alt/text gambar

Selasa, 16 Desember 2025

BERPOLITIK, ATAS NAMA TUHAN

(TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983)


Oleh: Fachry Ali


Andropov sakit, atau bahkan meninggal dunia, tidaklah penting. Yang menarik adalah doa para pendeta Kristen Ortodoks Uni Soviet yang meminta umur orang terkuat negara komunis itu diulur lebih lanjut. Suatu doa yang memerluka tarikan napas panjang.

Tapi di sinilah terletak masalahnya. Sejak dahulu kala—demikianlah Marx pernah berkata—agama dan pendeta selalu punya kecenderungan mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx dianggap menindas rakyat. 

Bahwa sikap teologi para pendeta ini tidak selalu berkenan di hati Paus adalah benar. Namun, toh Paus asal Polandia ini menyerang jantung Marxisme. “Kalau Anda menyerang Polandia, saya akan meninggalkan tahta Petrus untuk berjuang bersama orang-orang sebangsaku,” ujarnya dalam sepucuk surat kepada Breznev. 

Banyak hal telah berubah, seperti juga banyak yang tidak. Bagi Marx tidaklah begitu penting – sebagian karena dia telah meninggal. Namun, generalisasi pandangan Marx, yang hanya melihat sejarah agama di Eropa, ada gunanya juga dipakai untuk melihat pergulatan agama dan politik dunia Islam. Gunanya, bukan karena banyak ditemukan kebenaran analisa Marx, melainkan justru karena berubah-ubahnya fungsi dan peran variabel yang sama; agama dan ulama di pelbagai negara dunia Islam.

Pembentukan kekuasaan politik, yang kemudian melahirkan kerajaan Arab Saudi, misalnya, bukanlah karena manipulasi agama oleh elite penguasa, melainkan justru ajaran moral. 

Moral puritanisme ajaran Islam yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab – yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabiah – menarik perhatian Ibnu Sa’ud, penguasa lokal Jazirah Arabia abad ke-18, untuk bergabung. Jadilah satu gerakan yang pengaruhnya saling menyilang. Suatu gerakan menegakkan moral agama, sekaligus menegakkan struktur kekuatan politik dan kekuasaan. 

Sampai kini, sisa-sisa keturunan kelompok Wahabi yang kemudian membentuk kelas ulama masih tetap penting sebagai kekuatan penyeimbang kebijaksanaan pemerintah dalam memodenisasikan diri dan masyarakatnya. 

Semacam NU, peranan Ulama Arab Saudi kemudian menjadi pemberi legitimasi spiritual terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Sedangkan kaum politisi dan birokrat berfungsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, terjadilah dikotomi “syu’riah-tanfidziah” jika kita pakai analoginya dengan NU di Indonesia. 

Tapi Islam Iran memberikan wajah lain. Agama adalah keseluruhan kehidupan. Revolusi Iran – yang menumbangkan mitos bahwa hanya kaum komunis yang mampu menggerakkan revolusi di abad ke-20 – meletakkan kaum ulama pada posisi strategis, baik dalam dunia politik maupun pemerintahan. 

Sampai di sini, dikotomi “syu’riah-tanfidziah” tidak ditemukan. Masalah yang menarik adalah, mampukah corak keagamaan seperti itu nanti memelihara semangat kritisnya kali ini justru terhadap kekuasaan yang baru dibangunnya sendiri. 

Di Mesir soalnya lain lagi. Dua kelompok paham keagamaan berdiri dalam dua pola yang ekstrem dan tidak bisa dipertemukan. 

Kelompok pertama diwakili ulama Al-Azhar. Sepanjang sejarah, Al-Azhar memang tidak jemu-jemu mengeluarkan fatwa untuk selalu patuh kepada penguasa. Lembaga pendidikan tinggi agama yang didirikan Bani Fatimah tahun 972 ini selalu mengintegrasikan kepada kekuasaan elite yang bertahta. Tidak peduli dari mana dan siapa pun. 

Dalam tahun 1798, ketika Mesir di bawah Prancis, ulama Al-Azhar berseru “Kita berlindung kepada Tuhan dari aneka ragam fitnah (fitan) dan kita mohonkan kepada-Nya untuk melenyapkan orang-orang yang menyebarkan kemurkaan di muka bumi serta merusakkan hubungan baik rakyat Mesir dengan tentara Prancis.” Ketika giliran Inggris yang berkuasa, ulama Al-Azhar pun berbuat yang sama. Juga waktu Sadat berkuasa dan berdamai dengan Israel. 

Kelompok kedua tidak kalah hebatnya. Mulai dari tokoh dan kalangan revolusioner yang konseptual sampai pada kelompok revolusioner yang awut-awutan. Kelompok ini memberikan citra yang bertentangan dengan kaum ulama Al-Azhar, meskipun sama-sama menekankan utamanya al-asala (kemurnian ajaran Islam) dan menolak al-mabadi al-mustawrada (doktrin impor).

Bedanya, yang kedua meletakkan Islam sebagai blueprint untuk segala aspek kehidupan. Pandanngan keagamaannya mengenai politik dan kekuasaan tidak bias pada kehendak penguasa, seperti yang dilakukan kelompok pertama. Tesis mereka, sejauh pemerintah tidak menelurkan kebijaksanaan yang sesuai dengan corak keislamannya, konsep al-nizam al-jahili atau darl harb tetap relevan dikenakan untuk pemerintah. 

Dari sinilah kita menyaksikan lahirnya kelompok al-Ihwan al-Muslimun. Suatu kelompok yang secara terus menerus berusaha mengguncangkan struktur kekuasaan di Mesir. Logika keislaman mereka membenarkan tindakan pengguncangan itu. Bahkan, sejauh yang dapat direkam dari pengadilan Sayyid Quthb tahun 1966—tokoh kedua setelah Hasan Al-Banna yang terbunuh tahun 1949—tindakan-tindakan kekerasan yang bagaimanapun bisa dibenarkan. 

Ideologi radikalisme Islam inilah yang secara terus-menerus menjaga api gerakan al-Ihwal al-Muslimun. Hanya satu dasawarsa setelah Sayyid Qutbh, mucul pula pada tokoh muda yang karismatis, Ahmad Shukri Mustafa. Berdasarkan ideologi radikal itu, ia mendirikan suatu kelompok baru, perwujudan lain dari Al-Ihawal al-Muslimun, yang tidak kalah ekslusifnya, al-Tafkir wal Hijra. 

Di tangan merekalah, Anwar Sadat dibantai. Suatu pertumpahan darah yang dahsyat yang, sayangnya, tetap mengatasnamakan Tuhan. Persis yang dilakukan ulama al-Azhar, dalam bentuk yang sebaliknya. 


Sumber: TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983


REIS

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, TEMPO, No. 11/XXVII/15-21 Desember 1998)


Oleh: Goenawan Mohamad


Seorang  intel yang berbau bawang menguntit seorang penyair yang sebenarnya tak hendak mengikuti kabar dunia. Apa sebenarnya yang berbahaya dari orang ini, yang dalam umur 48 baru pulang dari rantau, lebih sering di kamar, menulis sajak, dan melakukan tiga kegiatan rahasia yang sama sekali tak mengancam keamanan nasional: mencintai seorang gadis cacat, meniduri seorang perempuan pelayan yang setia, dan bercakap-cakap dengan sesosok hantu?


Tidak ada. Tapi sebuah kekuasaan otoriter bisa saja begitu sibuk untuk hal-hal yang tak serius. Sebuah kekuasaan yang gatal tangan akan merogoh ke mana saja, juga ke dalam dunia privé, karena baginya batas yang privé dan yang bukan tak relevan lagi, mungkin patah. Dan ini bukan Indonesia, para pembaca, melainkan Portugal. Persisnya Portugal di tahun 1930-an, ketika kediktaturan Perdana Menteri Salazar masih segar dan kaum fasis gemuruh bergerak di seluruh Jazirah Iberia. Bukan cerita Jakarta, melainkan Lisbon sebagaimana dikisahkan José Saramago dalam Ano da morte de Ricardo Reis ("Tahun Kematian Ricardo Reis").


Tapi jika ada persamaan antara Portugal tahun 1930-an dan Indonesia tahun 1990- an, apa boleh buat. Kekuasaan otoriter, yang menekan untuk hal-hal yang tak perlu ditekan, punya perilaku yang, selain bisa buas, merisaukan, memuakkan, juga menggelikan. Terutama jika yang melihat adalah seorang Saramago.


Saya membaca bukunya lewat terjemahan Inggris, dan saya tak bisa mengatakan apakah saya pengagumnya. Saramago tak menyebabkan kita tercenung, saya kira, seperti bila kita membaca novel Kawabata. Tapi juri Nobel sekarang rupanya punya preferensi yang mungkin cocok dengan temperamen waktu. Di tahun 1997, mereka memilih Dario Fo dari Italia; grup teaternya punya hubungan dengan Partai Komunis meskipun di tahun 1968 ia bikin marah Partai. Di tahun ini mereka memilih Saramago, yang masuk Partai Komunis Portugal di tahun 1968 ketika partai itu masih jadi partai terlarang. Di masa pascakomunisme dan pascafasisme, dua orang tua "ekstrem kiri" rupanya jadi bagian sejarah dan khazanah ekspresi sastra yang penting ditengok.


Tentu saja karena "ekstrem kiri" mereka bukanlah gaya yang mengangkat tinju. Fo dan Saramago adalah contoh bahwa "kiri" bisa berarti kurang ajar dan komikal; geli adalah sebuah respons yang paling bebas terhadap represi. Sebagaimana Milan Kundera di Cekoslowakia tertawa menghadapi kekuasaan komunis, Fo dan Saramago tertawa menghadapi kekuasaan antikomunis. Khususnya penulis Portugis ini punya sarkasme yang menggigit dengan gigi yang tersembunyi, seraya bercerita ke segala penjuru dalam novel- novel yang seakan-akan ganjil tapi sebenarnya tidak – bahkan kadang telah terduga arahnya.


Dalam Ano da morte de Ricardo Reis, Victor, si intel berbau bawang (dan sebab itu ia praktis tak bisa menyamarkan diri) suatu ketika menyiapkan penggerebekan sebuah pertemuan gelap. Tim polisi itu demikian bersemangat, dan mereka berhasil menyerbu, namun si pemimpin komplotan ternyata lepas. Tapi ini bukan akhir dari kekonyolan. Sebab ternyata seluruh operasi hanyalah sebuah adegan untuk sebuah film pemerintah....


Dalam adegan lain, yang khidmat dan megah berubah jadi lucu. Pada suatu hari di tepi Sungai Tagus, Presiden Jendral Carmona akan meluncurkan kapal João de Lisboa dengan sebuah upacara besar. Semua siap: pejabat, fotograf, doa Gereja Katolik, dan sebotol anggur Bairrada. Tapi sebelum Paduka Yang Mulia melangkah untuk memecahkan botol itu ke tubuh kapal, lihat, João de Lisboa lepas meluncur sendiri ke air. Awak kapal bersorak hore dan camar laut beterbangan, dan Presiden murka dan seluruh aparat pemerintah malu. "Ada tanda-tanda bahwa penindasan intelektual Salazar tak menyebar secara efektif seperti yang dimaksudkan penggerak utamanya," tulis Saramago.


Yang jadi pertanyaan ialah: mengapa rezim yang seperti itu bisa bertahan lama – sejak 1932 sampai 1974? Jawabannya bisa banyak. Mungkin karena Salazar, profesor ekonomi itu, adalah wakil rasionalitas di tengah ketakutan akan yang irasional, suara tertib di tengah khaos. Portugal, sebagaimana dilukiskan Saramago di sini, adalah sebuah negeri di mana sapi akan dibawa memberikan suara dalam pemilihan, kemudian dagingnya—yang tipis, yang tebal, yang jeroan dan akhirnya yang ekor—dimakan, misalnya untuk sup buntut. Mungkin juga karena Gereja telah mengatakan bahwa Portugal adalah Kristus dan Kristus itu Portugal dan orang ramai bilang amin. Mungkin juga karena seperti Ricardo Reis, begitu banyak yang "lumpuh".


Ricardo Reis menyukai tata, sebagaimana ditunjukkan oleh Fernando Pessoa, seorang penyair yang mati sebulan sebelumnya dan mengunjunginya sebagai hantu. Ia berbicara tentang "Nasib", dan "Nasib" apalagi kalau bukan "tata". Ia meniduri Lydia, perempuan pelayan berumur 30 tahun itu, dan menghamilinya, tapi ia tak akan menyeberangi jarak kelas sosial mereka. Ia tak tertarik kepada sejarah yang sedang bergerak di sekitarnya (ia bahkan mula-mula tak tahu siapa Salazar), dan ia tak bisa mengerti kenapa kakak Lydia, seorang kelasi, ikut dalam pemberontakan yang sia-sia dan gugur.


Mungkin sebab itu hidup dan mati Ricardo Reis tanpa pathos, tanpa gelora perasaan, dan kematiannya hanya bagian dari rutin dalam sejarah kediktaturan yang panjang. Ia mati dalam keadaan murung dan mungkin putus asa tapi kita tak menyaksikan sebuah peristiwa bunuh diri. Ia hanya berangkat bersama hantu Fernando Pessoa, pergi tanpa topi. Lalu novel ini pun berakhir, seperti dongeng, dengan kalimat yang seakan datang dari jauh: "Di sini, di mana laut berakhir dan bumi menunggu."


Menunggu, bukan mulai. Pasif dan terentang panjang.


Goenawan Mohamad


Sumber: TEMPO, No. 11/XXVII/15-21 Desember 1998

,

DEMOKRASI

(Kompas, 16 Desember 2007, “Asal Usul”)


Oleh: Ariel Heryanto


Ketika ada pejabat bilang demokrasi itu cuma cara dan bukan tujuan, kita kaget. Tetapi, saya terlebih kaget ketika tahu ada banyak orang marah-marah. Termasuk teman-teman sendiri. Apakah pernyataan pejabat itu salah? Di mana salahnya?

Sosiolog Vedi Hadiz pernah mengingatkan, perangkat demokrasi Indonesia dengan santainya sudah ditunggangi mantan politikus Orde Baru. Termasuk partai politik, parlemen, pengadilan, media massa, dan pemilu. Dengan leluasa mereka menyelamatkan, bahkan melipatgandakan, harta warisan dari masa Orde Baru yang tidak berhasil disita bangsa Indonesia.

Pada zaman Orde Baru ketika demokrasi diharamkan, para politikus itu sudah berjaya. Berpangkat tinggi. Harta berlimpah. Ke mana-mana disembah, atau minta disembah para bawahan. Sebagian dari bawahan ini berharap suatu hari kelak akan menggantikan yang disembah.

Sesudah Orde Baru tumbang, reformasi dan demokrasi menjadi kaidah dan slogan yang paling berwibawa. Tetapi, para politikus Orde Baru yang sama tetap berkibar. Ada yang pernah diadili dan dihukum. Tetapi, dengan ilmu akrobatik politik tingkat tinggi mereka dibebaskan. Malahan ada yang diangkat menjadi pejabat tinggi negara.

Mereka tahan banting terhadap perubahan iklim politik. Sekarang ada kebebasan berpartai politik, bertengkar di parlemen, atau bersaing dalam pemilu. Tetapi, yang menang ya itu-itu lagi yang dulu berkuasa pada zaman Orde Baru. Untuk mereka, Indonesia boleh berguling-guling dari satu sistem politik kenegaraan ke sistem lain, dari yang paling fasis, demokratis, atau anarkis. Bagi mereka, semua itu "cuma cara" menuju tujuan yang sama: harta dan kuasa.

Jadi, buat apa marah jika ada di antara mereka yang membuka rahasia perusahaan? Mestinya kita terharu mendengar kejujuran itu. Persoalannya bukan apa pendapat mereka tentang demokrasi, tetapi mengapa orang-orang dengan pandangan seperti itu bisa merajalela di Indonesia, juga di banyak negara demokrasi yang lain?

                                           ***

Mungkin demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang ada, tetapi demokrasi tidak usah dikeramatkan seperti Orde Baru mengeramatkan Pancasila, UUD 1945, atau pembangunan. Demokrasi dipahami orang berbeda-beda.

Ada yang memahami demokrasi sebagai kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilihan umum. Tetapi, jangan lupa, lewat pemilu seorang Hitler terpilih di Jerman (1933) dan Bush di Amerika Serikat (2000). Ada yang meragukan kualitas proses pemilu di Singapura. Saya berani bertaruh, seandainya pemilu mereka bebas-bersih-terbuka, pemenangnya akan tetap sama.

                                                     ***

Di banyak negara otoriter di Asia, demokrasi diteriakkan rakyat kecil dengan pengertian berbeda. Tuntutan berdemokrasi artinya "jangan rampok tanah kami", "jangan culik anak kami", "jangan tembak bapak kami", atau "jangan perkosa putri dan ibu kami". Bila diktator di negara mereka terguling, rakyat kembali sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Mereka ogah berpolitik, apalagi membangun demokrasi.

Itu yang terjadi di Indonesia sesudah tumbangnya Orde Baru (1998). Juga di Thailand sesudah rakyat menolak kekuasaan militer (1992) dan di Filipina setelah jatuhnya tirani Marcos (1986). Saya duga akan sama bila junta militer di Burma runtuh.

Ada pengertian demokrasi lain yang kurang populer. Yakni, demokrasi sebagai proses dan kerja bareng sebanyak mungkin warga negara dari beraneka latar belakang dan cita-cita. Mereka tidak perlu setuju dalam semua hal, kecuali menghargai perbedaan itu sambil tarik-ulur kata dan kekuatan, mencari kesepakatan yang selalu sementara sifatnya. Ini proyek berjangka panjang, mahal, dan meletihkan. 

Adakah yang berminat pada demokrasi dalam pengertian ini? Di tanah air kita pemilihan umum dibilang pesta demokrasi dan calon presiden bersaing tarik suara seperti ikut Indonesian Idol. Dí Amerika Serikat jumlah pemilih yang datang ke kotak suara sering kali hanya separuh dari yang berhak. Di Australia, pemilu dijalankan seperti P4 di Indonesia. Hukumnya wajib dan ada sanksi pidana bagi pemilih yang tidak hadir di tempat pemungutan suara. 

Kalau demokrasi itu baik, kenapa orang mesti dipaksa-paksa di negara yang liberal? Mengapa di banyak tempat demokrasi tidak meningkatkan peradaban atau kesejahteraan rakyat? Kalau kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilu tidak cukup, apa lagi yang dibutuhkan?

                                                ***

Jawabnya disinggung dalam film Sicko arahan Michael Moore. Percuma saja ada kebebasan demokrasi bila rakyat sakit-sakitan, takut pada pemerintah, miskin, dan kurang terdidik. Bagi mereka tidak penting negara ini demokrasi atau tidak, atau siapa berkuasa.

Mirip seperti pejabat yang hidup berlimpah, bagi mereka yang serba kekurangan: demokrasi, revolusi, demonstrasi, pawal umum, ibadah, atau premanisme itu semua "cuma cara".

Ariel Heryanto, sosiolog


Sumber: Kompas, 16 Desember 2007

Kebaya Merah di Tebing Kanal

Karya Martin Aleida

"Pulang ke negeri sendiri adalah angan-angan yang sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah jadi negeri yang dikuasai jin."


Oleh: MARTIN ALEIDA


Berulang kali. Tak terhitung. ”Mas..,” bujuknya. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca. Aku merapat ke punggungnya. Mengikuti arah nanap matanya. Membelai pundaknya, mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.

”Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah. ”Itu Ibu..,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk mataku menyisir tubir tebing yang lengang. ”Mas, lihat... Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru...”

”Lihat,” dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. ”Itu tuh... Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke jendela. ”Ya, yang di tengah itu. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”

Lagi-lagi aku tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh. Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, Ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat Khatulistiwa...

Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah dapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan yang dibiarkan tentara menyudahi hidup Ayahnya.

Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan, untuk membuat semua pembangkang ”orde baru” berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.

Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu Ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusar belum mengering, Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk. Dia dilarikan, dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri. Empat puluh hari kemudian, Tante bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Ibu harus dibuang ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek yang suci. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi dalam bentuk susu formula.

Pulang ke negeri sendiri adalah angan-angan yang sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah jadi negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.

Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini.

Sesungguhnya dia merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen kami cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.

Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa yang tewas melompati tembok itu mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk melompat ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun. Barangkali, dia mengira, itu pilihan terbaik untuk bisa bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayah di surga.

Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemeriksaan. Kami melenggang berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.

Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terjangkau pikiranku. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya. Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia keluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya.

Di Aachen, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, Belgia, di Les Trois Bornes. Yang jadi pembatas negara itu bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik. Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.

Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami. Apalah arti pembatas, walau baja, bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda. Kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-endap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.

”Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam surat, tentang Ibunya yang harus dibuang.

”Tidak. Itu akan memperkuat alasan kita minta suaka.”

Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tasnya. ”Yang ini, Mas...” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Mereka telan bulat-bulat.

”Tak usah.”

Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara di Sumatera. Di bawah langit malam, mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak mampir ke sebuah cafe yang baru buka pintu. Sementara dua kawan lain meninggalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk. Keluar lagi. Mengisyaratkan kami supaya segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dan dia menghilang.

Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.

Kami ditempatkan di penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca, hingga pensiun 15 tahun kemudian. Niat untuk pulang sudah tenggelam. Di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa dimanusiakan. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor ke kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.

Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor, yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.

”Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Sekian kali pula kujawab dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa masakan kesenangan kami: bebek panggang dari restoran Thai di tengah kota Amsterdam.

Berbasa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.

Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Matanya tajam. ”Ah.., tanya lagi, tanya lagi... Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun. Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. ”Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri, matanya tak kenal ampun.

Aku bangkit. Merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.

Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi...!” Hanya ditelan angin lalu. ***

Martin Aleida, menyelesaikan tiga buku, termasuk karya jurnalistik, Tuhan Menangis, Terluka, selama pandemi korona. Dia genap berusia 80 tahun ini.

Sumber:

Kompas.id, 18 Jun 2023

Senin, 15 Desember 2025

Berpikir Kritis adalah Skill Wajib di Zaman Serba Viral

Sumber: Fb

Di zaman serba viral, kecepatan sering dianggap lebih penting daripada kebenaran. Informasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, emosi lebih laku daripada penjelasan, dan opini yang keras lebih mudah mendapat perhatian daripada analisis yang tenang. Dalam situasi seperti ini, berpikir kritis bukan lagi sekadar keunggulan intelektual, melainkan keterampilan bertahan hidup.


Dalam buku Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman dan Factfulness karya Hans Rosling, dijelaskan bahwa otak manusia secara alami menyukai cerita yang sederhana dan emosional. Masalahnya, dunia nyata jarang sesederhana itu. Tanpa berpikir kritis, kita mudah menjadi bagian dari arus viral yang menyesatkan, bahkan tanpa sadar ikut menyebarkannya.


1. Berpikir Kritis Membantu Memilah Informasi, Bukan Menelan Mentah


Konten viral sering dirancang agar mudah dicerna, bukan agar benar. Judul dipadatkan, konteks dipotong, dan emosi ditonjolkan. Berpikir kritis mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa yang tidak ditampilkan? Dari mana sumbernya? Dengan kebiasaan ini, kita tidak mudah terseret arus mayoritas.


2. Viral Tidak Sama dengan Valid


Banyak orang menganggap sesuatu benar karena banyak yang membagikannya. Padahal popularitas tidak pernah menjadi bukti kebenaran. Berpikir kritis melatih kita membedakan antara ramai dan sahih. Ia membuat kita berani tidak ikut arus meski sendirian, demi menjaga akurasi dan integritas berpikir.


3. Emosi Sering Menjadi Alat Manipulasi


Konten viral paling efektif adalah yang memicu marah, takut, atau merasa paling benar. Dengan berpikir kritis, kita belajar mengenali kapan emosi sedang dimainkan. Saat emosi dikenali, daya manipulasi konten langsung melemah.


4. Berpikir Kritis Menjaga Kita dari Polarisasi


Dunia viral cenderung membelah: hitam-putih, kami-mereka, benar-salah. Berpikir kritis menolak penyederhanaan berlebihan. Ia membuka ruang untuk nuansa, konteks, dan kemungkinan bahwa dua hal yang tampak bertentangan bisa sama-sama mengandung kebenaran parsial.


5. Ia Membantu Kita Tidak Mudah Terpancing Debat Kosong


Banyak perdebatan viral sebenarnya tidak bertujuan mencari kebenaran, melainkan mencari pengakuan. Orang yang berpikir kritis bisa mengenali debat yang tidak produktif dan memilih mundur tanpa merasa kalah. Energinya disimpan untuk hal yang lebih bernilai.


6. Berpikir Kritis Membentuk Sikap Rendah Hati Intelektual


Kritis bukan berarti sok pintar. Justru berpikir kritis membuat seseorang sadar bahwa pengetahuannya terbatas. Kesadaran ini melahirkan sikap terbuka, mau belajar, dan mau merevisi pandangan jika ditemukan fakta baru. Inilah kebijaksanaan yang langka di era viral.


7. Ia Menjaga Kebebasan Berpikir


Tanpa berpikir kritis, pikiran mudah diseret oleh tren, tekanan sosial, dan opini mayoritas.

Berpikir kritis memberi jarak antara diri dan arus. Dari jarak inilah lahir kebebasan berpikir: kemampuan untuk setuju atau tidak setuju dengan sadar, bukan karena ikut-ikutan.


________

Di zaman serba viral, yang paling berbahaya bukan kurangnya informasi, tetapi ketidakmampuan menyaringnya. Berpikir kritis bukan tentang menjadi skeptis terhadap segalanya, melainkan tentang bertanggung jawab atas apa yang kita yakini dan bagikan. Dan di tengah kebisingan digital, orang yang mampu berpikir jernih akan selalu selangkah lebih aman, lebih dewasa, dan lebih merdeka.

SANG KIAI




Cataan Pinggir Goenawan Mohamad

(TEMPO, No. 42, Thn. XIV, 15 Desember 1984)


Tak setiap orang punya kiai. Tak semua orang Indonesia, biarpun dia Muslim, hidup atau pernah hidup di bawah bayangan seorang tokoh yang – dengan serban dan jas tutup serta keahlian ilmu agama itu – hadir untuk sekitarnya.


Saya termasuk di antara mereka yang tak mengenal dekat figur semacam itu. Karena itulah saya terpesona akan lukisan yang disajikan Syu'bah Asa, ketika ia menulis kata pengantar untuk Kitab Usfuriah yang terbit Juli yang lalu. Uraian Syu'bah tidak sistematis, pengalimatannya kadang berkelok-kelok, tapi deskripsinya tentang tokoh kiai tak mudah saya lupakan.


Seorang kiai, kata Syu'bah Asa, "Adalah pertama kali seorang bapak." Ia bapak bagi pengikutnya. Ia juga bapak bagi, "Anak tetangga yang akan dielusnya kepalanya waktu bertemu atau ditanyainya siapa bapaknya." Ia tokoh yang bisa galak waktu mengajar, tapi penuh belas kasih kepada hal sehari-hari. Ia, "Menyembelih ayam dengan pisau yang sangat tajam... agar si ayam tak tersiksa, seperti yang diajarkan Nabi." 


Tokoh ini jelas bukan "sekadar seorang ustad juru tablig"." Juga bukan cuma "ilmuwan agama yang jujur" yang bisa "bentrok dengan sekitarnya". Pada galibnya, ia bukan cuma pendatang di satu tempat; ia justru termasuk cikal bakal suatu lingkungan, dengan akar yang kukuh di sana.


Tema pokok dalam hidupnya, tulis Syu'bah pula, adalah "pemeliharaan". Ia melindungi daerah yang berada di bawah wibawanya – biasanya satu atau beberapa desa di sekitar kota – dari tekanan orang luar. la ibarat bemper. Ia punya umat, yang sekaligus, sering kali, tetangga. Ia punya komunitas. Ia mendapatkan rezeki bersama mereka, mempunyai sumber sosial ekonomi di antara mereka. Ia punya kepentingan dengan semua itu. Ia menjawab pertanyaan, menyelesaikan sengketa, dan mengajarkan agama serta kearifan. Ia memberikan suatu martabat kepada paguyubannya.


Dari lukisan seperti itu, saya bayangkan bahwa tipe ideal kiai yang ditampilkan Syu'bah Asa adalah tipe yang "membina ke dalam". Ia bukan pemimpin yang mencoba "menaklukkan" dunia di luar komunitasnya – biarpun komunitas itu bisa melebar. Di luar wilayahnya, ia toh tahu ada kiai lain. Atau, kalau tidak, suatu dunia yang – seperti dibuktikan sejarah berpuluh-puluh tahun – tak pernah berhenti jadi "beda": toko-toko pecinan, kantor polisi, asrama tentara, kabupaten, sekolah negeri, atau hotel serta bungalo tempat orang asing datang menginap.


Ia tak ingin mengusik dunia seperti itu, selama dunia itu tak mengusik dunianya. Saya teringat satu anekdot tentang K.H. Wahab Chasbullah almarhum, pendiri NU. Cerita ini dikisahkan seseorang yang pernah jadi mahasiswa di Amerika awal tahun 60- an. Waktu itu, sang kiai ikut rombongan muhibah Presiden Soekarno ke Washington D.C., dan sejumlah mahasiswa Indonesia di negeri jauh itu bertugas mengawalnya. Syahdan, pada suatu malam sehabis resepsi, ketika pulang ke hotel, Pak Kiai yang sudah sepuh dan capek itu tiba-tiba saja duduk nglemprak di lantai lift....


Mahasiswa Indonesia yang berada dalam lift itu merasa malu bahwa tamu agung dari tanah air mereka tampil seperti itu. Tapi Pak Kiai tidak: ia tak merasa minder. Ia begitu yakin, dan ia tak terusik. Seluruh sikapnya adalah sikap yang tak merasa risau oleh "Barat". Ia tak ingin seperti "Barat", sebagaimana ia juga tak hendak melabrak "Barat". Di dalam lift itu, dengan kain sarungnya, Pak Kiai menarik sebuah garis demarkasi.


Yang dinyatakannya sudah tentu bukan konfrontasi, melainkan koeksistensi. Barangkali ini pun mencerminkan tema pokok itu: "pemeliharaan". Tak ada sikap agresif, sebagaimana tak ada sikap defensif. Dalam hidup sehari-hari, seorang kiai sebagai yang dicitrakan kata pengantar Kitab Usfuriah adalah seorang yang melihat dunia dengan "sangka baik", dengan husnuzh zhann. Pelbagai hikayat, dalam lektur pesantren yang diterjemahkan oleh Musthafa Helmy ini, dengan memikat memang menyiratkan semangat harapan dan penghiburan.


Maka, sang kiai agaknya bukanlah tokoh yang, dari dalam dirinya, cenderung melontarkan paguyubannya ke dalam gejolak. Ia memang terkadang seperti orang yang gemar "cari selamat", dan menukar murninya ajaran dengan pelbagai kompromi. Tapi apa mau dikata: ia memang tak hendak mencelakakan komunitas tempat ia hidup dan jadi bapak – dan ia toh tak merasa perlu membuktikan kemurnian Islamnya.


Bila ia seorang ahli fiqih, ia umumnya tahu bahwa hukum Islam telah melintasi pelbagai abad, dan berkembang seraya meniti buih ke seberang sejarah. Murni atau tak murni adalah soal yang tak cuma diperdebatkan di zaman ini. Keputusan tentang itu bukan monopoli suatu masa, bukan pula monopoli suatu mazhab. Kitab-kitab kuning itu menunjukkan sederet yurisprudensi: kekayaan perbandingan yang tak ada taranya, dalam garis riwayat yang satu.


Barangkali kesadaran akan hadirnya sejarah yang luas itu lagi yang menyebabkan sang kiai bertambah arif: begitu banyak yang dicitakan manusia, begitu banyak yang ingin diperbaikinya, tapi Allahu Akbar dan kita hanya duli. Sejarah adalah kisah-kisah ketidaksempurnaan. Hanya dengan sangka baik kepada dunia kita tak akan putus asa kepada rahmat-Nya.


Goenawan Mohamad •


Sumber: TEMPO, No. 42, Thn. XIV, 15 Desember 1984

TERBARU

MAKALAH