ijma'), dan sebagainya.

Ada sekian puluh kaidah yang telah dibakukan, dengan tujuan dipakai sebagai "pedoman" dalam pengambilan keputusan. Yang terkenal adalah Asybah Wa-Naza'ir, karya utama As-Sayuti yang sudah berumur hampir enam abad. Dalam Asybah itulah mereka dapati kaidah yang berhubungan dengan kasus tadi. Bunyinya sederhana: "amal perbuatan yang berlanjut diutamakan atas amal perbuatan yang terhenti" (al-'amalul muta'addi afdhalu minal 'amalil qashir).

Amal kebajikan yang berlanjut adalah yang kegunaannya dirasakan orang lain. Bahasa Jawa model pesantrennya disebut sumrambah olehe migunani. Sedangkan yang terhenti adalah yang kegunaannya hanya kembali kepada diri si pelaku. Maka, selesailah pembahasan para kiai. Mendirikan madrasah adalah amal kebajikan berlanjut. Jadi, diutamakan.

Aplikasi kaidah yang demikian sederhana itu ternyata adalah bidang para kiai. Dalam batas-batasnya sendiri, bukankah ia perlu didorong, untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang jelas kegunaannya bagi masyarakat? Titik tolak mengaitkan "sistem kaidah" itu dengan tekanan di bidang kemasyarakatan pun sudah diantisipasikan oleh kaidah lain yakni: tasharruful imam manutun bil maslahah. 'Kebijaksanaan si pengambil keputusan mengikut kepentingan rakyat'. 

Abdurrahman Wahid, cendekiawan muslim


Sumber: TEMPO, No. 43, Thn. XIII, 24 Desember 1983


Minggu, 21 Desember 2025

,

Surat dari Melbourne (1) MELAMAR UNTUK JABATAN GURU BESAR

(Kompas, 15 Desember 1997)

Oleh: Arief Budiman


Ketika menjadi penganggur pada akhir tahun 1994 (dipecat dari Universitas Kristen Satya Wacana), saya berusaha mencari pekerjaan tetap. Kalau pekerjaan tidak tetap sebagai penulis di media massa, ini terus saya jalankan. Untunglah gaji dosen di Indonesia relatif rendah sehingga dengan menulis beberapa tulisan saja, praktis gaji saya tergantikan. 

Saya tetap ingin mengabdikan diri di dunia akademik, karena di dunia inilah saya merasa bisa mengekspresikan diri secara jujur sambil menggunakan daya pikir dan kreativitas. Lamaran saya bukan saja ke universitas di Indonesia, tapi juga di luar negeri. 

Salah satu yang saya lamar adalah sebuah posisi di Universitas Melbourne. Mula-mula ada dua hambatan yang membuat saya ragu-ragu melamar ke universitas ini. 

Pertama, posisi ini ada di bawah naungan Sekolah Bahasa dari Fakultas Humaniora. Dengan demikian, saya pikir posisi ini merupakan posisi untuk mengajar Bahasa Indonesia, baik segi penggunaannya maupun linguistiknya. Tapi pada iklan untuk posisi ini jelas-jelas dinyatakan bahwa jabatan ini bukan semata-mata untuk ahli bahasa. Ahli dari bidang lain juga diharapkan. Atas dasar ini, dengan latar belakang pendidikan sosiologi, saya melamar. 

Kedua, pekerjaan yang saya lamar adalah sebuah jabatan guru besar. Sampai saat ini hampir tidak pernah ada orang Indonesia menduduki jabatan tertinggi itu di univeritas Australia. Karena itu, saya merasa kemungkinan untuk bisa mendapatkannya sangat kecil. Tapi, apa salahnya mencoba? 

Dipanggil ke Melbourne

Suatu hari saya mendapat telepon dari Melbourne. Rupanya dari Kepala Jurusan Bahasa di sana. Dia mengatakan apakah saya bisa datang ke Melbourne untuk berkenalan. Cuma untuk berkenalan, belum untuk wawancara. Semua biaya ditanggung mereka. 

Tentu saja saya mau datang, karena biaya ditanggung. Hitung-hitung jalan-jalan ke Melbourne secara gratis. Saya berpikir seperti itu karena beranggapan hampir mustahil saya akan mendapatkan jabatan yang sangat tinggi itu. 

Saya tinggal di Melbourne selama tiga hari dua malam, dipertemukan dengan beberapa orang, termasuk Dekan Fakultas Humaniora yang membawahi Jurusan Bahasa. Pada waktu itu baru saya ketahui bahwa meskipun jurusannya adalah studi Bahasa Indonesia, di sana diberikan juga kuliah-kuliah nonbahasa, seperti Kebudayaan Indonesia, Politik Indonesia, Ekonomi Indonesia, dan sebagainya. 

Meskipun fokusnya masih bahasa, tapi jurusan Indonesia ini sudah menjadi sebuah lembaga yang melakukan Studi Kawasan, di mana bahasa hanya merupakan salah satu komponennya yang terbesar. Pada saat itulah saya jadi paham mengapa mereka mencari seorang guru besar yang bukan ahli bahasa untuk memimpin lembaga ini. 

Saya juga diberi tahu bahwa pelamarnya ada sekitar 20 orang dari seluruh dunia, kebanyakan tentunya dari Australia. Pada saat itu mereka sudah membuat daftar pendek dari enam calon yang dianggap terbaik, dan mereka diminta datang untuk berkenalan dengan pejabat-pejabat universitas tersebut. Saya termasuk dalam daftar enam orang ini. 

Wawancara pertama

Pembicaraan dengan berbagai orang di Universitas Melbourne bersifat santai dan menyenangkan. Tujuannya untuk memperkenalkan program-program yang ada di universitas itu, beserta fasilitasnya. Hanya pembicaraan dengan Kepala Sekolah Bahasa dan Dekan Fakultas Humaniora yang agak serius.

Salah satu pertanyaan yang menarik adalah: “Kalau Anda bekerja di sini, mengingat peran Anda sebagai dissident di Indonesia, apakah ini akan mempersulit hubungan Universitas Melbourne dengan pemerintah Indonesia?”

Saya tersentak ketika pertanyaan itu dilontarkan. Saya dengan mudah bisa mengatakan “tidak”, tapi tentunya ini tidak sepenuhnya benar. Setelah mempertimbangkan jawaban saya sejenak, antara lain karena toh saya tidak terlalu berharap untuk diterima, maka saya memutuskan bahwa saya akan menjawab berdasarkan prinsip honesty is the best policy. 

Maka, dengan santai saya menjawab: “Saya kira memang begitu. Anda harus ingat bahwa di Indonesia, hubungan pribadi sangat penting. Saya punya beberapa teman di kalangan pemerintahan, karena beberapa di antaranya adalah teman-teman seperjuangan dulu pada tahun 1966. Dengan mereka saya bisa berhubungan secara pribadi, dan mereka mengenal saya dengan cukup baik. Dan saya kira, meskipun dianggap dissident, kritik-kritik saya tidak asal saja. Juga, dengan melakukan kritik, saya tidak mengambil keuntungan materiel apa-apa. Saya melakukannya murni karena saya mau berbuat sesuatu yang baik bagi bangsa ini. Karena itu, saya merasa, orang yang yang saya kritik pun menghormati saya secara pribadi.”  

Saya tidak tahu apakah jawaban ini membuat mereka terkesan. Yang jelas mereka tidak melanjutkan pertanyaannya.

Wawancara kedua

Setelah kembali ke Indonesia, saya beranggapan proses ini berakhir sampai di sini. Artinya, saya gagal dan paling-paling mendapatkan sepucuk surat yang isinya menyatakan terima kasih tapi “dengan sangat menyesal...” dan seterusnya. Saya sudah menjadi biasa mendapatkan surat seperti ini.

Tapi, ternyata saya mendapatkan panggilan lagi. Sekarang cuma ada tiga calon, yang akan diwawancarai oleh sebuah panitia seleksi di mana rektor dan beberapa guru besar di universitas tersebut juga dilibatkan. Di samping itu, ada tiga orang akademisi Australia yang ahli Indonesia dari beberapa universitas di luar Melbourne yang didatangkan khusus untuk ikut serta dalam proses pemilihan ini. Untuk jabatan guru besar, mereka memang sangat hati-hati melakukan pemilihan. 

Ketiga calon diminta memberikan sebuah presentasi tentang penelitian masing-masing di muka umum. Kemudian, baru diadakan wawancara dengan panitia seleksi tersebut. 

Kali ini, meski tetap merasa pesimis, ada semacam perasaan harap-harap cemas bahwa mungkin juga saya akan mendapatkan pekerjaan ini. Bahwa mereka mau membiayai saya datang ke Australia untuk kedua kalinya, bukankah ini berarti bahwa saya mungkin dianggap lebih baik ketimbang dua calon lainnya? Karena kalau nilainya sama, ambil saja yang dari Australia, ‘kan lebih murah? (Dua calon lain adalah akademisi Australia). Tapi, karena dalam hidup ini saya sering dikecewakan, maka saya masih tidak berani berharap. 

Dengan sikap “kalau dapat syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa”, saya mempresentasikan rencana penelitian saya tentang munculnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia. 

Wawancara yang diselenggarakan di ruang yang formal, di hadapan sekitar 20 orang guru besar dan ahli-ahli Indonesia, sekaligus Chancellor dari universitas ini, membuat saya sedikit merinding. Tapi saya kembali tenang setelah mengatakan kepada diri saya bahwa anggap saja ini sebuah pengalaman yang menarik. Tidak dapat, juga tidak apa-apa. Maka, pertanyaan-pertanyaan dapat saya jawab dengan cukup lancar, rasanya. 

Salah satu pertanyaan “politis” yang diajukan adalah apakah saya akan terus melakukan kritik terhadap pemerintah Indonesia, kalau saya bekerja di Universitas Melbourne. Saya jawab: “Saya melakukan kritik karena saya mau menyumbangkan pikiran saya bagi perkembangan bangsa saya. Kritik ini saya lakukan baik ketika saya ada di Indonesia, maupun di luar negeri. Juga harus diingat, kritik saya sedapat mungkin saya lengkapi dengan argumen-argumen ilmiah, bukan hanya sekadar melontarkan kritik. Karena itu, kritik yang saya lontarkan, saya anggap sebagai bagian dari fungsi saya sebagai seorang akademikus dan cendekiawan. Ya, dari sini pun, saya tetap akan melontarkan kritik-kritik saya terhadap apa yang saya anggap tidak benar dan harus diperbaiki.” 

Malam itu, ketika saya kembali ke hotel sehabis makan malam dengan seorang teman lama, penjaga hotel memberikan kunci kamar bersama secarik kertas di mana tertulis sebuah pesan telepon. Di kamar, saya buka kertas itu dan saya baca pesan telepon dari Prof Tony Stephen, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne. Bunyinya: “Selamat Anda sekarang seorang guru besar!” 

Saya cuma terperangah! Hampir tidak percaya!

Arief Budiman, guru besar di Universitas Melbourne, Australia 


Sumber: Kompas, 15 Desember 1997


,

Surat dari Melbourne (2-Habis) MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN AKADEMIK

(Kompas, 16 Desember 1997)


Oleh: Arief Budiman


Berbagai perasaan dan pikiran bercampur-aduk menjadi satu setelah membaca pesan Prof Stephens, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne, yang menyebutkan bahwa saya kini menjadi guru besar. 

Selama ini saya mempersiapkan diri untuk menerima kegagalan. Jadi yang ada dalam bayangan saya adalah akan kembali ke Indonesia setelah mendapatkan berita bahwa orang lain yang terpilih. Dan saya kemudian bekerja lagi menulis di koran-koran. Saya akan kembali ke rumah saya yang ekologis di Salatiga, pergi ke sana-kemari lagi untuk berceramah, menghadiri rapat RT desa sebulan sekali, memberi makan angsa piaraan yang masih terus berusaha menggigit tangan saya, dan semua hal rutin dari hidup saya yang saya cintai. Inilah yang ada dalam benak saya ketika kembali ke hotel tersebut. 

Tapi, sekarang lain. Setelah ada pesan dari Prof Stephens itu, berarti saya harus pindah ke Melbourne, karena sebagai guru besar, pekerjaan saya bukan kontrak, tapi tetap. Ini jelas merupakan sebuah perubahan drastis. Siapa yang akan menjaga rumah saya? Bagaimana koleksi buku-buku saya yang jumlahnya sudah mencapai ribuan? Bagaimana ini, dan bagaimana itu? Semua membuat saya gelisah, sehingga malam itu tidur saya tidak nyenyak. 

Tapi lambat laun semuanya menjadi tenang kembali. Saya mulai meyakinkan diri bahwa memang begitulah yang terjadi: saya akan jadi guru besar di Universitas Melbourne. Dan saya pun mulai mempersiapkan diri untuk berangkat, meskipun dengan perasaan yang masih tidak keruan. 

Persoalan sebelum berangkat

Semboyan Universitas Melbourne adalah “Postera Crescam Laude”. Artinya, “Saya akan bekerja untuk generasi mendatang". Semboyan sederhana ini memang mengandung arti mendalam.

Universitas ini (paling sedikit dalam teori), tidak mau hanya sekadar bersikap pragmatis dalam menghadapi masa sekarang. Masa mendatang menjadi perhitungan. Misalnya, dalam menggunakan sumber-sumber alam, kelestarian alam akan sangat diperhitungkan, supaya apa yang diambil sekarang tidak merugikan masa depan. Kemudian, dalam menghadapi tekanan politik, universitas ini tidak akan tunduk kepada regim yang sedang berkuasa. Kepentingan masa depan masyarakat secara keseluruhan juga diperhatikan. 

Prinsip ini teruji ketika saya mengalami sebuah pesoalan dalam proses keberangkatan ke Melbourne.

Suatu ketika di bulan April 1997, Menteri Pendidikan Negara Bagian Victoria (Melbourne adalah ibu kotanya), Phil Honeywood, mengunjungi Indonesia. Di Jakarta ia dicegat wartawan dan salah satu yang ditanyakan adalah penunjukan saya sebagai guru besar di Universitas Melbourne. 

Pertama-tama, dia ditanya apakah benar bahwa universitas di Australia sekarang sudah menjadi pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Tentu saja sang menteri menjawab “tidak”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kasus saya yang baru ditunjuk sebagai guru besar di Universitas Melbourne. Jawab sang menteri: “Kalau Universitas Melbourne memutuskan untuk memakai dananya sendiri untuk program ini, saya tidak bisa mencegahnya.” Tapi, kalau dana pemerintah yang dipakai, hal ini akan diteliti, katanya lebih lanjut. (The Age, 17/4/97)

Dari Universitas Melbourne segera muncul bantahan dari Kepala Sekolah Bahasa Prof. Tony Stephens, yang menyatakan penunjukan saya sebagai guru besar sudah melalu prosedur resmi. 

Tapi, jawaban yang keras diberikan oleh Rektor (Vice Chancellor) dari universitas ini. Dalam pernyataannya yang dimuat di harian The Australian (18/4/97), dia menyatakan bahwa tidak benar Universitas Melbourne menyediakan pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Bahwa sang menteri ingin meninjau kembali penunjukan saya sebagai guru besar kalau uang negara dipakai, ini dinilai sebagai usaha mencampuri kebebasan akademik. Pernyataan seperti ini, hanya dilakukan oleh “para diktatur Afrika dan anggota-anggota negara totaliter, baik yang fasis maupun yang komunis.” 

Akhirnya rektor menyatakan dia percaya bahwa sang menteri sudah salah dikutip oleh wartawan yang mewawancarainya. 

Polemik ini dilanjutkan dengan datangnya surat-surat pembaca yang dimuat di harian di sana, yang pada umumnya melakukan kritik kepada menteri tersebut. Mereka menambahkan bahwa saya merupakan orang yang memadai untuk jabatan ini. 

Maka, ketika saya datang ke Universitas Melbourne untuk mulai bekerja pada permulaan bulan Juni yang lalu, banyak orang yang sudah mengenal saya. Tanpa sengaja, Menteri Phil Honeywell telah melakukan semacam promosi gratis bagi kedatangan saya. 

Itulah kehidupan. Apa yang tadinya tampak merupakan hal yang bisa memperburuk, ternyata akhirnya berubah menjadi nasib baik buat saya. 

Kebebasan akademik dijunjung tinggi

Pada titik ini saya jadi teringat kembali kepada semboyan universitas ini, yakni “saya akan bekerja untuk generasi mendatang.” Dengan menolak campur-tangan pemerintah, untuk kegiatan akademis, meskipun universitas ini dibiayai negara, rektor menegakkan suatu prinsip bahwa kebenaran ilmu tidak bisa ditundukkan oleh kekuasaan. Karena kalau hal ini terjadi, masa depan generasi ini akan terancam. 

Prinsip kebebasan akademik yang dijalankan oleh rektor sebenarnya juga sudah dilaksanakan dalam proses penunjukan saya. Seperti diuraikan pada seri sebelumnya, salah satu pertanyaan yang diajukan dalam wawancara adalah apakah Universitas Melbourne tidak akan mengalami kesulitan dengan Pemerintah Indonesia kalau memperkerjakan saya. Menurut informasi, faktor ini menjadi pembicaraan di kalangan panitia seleksi. Tapi keputusan yang diambil, faktor ini bukan merupakan bahan pertimbangan sama sekali.

“Kalau untuk mempekerjakan ahli tentang Burma, kita harus minta semacam ‘persetujuan’ dari pemerintah militer Burma, apa jadinya bagi masa depan universitas ini,” kata salah seorang guru besar anggota panitia seleksi.

Begitulah, setelah melalui banyak liku-liku, saya akhirnya berhasil bekerja di Universitas Melbourne.


Sumber: Kompas, 16 Desember 1997


TERBARU

MAKALAH