alt/text gambar

Selasa, 02 Desember 2025

Gelar Akademis bukan Bukti Kecerdasan?


Dalam masyarakat modern, gelar akademik sering diperlakukan sebagai bukti mutlak kecerdasan. Padahal, pendidikan formal hanyalah salah satu jalur menuju pengetahuan, bukan jaminan kualitas berpikir. Banyak orang yang berhasil menempuh pendidikan tinggi tetapi gagal mengembangkan kerendahan hati intelektual, kemampuan refleksi, dan kecakapan membaca realitas kehidupan. Ketika seseorang terlalu mengandalkan gelar sebagai identitas, ia mudah terjebak dalam ilusi bahwa dirinya sudah “selesai belajar”, sehingga sikap tertutup dan kesombongan intelektual tumbuh tanpa disadari. Di titik inilah, pendidikan berubah menjadi topeng, bukan kemampuan sejati.

Kecerdasan yang sebenarnya bukan hanya soal hafalan teori atau prestasi akademik, melainkan kemampuan mengamati hidup, mengolah informasi, memaknai pengalaman, dan mengambil tindakan bijak. Banyak orang yang tidak memiliki gelar tinggi tetapi berpikir jauh lebih jernih, lebih logis, dan lebih dewasa dibanding mereka yang duduk di ruang-ruang akademik. Kecerdasan menuntut fleksibilitas pikiran, kemampuan melihat dari sudut pandang berbeda, serta keberanian mengakui ketidaktahuan sendiri. Tanpa kualitas itu, pendidikan formal hanya membuat seseorang kaya akan informasi tetapi miskin kebijaksanaan.

Di dunia nyata, gelar tidak menyelesaikan masalah jika pemiliknya tidak mampu membaca manusia, memahami kondisi sosial, atau mengendalikan ego. Kecerdasan sejati justru terlihat pada sikap sehari-hari: cara seseorang memperlakukan orang lain, bagaimana ia mengambil keputusan dalam tekanan, dan bagaimana ia menggunakan pengetahuannya untuk memberi manfaat. Karena pada akhirnya, nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang tertulis di ijazahnya, tetapi oleh bagaimana ia berpikir, bertindak, dan tumbuh sebagai manusia.


Senin, 01 Desember 2025

PETER HANDKE DAN MAGSAYSAY UNTUK PRAMOEDYA

Jawa Pos, 1 Desember 2019


Oleh: Anindita S. Thayf


Peter Handke, sastrawan asal Austria, diganjar penghargaan Nobel Sastra 2019 oleh Akademi Swedia. Belum sampai sepekan setelah kabar itu tersiar, polemik bermunculan. Selebriti sastra dunia Salman Rushdie dan filsuf Slavoj Zizek mengajukan keberatan atas penganugerahan untuk Handke. Selain itu, muncul petisi online yang menggugat keputusan Akademi Swedia tersebut. Alasan semuanya sama: Handke dianggap pendukung pemimpin Serbia, Slobodan Milosevic—orang yang dianggap sebagai penjahat Perang Yugoslavia pada 1990.

Polemik Nobel Sastra untuk Handke ini mengingatkan pada hiruk pikuk serupa yang pecah ketika Pramoedya Ananta Toer memperoleh Hadiah Magsaysay pada 1995. Para sastrawan yang dulu tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) langsung meneriakkan penolakan. Mereka menggugat keputusan Yayasan Hadiah Magsaysay kala itu. Mochtar Lubis yang pernah menerima penghargaan tersebut juga bereaksi. Dia mengembalikan piagam Magsaysay karena permintaannya agar penghargaan kepada Pramoedya dibatalkan tidak dipenuhi.

Kita bisa menyimak kembali alasan penolakan kelompok Manikebu kala itu. Dalam pernyataannya, kedua puluh enam seniman yang dipelopori Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail ini berargumen, antara lain: "Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia [Pramoedya] memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia." Di Filipina, tempat Yayasan Hadiah Magsaysay berada, sastrawan E. Sionil Jose turut membuat pernyataan yang tidak kalah garang. Dia menyatakan bahwa memberikan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya sama saja dengan memberikan penghargaan kepada diktator Ferdinand Marcos (Polemik Hadiah Magsaysay, 1995).

Bila disimak baik-baik, irama tabuhan gendang penolakan itu, baik terhadap Handke maupun Pramoedya, memainkan tuduhan senada, yaitu mempermasalahkan masa lalu si pengarang. Bagi pihak penggugat, masa lalu seorang pengarang adalah tolok ukur yang sangat penting dalam menentukan apakah dia layak menerima penghargaan semacam Nobel Sastra atau Magsaysay. Para penggugat ini menghadirkan diri mereka layaknya "Polisi Moral" yang merasa berhak mengukur moralitas dan pilihan politik seorang pengarang di masa lalu. Bagi mereka, moralitas pengarang menentukan moralitas karyanya; bila moralnya baik maka karyanya mesti baik pula.

Bilapun kita mencoba mengikuti argumentasi yang ada, sebagaimana yang disampaikan Salman Rushdie, umpamanya, hal itu bisa saja berubah menjadi senjata makan tuan. Yaitu, ketika suatu hari nanti Rushdie terpilih menerima Nobel Sastra. Sebagian besar umat muslim, terutama di Iran, barangkali akan langsung melayangkan gugatan berjamaah kepada Akademi Swedia. Bagi mereka, Rushdie pengarang Islamofobia karena karyanya, Ayat- Ayat Setan, dianggap menghina Nabi Muhammad. Di mata mereka, Salman Rushdie tidak layak menerima Nobel Sastra.

Seorang pengarang tentu memiliki alasan tersendiri perihal pilihan moral dan keberpihakan politiknya. Ketika Gunter Grass bergabung dengan Nazi, Pramoedya menjadi anggota Lekra yang berafiliasi dengan PKI, dan Handke mendukung temannya, Slobodan Milosevic, semua itu adalah pilihan pribadi. Namun, hanyalah suatu penilaian cacat yang akan dihasilkan jika benar-salahnya pilihan tersebut dinilai oleh pihak lain yang jelas berada pada posisi berseberangan. Dan, adalah gegabah jika pilihan politik seorang pengarang dihubung hubungkan dengan baik-buruknya karya si pengarang dan pantas-tidak pantasnya dia mendapat penghargaan atas karyanya.

Sastra, ya Sastra

Hal penting yang seolah terlupakan dari argumen para penggugat Pramoedya dan Handke adalah bahwa Hadiah Magsaysay dan Nobel Sastra merupakan penghargaan untuk karya sastra. Artinya, yang dinilai adalah karya sastra, bukan pengarangnya (moralitas, pilihan politiknya). Yang dilihat adalah teks sastra, bukan biografi individu pengarangnya. Maka, sungguh tepatlah pernyataan Gus Dur ketika dimintai pendapat terkait polemik Hadiah Magsaysay yang diberikan kepada Pramoedya, "Kalau saya sih menilai sastra, ya sastra (Polemik Hadiah Magsaysay, 1995)."

Kejelasan posisi Nobel Sastra dan Hadiah Magsaysay sebagai bentuk penghargaan terhadap karya sastra bisa dilihat dari argumentasi pihak penyelenggara. Akademi Swedia berpendapat Handke berhak menerima Nobel Sastra karena "karya Peter Handke sukses memengaruhi ilmu linguistik dan mengeksploitasi berbagai pengalaman manusia." Adapun alasan Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan dalam bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kepada Pramoedya adalah karena "telah menghasilkan karya-karya unggul mengenai kebangkitan sejarah dan pengalaman modern masyarakat Indonesia."

Terlepas dari apakah suatu penghargaan bisa dibatalkan atau tidak, perdebatan yang terjadi mestinya berpusar pada karya/teks sastra. Misalnya, kita bisa mempertanyakan dan mengkritisi ukuran apa yang dipakai pihak penyelenggara sehingga sebuah karya layak mendapat penghargaan. Dengan demikian, polemik yang terlahir akan lebih cerdas, bukan sesuatu yang banal.

Pemberhalaan terhadap pengarang memang acap kali terjadi. Gampang didapati pembaca lebih mengidolakan seorang pengarang dibandingkan karyanya. Dalam kosakata kita, sebagaimana terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastra diartikan sebagai "bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); dan orang yang menghasilkan karya sastra disebut pujangga. Sebagai orang yang menghasilkan "bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, seorang pujangga dianggap sebagai orang yang mempunyai kedudukan tinggi, baik dari segi moralitas maupun sebagai "ahli pikir" atau "ahli sastra" Seorang pujangga serta-merta pula dipandang sebagai bujangga, yaitu "pendeta, petapa; orang cerdik pandai.” Pandangan semacam inilah yang membuat pujangga/bujangga/sastrawan diberhalakan dan tidak disapih dari karyanya.

Seorang pengarang bisa saja menulis sembari menenggak abshinte dan mengisap ganja di dalam salah satu kamar rumah bordil, tapi sukses menghasilkan karya yang lebih bagus daripada seorang pengarang saleh yang minim kemampuan pertukangan menulis. Seorang pengarang yang mendukung temannya, yang penjahat perang, bisa saja menghasilkan karya humanis bernilai tinggi ketimbang pengarang yang sepanjang hidupnya menjadi jurnalis atau aktivis atau SJW, namun kurang kreatif dan imajinatif. Sekali lagi Nobel Sastra diperuntukkan sastrawan yang karyanya dianggap terbaik oleh Akademi Swedia, bukan untuk memilih sastrawan malaikat terbaik sedunia.

Anindita S. Thayf, novelis dan esais 


Sumber: Jawa Pos, 1 Desember 2019

Minggu, 30 November 2025

Lincoln: Sang Otodidak

Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16

Pendidikan Lincoln

Lebih dari 200 tahun setelah kelahirannya, Lincoln terus berdiri sebagai model pendidikan mandiri.

Ya, betul bahwa Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16) tidak menempuh pendidikan tinggi atau kuliah formal. 

Pendidikan formalnya sangat minim, totalnya mungkin kurang dari satu tahun sekolah jika digabungkan, yang ia tempuh secara terputus-putus dari guru-guru keliling saat masih kecil di daerah perbatasan Kentucky dan Indiana. 

Meskipun demikian, Lincoln dikenal sebagai sosok yang belajar secara otodidak (mandiri) seumur hidupnya dengan membaca buku-buku yang dipinjam dari tetangga dan kerabatnya. Ia belajar hukum sendiri dan menjadi pengacara tanpa pernah masuk sekolah hukum. 

Dr. Dale Carnegie, dalam bukunya Teknik dan Seni Berpidato, (hlm. 300), menuliskan:

"Akan tetapi Lincoln tidak pernah membuang. waktunya dengan begitu saja. Detik-detik kehidupannya dipergunakan untuk bergaul. Ia bergaul dengan orang-orang rohaniah, bahkan kepada yang lebih rendah sederajat dari dia. Perbuatan yang sangat bijaksana lagi adalah, bahwa dia bergaul, berkawan dengan orang-orang terbesar di segala zaman, yang gagasan-gagasan dan kata-katanya tersimpan dalam buku-buku.

Dari buku-buku mereka itulah Lincoln memperoleh kata-kata, membaca dan mengutip kalimat-kalimat yang bagus dan dihafalkan di luar kepala. Dari buku-buku itu pula Lincoln membuat ikhtisar-ikhtisar dan sering dibuat bentuk pidato yang sangat baik. Erasmus, Prof. Emerton dari Rotterdam dalam bukunya menulis: 'Sekolahnya tidak lama, akan tetapi ia memperkembangkan dirinya dengan cara pendidikan satu-satunya, yaitu dengan terus-menerus belajar tiada bosan-bosannya, dan mengamalkan dalam praktek apa yang dibacanya. Cara demikian ini adalah terbaik dan selalu berhasil di mana saja.'"

***

Dalam 215 tahun sejak kelahirannya, Abraham Lincoln dikenang tidak hanya sebagai presiden AS yang memimpin negara melewati Perang Saudara, tetapi juga sebagai contoh warga negara yang belajar mandiri di awal abad ke-19.

Abraham Lincoln, 1863.Abraham Lincoln, 1863."Lincoln tidak memiliki banyak pendidikan formal, itulah sebabnya kami menganggap Lincoln sebagai orang yang belajar secara otodidak dalam arti sebenarnya," kata profesor sejarah Monmouth, Valerie Deisinger . "Dia belajar secara otodidak di masa kecilnya, begitu pula dengan profesionalismenya."

Pendidikan mandiri Lincoln dimulai saat ia masih kecil di Kentucky dan berlanjut saat keluarganya pindah ke Indiana pada tahun 1816.

“Secara kolektif, ia mungkin hanya menempuh pendidikan formal selama satu tahun, tetapi kemudian ia mencari informasi sendiri melalui membaca dan meminjam buku dari orang-orang di daerahnya,” kata Deisinger.

Tak lama setelah Lincoln, yang lahir pada 12 Februari 1809, pindah ke Illinois pada tahun 1830, ia memutuskan untuk menekuni profesi hukum, tempat pendidikan otodidaknya berlanjut.

"Pada periode ini, belum banyak institusi pendidikan tinggi. Orang-orang di Illinois, serta di seluruh wilayah Barat Laut Lama yang baru saja dihuni, harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk menempuh pendidikan tinggi," kata Deisinger, yang juga memiliki gelar sarjana hukum dan gelar doktor sejarah dengan penekanan pada sejarah hukum. "Jadi, pada tahun 1830-an, merupakan hal yang umum bagi seseorang yang ingin menjadi pengacara untuk belajar secara otodidak."

Gerakan lyceum

Selain mempelajari hukum secara pribadi, Lincoln memanfaatkan apa yang dikenal sebagai gerakan lyceum, yang merupakan semacam TED Talks pada masanya di era pra-Perang Saudara di Timur Laut dan Midwest.

"Gerakan lyceum khususnya menarik bagi orang-orang yang bercita-cita bergabung dengan profesi dan menjadi lebih terdidik," kata Deisinger. "Tanpa adanya universitas modern, orang-orang akan berkumpul – untuk kuliah, diskusi ilmiah, dan percakapan filosofis."

Meskipun berpartisipasi dalam gerakan lyceum tidak menjadikan seseorang memenuhi syarat untuk menjadi anggota asosiasi pengacara, Deisinger mengatakan bahwa "banyak pemuda yang bercita-cita untuk bergabung dengan asosiasi pengacara akan berpartisipasi dalam lyceum juga sebagai cara untuk memposisikan diri mereka sebagai orang-orang terkemuka di komunitas mereka."

VALERIE DEISINGER: Lincoln tidak memperoleh banyak pendidikan formal, itulah sebabnya kami menganggap Lincoln sebagai orang yang belajar secara otodidak dalam dunia nyata...VALERIE DEISINGER: “Lincoln tidak memiliki banyak pendidikan formal, itulah sebabnya kita menganggap Lincoln sebagai orang yang belajar secara otodidak dalam arti sebenarnya. Ia belajar secara otodidak sejak kecil, begitu pula saat ia menjalani kehidupan profesionalnya.”Lincoln mencapai hal itu melalui pidato yang ia sampaikan pada usia 28 tahun di Young Men's Lyceum of Springfield, Januari 1838. Disampaikan kurang dari dua tahun setelah ia diterima menjadi pengacara di Illinois, Lincoln menyampaikan pidato berjudul "The Perpetuation of Our Political Institutions" (Keabadian Lembaga Politik Kita), yang memberikan gambaran awal tentang pemikiran politiknya.

"Dalam pidatonya, beliau membahas pentingnya kepatuhan terhadap supremasi hukum," kata Deisinger. "Lincoln mengatakan bahwa meskipun orang mungkin tidak menyukai formalitas hukum yang ketat, penting bagi orang untuk menerima otoritas hukum dan tidak menyerah pada kehebohan yang terkadang terjadi ketika hukum tidak berpihak pada opini publik. Pidatonya sangat menarik karena memberikan wawasan tentang pandangannya tentang pentingnya supremasi hukum dalam sebuah republik yang berfungsi. Anda dapat melihat bahwa bahkan di tahap awal perkembangan profesionalnya, hal ini merupakan prinsip dasar baginya." (https://www.monmouthcollege.edu/live/news/4560-the-education-of-lincoln#:~:text=More%20than%20200%20years%20after,where%20his%20self%2Deducation%20continued.) 

***


Referensi:

1. Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt. (hlm. 300) 

2. https://www.monmouthcollege.edu/live/news/4560-the-education-of-lincoln#:~:text=More%20than%20200%20years%20after,where%20his%20self%2Deducation%20continued.


Sabtu, 29 November 2025

TEROBOSAN BUDAYA SRI SULTAN

Ahmad Syafii Maarif, kolom Tempo

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

(TEMPO, Nomor 39, Tahun XVIII, 26 November 1988)


SUDAH lebih dari empat puluh hari Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggalkan kita dengan nuansa-nuansa kenangan yang tak habis-habisnya. Sebagai pemimpin bangsa, beliau sering dibandingkan dengan Hatta, salah seorang sahabat karibnya. Keduanya hampir-hampir tanpa cacat. Keduanya teguh dalam pendirian, lurus dalam berpikir dan bertindak. Keduanya adalah nurani bangsa yang mempesona. Mempesona lantaran integritas kepribadiannya yang utuh dan kukuh. Beliau berdua adalah pohon pelindung yang rindang dan menyejukkan.


Sri Sultan adalah puncak kearifan Jawa Islam. Pandangannya yang jernih dan menembus jauh ke depan telah menempatkan Sri Sultan sebagai tokoh bangsa yang berakar kuat. Sekalipun beliau raja Jawa, anak seberang mencintainya sebagai salah seorang bapak bangsa. Dan cinta mereka itu sangat tulus dan bening.


Sri Sultan tampaknya menyadari kenyataan ini dengan pengertian yang dalam. Pergaulan beliau yang luas dan akrab, khususnya sesudah proklamasi kemerdekaan, dengan tokoh-tokoh bangsa yang berasal dari seberang (luar Jawa) telah semakin meyakinkan kita tentang betapa Raja demokrat ini bukan hanya milik wong Yogya, tapi juga milik tiyang sabrang.


Kenyataan ini menjelaskan kepada kita betapa strategisnya posisi kepemimpinan yang dimiliki Sri Sultan. Kalaulah seorang pemimpin tipe ini dapat muncul lagi pada masa-masa mendatang dan diberi posisi puncak, rasanya bangsa kita akan menunjukkan kepatuhan yang tulus dan rasional, tidak peduli dari suku mana ia berasal.


Sri Sultan, dengan latar belakang pendidikannya yang cukup tinggi, mungkin merupakan salah satu modal baginya untuk tampil sebagai pemimpin yang berwawasan luas, arif, dan sabar. Tidak setiap orang yang berpendidikan tinggi punya wawasan dan kearifan seperti Sri Sultan. Dalam sejarah kontemporer Indonesia, tidak sedikit orang yang berpendidikan tinggi, dan sebagian pernah dimunculkan sebagai pemimpin bangsa, tapi kemudian pamornya redup, bahkan kemudian tidak jarang menjadi bulan-bulanan. 


Di samping itu, ada pula tipe pemimpin yang cukup berakar di hati bangsa, tapi iklim politik mungkin tidak kondusif baginya untuk   tampil. Tipe pemimpin ini akan tetap dihormati orang, sekalipun mungkin tidak secara terang-terangan, karena ada risiko politiknya yang tidak seronok.


Sri Sultan, dalam menghadapi masa-masa tertentu yang kritis dalam sejarah Indonesia modern, bisa saja termasuk tipe pemimpin yang terakhir ini, sekiranya beliau vokal dalam menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Tapi beliau memilih untuk diam. Kemampuan beliau untuk meredam rasa tidak setujunya, setidak- tidaknya di depan publik, terhadap suatu kebijaksanaan pemerintah memang luar biasa. Mungkin di sinilah terletak salah satu kekuatan beliau, sekalipun tentu tidak memuaskan banyak orang, khususnya mereka yang kurang sabar.


Segi-segi kehidupan bangsa yang mendapat perhatian Sri Sultan begitu banyak dan luas. Olahraga dan kepramukaan termasuk dunia yang telah lama digelutinya. Beliau bukan sekadar simbol di kedua lapangan itu. Beliau benar-benar terjun secara aktif ke dalamnya. 


Segi lain yang mendapat perhatian Sri Sultan ialah budaya dan kesenian. Belum banyak yang diungkapkan orang tentang ini. Beliau pencipta tari. Tapi ada satu hal yang menarik untuk direnungkan dalam hal tari ini, yaitu gagasan Sultan yang revolusioner. 


Koreografer Bagong Kussudiardjo, dalam diskusi mengenai buku Sri Sultan di Yogyakarta pekan lalu, mengungkapkan, Sri Sultan pernah mengusulkan agar tari Jawa yang lemah gemulai itu  dipadukan dengan unsur budaya sabrang dan Sunda. Dari sabrang, Sri Sultan menyebut pencak kembang Minang yang memikat itu untuk dimasukkan ke dalam tari Jawa. Sedangkan dari Bumi Siliwangi, beliau terkesan dengan kendang Sunda yang terkenal tangkas itu. Pendek kata, Sri Sultan ingin pembaruan dan penyegaran. Beliau tidak suka kepada yang mandek dan statis.


Menurut saya, terobosan budaya Sri Sultan adalah terobosan simbolik yang tidak hanya terbatas pada pentas tari dalam artinya yang murni. Terobosan itu juga menyeruak ke pentas tari yang lain, yaitu "tari" politik. Budaya Jawa yang lamban, tapi penuh kearifan, perlu dipadukan dengan budaya sabrang yang dinamis, tapi terkesan tergopoh-gopoh.


Bila asumsi ini benar, dapat kita katakan bahwa beliau adalah seorang budayawan antisipatif dalam rangka menyiapkan kebudayaan nasional yang segar dan anggun buat masa depan bangsa secara keseluruhan.


Akhirnya, perkawinan Sri Sultan dengan Ny. Norma, wanita Shwarna Bhumi yang lincah, yang tidak mempercayai adanya benda keramat di Keraton, juga merupakan terobosan budaya beliau dalam mengubah tradisi lama yang penuh seremoni dan tak jarang membosankan itu. Dampaknya akan dirasakan pada masa-masa mendatang. Keraton Yogya kini sedang dihadapkan kepada perubahan-perubahan yang mendasar.


Sumber: Sumber: TEMPO, Nomor 39, Tahun XVIII, 26 November 1988

Jumat, 28 November 2025

Dale Carnegie: Seputar Teknik dan Seni Berpidato

Buku karya Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt. 

Sampul belakang

Kutipan-kutipan penting seputar pidato di bawah ini saya ambil dari buku karya Dr. Dale Carnegie, berjudul Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tanpa tahun. 

Dale Carnegie adalah seorang penulis, dosen, dan public speaker Amerika yang dikenal sebagai pelopor di bidang pengembangan diri, berbicara di depan umum, dan keterampilan interpersonal. Bukunya yang terkenal adalah How to Win Friends and Influence People


Rahasia Pidato yang Sukses: CARA MENGUCAPKAN PIDATO 


Apa yang Anda ingin ucapkan di hadapan umum, hendaknya Anda ucapkan secara biasa saja seolah-olah Anda mengatakannya kepada salah seorang pendengar secara pribadi. 

Marilah kita ambil suatu contoh dari kebanyakan orang yang berpidato di depan umum. Pada suatu hari saya berlibur di Swiss, sambil berkunjung dan menginap di sebuah hotel, yang diusahakan oleh suatu perusahaan dari London. Setiap minggu diadakan ceramah oleh beberapa orang pembicara untuk menghibur para tamu. Salah seorang di antaranya adalah penulis roman wanita Inggris sangat terkenal. Judul pidatonya ialah: "Hari Depan Roma." 

la mulai dengan mengatakan, bahwa acara itu bukan ia sendiri yang memilikinya. Jika kita bahas pidatonya, maka ternyata ia sangat bersungguh-sungguh ingin bercerita kepada para pendengarnya.

la membuat beberapa catatan-catatan dengan tergesa-gesa. Maka ia berdiri di depan para hadirin, seolah-olah tanpa menghiraukan mereka. Ya, bahkan ia tidak mengarahkan pandangannya kepada mereka, melainkan ke atas, sambil kadang-kadang melihat catatan-catatannya, dan sekali-kali juga memandang ke lantai. la mengucapkan pidato seolah-olah ingin mengisi ruang yang kosong, sambil memandang ke satu arah yang jauh sekali. Suaranya pun sayup-sayup jauh pula. 

Sudah barang tentu, itu bukan cara pidato yang jitu. Pidatonya itu sebenarnya merupakan suatu percakapan sendiri (monolog) dan sama sekali tak dapat mempengaruhi pendengar, tanpa kehangatan sedikitpun.

Padahal, salah satu syarat berpidato yang bagus adalah: adanya sesuatu yang memancar dari dalam, ada kehangatan yang hidup. Para pendengar harus merasakan adanya amanat di dalamnya yang secara langsung keluar dari hati menuju ke dalam jiwa para pendengar. Pidato yang diucapkan semacam penulis wanita Inggris itu lebih baik diucapkan di gurun pasir Gobi. Ya, pidatonya lebih mirip dengan pidato di daerah demikian itu dari pada di depan sekelompok orang-orang hidup. 

Masalah cara mengucapkan pidato adalah sederhana dan musykil sekaligus. Dan merupakan soal yang sering tidak dipahami atau sering menjadikan salah paham.

***

RAHASIA CARA MENGUCAPKAN PIDATO YANG BAIK 

Dalam menyelenggarakan pidato, banyak sekali hal omong kosong ditulis. Terlalu banyak yang ditulis tentang ini sehingga masalah yang sesungguhnya sederhana, menjadi suatu soal yang sulit dan penuh rahasia dan kegaiban. 

Cara pidato zaman dulu terlalu banyak aksi, sehingga sering ditertawakan. Segala sesuatu harus sesuai dengan tuntutan zaman. 

Sekarang Ini kita bersikap lebih langsung, dari hati ke hati. Kita berbicara tanpa banyak ulah dan variasi. Kita bisa banyak belajar dari majalah-majalah modern. Kita harus lebih banyak menggunakan gaya telegram dari pada menggunakan gaya buku yang bertele-tele. Kita hidup dalam zaman jet, tak lagi di zaman gerobag atau pedati. 

Kembang api berisi kata-kata, yang dulu sangat digemari, tak bisa diterima lagi oleh para pendengar modern sekarang ini yang menginginkan pembicaraan langsung menuju kepada jiwa dan pikiran mereka, seperti percakapan biasa. 
Pendengar sekarang menginginkan suatu pidato yang tidak melebihi percakapan biasa. Hanya bedanya, dalam pidato harus diperlukan lebih banyak tenaga, supaya dapat didengar dengan baik dan jelas.
Jika Anda ingin secara wajar menghadapi empat puluh orang, hendaknya Anda mencurahkan lebih banyak energi ke dalamnya dari pada jika Anda berpidato di depan beberapa orang saja. 
Ketika Mark Twain berpidato di Nevana, di depan beberapa orang pekerja tambang, datang seorang tua bertanya kepadanya: ''Itukah nada wajar Anda kalau berbicara?'' Pada hal justru inilah yang diinginkan oleh pendengar-pendengar Anda. Mereka ingin mendengarkan bahasa dan cara berbicara Anda biasa dan wajar, meskipun agak dikeraskan sedikit. Berbicaralah kepada sekelompok orang-orang seperti Anda berbicara kepada Bung A, sebab sesungguhnya sekelompok orang-orang itu tak lain tak bukan adalah kumpulan Bung A tadi. Apakah cara Anda dalam menghadapi orang-orang itu satu persatu, tidak perlu berhasil dalam menghadapi mereka bersama?
Kalau tadi saya telah melukiskan pidato seorang penulis tertentu, sekarang ada contoh lain. Di ruangan khusus suatu hotel di Swiss saya mendengarkan pidato Sir Oliver Lodge dengan thema: ''Atom-atom dan Dunia". la telah memikirkan soal itu lebih dari setengah abad. la telah mengadakan percobaan-percobaan dan penyelidikan yang mendalam. la menceritakan sesuatu yang keluar dari lubuk hatinya, bahkan keluar dari seluruh wujud hakekatnya lahir bathin. Ia lupa bahwa ia mengucapkan suatu pidato, dan justru inilah yang membuat pidatonya betul-betul bagus. 
la sama sekali tidak menghiraukan apakah pidatonya sukses atau tidak. Yang paling penting bahwa orang-orang memahami apa yang ia bicarakan yaitu : Apakah Atom-atom itu, dan ia mau menceriterakan segala sesuatu tentang atom-atom itu kepada para pendengarnya, dan ia melakukannya dengan perasaan dan semangat yang sedemikian hidup, sehingga kami pun seolah-olah melihat atom-atom itu sebagaimana ia melihatnya, dan kami merasa bersama-sama dia apa dan bagaimanakah atom-atom itu. 

Sumber

Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt, h. 146-148

***

MENYIAPKAN PIDATO

Menyiapkan pidato itu apakah sama dengan menghimpun beberapa kalimat yang bagus-bagus, di mana sebelumnya telah Anda tulis dan kemudian secara luar kepala? Tidak, sama sekali tidak demikian.
Menyiapkan pidato adalah merupakan pengumpulan gagasan-gagasan serta pikiran-pikiran Anda sendiri. Ini adalah suatu ajakan-ajakan serta keyakinan-keyakinan dari Anda sendiri. Dan ini terjadi di semua saat asal Anda sedang dalam keadaan tidak tidur atapun sedang terbang dalam impian.
Seluruh jiwa raga Anda dipenuhi serta terisi dan diliputi akan perasaan-perasaan yang demikian. Kesemuanya itu masuk di dalam bawah sadar Anda, terkumpul ataupun berserakan di situ.
Yang diartikan persiapan: Berpikir, merenungkan, mengingat-ingat. Dan ini adalah berarti memilih serta mencari mutiara-mutiara yang bertebaran di mana ini tadinya telah hilang—terlupakan, dan kemudian Anda sendiri yang menggosoknya hingga mengkilap serta Anda susun sedemikian rupa, di mana pada akhirnya merupakan suatu mozaik yang bisa sesuai dengan selera Anda. 
Pada abad lalu ada seorang pendeta Amerika terkenal, yaitu Dwight L. Moody. Pendeta ini sangat terkenal dengan pidato-pidatonya yang bagus. Sewaktu orang menanyakan kepadanya dengan cara bagaimana ia bisa berpidato demikian bagus serta sangat menarik, maka jawaban yang diberikan adalah:
"Inilah rahasia saya. Seandainya saya menjatuhkan pilihan pada suatu pokok yang harus saya bicarakan, maka saya menulisnya di atas amplop. Dan amplop yang demikian itu selalu saya bawa kemana-mana. Seandainya saya sedang asyik membaca serta menemukan sesuatu di mana ini cocok dengan suatu soal yang akan saya pidatokan, maka saya tulis di atas sepotong kertas kemudian saya masukkan kedalam amplop yang tertentu. Buku catatan saya selalu saya bawa, dan kalau saya mendengar sesuatu, yang ada hubungannya dengan salah satu soal saya, maka hal yang demikian itu saya catat, dan kemudian halaman itu saya sobek serta saya masukkan dalam amplop yang khusus untuk itu. Beberapa amplop itu kerap sekali dalam waktu satu tahun ataupun lebih tidak saya buka-buka. Kalau saya akan membuat sebuah pidato yang baru, maka saya memeriksa apa saja yang telah saya kumpulkan mengenai masalah tersebut. Dan segala apa yang telah saya temukan di sana, kemudian saya gabungkan dengan studi (penelaahan) saya sendiri, sehingga ini akan merupakan sesuatu yang lebih ataupun cukup. Ada yang saya tambah di sini, akan tetapi juga ada yang saya kurangi. Ini selalu berubah-rubah, berserak-serak serta selalu segar dan tidak kering-kering”.

Sumber:
Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt, h. 37-38
**
Cara Mengucapkan Pidato
"Apa yang Anda ingin ucapkan di hadapan umum, hendaknya Anda ucapkan secara biasa saja seolah-olah Anda mengatakannya kepada salah seorang pendengar secara pribadi." --Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt, h. 146
**
"Salah satu syarat berpidato yang bagus adalah: adanya sesuatu yang memancar dari dalam, ada kehangatan yang hidup. Para pendengar harus merasakan adanya amanat di dalamnya yang secara langsung keluar dari hati menuju ke dalam jiwa para pendengar." --Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt, h. 147

***

Pidatolah seperti Bicara Biasa antar Individu: PIDATO DARI HENRY FORD

"Semua mobil-mobil Ford adalah sama, tiada bedanya.'' Kata Raja Mobil Ford, "Akan tetapi, tak ada dua orang yang sama. Setiap orang berbeda. Hendaknya kaum muda menyadari ini. Ia harus ingat, akan pribadinya, yang membikin dia berbeda dari siapapun. Hendaknya Anda banyak mengambil manfaat dari kepribadian itu."
Pergaulan masyarakat yang terlalu intens (mesra) sekarang ini, menyebabkan segala sesuatu cenderung menjadi seragam, sehingga sesuatunya menjadi dangkal. Kita semua mendapat pendidikan sama, berdiam di dalam rumah-rumah yang mirip satu sama lain, memakai baju yang sama, membeli barang-barang yang sama merknya, menelan makanan yang sama, dan bersama-sama menikmati rekreasi-rekreasi dan kita sendiri pun disiapkan untuk keperluan massa. 
Kita hanya mengikuti mode belaka, tidak saja dalam memilih kata-kata, olah raga dan permainan, bacaan, dan lain-lainnya. Oleh karena itulah kita harus betul-betul tahu, bahwa kita hendaknya jangan membunuh kepribadian (individualitet ) kita. 
Prinsip ini berlaku juga dalam hal berbicara di depan umum. Di dunia ini tak ada apa pun yang sama dengan Anda. Beratus-ratus juta manusia mempunyai dua mata, satu hidung dan satu Mulut. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang sama bakatnya, sama gagasannya, dan sama cara hidupnya. Hanya beberapa gelintir orang saja menyatakan diri dan mengucapkan suara dengan cara yang sama seperti Anda, apabila berbicara sewajarnya. 
Dengan kata lain, Anda mempunyai individualitet. Bagi Anda selaku pembicara, ini sangat penting. Di dunia ini tak ada seorang pun yang sama dengan Anda. Camkanlah ini baik-baik. Justru bersyukurlah karenanya, peliharalah kenyataan ini. Inilah tenaga, bunga api yang sesungguhnya yang mendorong kata-kata Anda. Inilah satu-satunya jalan bagi kecemerlangan Anda dalam berpidato. 
Cara berpidato Sir Oliver Lodge lain daripada yang lain. Cara berpidato adalah ciri individualitet orang yang berpidato, tak ubahnya dengan janggut dan rambut kepalanya. 
Jika Sir Oliver Lodge berusaha meniru cara Lloyd George, sudah tentu peniruan itu akan gagal. Mudah saja mengatakan kepada orang lain, bahwa ia harus bersikap wajar. Akan tetapi mudahkah menuruti nasehat ini? Tidak.
Marskal Foch berceritera tentang seni peperangan sebagai berikut: "Dasarnya sangat mudah, akan tetapi pelaksanaannyalah yang sangat sukar.'' Demikian pula halnya dengan berbicara dan berpidato. Anda harus berlatih sebelum pendengar-pendengar Anda menganggap Anda sudah berbicara dengan wajar. Aktor-aktris mengetahui hal ini. Ketika Anda masih kanak-kanak umur empat tahun, Anda mudah mengucapkan sajak. Akan tetapi setelah umur dua puluh tahun atau empat puluh tahun, Anda merasa canggung berdiri di atas podium di depan para pendengar. Lenyaplah kewajaran Anda yang Anda miliki tatkala berumur empat tahun. Ada kalanya Anda masih bisa seperti dulu, tetapi ini jarang sekali. Biasanya Anda akan merasa canggung dan kaku. Anda ingin bersembunyi seperti keong di dalam "rumahnya". Jika Anda mengajarkan teknik berbicara pada orang lain, tidak usah Anda menimbulkan sifat-sifat perangai-baru. Yang perlu ialah bagaimana cara mengatasi kecanggungan tersebut. Seorang pembicara harus membebaskan diri dari ikatan-ikatan yang menekan, bicaralah serta merta, seperti kalau kuping Anda baru dijewer orang. 
Beratus-ratus -kali saya menyuruh siswa-siswa menghentikan pidatonya, dan minta supaya mereka berbicara secara wajar seperti manusia biasa. 
Beratus-ratus kali saya lelah letih sesampainya di rumah karena tak henti-hentinya menganjurkan supaya mereka berbicara dengan cara wajar. 
Oleh karena itu, percayalah bahwa berbicara dengan wajar itu tidak mudah. Methode satu-satunya di duni:  di mana Anda bisa berdiri secara wajar di depan orang banyak dan menyusun pikiran-pikiran Anda sehingga menjelma menjadi kata-kata yang urut, hanya terjadi dengan latihan dan praktek.
Jika Anda berlatih sendiri, dan pada suatu saat mengetahui bahwa cara bicara Anda agak terpaksa dan kaku, berhentilah dahulu, dan berilah peringatan kepada diri sendiri: ''Ho. Salah, Bung! Bangunlah, dan jadilah manusia biasa!”
Jika Anda mengalami kekakuan dan sikap tidak wajar ketika Anda berbicara di depan umum, beristirahatlah satu sekon, sambil mencari obyek seseorang di barisan belakang dan tujukanlah pembicaraan Anda padanya. Lupakaniah bahwa masih ada orang lain dalam ruangan, dan bercakap-cakaplah dengan dia. 
Dalam angan-angan, ajukanlah pertanyaan kepadanya, jawablah pertanyaan itu. Khayalkanlah bahwa seolah-olah orang itu berdiri dan mengatakan sesuatu pertanyaan pada Anda, sehingga Anda terpaksa menjawabnya. Dengan demikian, Anda akan terlibat dalam suatu percakapan yang wajar, dan Anda akan menjadi sadar bahwa kata-kata Anda lebih langsung tertuju kepada jiwa pendengar-pendengarnya. 
Maka dari itu, bila setelah Anda berbicara secara tidak wajar, dan dirasakan sangat kaku, Anda harus mengkhayalkan seolah-olah ada orang yang bertanya pada Anda, dan Anda betul-betul menjawabnya. Misalnya di tengah-tengah sambil menunjuk ke belakang ruangan, Anda berkata: "Apakah saudara menginginkan bukti-bukti pernyataan saya itu? Saya cukup bukti-bukti yang akan saya kemukakan setelah ini,'' dan Anda berbicara terus sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan khayal itu. Ini dapat Anda lakukan untuk memberi kesegaran dalam pidato Anda. Pidato Anda akan lebih menyenangkan, tak lagi membosankan. Pertanyaan-pertanyaan khayal demikian akan membuat Anda lebih wajar dan lancar. Kesungguh-sungguhan dan semangat akan menolong Anda. Jika orang dihanyutkan oleh perasaan-perasaannya, kepribadiannya akan timbul. Tidak ada orang yang bisa menentangnya. Semua halangan akan lenyap dimusnahkan oleh nyala semangatnya. Gerak-gerik tangannya akan muncul sendiri dengan baik. Jadi kesimpulannya: suatu pidato akan berhasil bila Anda dapat bersikap wajar sesuai dengan kepribadian Anda. 
Suatu contoh lagi pengalaman Ds. Brown yang menceriterakan demikian: ''Saya tak akan pernah bisa melupakan uraian pidato seorang kawan, tentang khotbah yang ia saksikan di London, pada suatu kuliah-kuliah berpidato di depan Fakultas Theologi Yale University. Pendeta yang berkhotbah adalah G. Mac Donald. Ia mula-mula membacakan suatu syair dari Bab XI surat kepada kaum Ibrani, kemudian dalam khotbahnya, ia berkata: ''Anda telah mengetahui banyak perihal mukmin-mukmin ini. Saya tak akan menguraikan, apakah iman dari mereka. Banyak profesor-profesor theologi (ilmu agama) yang jauh lebih pandai daripada saya dalam menguraikan kepercayaan mereka. Tetapi saya di sini semata-mata ingin membantu Anda dalam usaha membangkitkan iman." Kemudian keluarlah penjelmaan, ucapan dari keyakinan (iman) Pendeta Mac Donald sendiri, mengenai kebenaran-kebenaran abadi, yang membuat pendengar-pendengarnya menjadi yakin, baik dalam hati maupun dalam jiwanya. 
Ini terjadi karena Ds. Mac Donald mencurahkan seluruh pribadinya ke dalam pidato yang ia ucapkan, dan kesan pidato ialah sangat mendalam, karena yang ia ucapkan bersumber kepada keyakinan sendiri.
Anda harus mengucapkan pidato Anda dengan segala keyakinan, semangat, dan roh yang ada dalam diri Anda. Itulah rahasia bicara dan pidato.
Akan tetapi, nasehat dan peringatan ini sering tidak dihiraukan. Dianggapnya terlalu kabur dan samar-samar. Pada umumnya, siswa-siswa yang berbicara di depan umum menginginkan aturan-aturan tetap, yang menjamin hasil-hasil yang memuaskan.
Mereka ingin tahu dengan saksama apa yang harus diucapkan, dilakukan, kalau bisa dengan menghafalkan peraturan-peratauran yang sederhana dan jelas. Mereka ingin dalam berbicara itu menerima semacam instruksi-instruksi, seperti dalam teknik memakai mobil. 
Saya tahu bahwa Anda memang suka menerima resep-resep yang demikian itu, dan saya pun bisa pula memberikan resep tersebut, akan tetapi Anda tidak akan mendapat menfaat sedikitpun darinya.
Percayalah, resep-resep demikian itu baik sekali untuk memahami sebuah pesawat, akan tetapi untuk membahas hal-hal mengenai pidato, adalah tidak berguna. Karena dengan demikian hilanglah segala kewajaran dan keserta-mertaan dalam pidato, yang justru menjadi roh dan jiwanya. Makin teliti mengikuti peraturan-peraturan yang pasti, makin kaku dan tidak wajarlah pidato tersebut. 
Saya di sini berbicara menuruti pengalaman sendiri. Ketika saya masih muda, saya telah memboroskan banyak waktu dan tenaga mencari rumus-rumus mengenai kerja pikiran dan jiwa. Saya tahu sekarang bahwa rumus-rumus itu tak dapat dilaksanakan. Rumus-rumus merupakan mata pelajaran mudah, sama dengan pembahasan sejarah. Mudah khususnya bagi guru yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan praktis tentang soal yang dibahasnya. Akan tetapi tak membawa siswa kepada tujuannya. Oleh karena itu Anda tidak akan menjumpai rumus-rumus dalam buku ini. Apa perlunya mengetahui banyak tentang hal-hal yang tidak bisa dipraktekkan? (h. 149-153).

***

"Jika anak kecil berbicara, atau jika Anda melakukan percakapan biasa, kecepatan berbicara berubah-ubah. Ini sangat menyenangkan. Ini sungguh wajar. Anda akan melakukan hal ini dengan sendirinya. Ini merupakan salah satu cara paling praktis dan barangkali paling baik di antara banyak cara untuk mengemukakan sesuatu, yang perlu mendapat perhatian khusus.
W.B. Stevens mengatakan dalam bukunya tentang Lincoln dan cara yang dipakainya untuk mengemukakan hal-hal yang dianggapnya penting. 
Mula-mula ia mengucapkan beberapa kata-kata dengan cepat sekali. Jika ia sampai pada kalimat atau perkataan yang ia anggap penting dan ingin ia tandaskan, maka hal ini ia ucapkan dengan jelas, perlahan-lahan dan keras, untuk kemudian berhenti sekonyong-konyong laksana disambar petir. Ia sering lebih memberi waktu kepada satu dua perkataan, yang ia ingin tonjolkan dari pada delapan atau sembilan perkataan yang kurang penting muncul kemudian. h. 156
**
Berhentilah sebentar sebelum dan sesudah Anda mengucapkan perkataan yang penting. Presiden Lincoln, salah seorang juru pidato paling ulung dalam sejarah Amerika Serikat, sering berhenti di tengah-tengah pidatonya. Apabila ia mengemukakan sesuatu gagasan baru, yang ia ingin resapkan kedalam hati para pendengarnya, ia membungkukkan badannya, memandang mata mereka, kemudian diam. Kesunyian mendadak itu sama efeknya dengan suara gemuruh yang mendadak dan menarik perhatian para pendengar. Maka, timbullah perhatian mereka dan mereka mendengarkan dengan saksama. 
Lincoln berhenti sebelum dan sesudah mengucapkan kalima yang penting. la membuat kalimatnya lebih bertenaga dengan diam sebentar, arti kata-katanya itu masuk ke dalam hati para pendengar. 
Sarjana Sir Olliver Logde juga sering berhenti di tengah-tengah pidatonya. la berhenti sebelum dan sesudah mengucapkan gagasan yang khas. Kadang-kadang ia berhenti tiga atau empat kali tanpa disadarinya. la meletakkannya sedemikian wajar, sehingga kita pun tak mengetahuinya kalau tidak kebetulan mempelajari sistem pidato Sir Olliver yang baik itu. 
Penulis Inggris terkenal, R. Kipling, mengatakan: ''Anda berbicara lebih keras dengan diam.'' 'Diam' di sini betul-betul 'emas', dan merupakan senjata ampuh dan sakti tak terabaikan. Namun, cara ini sering dilupakan oleh orang-orang yang baru mulai belajar berpidato."
Bacalah kutipan-kutipan di bawah ini, sambil bersuara sedemikian rupa, sehingga seolah-olah Anda mengisinya dengan tenaga, dan dengan demikian menjelaskan maksud Anda sebaik-baiknya. 
"Gurun pasir terbesar di Amerika tidak Anda dapati di Indaho, New Mexico, atau Arisona, tapi di bawah topi kebanyakan orang Amerika. Gurun Amerika itu adalah gurun Rohani." -- J.S. Knox
Juru pidato bisa mengikuti petunjuk-petunjuk ini, meskipun melakukan beratus-ratus kesalahan. la bercakap-cakap dengan pendengarnya, seperti bercakap-cakap dengan tetangganya. Mungkin bicaranya tak begitu halus, dan melanggar aturan Gramatika. Barang kali malah ia mengatakan hal-hal yang tak enak didengar. Maka hendaknya berbicara sehari-hari diperbaiki dan diperhalus dulu, dan dengan bahasa yang diperbaiki itu baru tampil di depan umum. h. 157-158

***

7 Tips Penting Seputar Pidato

1. Di samping memilih kata-kata, cara-cara berpidato itu sangat penting, begitu juga isi pidato harus diperhatikan. Anda harus mengucapkan pidato Anda dengan penuh perasaan.

2. Banyak ahli pidato, tidak memalingkan pandangannya kepada para pendengarnya. Mereka melihat ke atas, atau ke bawah atau ke lantai. Mereka berbicara sendiri—monoloog. Sehingga tidak ada hubungan mesra (kontak) antara si pembicara dengan para pendengarnya. Maka pembicaraan ini ''mati".

3. Pada prinsipnya, pidato adalah percakapan biasa, tetapi suara diperbesar. Oleh karena itu, bercakap-cakaplah kepada para pendengar seolah-olah Anda bercakap-cakap dengan tetangga. Karena pendengar-pendengar Anda itu adalah tetangga-tetangga Anda, tetapi dalam jumlah banyak.

4. Setiap orang mempunyai bakat berpidato. Jika Anda tidak percaya, cobalah ini: jewerlah telinga orang yang bagaimana bodohnya, maka sikap dan cara bicaranya akan sungguh-sungguh mengagumkan--sempurna. Jika Anda ingin berpidato baik, bersikaplah wajar. Supaya dapat bersikap wajar, Anda harus berlatih. Jangan suka meniru orang lain. Jika Anda bicara serta-merta, dengan sendirinya Anda akan berbicara wajar dan lain dari pada yang lain. Nyatakan pribadi dan watak Anda sendiri.

5. Bicaralah dengan sikap, seolah-olah ada di antara pendengar-pendengar yang membantah Anda. Memang kalau ada di antara pendengar itu sungguh-sungguh berdiri, dan membantah Anda, pidato Anda pun akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu bersikaplah seolah-olah ada yang membantah, atau mengajukan pertanyaan yang meragukan pernyataan-pernyataan Anda. Pernyataan itu Anda ulangi: ''Anda bertanya, bagaimana saya bisa tahu? Ini akan saya katakan kepada Anda.'' Cara berpidato secara itu menimbulkan suasana ''biasa''. Dan ini bisa mencegah Anda berpidato melambung-lambung. Dan kata-kata Anda masuk ke dalam hati dan pikiran para pendengar.

6. Bicaralah dengan semangat, dan rasakan pidato Anda sebaik-baiknya.

7. Ada empat faktor dalam pidato yang baik. Gunakanlah keempat faktor itu kalau Anda berpidato di depan umum. Empat faktor itu adalah: 

a. Apakah Anda meletakkan tekanan kepada kata-kata yang paling penting, sambil mengucapkan bagian-bagian yang kurang perlu dengan nada biasa, malahan cepat-cepat; 

b. Naik-turunkan suara Anda laksana gelombang laut, sebagaimana yang biasa di lakukan anak kecil?; 

c. Apakah Anda kadang-kadang merubah cepat-lambatnya pidato dengan mengucapkan cepat-cepat kalimat-kalimat yang tak begitu penting, dan memberi waktu lebih banyak kepada kata-kata yang lebih penting, yang ingin Anda ketengahkan; 

d. Berhentilah Anda sejenak, sebelum dan sesudah mengucapkan kalimat-kalimat yang penting, supaya para pendengar dapat meresapkan kata-kata penting itu. hlm. 159-160.

***

PAKAIAN

Berpakaian rapi dan bersih adalah dapat dirasakan nikmat, menambah rasa percaya diri dan rasa harga diri. Dinyatakan pula, bahwa dengan demikian adalah mudah memantulkan pikiran-pikiran positif dalam perjuangan untuk mencapai sukses kemenangan. Akan tetapi harus dirasakan dan dialami. Pendapat di atas yang demikian itu adalah hasil daftar pertanyaan seorang ahli psikologi yang termashur kepada sejumlah orang, tentang hal berpakaian.
Seorang pembicara yang berpakaian kurang rapi, kedodoran, jas dan sepatunya kotor, atau dasinya menceng, tentu kurang mendapat penghargaan dari pendengar-pendengarnya. Kalau pembicara itu rambutnya acak-acakkan, mereka juga menganggap bahwa pikiran pembicara itu sudah barang tentu acak-acakkan pula. Kalau sepatunya tidak digosok dan pakaiannya di sana-sini melembung karena terlalu penuh, pasti pikirannya pun kurang beres. hlm. 164

***

"Jika juru pidato itu memperhatikan para pendengar, sebaliknya para pendengar pun akan memperhatikan kepada juru pidato itu. Akan tetapi, jika pembicara itu di dalam hati menghina para pendengarnya, mereka pun akan kembali menghina kepada pembicara. Jika pembicara malu-malu dan sukar berbicara, kurang percaya kepada diri sendiri, mereka pun tidak percaya kepada pembicara. Jika pembicara membusung dada dan bersikap seolah-olah menyerang, para pendengar akan bersikap mempertahankan diri. Bahkan sebelum juru pidato berbicara, mereka sudah menentukan sikap menentang atau tidak menyetujui." hlm. 166

***

Sikap Ketika Memulai Pidato

Pembicara harus berdiri tanpa bergerak, dan dapat menguasai seluruh badan. Karena dengan demikian para pendengar menganggap bahwa pembicara dapat menguasai dan percaya kepada diri sendiri.
Setelah pembicara berdiri untuk mengucapkan pidatonya hendaknya jangan terburu-buru memulainya. Sebaiknya mengambil nafas terlebih dahulu dalam-dalam. Pandanglah para pendengar dengan penuh perhatian agar suasana menjadi tenang. Dan kalau masih ada para pendengar yang bergerak atau menggerakkan anggota badannya, tunggulah dahulu sehingga gerakan-gerakan itu berhenti. hlm. 173

***
Antusiasme = Tuhan beserta Kita

Kata "antusiasme" berasal dari bahasa Inggris, Enthousiasme. Dale Carnegie, menjelaskan, "enthousiasme" merupakan kata yang luar biasa dan ini berasal dari kata: "En'' yang mempunyai arti ''dalam'' serta ''The os'' yang artinya ''Tuhan”. Jadi, enthousiasme bisa kita artikan "semangat" dalam artian “Tuhan bersama kita". Orang yang berbicara dengan antusias, seakan-akan Tuhan bersamanya. Segala sesuatu yang Anda lakukan haruslah mengandung enthousiasme. Terutama jika Anda menghendaki orang lain tersebut bertindak. Dan ini berlaku untuk keadaan atau di mana saya atau yang melakukannya. Tak perduli apakah anda seorang jenderal, pendeta ataupun juga, sampai pada pemasangan iklan ataupun penjualan barang-barang. (Dr. Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, Penerbit Nur Cahaya, tt, hlm. 108)

***

Beberapa Tips terkait Keahlian Pidato

1. Untuk mengadakan hubungan dengan orang lain ada empat cara. Dengan demikian, kita pun dinilai oleh empat hal: 
- apa yang kita lakukan 
- kesan yang kita timbulkan 
- apa yang kita katakan
- cara kita menyatakan. 
Bahasa yang kita pergunakan itu seringkali digunakan untuk menilai kita;

2. Kita contoh Lincoln, yang dapat memilih kawan di antara pujangga seni sastra. Kata-kata yang kita pergunakan adalah mencerminkan lingkungan pergaulan kita. Untuk memperkaya jiwa, dan akan dikagumi oleh kawan-kawan atas perbendaharaan kata-kata yang sangat luas, hendaknya kita rajin membaca buku-buku karangan-karangan pujangga-pujangga ternama pada malam hari;

3. Dengan mengurangi waktu untuk membaca koran dan waktu-waktu lainnya untuk membaca buku-buku karangan penulis-penulis ulung, perbendaharaan kata-kata akan bertambah luas dan akan menambah rasa kebahagiaan;
 
4. Kita cari arti kata-kata yang belum kita kenal dari buku-buku yang kita baca di rumah dengan menggunakan kamus. Supaya kata-kata yang baru itu dapat terukir dan melekat dalam ingatan, kita coba menggunakan untuk beberapa keperluan. Sesering kita lakukan, pasti akan bertambah baik;

5. Kata-kata yang kita pergunakan harus kita ketahui asal kata-kata tersebut. Sejarah kata-kata sangat mengasyikkan sekali. ''Aneka'' adalah salah satu perkataan yang bermacam artinya, yang mula-mula artinya ''bukan satu'', karena dalam perkataan "'aneka'' tersembunyi kata: "an'' (suatu awalan sansekerta yang berarti ”tidak" dan "eka" yang berarti ''satu''. "Aneka" "tidak satu'', sama dengan bermacam-macam atau banyak. hlm. 309

***

Beberapa Tips Pidato

"Berdirilah seperti seorang atlit yang tegak serta penuh perasaan gembira di dalam menghadapi lawan-lawannya. Tentu saja Anda pun harus juga mengisi paru-paru Anda dengan zat asam, karena ini merupakan hal yang penting. Tariklah napas sedalam-dalamnya serta pandanglah para pendengar dengan sikap yang tegas. Cobalah pandang para pendengar Anda, seakan-akan Anda akan mengutarakan sesuatu hal yang amat penting bagi mereka semuanya." 

”Cerminkanlah pada pandangan mata Anda, bahwasanya apa yang ingin Anda utarakan adalah sangat penting bagi mereka semuanya itu. Pandanglah mereka seperti seorang guru memandang muridnya. Sadarilah, bahwasanya pada saat itu, Anda adalah guru dari mereka. Mereka semuanya datang kepada Anda mengajar kepada mereka. Cobalah berbicara dengan lebih keras, di mana ini akan bisa menghilangkan perasaan cemas yang mungkin masih tersisa dalam diri Anda."

"Kemudian juga jangan dilupakan gerak-gerak yang tepat atau jitu juga diperlukan. Yang penting gerak tersebut adalah serta merta atau spontan sehingga hal ini bisa membuat lebih kuat pidato Anda, sehingga pidato tersebut adalah bertenaga. Secara singkat, gerak-gerak tersebut haruslah bisa mempengaruhi mereka serta mempengaruhi Anda sendiri. Gerak-gerak yang khusus, dan ini sangat baik pengaruhnya terhadap diri Anda. Malahan kalau seandainya Anda berpidato di muka corong radio, maka gerak-gerak ini haruslah Anda lakukan. Kerjakanlah gerak-gerik tangan meskipun ini tidak terlihat oleh para pendengar Anda."

***

Lincoln Seorang Ahli Pidato

"Akan tetapi Lincoln tidak pernah membuang. waktunya dengan begitu saja. Detik-detik kehidupannya dipergunakan untuk bergaul. Ia bergaul dengan orang-orang rohaniah, bahkan kepada yang lebih rendah sederajat dari dia. Perbuatan yang sangat bijaksana lagi adalah, bahwa dia bergaul, berkawan dengan orang-orang terbesar di segala zaman, yang gagasan-gagasan dan kata-katanya tersimpan dalam buku-buku.
Dari buku-buku mereka itulah Lincoln memperoleh kata-kata, membaca dan mengutip kalimat-kalimat yang bagus dan dihafalkan di luar kepala. Dari buku-buku itu pula Lincoln membuat ikhtisar-ikhtisar dan sering dibuat bentuk pidato yang sangat baik. Erasmus, Prof. Emerton dari Rotterdam dalam bukunya menulis: 'Sekolahnya tidak lama, akan tetapi ia memperkembangkan dirinya dengan cara pendidikan satu-satunya, yaitu dengan terus-menerus belajar tiada bosan-bosannya, dan mengamalkan dalam praktek apa yang dibacanya. Cara demikian ini adalah terbaik dan selalu berhasil di mana saja.'"

***

Theodore Roosevelt dan Potret Lincoln

Potret Lincoln digantungkan dalam kamar kerja Presiden Amerika Serikat di Gedung Putih. Dan sewaktu Theodore Roosevelt menjabat Presiden Amerika Serikat, ia pernah berkata: "Kerapkali kalau saya akan mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang sangat sukar ataupun sulit, dikarenakan banyak hal-hal ataupun kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, maka saya selalu memandang potret Lincoln. 

Kemudian saya bertanya kepada diri saya sendiri: apakah yang akan dikerjakan oleh Lincoln jika ia menemui keadaan seperti saya ini? Tentunya akan banyak orang yang menjadi heran. Namun dengan senang hati saya mengakui, jikalau saya menghadapi hal-hal yang ruwet ataupun masalah-masalah yang gawat, maka kesemuanya itu akan menjadi gampang setelah saya memandang potret Lincoln.

Sekarang, mengapa Anda tak menggunakan cara seperti Roosevelt itu? Apa sebabnya Anda tidak menggantungkan potret atau gambar orang yang Anda hargai serta Anda puja di kamar kerja Anda? Sewaktu Anda sedang menemui keadaan yang gawat ataupun ada masalah yang ruwet serta kesukaran-kesukaran yang lain, cobalah pandang potret tersebut dan bertanyalah kepada diri sendiri: "Apa yang akan ia kerjakan jika dia menemui keadaan seperti saya?" 

Bayangkan dan renungkanlah, dan Anda akan mengetahui apa yang akan ia kerjakan. Lakukanlah seperti dia, jangan mundur. Apa yang telah Anda niatkan dengan baik, maka janganlah dilepaskan. 
Sewaktu Lincoln sedang mengadakan perlawanan dengan Douglas, untuk menjadi anggota Senat dan menemui kegagalan atau kekalahan, ia berkata kepada para penganutnya: "Jangan menyerah setelah mengalami satu kali kekalahan, tidak nanti mengalami seratus kali kekalahan.”

***
"Sewaktu Anda sedang bingung dan kehilangan akal, cobalah ingat selalu akan Roosevelt yang memandang lukisan Lincoln dan bertanya kepada dirinya sendiri apakah kiranya yang akan diperbuat oleh orang besar tersebut jika ia menemui keadaan yang sama." (Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, hlm. 143).

Sumber: 
Dale Carnegie, Teknik dan Seni Berpidato, hlm. 135-136

***

LANGSUNG MASUK KE INTI PIDATO

Dalam salah satu pidatonya di depan kursus para pengajar, Prof. William James berkata : 
"Dalam pidato Anda, Anda hanya dapat mengemukakan satu hal (persoalan) saja”. Pidato seorang guru hanya dapat mengemukakan satu hal saja dalam tempo satu jam ini. Ini menurut Prof. James. 
Dalam peristiwa lain, saya pernah dengar dari orang lain yang mengatakan tentang pidato yang lamanya tiga menit: ''Saya minta perhatian Anda tentang sebelas hal”. Suatu yang sangat aneh. Tidak mungkin, atau sama sekali tidak akan mungkin dapat dilaksanakan oleh orang yang waras. 
Ini adalah hal yang luar biasa. Ada kemungkinan bahwa orang baru cenderung untuk berbuat yang demikian ini. Dapat kita ibaratkan orang ini adalah sebagai penunjuk jalan dalam kota besar. Ia ingin memamerkan kotanya dalam waktu yang sangat singkat sekali, yaitu satu hari umpamanya. Memang hal ini mungkin sekali. 
Barangkali sama mungkinnya apabila dapat berlari-lari selama satu jam di dalam suatu museum. Akan tetapi kesemuanya itu tidak akan menimbulkan manfaat atau kesenangan sama sekali. Banyak pidato yang gagal karena pembicara dalam saat yang singkat ingin mengemukakan sejumlah besar pasal-pasal, seolah-olah ingin memecahkan rekor dunia. Dengan kecepatan sedemikian-rupa, ia meloncat dari pasal yang satu ke pasal lainnya, sehingga seorang pun tidak ada yang dapat mengikuti pembicaraannya. Hidup di dalam zaman sekarang yang serba tergesa-gesa ini, pidato-pidato harus sependek-pendeknya. Untuk menyesuaikan dengan keadaan yang demikian ini, hendaknya pembicaraan itu langsung saja memasuki inti persoalannya. 
Umpama kita akan mengucapkan pidato tentang serikat buruh, tidak perlu kita buang waktu untuk bercerita tentang sejarah serikat buruh walaupun hanya beberapa menit saja. Juga tidak perlu menceritakan hal-hal yang telah dihasilkan oleh serikat-buruh itu dari sejak lahirnya, apalagi menguraikan hal-hal apa yang akan mereka capai. Justru karena itu kita ceritakan ini semua, akibatnya pokok persoalan yang ingin kita bahas akan menjadi kabur dan samar-samar. 
Gagasan-gagasan yang hendak kita kemukakan akan diselubungi oleh kabut, dan yang dapat dilihat oleh para pendengar hanya bentuk luarnya belaka.
Oleh karena itu, kita harus tegas mengambil suatu kebijaksanaan dan baik sekali kalau mengambil dan membahas satu fase dari gerakan buruh, kita jelaskan dengan keterangan-keterangan yang kita ambil dari beberapa segi bersama-sama dengan pendengar-pende lngar kita. Dalam pidato ini kita berkesempatan memberi penjelasan dengan contoh-contoh. Pidato yang sangat berkesan ini jika selanjutnya bagus, akan kita rasakan, bahwa mereka akan mendengarkan lebih mudah. Mereka akan lebih mudah mengingat-ingat apa yang telah kita katakan.
Seandainya kita harus membahas lebih dari satu pasal (hal), memang hal ini kadang-kadang terjadi, hendaknya kita bahas dengan singkat, dengan cara-cara yang telah kita ketahui. hlm. 235-236

***

PIDATO SINGKAT

Seandainya kita mengadakan suatu pidato dan pendengar-pendengar kita masih ingin mendengarkan yang lebih banyak lagi, sebaiknyalah pidato itu kita akhiri saja. 

Kita dapat mengulangi pidato terbesar yang diucapkan oleh Kristus yang sangat populer itu yaitu ''Khotbah di Atas Bukit", hanya dalam tempo lima menit.
 
Pidato Lincoln paling masyhur diucapkan di Getysburg yang hanya terdiri dari sepuluh kalimat. 

Kita dapat membaca dalam waktu yang sangat singkat, cerita tentang terciptanya dunia ini yang terdapat dalam Kitab Kejadian (Genesis). 

Dan laporan-laporan pembunuhan dalam surat kabar ....... pendek. Bahkan sangat singkat. 

Sebuah buku tentang suku-suku biadab yang berdiam di Afrika, telah ditulis oleh Uskup Nyasa, Dr. Johnson. Ia hidup di tengah-tengah mereka dan mempelajari tata hidup orang-orang itu dan ia bergaul selama empat puluh sembilan tahun. Dalam pengalamannya mengenai berpidato ia mengatakan: jika seorang yang pidatonya bertele-tele, para pendengar berseru: ''Imetosha, imetosha!" Cukup! Cukup ! Suku lain mempunyai cara tersendiri kalau mereka menghendaki semua pidato-pidato itu pendek. Pembicara boleh mengucapkan pidatonya, selama ia kuat bertahan berdiri dengan sebelah kakinya. Jika kaki yang diangkat menyentuh tanah, orang-orang berseru sekuat-kuatnya: ''Stop! Stop!''. Dan secara otomatis selesailah pidato, habis. Dengan demikian yang perlu kita ingat adalah, bahwa: meskipun para pendengar kita bukan orang-orang Afrika, namun pendengar-pendengar kita juga menginginkan supaya kita berbicara yang singkat saja. hlm. 220

***
"Istilah-istilah teknis tak boleh dipergunakan, apalagi kalau pendengar-pendengarnya adalah orang-orang awam. Seorang dokter, misalnya, jika ingin menerangkan ketabiban hendaknya menggunakan kata-kata biasa dan mudah dimengerti."

"Sebelum kita mulai berbicara, kita harus yakin benar-benar bahwa apa yang hendak kita katakan telah jelas terukir dalam pikiran kita sendiri."

"Memperlihatkan contoh-contoh yang dapat dilihat adalah sangat baik. Kalau mungkin memperlihatkan barang-barang, gambar-gambar atau buatlah lukisan-lukisan dan diberikan penjelasan-penjelasan sedapat-dapatnya. Jangan menyatakan ''anjing” akan tetapi 'herder' atau 'buldog' yang hidungnya hitam."

"Mengulang-ulang gagasan-gagasan inti di dalam berbicara adalah baik sekali. Agar pengulangan itu tidak diketahui oleh para pendengar, kita harus menyatakan dengan kalimat-kalimat yang berlainan, tidak boleh dengan kata-kata yang sama."

"Keterangan-keterangan yang abstrak harus kita jelaskan dengan lukisan kongkrit. Lebih jauh dapat kita jelaskan dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa yang khusus dan menggunakan contoh-contoh."

"Lebih baik kita langsung masuk kedalam inti pembicaraan. Tidak boleh membahas terlalu banyak persoalan sekaligus. Pidato yang singkat, tidak dibenarkan mengemukakan lebih dari beberapa persoalan."

***

Pentingnya Semangat Batin dalam Berpidato

Berselang seminggu dari waktu itu, kemudian ia menemui saya serta membawa persoalan baru yang bisa membakar semangatnya. Akhirnya, ia bisa menemukan sesuatu, di mana ia bisa betul-betul tertawan perhatiannya. Hal tersebut adalah merupakan amanat atau pesan yang begitu bisa membuat asyik perhatiannya. Dipelajarinya betul-betul soal tersebut secara sedalam-dalamnya. Siswa saya tersebut betul-betul tertarik akan isi serta maknanya. Dan pada akhirnya pidato yang diucapkan olehnya mendapatkan sambutan yang meriah serta tepuk tangan yang penuh dari para pendengarnya. Hal ini bagi siswa saya tersebut merupakan suatu kemenangan yang diperolehnya secara mendadak. Di dalam (dirinya telah tumbuh minat serta perhatian terhadap acara yang diutarakannya. Dan hal ini adalah merupakan suatu dasar persiapan yang betul-betul baik. 
Seperti apa yang telah Anda baca dalam bab yang terdahulu mengenai persiapan pidato ini saya maksudkan pidato-pidato yang baik ini tidaklah berarti bahwa pidato adalah merupakan hafalan ataupun ulangan secara mekanis dari bermacam-macam kata-kata yang telah ditulis di atas kertas. Juga Ini tidaklah merupakan suatu ulangan yang berkali-kali dari beberapa gagasan yang terdapat daiam buku. Kesemuanya ini tidaklah demikian. Namun yang saya maksudkan yaitu Anda sendiri menggali di dalam pikiran serta jiwa anda sendiri sedalam-dalamnya, sehingga bisa menimbulkan atau menumbuhkan beberapa keyakinan, di mana Anda sendiri menghadapinya dengan penuh semangat serta ini berasal dari batin Anda sendiri yang sedalam-dalamnya.
Keyakinan diri Anda sendiri haruslah terjadi yang demikian ini. Yaitu: Gali, gali, dan sekali lagi gali! Segala sesuatunya terdapat di dalam diri Anda sendiri. Anda janganlah merasa sangsi sedikit pun. Tambang yang berisi segala benda-benda yang berharga adalah terdapat dalam diri Anda sendiri. Cobalah Anda merenungkan sendiri secara tenang. Apakah Anda pernah memikirkannya bahwa berapa banyak kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam diri Anda. Saya sendiri tidaklah meragukan sedikit jua pun. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Prof. William James bahwa pada umumnya manusia tidaklah menggunakan lebih dari sepuluh prosen tenaga-tenaga rohaninya. Jadi saya percaya bahwa jika kita ini semua bisa menggunakan lebih banyak prosentase tenaga rohani, maka kita akan bisa memperoleh hasil yang lebih baik. 
Suatu hal yang penting dalam tiap-tiap pidato tidak hanya perkataan-perkataan atau kalimat-kalimat yang dingin, namun ini haruslah disertai dengan roh serta keyakinan yang penuh sebagai tenaga pendorong yang terdapat di belakang kalimat-kalimat tersebut. Seperti apa yang terjadi dalam Parlemen Inggris, pidato yang telah diucapkan oleh Tn. Sheri untuk melawan Tn. Hastings adalah pidato yang sangat mengasyikkan dan menegangkan yang pernah terjadi di parlemen Inggris. Nilai demikian ini diberikan oleh para ahli pidato yang telah ternama seperti Burke, Pitt, Wilberjose, serta Fox. Namun demikian menurut apa yang diucapkan oleh Tn. Sheridan sendiri, bahwa yang terbaik dari pidatonya adalah semangat yang terkandung dalam pidato yang diucapkannya tersebut. Dan ia juga menerangkan bahwa semangat ini akan lenyap jika ia menuliskannya atau menerangkannya dalam huruf-huruf. 

***



Kamis, 27 November 2025

KETAT TAPI LONGGAR

Kolom Tempo

Oleh: Abdurrahman Wahid

(TEMPO, No. 31, Thn. X, 27 September 1980)


Kiai pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya, kaku pendiriannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya. Entah di sebelah barat, seperti di daerah Cirebon, entah pula di timur.

Keyakinan agama para kiai pesisir itu kokoh, sekokoh batu karang yang sesekali menghiasi lepas pantai mereka yang dangkal. Hukum agama yang mereka rumuskan berwatak tegar, sedikit sekali mempertimbangkan keadaan manusiawi masyarakat di mana mereka hidup.

Tidak heranlah jika Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat membuat heboh di kalangan yang sedemikian teguh keyakinan dan ketat perumusan hukum agamanya.

Bagaimana tidak heboh, kalau istrinya yang anggota DRPD itu termasuk yang paling asyik dan getol mengikuti acara budaya non-santri di pendopo kabupaten. Sudah fraksi- nya F-PP, masih campur baur lagi dengan nyonya-nyonya Golkar dan Korpri dalam acara 'maksiyat' yang berupa tari-tarian Jawa dan gendingan. Bagaimana tidak geger, kalau istrinya kian kemari tanpa 'mahram' yang mengawal, sering dalam rombongan yang berisi para pria saja.

Pola tingkah laku 'non-santri' seperti itu tidak heran sebenarya kalau datang dari orang seperti Kiai Wahab Sulang. Karena ia memang tidak pernah konvensional. Tindakannya seringkali timbul dari spontanitas dirinya saja.

Sewaktu istrinya baru mendapat pembagian sepeda motor (dengan pembayaran kembali secara diangsur, tentunya), kiai kita ini segera menggunakannya. Sebagai akibat, ia menabrak sebuah rumah. Sepeda motor rusak dan ia sendiri luka-luka. Penjelasan sang kiai: "Habis saya pakai rem kaki."

"Lho, rem kaki 'kan memang harus dipakai dalam hal ini, kiai,"

"Ya, tetapi maksud saya bukan begitu; saya mengerem hanya pakai kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya.

Menarik untuk dikaji, bagaimana kiai tidak konvensional seperti ini masih diikuti orang. Mengapa ia masih diterima di lingkungan sesama kiai? Mengapa ia tidak diserang dan 'disensur' oleh kiai-kiai lain? Mengapa dibiarkan saja ia memberikan pengajian umum, memberikan fatwa hukum agama kepada yang datang memintanya, dan melakukan fungsi ke-kiai-an secara penuh?

Apakah hanya karena ketenarannya sebagai orang 'jaduk' yang kebal senjata tajam dan tidak mempan peluru? Kemampuannya mengobati orang dengan doanya yang mustajab?

Ternyata tidak demikian persoalannya. Ada sebuah jawaban yang menunjukkan lenturnya hubungan antara sesama kiai di pedesaan Jawa. Sebabnya terletak pada kesanggupan Kiai Wahab yang eksentrik ini untuk secara minimal mengikuti garis bersama, sedangkan pada saat yang sama mengikuti pola berpikir tidak konvensional itu.  

***

Dalam forum yang merumuskan hukum agama, Kiai Wahab terkenal sama keras pendiriannya dengan para kiai lainnya. Sama ketat perumusan hukumnya.

Sikap begini terutama dalam kasus-kasus yang menyang- kut dogma keagamaan: ia mengikuti konsensus dalam hal yang sudah ditetapkan, dan dengan demikian ia mengikuti pola umum sikap para kiai secara nominal.

Tetapi sikap di atas tidak dapat membatasi Kiai Wahab Sulang hanya pada pendekatan legal-formalistis belaka, tanpa mampu mengembangkan sikap adaptif terhadap kebutuhan masa. Dan kehebatan kiai yang satu ini justru terletak dalam kemampuannya mencarikan landasan keagamaan bagi sikap yang longgar terhadap kebutuhan manusiawi.

Anda butuh transfusi darah, tetapi takut hukum agamanya haram menerima donasi darah orang lain? Sikap yang salah, menurut Kiai Wahab. Orang Islam harus bertolong-tolongan, bukan? Allah 'kan telah berfirman 'bertolong-tolong- anlah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan'!

"Ya, kiai, memang demikian, tetapi bukankah masalah donor darah menyangkut soal hubungan kekeluargaan dan sebagainya?"

"Sampeyan ini apa tidak ingat firman 'permudahlah oleh kalian, jangan persulit' (yassiru wa la tu'assiru)! Asal tujuannya baik, dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?"

Untuk manusia kosmopolitan, sikap seperti ini bukanlah barang baru. Tapi pentingnya sikap ini baru dapat dirasakan dalam situasi di mana gagasan Keluarga Berencana masih sulit diterima karena keyakinan agama, di mana pendidikan non-agama masih dilihat dengan penuh kecurigaan; dan di mana segala sesuatu justru ditinjau dari rumusan legal-formalistik hukum agama.

Dan justru di sinilah terletak nilai penting dari sikap Kiai Wahab tersebut: sikap untuk merumuskan kembali hukum agama dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat. Jadi, sikap untuk meninjau kembali keseluruhan wawasan legal-formalistik itu sendiri.

Bukankah ini titik tolak pandangan hidup serba humanistis yang kini begitu dipuja orang?

Tetapi Kiai Wahab memiliki kelebihan atas semua orang humanistis dan kosmopolitan, yaitu bahwa benih-benih humanismenya secara kongkrit dilandaskannya pada keyakinan agama dan kebenaran firman Allah; sedangkan kita justru sering mempertentangkan antara keduanya.

Kelebihan ini harus diakui, lebih-lebih karena ia dimiliki oleh kiai desa yang tidak dapat menggunakan rem sepeda motor.


Sumber: TEMPO, No. 31, Thn. X, 27 September 1980

TERBARU

MAKALAH