alt/text gambar

Sabtu, 08 November 2025

ZOHRAN, BUKU, DAN KEBERANIAN

Zohran

— Literasi, bagi Zohran, adalah keterampilan dasar seorang pemimpin


Oleh: Benny Arnas


Tidak semua anak berani menatap huruf. Sebagian merasa huruf-huruf di halaman seperti batu yang menumpuk di dada: berat, menakutkan, dan sulit dipahami. Tapi membaca, bagi siapa pun yang mau bersabar, selalu merupakan bentuk keberanian pertama.

Zohran Mamdani tumbuh di Queens, New York City, di sebuah lingkungan yang penuh suara: sirene ambulans, langkah tergesa pekerja, dan percakapan lintas bahasa di trotoar sempit. Ia lahir di Kampala, Uganda, dari keluarga berdarah India: ayahnya seorang ekonom, ibunya seorang penyair dan aktivis sosial. Dari kedua orang tua itulah ia belajar bahwa literasi adalah bentuk perlawanan, dan bahwa membaca bukan hanya soal huruf, tapi juga soal memahami dunia.

Sejak muda, Zohran gemar mendengar cerita ibunya. Puisi-puisi yang ditulis di ruang tamu keluarga menjadi jendela awalnya mengenal kata. Namun, yang lebih lama membentuknya justru “membaca” realitas di sekelilingnya: rumah-rumah sewa yang tak layak huni, pekerja migran yang dibayar rendah, dan warga kulit berwarna yang sering tak diundang ke meja pengambilan keputusan. Dari sanalah ia belajar membaca tanda-tanda sosial, alfabet kehidupan yang menuntun seseorang memahami ketimpangan dan kemanusiaan.

Ketika dewasa, ia memilih jalur aktivisme. Ia menjadi pengorganisir masyarakat di Queens, memperjuangkan hak perumahan dan transportasi publik yang lebih adil. Setiap kali berbicara di hadapan warga, ia membawa buku catatan lusuh berisi kutipan dari tokoh-tokoh dunia dan data dari berbagai laporan riset. Ia percaya, fakta adalah fondasi moral. “Kalau ingin memperbaiki dunia, pertama-tama bacalah dunia,” ucapnya suatu kali.

Pada 2021, ia terpilih menjadi anggota New York State Assembly. Empat tahun kemudian, ia mencatat sejarah: pada November 2025, ia memenangkan pemilihan Walikota New York City, kota terbesar dan paling beragam di Amerika.

Kemenangan itu segera dicatat dunia, bukan hanya karena usia dan gagasan progresifnya, tetapi karena ia menjadi walikota muslim pertama dalam sejarah kota itu, sebuah simbol perubahan di tengah zaman yang sering curiga terhadap perbedaan.

Dalam wawancara setelah kemenangannya, ia mengatakan bahwa kemenangan itu bukan hanya soal politik, tapi juga soal literasi: kemampuan masyarakat membaca keadaan mereka sendiri dan memilih perubahan.

Bagi Zohran, membaca tidak berhenti di halaman buku. Ia berbicara tentang membaca kota: membaca ritme warganya, membaca data kemiskinan dan polusi, membaca raut wajah para pekerja yang menanti bus malam. Literasi, baginya, adalah keterampilan dasar seorang pemimpin. Karena tanpa kemampuan membaca tanda-tanda zaman, kekuasaan hanya akan menjadi gema dari masa lalu.

Salah satu janji kampanyenya adalah memperkuat budaya membaca di sekolah negeri. Ia mendukung perluasan perpustakaan komunitas, pelatihan literasi bagi guru, dan akses digital gratis bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Ia juga menekankan pentingnya membaca sains dan sejarah, agar siswa tak mudah terjebak disinformasi. “Kita harus belajar membaca, agar tak dibaca oleh kebohongan,” ujarnya di hadapan mahasiswa di Columbia University.

Buku, bagi Zohran, bukan sekadar sumber pengetahuan, tetapi juga cara mempertajam nurani. Ia sering menyebut bahwa membaca membuat seseorang lebih lambat marah, lebih dalam berpikir. Dari biografi tokoh-tokoh perjuangan hingga buku teori ekonomi, ia meminjam semangat yang sama: bahwa keberanian sejati lahir dari pemahaman. “Membaca menuntut kerendahan hati,” katanya dalam salah satu pidato, “karena kita harus rela mengakui bahwa kita belum tahu.”

Keberanian itulah yang kemudian menjadi ciri khasnya.

Ketika beberapa politisi memilih jalan populisme, menebar rasa takut demi suara, Zohran memilih jalur yang lebih sunyi: menyodorkan data dan akal sehat. “Kita tak bisa memenangi debat dengan kemarahan,” ujarnya, “tapi kita bisa menyembuhkan kebencian dengan pemahaman.”

Dan keberanian itu diuji, tak lama setelah ia menang.

Ketika Donald Trump–yang kembali aktif dalam politik nasional—menyerang integritas warga New York dengan menyebarkan teori konspirasi tentang pemilu 2025, banyak tokoh memilih diam. Tapi Zohran berdiri di depan kamera dan menanggapinya secara langsung. Tanpa teriakan, tanpa ejekan.

Ia hanya berkata, “Kita akan selalu punya orang yang berusaha menulis ulang kenyataan. Tugas kita bukan membalas dengan kebencian, tapi dengan fakta. Karena kebenaran tidak butuh teriakan, hanya keberanian untuk tetap diucapkan.”

Ucapan itu beredar luas, dipuji sebagian, dicibir sebagian lain. Tapi ia tidak bergeser. Ia tahu, di tengah dunia yang gaduh, berpihak pada kebenaran sering tampak seperti keheningan. Dan di situlah keberanian sesungguhnya: keberanian yang tumbuh dari pengetahuan, dari kesadaran bahwa kata-kata bisa melawan kebohongan jika disampaikan dengan tenang.

Namun Zohran bukan satu-satunya yang memahami hubungan antara membaca dan keberanian. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadikan pengetahuan sebagai pedang moral. Sultan Mehmed II, Al-Fatih, yang menaklukkan Konstantinopel pada usia dua puluh satu tahun, adalah seorang pembaca tekun. Ia menguasai tujuh bahasa, mempelajari matematika, filsafat, dan strategi perang dari teks-teks klasik. Dalam catatan sejarawan Ottoman, ia sering membawa buku ke medan tempur. Bagi Al-Fatih, membaca bukan kegiatan sunyi, melainkan persiapan spiritual untuk menaklukkan kebodohan. “Ilmu,” tulisnya dalam sebuah surat kepada muridnya, “adalah senjata yang tak pernah berkarat.”

Dari dunia modern, kita mengenal Malala Yousafzai, gadis Pakistan yang menantang Taliban dengan buku di tangannya. Ketika ia ditembak karena menolak berhenti belajar, dunia menyadari bahwa membaca bisa menjadi bentuk paling nyata dari perlawanan terhadap ketakutan. Dan jauh sebelumnya, di Amerika abad ke-19, Frederick Douglass, budak kulit hitam yang mencuri ilmu baca-tulis dari majikannya, menulis dalam otobiografinya: “Once you learn to read, you will be forever free.”

Ketiganya—Al-Fatih, Malala, Douglass—berasal dari zaman dan tempat yang berbeda, tetapi disatukan oleh satu hal: keberanian yang lahir dari membaca. Bagi mereka, membaca bukan sekadar cara mengetahui dunia, melainkan cara mengubahnya.

Kini, di taman-taman kota, anak-anak membuka buku dari perpustakaan komunitas yang tetap hidup berkat perjuangannya di majelis negara bagian. Lewat kampanye #SaveOurLibraries pada 2023–2024, ia mendesak agar pemerintah New York tidak memangkas anggaran bagi ruang baca publik. Kini buku-buku itu berpindah tangan di bawah langit Queens—dibaca dengan suara pelan, kadang terbata, tapi dengan cahaya di mata. Zohran tahu, dari halaman-halaman itulah masa depan sedang ditulis ulang.

Karena membaca, seperti halnya keberanian, adalah latihan menatap dunia dengan jujur.

Dan di kota yang terus bergerak tanpa jeda itu, Zohran menjadi pengingat bahwa pengetahuan mungkin tak selalu membawa kebahagiaan, tetapi, idealnya, selalu mampu menumbuhkan keberanian untuk berpikir di tengah keramaian, menolak kebohongan meski sendirian, dan menegakkan kebenaran dengan kepala tegak dan suara yang jernih.(*)


Benny Arnas

Lubuklinggau, 6 November 2025


Sumber gambar: costar.com

Tulisan yang lain, termasuk versi lengkap (lebih panjang dan lengkap dengan daftar pustaka) atas esai di atas, dapat dibaca di www.bennyarnas.com


Jumat, 07 November 2025

Budiman Sudjatmiko, Zohran Mamdani, dan Prabowo

BS dan PS

Oleh: Made Supriatma


Demokratik dan Sosialis: Yang satu adalah mantan ketua Partai Rakyat Demokratik. Yang lain adalah walikota terpilih di jantung kota paling kapitalis namun tidak  pernah malu mengakui dirinya adalah seorang demokratik-sosialis. 

Yang satu kemudian menjadi pegawai dari seorang bos yang pernah menculik kawan-kawannya separtai. Bahkan beberapa masih hilang sampai sekarang. Dan, sekarang, dia tampaknya percaya bahwa bos-nya adalah seorang sosialis. Atau, setidaknya itulah justifikasinya untuk mengabdi pada pemerintahan yang seharusnya berseberangan dengan keyakinan politiknya. 

Yang satunya lagi, memobilisasi sebuah koalisi besar -- koalisi anak muda, buruh, para penyewa (renters), serta berbagai warna kulit. Koalisi pelangi ini cukup kokoh untuk memberinya mandat untuk berkuasa. 

Ketika menyadari ini, saya bertanya pada diri saya sendiri: Layakkah mereka berdua dibandingkan? Atau mungkin pertanyaanya yang harus diubah: Mengapa negeri ini tidak menghasilkan politisi seperti Zohran Mamdani? 

Argumen bahwa kelas oligarki di Indonesia sulit dilawan dan dihancurkan, itu sama sekali tidak relevan. Kapitalis dan orang-orang superkaya di kota New York itu kurang apa? Jutaan dollar dicurahkan untuk melawan Zohran namun tidak berhasil. Dengan kata lain, oligarki hidup dan kuat di New York. Bahkan jauh lebih kuat daripada disini. 

Ada argumen lain juga. Bahwa rakyat New York itu lebih berpendidikan. Sementara di negeri ini, yang seringkali direndahkan dan dihina karena kabarnya IQ rata-ratanya 78, orang lebih tertarik pada bansos dan bantuan-bantuan lain dari penguasa. Sulit menghimpun kekuatan dari orang-orang bodoh dan miskin.

Argumen ini jelas rasis. Para pemilih Zohran banyak yang miskin juga. Kalau Anda pernah hidup di New York, Anda pasti tahu bahwa kemiskinan hidup berdampingan dengan segmen maha kaya. Orang-orang lebih pintar? Jelas tidak. Cukup banyak penduduk New York City yang berpendidikan rendah. 

Namun mereka lebih perhatian pada masa depan -- bahwa kestabilan pekerjaan jauh lebih berharga dari terima beras 10 kg hari ini. Atau, kebutuhan pokok yang terjangkau jauh lebih penting ketimbang menunggu bantuan dari pemerintah. 

Mengapa di negeri ini orang lebih tertarik pada kekuasaan untuk kemuliaan dan kemakmuran sendiri  ketimbang berhimpun untuk maju bersama? Mengapa setiap orang selalu ingin mendapat lebih banyak -- dengan segala macam cara kotor maupun bersih -- tanpa menghiraukan hidup bersama? 

Terus terang, saya punya lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Yang saya tahu, rakyat Indonesia tidak sebodoh yang selama ini dihinakan kepada mereka. Rakyat Indonesia tidak semalas yang dituduhkan elitnya. 

Kemarin Prabowo baru saja memuji-muji orang Korea sebagai pekerja keras. Dia tidak tahu rakyatnya bekerja 18 jam dan tidak pernah kaya dan bahkan tidak pernah bisa mencukupi kebutuhannya. Mengapa itu bisa terjadi? 

Apa yang salah? Saya sangat yakin bahwa para elit -- dan  juga para mantan aktiivis yang sekarang menjadi elit -- tahu persis masalahnya. Mereka sangat mampu mendiagnosa. Lalu mengapa mereka tidak seperti Zohran? 

Ini pertanyaan berat sekali untuk dijawab. Saya kira, untuk kepentingannya sendiri, para elit sengaja membuat rakyat untuk tidak percaya pada demokrasi. Tidak percaya pada kekuatan berhimpun dan bertindak secara kolektif. Bukannya mereka tidak pernah mencoba. Mereka pernah mencoba dan hasilnya mereka dibantai! Dihajar babak belur hingga ke dasar lantai. 

Lalu, rakyat yang tidak percaya pada sistem kolektif yang bisa memajukan mereka bersama-sama itu, kemudian mengambil jalan pintas. Ambil saja apa yang bisa diambil. Terima saja yang besok mungkin tidak akan datang lagi.

Bansos beras 10 kg hari ini? Ambil saja. Toh besok tidak akan ada beras 10 kg datang lagi. Milih dapat duit 100 ribu? Ambil saja. Karena besok belum tentu ada. 

Setelah berkuasa, para elit kemudian berpesta pora. Menjarah apa yang bisa dijarah. Sambil tentu saja, seperti si Sahroni itu, bilang bahwa rakyat tolol! Mereka tertawa-tawa melihat ketololan orang-orang yang hanya mampu menyelamatkan hidupnya sepanjang yang bisa diselamatkan dengan beras 10kg atau duit 100 ribu. 

Dan, para elit Sosialis kita ini? Mereka juga persis sama seperti rakyat yang mereka wakili. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Toh sistem ini tidak akan berubah -- paling tidak semasa saya masih hidup. Mereka pun rupanya tidak percaya pada apa yang mereka ajarkan. 

Kalau pun mereka percaya, itu hanya menjadi olah raga otak saja. Si Anu kurang Marxis; si Ana Leninis; Si Ini Trotskyist! Mereka mengutuk-ngutuk sambil melihat-lihat kitab untuk membenarkan kutukannya. 

Kita tidak akan pernah punya Zohran. Bagaimana dengan orang seperti Tan Malaka? Oh, dia hanya ada dalam laci sejarah. Yang ada sekarang adalah Prabowo. Dan kaum Kiri kita berusaha keras menyiarkan pada dunia bahwa dia itu sosialis. 

Kodok menyanyi di sawah. Karena ini musim hujan!

Zohran

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1JVrnvBM5c/


PANCASILA SEJAK ORDE BARU

Artikel Ariel


Oleh: Ariel Heryanto Ariel Heryanto

(Kompas, 6 November 2021)


Hari demi hari kita saksikan semakin meningkatnya status Pancasila dalam politik di Tanah Air. Hal ini terjadi tidak hanya di lapisan tertinggi lembaga negara, tetapi juga dalam wacana keseharian warga terdidik di ruang publik.


Gejala ini bukan barang baru. Pancasila sudah dikeramatkan sejak awal masa Orde Baru. Maka yang terjadi belakangan semakin memperkuat pandangan bahwa Indonesia hari ini masih berada di bawah bayang-bayang politik Orde Baru.


Untuk mengkaji lebih jauh pandangan tersebut, konteks kesejarahan politik lokal dan konteks global layak untuk dipertimbangkan.


Sejarah politik lokal


Pancasila tidak dilahirkan di masa Orde Baru. Tidak dirumuskan oleh tokoh Orde Baru. Justru sebaliknya. Soekarno sebagai tokoh utama perumus Pancasila menjadi salah satu sasaran utama serangan politik Orde Baru. Soekarno ditekan turun dari kekuasaannya. Para pejabat tinggi kabinetnya ditahan. Jutaan simpatisan dan pendukung Soekarno dicurigai sebagai warga kelas dua. Hak-hak sipil mereka dibatasi selama berpuluh tahun.


Ironisnya, penaklukan pemerintah Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno oleh Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kemudian dipropagandakan sebagai keberhasilan Orde Baru menyelamatkan Pancasila. Sejak itu Pancasila dibajak Orde Baru dan dikemas baru. Kampanye de-Soekarnoisasi digalakkan. Jasa Soekarno dalam kelahiran Pancasila dikaburkan.


Ada ironi yang lain. Sebagai orang yang paling berjasa dalam kelahiran Pancasila, Soekarno sendiri tidak pernah memanfaatkan Pancasila sebagai slogan utama dalam politiknya. Yang paling banyak diidolakan dalam pidatonya adalah Sosialisme.


Soekarno menyerang dan diserang musuh politiknya di dalam dan luar negeri. Berkali-kali ia menjadi sasaran usaha pembunuhan. Menghadapi semua itu dan musuh-musuh politiknya, ia melemparkan caci-maki dan berbagai stigma kepada mereka. Tapi bukan stigma "anti-Pancasila".


Stigma "anti-Pancasila" baru lahir di masa Orde Baru, Pancasila menjadi semacam jimat keramat. Kebangkitan Orde Baru dirayakan sebagai Kesaktian Pancasila. Stigma "anti-Pancasila" diobral pada semua pihak yang dianggap musuh. Program penataran Pancasila diwajibkan di berbagai sektor pegawai dan mahasiswa. Asumsinya, bangsa Indonesia belum paham Pancasila, dan pemerintah Orde Baru adalah ahlinya.


Bagi Soekarno dan rekan-rekan seperjuangan, Pancasila merupakan dasar negara. Ia dirumuskan secara musyawarah dan mufakat, melibatkan berbagai pihak yang ikut mempersiapkan kemerdekaan RI. Latar belakang dan cita-cita mereka tidak seragam. Dengan kompromi dan konsensus yang didesak oleh situasi global itu, kesepakatan bisa tercapai walau tidak bulat sempurna.


Sejak Orde Baru berkuasa, Pancasila berubah radikal. Dari sebuah wadah luas yang merangkul berbagai ideologi progresif kini ia ditampilkan sebagai "ideologi" tersendiri, terpisah dari yang lain. Fungsi utamanya bukan lagi menampung keragaman demi persatuan nasional, tetapi menolak dan melarang berbagai ideologi global yang telah berjasa memperjuangkan kelahiran republik ini sejak awal abad 20.


Dengan mengatasnamakan Pancasila, Orde Baru mengarahkan sasaran tembak politik terutama pada dua ideologi besar: Komunisme dan Islamisme. Yang pertama dihancurkan dengan korban nyawa besar-besaran untuk ukuran sejarah dunia. Yang kedua mengalami pasang-surut, sempat berpuncak pada tuntutan pada semua organisasi massa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal (pertengahan 1980-an).

Sulit disangkal politik Orde Baru tersebut masih terus berlanjut hingga hari ini. Sudah lebih dari 20 tahun Orde Baru bangkrut, tapi hantunya masih bergentayangan di mana-mana. Pancasila versi Orde Baru dengan ciri intoleran dan eksklusif terhadap kebinekaan politik dimuliakan dan dikeramatkan dalam berbagai kemasan.  


Ideologi global


Pancasila merupakan dasar negara milik satu bangsa. Tidak pernah ada yang berniat mem-Pancasila-kan seluruh dunia. Jangankan sedunia, bahkan tidak pernah ada niat mem-Pancasila-kan negara tetangga di sekitar wilayahnya.


Pancasila bukan sebuah "ideologi", dalam pengertian yang berlaku umum dalam forum politik dunia atau masyarakat ilmuwan. Ideologi, seperti dipahami dunia, tidak terikat kebangsaan. Komunisme, Islamisme dan berbagai ideologi lain berwatak global.


Masing-masing berusaha merangkul dan merombak dunia menurut cita-cita mereka. Pengikut berbagai ideologi itu melampaui batas bangsa-negara. Sedangkan Pancasila memberi ruang berbagai ideologi progresif (anti-imperialisme, anti-feodalisme, anti-kolonialisme) yang sudah hadir di Tanah Air dalam berbagai versi lokal.


Baik Komunisme mau pun Islamisme tidak pernah berwujud tunggal dan seragam di kalangan para pengikutnya. Komunisme pernah dijadikan modal sebagian warga untuk melawan kekuasaan Pemerintah RI. Tapi tidak semua rekan seideologi mereka mendukung tindakan itu. Islamisme juga pernah dipakai sebagai modal oleh sebagian pengikutnya untuk menyerang Pemerintah RI. Juga tanpa didukung rekan dan umat seagama atau sealiran.


Gerakan anti-Jakarta juga pernah dilancarkan berbagai pihak lain tanpa acuan ideologis atau agama. Pemerintah pusat di Jakarta (sejak masa Soekarno) terbiasa menjuluki berbagai perlawanan itu sebagai "pemberontakan". Sebagian besar yang dituduh menyangkal. Terlepas dari perdebatan istilahnya, berbagai serangan terhadap Pemerintah RI itu tidak menyangkut Pancasila.


Yang mendorong kebencian mereka terhadap Pemerintah RI berbeda-beda. Ada yang menyangkut kebijakan negara dalam pertanahan. Atau kebijakan pertahanan dan keamanan, ketimpangan antar-daerah. Tapi sejak Orde Baru semua yang melawan pemerintah pusat dijuluki "anti-Pancasila".


Jika kebiasaan itu berlanjut, status Pancasila akan mirip doktrin Marxisme di negeri-negeri Komunis, atau doktrin keagamaan di sejumlah negara atau kerajaan berdasarkan agama. Banyak warganya yang termakan propaganda seperti itu. Dulu pernah ada gagasan "Ekonomi Pancasila". Sejak itu ada berbagai gagasan atau institusi sosial yang ingin di-Pancasila-kan sebagai slogan politik.


Hantu Orde Baru


Berlanjutnya warisan Orde Baru itu sulit dibantah atau dilawan. Bukan karena ada yang sengaja menghidup-hidupkan kembali semangat Orde Baru. Kalau pun ada kelompok yang rindu Orde Baru, mereka tak mampu berjasa atas situasi kini. Sedang yang anti-Orde Baru tak berdaya.


Rakyat Indonesia bisa secara langsung memilih seorang presiden tanpa kaitan masa lalu dengan rezim Orde Baru. Tapi siapa pun orang itu, ia tak akan berdaya membendung masuknya berbagai mantan tokoh kunci Orde Baru dalam pemerintahan dan ikut menentukan berbagai kebijakan publik.


Michael Vann, seorang profesor Amerika, baru-baru ini menulis tentang kondisi RI masa kini. Mengutip Gramsci, ia melihat rezim Orde Baru sudah mati tetapi sebuah rezim yang baru belum lahir untuk menggantikannya. Di tengah kekosongan hegemoni seperti ini, hantu Orde Baru akan terus bergentayangan.  


Kita tak perlu terlalu bersedih atau mencari kambing hitam. Di mana pun di dunia, tak ada perubahan sosial seradikal apa pun yang merombak secara total tata masyarakat lama dalam sepuluh atau 20 tahun. Orde Baru sudah meninggalkan Indonesia. Tapi Indonesia belum mampu meninggalkan Orde Baru.


Orde Baru termasuk rezim paling ambisius dan ganas dari rezim sebelumnya. Tapi untuk mengesahkan kekuasaannya ia masih membutuhkan satu warisan besar dari rezim sebelumnya, yakni Pancasila. Warisan itu tidak dielus-elus apa adanya, tapi dikemas bertolak-belakang dengan watak aslinya.


Indonesia masa kini tidak mungkin sepenuhnya menampik warisan Orde Baru. Masalahnya: mau diapakan sisa-sisa warisan itu?


Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia 


Sumber: Kompas, 6 November 2021

Trik Agar Tak Bosan Baca Buku Tiap Hari

Trik baca buku agar tak bosan


Banyak orang gagal membaca buku bukan karena malas, tapi karena salah strategi. Mereka memaksa diri membaca seperti sedang lomba maraton, bukan menikmati perjalanan. Padahal otak manusia tidak dirancang untuk menelan informasi tanpa jeda. Yang membuat seseorang bertahan membaca bukan kedisiplinan semata, tapi rasa terhubung dengan isi buku.

Fakta menariknya, riset dari University of Sussex menunjukkan bahwa membaca hanya enam menit sehari sudah bisa menurunkan stres hingga 68 persen. Artinya, membaca bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi juga terapi mental. Namun, untuk bisa menjadikannya kebiasaan, seseorang perlu tahu cara menumbuhkan rasa senang, bukan hanya kewajiban. Karena kebiasaan yang bertahan lama lahir bukan dari paksaan, melainkan dari kenikmatan kecil yang konsisten.


1. Mulai dari Buku yang Kamu Butuh, Bukan yang Kamu Rasa Harus Baca


Banyak orang berhenti membaca karena terjebak dalam gengsi intelektual. Mereka memilih buku “berat” agar terlihat cerdas, bukan karena benar-benar ingin tahu. Akibatnya, membaca jadi terasa seperti hukuman. Padahal buku yang tepat bukan yang paling sulit, melainkan yang paling relevan dengan hidupmu saat ini.

Ambil contoh seseorang yang sedang bingung soal arah karier. Ia mencoba membaca filsafat klasik tapi tak kunjung selesai. Namun begitu menemukan buku tentang makna kerja modern, ia tiba-tiba bisa membaca berjam-jam tanpa sadar. Otak kita bekerja dengan rasa ingin tahu yang hidup, bukan dengan paksaan. Di LogikaFilsuf, topik seperti ini sering dikupas secara eksklusif untuk membantu pembaca memahami cara kerja motivasi dalam membaca agar tidak sekadar disiplin, tapi juga penuh makna.


2. Baca Sedikit Tapi Rutin, Bukan Banyak Sekali Lalu Lelah


Kebiasaan terbentuk bukan dari durasi panjang, melainkan dari frekuensi yang konsisten. Membaca 10 menit setiap hari lebih efektif daripada 2 jam di akhir pekan. Otak lebih mudah membangun asosiasi positif dengan aktivitas yang ringan tapi rutin dibanding yang berat dan jarang dilakukan.

Contohnya, seseorang yang menyiapkan waktu membaca tiap pagi sebelum membuka ponsel, lama-lama merasa aneh kalau tidak melakukannya. Rutinitas kecil ini memperkuat identitas diri: “Aku adalah orang yang membaca.” Dari identitas itu lahir kebiasaan alami. Seperti menyikat gigi, membaca pun bisa jadi bagian dari ritme hidup tanpa terasa membebani.


3. Ubah Tempat Membaca Jadi Ruang Ritual, Bukan Sekadar Sudut Kosong


Ruang memengaruhi fokus. Ketika kamu membaca di tempat yang berantakan atau penuh distraksi, otak sulit memisahkan antara kegiatan produktif dan santai. Membuat ruang baca kecil—meski hanya pojok meja—bisa memberi sinyal bahwa otak siap masuk mode reflektif.

Misalnya, menyiapkan secangkir kopi dan cahaya lembut di sore hari sambil membaca dua halaman buku bisa menjadi ritual yang dinantikan. Ritme yang konsisten seperti ini menciptakan kenikmatan tersendiri. Saat membaca berubah menjadi momen yang disakralkan, kamu tidak lagi merasa terpaksa, tapi justru merasa kehilangan jika melewatkannya.


4. Jangan Kejar Halaman, Kejar Pemahaman


Membaca cepat sering kali membuat otak kenyang tapi tidak paham. Kita merasa puas karena banyak halaman, tapi kosong makna. Padahal yang membuat membaca menyenangkan justru momen ketika kita merasa “klik” dengan ide tertentu. Rasa paham itulah yang memberi dopamin, bukan jumlah halaman yang dicapai.

Misalnya, saat menemukan kalimat yang terasa “ngena” dan kamu berhenti sejenak untuk merenung, itu tanda kamu sedang membaca dengan sadar. Beri ruang untuk momen itu. Nikmati jeda berpikir. Buku bukan lomba kecepatan, melainkan percakapan yang tenang dengan pikiran orang lain.


5. Ganti Ekspektasi “Harus Selesai” dengan “Harus Menikmati”


Banyak pembaca merasa gagal karena tidak bisa menuntaskan buku. Padahal tidak semua buku memang harus selesai. Kadang yang kamu butuhkan hanyalah satu bab yang mengubah perspektif. Dengan menurunkan ekspektasi dari “selesai” menjadi “menikmati”, membaca terasa lebih ringan dan otak tidak merasa terbebani.

Sebagai contoh, membaca satu esai inspiratif di malam hari bisa lebih bermakna daripada memaksakan lima bab tanpa makna. Membaca seharusnya seperti ngobrol dengan pikiran yang kamu sukai: datang, dengarkan, ambil yang penting, lalu pergi dengan perasaan lebih hidup.


6. Jadikan Membaca sebagai Pelarian yang Menenangkan, Bukan Tugas yang Melelahkan


Jika membaca terasa seperti beban, artinya kamu kehilangan konteks emosionalnya. Buku yang baik bisa menjadi tempat pulang, bukan sekadar sumber ilmu. Saat hari terasa berat, membuka beberapa halaman buku favorit bisa memberi rasa teduh yang tidak kamu temukan di media sosial.

Contohnya, banyak orang merasa tenang setelah membaca paragraf pendek yang menyentuh sisi manusiawinya. Karena itu, penting memilih bacaan yang tidak hanya mengisi kepala, tapi juga menenangkan hati. Membaca tidak harus selalu produktif. Kadang, justru di saat kita membaca tanpa tujuan apa pun, ide terbaik muncul tanpa dipaksa.


7. Temukan Komunitas atau Ruang Refleksi untuk Membaca Bersama


Kebiasaan akan lebih bertahan jika ada ruang berbagi. Ketika kamu bisa mendiskusikan isi buku dengan orang lain, otak akan memperkuat ingatannya melalui proses sosial. Cerita yang dibahas ulang lebih mudah diingat dibanding yang hanya dibaca diam-diam.

Misalnya, bergabung dalam komunitas kecil pembaca atau mengikuti ruang reflektif seperti yang dibahas di LogikaFilsuf, bisa menyalakan kembali semangat membaca. Karena di sana, membaca tidak hanya tentang isi buku, tapi tentang makna hidup yang terkandung di dalamnya. Dan dalam percakapan itulah, kesadaran baru sering tumbuh tanpa disadari.

Membaca setiap hari tanpa bosan bukan soal disiplin keras, tapi soal menemukan ritme yang sesuai dengan diri sendiri. Ketika membaca berubah dari kewajiban menjadi kebutuhan, kamu tidak akan berhenti hanya karena sibuk. Kamu berhenti hanya kalau kehilangan rasa ingin tahu. Ceritakan di kolom komentar buku apa yang paling membuatmu betah membacanya akhir-akhir ini, dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang tahu: kebiasaan membaca bukan lahir dari niat besar, tapi dari kenikmatan kecil yang dilakukan berulang kali.


PEMBUAT KEKUATAN POLITIK

Kolom Tempo


Oleh: Fachry Ali 


Banyak jalan "membuat" kekuatan politik di dunia ini. Yang konvensional ditempuh dengan genggaman senjata. Lewat senjata-senjata primitif, seorang pemimpin dari seberang sebuah suku di Afrika -- yang oleh Lucy Mair, seorang antropolog, disebut the immigrant ruler -- menegakkan kekuasaan di "lunak orang". Tapi itu juga bisa dicapai bukan dengan senjata. Maka M. Foster dan Evans-Pritchart, juga para antropolog, melihat fungsi mistik dalam political office. Penguasa suku-suku Afrika, ujar mereka, adalah sumbu (axis) hubungan- hubungan politik masyarakatnya. Mandat seorang penguasa terutama terletak pada kekuatan mistiknya yang berasal dari dunia lain.

Sementara senjata dan mistik tetap berperan, sumber-sumber "pembuat" kekuatan politik itu telah semakin kaya dengan perubahan zaman. Dengan modal kharisma diri, seseorang bisa dengan tiba-tiba muncul sebagai "pembuat" kekuatan politik -- terutama, ketika sistem sosial-politik lama sedang anjlok dan janji-janji baru harus dibuat. Pemberontakan para petani di Banten dan berbagai tempat di Jawa awal abad ke-20 adalah manifestasi dari kekuatan-kekuatan politik yang "dibuat" melalui proses itu.

Maka, pada masanya, Soekarno yang kharismatik itu pernah merepotkan kaum teknokrat. Di Palembang, 9 November 1954, ia berseru dengan daya komunikasi yang dahsyat tentang sikap anti-asingnya.

Tapi ide-ide sosial dan organisasi politik pun telah muncul sebagai "pembuat" kekuatan politik. Tan Malaka, misalnya, sangat percaya pada kekuatan ide dalam perubahan sosial. Dalam konteks Orde Baru, sosok seperti Ali Moertopo -- yang mungkin untuk sebagian besar meminjam gagasan-gagasan kaum PSI di masa lalu -- tampil sebagai "pembuat" kekuatan politik dengan konsep "akselarisasi pembangunan 25 tahun", plus kelompok CSIS-nya. Dan partai-partai yang berdasarkan agama atau bukan adalah lembaga-lembaga paling konvensional "pembuat" jenis kekuatan yang sama.

Dari partai-partai itu pula, orang-orang yang secara individual tampak tak berbobot, bermunculan ke pentas politik dengan berpegang kuat-kuat pada jemari partai. Orang-orang semacam ini, seperti biasa, kemudian hilang dari permukaan ketika partai telah melepaskannya.

Dilihat dari konteks sejarah politik kaum pribumi Indonesia, terutama di masa pra-Orde Baru, senjata, mistik, daya kharisma individual, ide-ide sosial, dan kemudian partai-partai politik merupakan faktor dan aktor yang mencolok sebagai "pembuat" kekuatan-kekuatan politik. Dengan cara yang sangat bervariasi, elemen-elemen yang melekat pada masing-masing faktor itu terakumulasi dan tertransformasikan menjadi power, langsung atau tidak.

Mungkin pada masa Orde Baru, faktor-faktor itu tidaklah terlalu banyak berubah, ketika, misalnya, rumor tentang mistik masih tetap beredar. Apa yang tampak semakin menonjol adalah penambahan faktor "pembuat" kekuatan itu, yang dahulu hanya muncul secara samar-samar: ekonomi. Perkembangan pesat ekonomi Orde Baru telah melahirkan dan di atas itu telah melegitimasikan aktor-aktor baru "pencipta" kekuatan politik: kaum teknokrat, pembuat kebijaksanaan ekonomi. Dan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi, para konglomerat membiak tanpa preseden. Rasanya, hanya pada masa Orde Baru -  inilah proses akumulasi kapital di kalangan non-negara berlangsung secara tak terbayangkan. Para pemilik modal ini -- setidak-tidaknya secara teoretis -- telah mampu "membuat" kekuatan politik, terutama (sekali lagi, mungkin) melalui "pintu belakang". 

Maka, kecuali penambahan faktor ekonomi, kehidupan politik Orde Baru adalah kelanjutan dari struktur yang lama. Faktor dan aktor "pembuat" kekuatan-kekuatan politik tidaklah beranjak jauh. Dinamik kehidupan politik terutama ditandai oleh lobi dan negosiasi serta pasang-surut faktor dan aktor, ketika kemampuan partai dan kekuatan kharismatik seseorang merosot, dan kekuatan senjata serta ekonomi "naik panggung". Sumber dan aktor "pembuatan" kekuatan politik hanya sedikit beranjak dari struktur yang lama. 

Mungkin, terutama jika ingin dilihat secara jernih, dalam gerak politik yang tampaknya lebih "berjalan di tempat" inilah sosok B.J. Habibi menjadi menarik untuk disimak. Ia muncul ke atas panggung politik bukan hanya karena "berkenalan" dengan Pak Harto sejak kanak. (Alangkah banyaknya kenalan Pak Harto sepanjang hidup). Juga tanpa latar belakang massa, ideologis, mitis, dan Islam -- sebelum ICMI. Secara publik, Habibi tidaklah dikenal sebagai tokoh Islam, tapi karena sains.

Lewat sains itu Habibi muncul "menjanjikan" sesuatu tentang masyarakat dan masa depan. Ketika, seperti yang dikatakannya sendiri: demiliterisasi semakin menggejala dan perang dingin telah mereda. Dari realitas ini seakan-akan visi-nya melompat ke depan, menjajaki "musuh baru" yang tak lagi relevan dilihat dari pergulatan internal: kekuatan ekonomi Jepang, Amerika, dan Jerman. Sains yang menawarkan industrialisasi, bukan saja dibayangkan akan menjadi dasar kekuatan nasional melawan "musuh", melainkan juga telah mendasari lahirnya tokoh "pembuat" kekuatan politik baru yang tak lagi berakar pada sumber-sumber yang lama.

Lepas dari persoalan calon Wapres atau bukan -- yang di sini tak terlalu menarik untuk dibicarakan -- kemunculan Habibi ini seakan-akan menandai suatu fase baru dalam dunia politik Indonesia. Ia menyimbolkan sesuatu yang baru: tentang bagaimana, sains dan para sainstis telah tertransformasikan menjadi kekuatan politik -- dalam realitas yang paling kongkret.

Apakah ini janji perubahan politik yang lebih kualitatif?


Sumber: TEMPO, No. 36, Tahun XXXVI, 7 November 1992

Selasa, 04 November 2025

TENGKYU YA


Oleh: Ariel Heryanto

(Kompas, Rubrik “Asal Usul”, 4 November 2018)


Hingga tahun 1980-an anak muda sekolahan di pusat-pusat kota besar mengatakan "daag" sebagai ucapan perpisahan. Juga penutup surat. Jelas istilah ini berasal dari bahasa Belanda. Akan tetapi waktu itu tidak ada yang merasa kebelanda-belandaan. Orang Indonesia telanjur merasa ikut memiliki istilah itu sebagai bahasa ibu, walau kita satu-satunya bangsa bekas jajahan besar di dunia yang paling tidak fasih berbahasa bekas penjajah.

Bagaimana "daag" bisa menjadi bahasa ibu di Indonesia? Inilah salah satu kata pertama yang diajarkan kepada para bayi. Dan bukan hanya oleh ibunya. Ketika bayi ini bertumbuh, "daag" menjadi salah satu istilah yang paling banyak dipakainya sambil melambaikan tangan kepada siapa saja yang tampil di sekitarnya. Orang dewasa melakukan yang sama kepada para bocah.

Akan tetapi dalam 20 tahun belakangan kegiatan berbahasa yang sudah lazim selama seabad itu berubah. Kaum muda kota semakin terbiasa mengatakan "Bye-bye. Thank you ya." Seperti zaman sebelumnya, anak-anak muda ini tidak sok Barat. Mereka bicara biasa-biasa saja dan dalam bahasa gaul yang baku pada masanya. Istilah itu sudah menjadi milik mereka. Apalagi bila "thank you" diucapkan "tengkyu" dan masih ditambah "ya". Perasaan itu sah saja.

Yang menarik bukan perubahan dari "daag" ke "bye-bye". Bukan karena thank you itu bersumber dari bahasa asing. Ucapan terima kasih di antara sesama orang Indonesia dengan cara dan makna anak-anak muda mengucapkannya sekarang merupakan tradisi baru dalam sejarah kita. Bahkan di banyak tempat di Asia. Ini yang hebat.

Sebagai pasangan ideal, orangtua saya sempat merayakan ulang tahun perkawinan ke-60. Akan tetapi setahu saya belum pernah sekali pun mereka mengatakan "terima kasih" satu pada lainnya. Hal yang sama saya amati pada semua keluarga lain di sekitar saya ketika bertumbuh dewasa.

Mungkin karena kami datang dari keluarga kelas bawahan atau tengah ke bawah. Akan tetapi mungkin ini berlaku lebih. umum. Seperempat abad lalu pemerintah di Thailand menatar para sopir bus untuk mengucapkan terima kasih dalam bahasa Thai kepada turis lokal yang menumpang bus mereka dalam rangka meningkatkan industri pariwisata.

Yang jelas hal itu sama sekali tidak pernah saya sadari apalagi anggap aneh. Sampai kemudian ada seorang sarjana asing berpendapat di Indonesia istilah "terima kasih" hanya diucapkan dalam tiga situasi dan kepada tiga pihak khusus. Pertama, dalam doa dan ditujukan kepada Tuhan atau Dewa. Kedua, dalam pidato resmi dan ditujukan kepada hadirin yang bersifat umum dan abstrak. Ketiga, dalam surat resmi dan ditujukan kepada pejabat atau orang yang kurang kita kenal.

Mendengar pendapat ini pertama kali, saya seperti terperangah. Rasanya tepat sekali dengan lingkungan Indonesia yang saya kenal. Baru sekarang saya sadar, dan lewat pengamatan orang asing. Singkatnya, "terima kasih" tidak pernah diucapkan di antara mereka yang akrab dan intim, seperti halnya thank you di kalangan masyarakat berbahasa Inggris. 

Di London atau Melbourne, penumpang bus terbiasa mengucapkan thank you kepada sopir sebelum turun di tempat tujuan. Si sopir mengucapkan yang sama sebagai balasan. Juga ketika pelayan restoran membawakan hidangan, atau membersihkan piring kotor sesudah tamunya selesai makan. Terima kasih bukan terjemahan thank you. Keduanya tidak bisa atau tidak mudah diterjemahkan.

Sejak itu saya menjadi pengamat istilah "terima kasih". Saya temukan ada dua wilayah lain penggunaan istilah terima kasih. Pertama, dalam film-film nasional sebelum tahun 2002. Dalam berbagai film itu para tokoh berbicara dalam bahasa Indonesia seperti buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menengah. Termasuk penggunaan istilah "terima kasih" atau "aku cinta padamu" yang sulit dicari padanannya dalam kenyataan sehari-hari di Indonesia. 

Film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) merupakan film pertama yang meruntuhkan batas bahasa film nasional dan bahasa yang hidup sehari-hari di bumi Indonesia. Majalah remaja Hai dan Gadis melakukan yang sama beberapa dekade sebelumnya. Novel-novel peranakan Tionghoa malahan sudah sejak awal abad ke-20.

Ada satu wilayah lagi penggunaan istilah "terima kasih" yang belum termasuk dalam daftar di atas. Orang Indonesia mengatakan "terima kasih" sebagai umpatan halus dari orang yang marah atau kecewa karena diperlakukan secara tidak adil oleh orang yang dekat dalam hidupnya. 

Belum lama ini seorang teman saya yang sudah bertahun-tahun hidup di Melbourne menceritakan pengalamannya pulang ke Jakarta. Dia merasa risih. Di beberapa tempat umum, orang yang diajak berbicara bertanya padanya dia berasal dari mana. Padahal dia lahir dan dibesarkan di Jakarta.

Saya menduga, ini gara-gara dia terpengaruh kehidupan di Australia, dan mengobral ucapan thank you seperti orang Jawa mengobral senyum dan ucapan "inggih, inggih", atau orang Jepang mengobral anggukan kepala dan membungkuk.

Ariel Heryanto, sosiolog


Sumber: Kompas, 4 November 2007

TERBARU

MAKALAH