Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus
Kematian menempati posisi penting dan menarik dalam filsafat Hegel dan Heidegger. Hegel menekankan potensi kematian pada segala sesuatu. Heidegger menekankan potensi kematian dalam eksistensi manusia.
Menurut Heidegger, segala yang kita lakukan dalam hidup kita mengandaikan satu hal: kematian. Kematian menentukan keseluruhan hidup kita. Apa yang terjadi kalau kita tidak mati mati? Kita berada dalam penundaan abadi untuk melakukan segala sesuatu, untuk bekerja, sekolah, menikah dan punya anak. Toh semua itu dapat dilakukan dalam durasi hidup kita yang tanpa akhir.
Karena itu, makna kehidupan kita bersumber dari kematian. Justru karena kita suatu saat akan mati, maka hidup kita, dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, bermakna. Kalau kita tidak mati, atau kalau kita hidup selamanya, maka hidup tidak bermakna. Itu sama dengan sebutir pasir tidak bermakna di gurun pasir. Untunglah kita dapat mati sehingga hidup kita bermakna. Hiduplah kematian!
Selama belum mati, manusia adalah kemungkinan-kemungkinan (Sein-können). Manusia sebagai kemungkinan berakhir dalam kematian. Kematian adalah ketidakmungkinan dari kemungkinan. Manusia ada menuju kematian (Sein zum Tode), kata Heidegger. Kematian hadir bersamaan dengan kehidupan. Karena itu, begitu seseorang lahir, ia telah cukup tua untuk mati.
Hegel beda. Menurutnya, kematian itu universal, terdapat pada segala sesuatu, bukan hanya pada manusia. Bahkan Tuhan sendiri mati, kata Hegel. Kematian terdapat pada setiap momen realisasi diri Tuhan. Dunia ini adalah tempat penyaliban atau Golgota (die Schädelstätte) Tuhan.
Tapi kematian tidak identik dengan ketiadaan atau kesiaan-siaan. Hegel menyebut kematian sebagai ”Tuan absolut” (der absolute Herr) karena dialah yang mengorientasikan keseluruhan hidup kita di dunia ini. Dalam "Dialektika Tuan dan Budak", Hegel memperlihatkan betapa positifnya kematian itu dalam kehidupan.
Kematian tidak sama dengan ketiadaan. Di sini, Hegel memberi basis filosofis untuk kehidupan setelah mati. Dalam kematian, katanya, yang lenyap hanyalah apa yang alami (natural) dalam kehidupan, misalnya tubuh fisik, tulang belulang dan organ-organ tubuh yang berhenti berfungsi.
Sementara, elemen esensial dari kehidupan, yakni roh itu sendiri, akan tetap tinggal dan kembali menyatu kepada pemiliknya, yakni yang universal. Alam tidak memiliki otoritas terhadap yang tidak-alami yang terdapat dalam diri manusia.
Ritus penguburan mayat, pembakaran atau pelarungan abu jenasah ke laut, dan lain-lain, semua itu dapat dilihat sebagai proses pengembalian individu yang meninggal itu kepada yang universal.
Dua teori filosofis tentang kematian: Sein zum Tode (Ada menuju kematian) menurut Heidegger, Sein in Tode (Ada dalam Kematian) menurut Hegel.
==========
SEMINAR NASIONAL FILSAFAT
"DIALEKTIKA KEMATIAN DAN KEHIDUPAN MENURUT HEGEL DAN HEIDEGGER"
Bersama: Dr. Fitzerald K. Sitorus (Dosen Filsafat di Univ Pelita Harapan, Karawaci)
Selasa, 25 November 2025
Pk. 19.00 WIB
Via Zoom Meeting
Terbuka bagi yang berminat |Pendaftaran via WA (Minci): 0881-9935-614
Partisipasi kontributif: 50k
Pendaftaran ditutup 24 November jam 17.00 WIB
Sumber:
https://www.facebook.com/share/p/1GjY9UpWRG/


