alt/text gambar

Kamis, 18 September 2025

Memahami Krisis Moneter '98

 


4. Neraca Pembayaran 


Dalam tahun laporan, neraca pembayaran mengalami tekanan-tekanan yang cukup berat. Kuatnya permintaan dalam negeri menyebabkan impor nonmigas tetap tumbuh tinggi. Situasi tersebut diikuti pula oleh melambatnya ekspor nonmigas sebagai akibat ketatnya persaingan di pasar internasional dan maraknya pasar dalam negeri. Perkembangan tersebut mengakibatkan transaksi perdagangan nonmigas kembali mengalami defisit sehingga defisit transaksi berjalan meningkat tajam. Namun, pada periode yang sama peningkatan arus modal masuk bersih juga meningkat pesat. Peningkatan arus modal tersebut terutama berasal dari pemasukan modal swasta, sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan investasi. Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan neraca pembayaran masih menunjukkan surplus.

Dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan, selain telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan permintaan domestik, Pemerintah juga mengambil langkah-langkah deregulasi di sektor riel pada bulan Mei 1995 dan Januari 1996. Rangkaian kebijakan di sektor riel tersebut bertujuan, antara lain, untuk mendorong investasi melalui peningkatan efisiensi dan daya saing komoditas ekspor, misalnya melalui penurunan tarif bea masuk bagi bahan baku dan barang modal untuk produksi barang ekspor dan penghapusan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Di samping langkah-langkah deregulasi tersebut, sebagai antisipasi meningkatnya pertumbuhan impor Pemerintah berupaya mengendalikan pertumbuhan impor melalui pembentukan Tim Penelitian Proyek-proyek Pemerintah dan BUMN yang bertugas, antara lain meneliti proyek-proyek pemerintah atau BUMN yang memiliki kandungan impor yang tinggi. 

Dalam tahun 1995/96, nilai total impor masih meningkat tinggi, dengan pertumbuhan sebesar 17,6%. Kenaikan terbesar terjadi pada impor nonmigas, yaitu sebesar 19,8%. Pertumbuhan impor nonmigas yang cukup tinggi tersebut terutama berasal dari impor bahan baku/penolong dan barang modal, sejalan dengan lonjakan realisasi investasi, terutama yang berasal dari PMA dan PMDN. Di samping itu, impor barang konsumsi, antara lain mobil penumpang dan bahan makanan, juga meningkat pesat. Sementara itu, nilai ekspor naik 10,0%, dengan sumbangan terbesar dari sektor nonmigas yang mengalami pertumbuhan sebesar 13,94, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, defisit transaksi berjalan meningkat pesat, dari $3,5 milyar atau 2,0% dari PDB menjadi $6,9% milyar atau 3,3% dari PDB.

Dalam tahun laporan, pemasukan modal bersih mencapai $11,4 milyar, sebagian besar berupa modal swasta yang meningkat tajam dan dalam bentuk yang semakin beragam. Selain dalam bentuk penanaman modal langsung dan utang luar negeri, arus modal swasta juga masuk dalam bentuk investasi portofolio. Dilihat dari jangka waktu, sebagian besar arus masuk modal swasta tersebut berjangka menengah dan panjang. Sementara itu, pemasukan modal bersih pemerintah menjadi negatif. Berkaitan dengan percepatan pembayaran utang luar negeri yang berbunga tinggi. Dalam pada itu, posisi cadangan devisa resmi Bank Indonesia meningkat menjadi $16,0 milyar, setara dengan 4,7 bulan impor nonmigas. 


B. Moneter 

Dalam periode 1995/96, sektor moneter diwarnai oleh upaya otoritas moneter untuk mengendalikan ekspansi moneter dalam rangka mengurangi kuatnya tekanan permintaan domestik terhadap keseimbangan ekonomi makro. Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi telah mendorong peningkatan pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit pada bulan-bulan pertama tahun laporan lebih pesat dibandingkan dengan peningkatan mobilisasi dana sehingga kesenjangan antara dana dan kredit cenderung melebar. Hal ini mendorong kenaikan sukubunga dalam negeri, sementara sukubunga luar negeri cenderung menurun. Melebarnya selisih sukubunga dalam dan luar negeri terebut mendorong masuknya modal luar negeri. 

Dengan situasi moneter yang cenderung semakin ekspansif di tengah-tengah pesatnya kenaikan permintaan domestik, pengendalian moneter yang efektif semakin diperlukan guna mencegah bahaya memanasnya suhu perekonomian. Namun, dalam situasi pasar keuangan dalam negeri yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan luar negeri dan cepatnya inovasi produk-produk keuangan, pengendalian moneter menjadi tidak mudah. Penggunaan operasi pasar terbuka (OPT) untuk mengendalikan sumber-sumber ekspansi yang berasal dari dalam negeri akan menghadapi tantangan masuknya arus modal luar negeri yang justru semakin meningkatkan likuiditas perekonomian. 

Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian uang beredar, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter dan perbankan yang berhati-hati agar dapat memperketat sumber-sumber ekspansi dalam negeri dan untuk memperkecil kebocoran moneter dari sektor luar negeri. 

Dalam rangka menekan sumber-sumber ekspansi dalam negeri, selain menggunakan OPT, Bank Indonesia juga telah menggunakan piranti cadangan wajib minimum. Pada bulan Desember 1995 Bank Indonesia mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi ketentuan GWM. Dengan ketentuan baru tersebut, komponen yang diperhitungkan diubah dari yang semula giro pada Bank Indonesia dan kas menjadi hanya giro pada Bank Indonesia. Selanjutnya, dalam ketentuan yang baru tersebut bank diwajibkan untuk menempatkan 3% dari dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk giro pada Bank Indonesia yang berlaku sejak Februari 1996. 

Selanjutnya, untuk mengendalikan ekspansi kredit yang berlebihan, Bank Indonesia juga melanjutkan persuasi moral agar laju pemberian kredit oleh perbankan tetap sejalan dengan arah kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan ketentuan mengenai penambahan modal dan peningkatan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bagi bank-bank devisa secara bertahap. Meskipun pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan daya saing perbankan, kebijakan tersebut secara tidak langsung akan mendorong bank untuk lebih berhati-hati dalam memberikan kredit. 

Sementara itu, untuk mengurangi dorongan masuknya arus modal jangka pendek, terutama yang bersifat spekulatif, Bank Indonesia berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah. Pada bulan Juni 1995, Bank Indonesia memperlebar spread kurs jual dan kurs beli Bank Indonesia dari Rp 30,00 menjadi Rp 44,00. Kemudian, pada bulan Desember 1995 Bank Indonesia menetapkan batas kurs intervensi dengan perbedaan antara batas atas dan bawah sebesar Rp 66,00. Di samping itu, Pemerintah juga membatasi jumlah dana luar negeri yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan. 


Sejalan dengan upaya pengendalian tersebut, pertumbuhan beberapa besaran moneter menjadi lebih lambat. Pertumbuhan M1 dapat dikendalikan sehingga mendekati target yang telah ditetapkan dan pertumbuhan kredit sudah mulai melemah meskipun masih relatif tinggi. Sementara itu, pertumbuhan M2 yang pada awal tahun laporan cenderung meningkat secara bertahap melambat sejak semester II periode laporan. Namun, secara tahunan, pertumbuhan M2 tetap lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya sebagai akibat kuatnya pertumbuhan kredit yang didukung oleh arus masuk dana luar negeri. 

Sementara itu, sukubunga deposito terus mengalami peningkatan secara bertahap. Rata-rata sukubunga deposito 3 bulan secara berangsur-angsur meningkat dari 15,9% pada akhir 1994/95 menjadi 17,3% pada akhir tahun laporan. Dengan kenaikan tersebut, perbedaan sukubunga dalam dan luar negeri meningkat dari 9,7% menjadi 11,8%. Kenaikan sukubunga deposito tersebut mendorong kenaikan sukubunga kredit. Sukubunga kredit modal kerja dan investasi secara bertahap meningkat, masing-masing menjadi 19,3℅ dan 16,4% pada akhir Maret 1996. Dengan meningkatnya sukubunga dalam negeri, sejak awal semester II periode laporan pertumbuhan mobilisasi dana menjadi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit sehingga kesenjangan antara dana dan kredit mulai menurun. Pada akhir tahun laporan. Pertumbuhan tahunan kredit turun menjadi 23,6% dan jumlahnya mencapai Rp 242,4 trilyun, sementara pertumbuhan mobilisasi dana meningkat menjadi 28,7% dan jumlahnya mencapai Rp 223,7 trilyun.

Sementara itu, sejalan dengan kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia, ketergantungan pasar valuta asing antarbank kepada Bank Indonesia menjadi semakin berkurang. Hal tersebut tercermin pada penurunan volume transaksi valuta asing antara bank dengan Bank Indonesia. Kurs valuta asing antarbank cenderung mendekati batas bawah kurs intervensi Bank Indonesia, yang mencerminkan tetap tingginya kepercayaan investor luar negeri untuk menanamkan dananya dalam rupiah.

Sumber: HMT Oppusunggu, Sumber Krisis Moneter Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1998, h. 150-154.

Pendidikan Formal dan Kecerdasan Sejati


Pendidikan formal dan kecerdasan sejati bukanlah hal yang identik. Seseorang bisa menempuh jenjang akademik tertinggi, mengumpulkan gelar, bahkan menjadi profesor, tetapi tetap gagal memahami kehidupan secara mendalam atau bersikap bijaksana. Pendidikan formal memang memberi akses pada ilmu pengetahuan, tetapi kecerdasan menuntut kemampuan menghubungkan ilmu dengan realitas, dengan empati, dan dengan kesadaran diri. Di titik inilah Feynman menegaskan perbedaan fundamental antara “pengetahuan yang dihafal” dan “pengetahuan yang dipahami.”

Pendidikan yang hanya berhenti pada tumpukan teori atau pencapaian gelar rentan melahirkan kesombongan intelektual. Orang merasa pintar karena sistem mengakui, padahal dalam praktiknya gagal berpikir kritis, terbuka, dan rendah hati terhadap hal-hal yang belum diketahuinya. Sebaliknya, kecerdasan sejati justru tercermin dalam kemampuan sederhana: meragukan, bertanya, menyederhanakan yang rumit, dan menjelaskan dengan jernih tanpa kehilangan substansi. Inilah yang membuat seorang jenius tidak selalu lahir dari ruang kuliah, melainkan juga dari kepekaan dan kerendahan hati terhadap realitas hidup.

Feynman sendiri, sebagai fisikawan peraih Nobel, dikenal bukan hanya karena kemampuannya memecahkan persoalan sains, tetapi juga karena keterampilan menjelaskan hal sulit dengan cara yang sederhana. Dari sinilah terlihat bahwa kecerdasan bukanlah apa yang kita klaim lewat sertifikat, melainkan apa yang tampak dalam praktik sehari-hari—cara berpikir, cara bertindak, dan cara berinteraksi dengan orang lain. Gelar mungkin dihormati orang lain, tetapi kecerdasanlah yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan bersama.

Kritik terhadap budaya yang terlalu mengagungkan gelar tanpa melihat substansi. Ia mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju pemahaman, bukan sekadar prestise. Kecerdasan bukan hanya soal logika dan hafalan, melainkan kemampuan menimbang nilai, mengolah pengalaman, dan menjadikan pengetahuan sebagai sarana untuk memperbaiki hidup. Maka, alih-alih mengejar pengakuan formal semata, yang lebih penting adalah menjadikan diri cerdas dalam arti sesungguhnya: mampu berpikir kritis, terbuka, dan bijak dalam menghadapi kehidupan.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1Bbw2YKSyv/

Rabu, 17 September 2025

,

Krismon '98: Memahami Beberapa Penyebabnya


Oleh: Anggito Abimanyu


Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan mengenai keadaan ekonomi Indonesia tahun 1998. Jika pertanyaan ini diajukan pada bulan Juni tahun lalu, maka tidak akan sulit untuk menjawab proyeksi perekonomian Indonesia tahun 1998. Proyeksi para ekonom mengenai ekonomi Indonesia tahun 1998 yang dilakukan sebelum bulan Juli hampir semuanya salah, meski belum tentu proyeksi itu tepat. 

Telah lebih dari tujuh bulan perekonomian kita mengalami gejolak. Krisis yang dipicu oleh penurunan nilai rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan bulan Juli lalu dan selanjutnya diikuti berbagai tindakan pengamanan pemerintah seperti kebijakan uang ketat beberapa waktu kemudian, pada kenyataannya tidak sanggup memulihkan krisis. Kebijakan baru di bidang perbankan yang berdampak menaikkan suku bunga deposito bank-bank masih ditunggu, apakah cukup efektif untuk memperkuat rupiah dan menekan inflasi. 

Inflasi dalam dua bulan pertama tahun 1998 telah mencapai 20℅. Kenaikan inflasi kelompok makanan menunjukkan kenaikan yang tertinggi yang pernah dicapai Indonesia sejak Pelita I, yakni lebih dari 15℅ per tahun. Sektor industri manufaktur sejak September mulai menunjukkan kecenderungan yang menurun. 

Pada sektor properti, gejolak moneter dirasakan sangat menyiksa kegiatan usaha. Pada pembangunan perumahan, para pengembang menerima pukulan telak. Sedikitnya ada dua persoalan yang mereka hadapi. 

Pertama, kenaikan harga bahan bangunan. Kedua, kesulitan pendanaan. Gejolak yang terjadi juga merembet pada industri tekstil dan garmen. Tiga puluh sembilan dari 112 industri tekstil dan garmen di Bandung, yang merupakan salah satu sentra industri tekstil kita, telah menghentikan produksinya (Kompas, 3/11). Akibatnya, paling sedikit 40 ribu karyawan mereka terancam pemutusan hubungan kerja. 

Sementara itu, diberitakan pula ratusan industri tekstil dan garmen lainnya terpaksa mengurangi sheft kerja. Total PHK menurut data terakhir dari Depnaker telah mencapai lebih dari 100 ribu karyawan, belum lagi jika ditambah dengan mereka yang dikategorikan setengah menganggur atau kerja paroh waktu.

Industri otomotif yang sebagian besar masih bergantung pada komponen impor juga mengalami guncangan. Kenaikan harga suku cadang kendaraan angkutan umum sebesar 30-50 persen dan harga cicilan kendaraan yang juga naik membuat pengusaha angkutan kota terancam gulung tikar. Selain otomotif, industri pers yang juga masih mengandalkan beberapa bahan baku (kertas, tinta) impor turut terpangaruh. 

Krisis makin diperparah oleh beragam bencana alam yang menimpa Indonesia. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan yang tidak kunjung padam turut memberi andil terganggunya sistem produksi maupun distribusi barang dan jasa. Kekeringan membuat produksi tanaman pangan terhambat. Akibatnya, banyak panen yang gagal. Jangankan mencari air untuk kebutuhan tanaman pangan, untuk kebutuhan pangan minum sehari-hari saja di berbagai daerah sudah sulit. 

Kebakaran hutan yang melahap ribuan hektar areal hutan produktif di berbagai daerah telah membuat jalur distribusi barang dan jasa terganggu. Dalam persoalan kebakaran hutan ini, beberapa negara tetangga bahkan sempat memprotes lantaran negeri mereka ikut terkena polusi asap. 

Kedua bencana tadi, kekeringan dan kebakaran hutan, turut mendongkrak harga berbagai barang kebutuhan. Harga bahan pokok, seperti beras, minyak goreng, lauk-pauk, telah naik sejak beberapa bulan lalu. Demikian pula kebutuhan sandang, perumahan, dan aneka kebutuhan lain. Banyak pihak menduga, inflasi tahun ini akan mencapai dua digit. Pertumbuhan ekonomi jauh di bawah pertumbuhan tahun lalu. Sementara itu, angka pendapatan per kapita dalam dolar AS bisa mengembalikan posisi kita ke negara sedang berkembang, setara dengan India, Cina, dan negara-negara Afrika. 


Sumber: Anggito Abimanyu, "Beberapa Pokok Pikiran Agenda Reformasi Ekonomi", dalam Tim KAHMI JAYA (ed), Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan, 1998, h. 232-233. Judul tulisan di atas dari saya sendiri. 



Wawasan dan Gelar Akademis


Banyak orang bergelar tinggi, tapi wawasan hidupnya sempit. Mereka tahu rumus, hafal teori, tapi kesulitan membaca situasi dunia nyata. Sementara ada orang yang mungkin pendidikannya tidak setinggi itu, tapi bisa berbicara cerdas tentang banyak hal dan selalu relevan di berbagai percakapan. Riset psikologi pendidikan menemukan bahwa wawasan luas berkorelasi dengan kemampuan membuat keputusan lebih baik, mengelola emosi dengan sehat, bahkan menciptakan jaringan sosial yang lebih kuat. Dengan kata lain, wawasan luas memberi nilai yang melampaui ijazah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat fenomena ini. Ada orang yang sangat pintar secara akademik tapi bingung menghadapi persoalan sederhana seperti konflik dengan tetangga atau mengelola uang. Sebaliknya, ada orang yang luwes, bijak, dan terasa “nyambung” diajak bicara, meskipun pendidikannya biasa-biasa saja. Ini yang membuat wawasan luas terasa mahal: ia bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tapi kemampuan memaknai, menghubungkan, dan menggunakan pengetahuan itu dalam hidup nyata.


1. Wawasan Melatih Pola Pikir Fleksibel


Pendidikan formal sering mengajarkan cara berpikir yang linear: ada soal, ada jawaban, ada nilai. Wawasan luas membuat seseorang berpikir dalam banyak perspektif sekaligus.

Misalnya saat menghadapi perbedaan pendapat di tempat kerja, orang yang berpikir kaku hanya akan melihat siapa yang benar dan salah. Sementara orang dengan wawasan luas akan mempertimbangkan konteks, emosi, dan dampak jangka panjang. Hasilnya, mereka bisa menemukan solusi yang tidak hanya benar di atas kertas, tetapi juga diterima semua pihak.

Fleksibilitas ini adalah mata uang sosial yang tak bisa dibeli dengan gelar. Di logikafilsuf kita sering mengulik bagaimana membangun kerangka berpikir yang lebih lentur tanpa harus mengorbankan prinsip, dan itu membuat pikiranmu lebih tangguh menghadapi dunia yang penuh perubahan.


2. Wawasan Mengajarkan Empati Sosial

Ijazah membuktikan kamu lulus ujian, tapi wawasan membuktikan kamu mengerti manusia. Orang yang berwawasan luas biasanya lebih peka membaca suasana, tahu kapan berbicara dan kapan diam.

Contoh sederhana terlihat saat bertemu orang dari latar belakang berbeda. Orang yang hanya mengandalkan teori sering canggung, sedangkan orang berwawasan luas bisa beradaptasi, memilih kata-kata yang membuat lawan bicara nyaman. Ini adalah keterampilan yang tidak diajarkan di kelas, tapi dibangun dari membaca, mendengar, dan mengalami banyak sudut pandang hidup.

Kemampuan ini membuat mereka lebih dihargai di lingkungan sosial dan profesional. Orang merasa didengar dan dimengerti, dan itu membuka peluang kolaborasi yang lebih luas.


3. Wawasan Menajamkan Naluri Mengambil Keputusan

Gelar akademik mengajarkan logika formal, tetapi wawasan melatih intuisi praktis. Orang berwawasan luas cenderung cepat membaca tanda-tanda yang diabaikan orang lain.

Misalnya, seorang pengusaha yang pernah membaca tentang krisis ekonomi di masa lalu akan lebih siap menghadapi gejolak pasar. Ia menggabungkan pengetahuan itu dengan kondisi terkini, sehingga bisa bertindak lebih cepat daripada pesaingnya.

Naluri seperti ini tidak datang dari ujian, melainkan dari proses panjang mengamati pola dunia dan menghubungkannya dengan pengalaman pribadi.


4. Wawasan Membuatmu Sulit Dimanipulasi

Orang dengan wawasan luas tahu bahwa tidak semua informasi bisa dipercaya begitu saja. Mereka kritis terhadap berita, tren, bahkan nasihat populer.

Contoh nyata terlihat saat menghadapi informasi viral di media sosial. Mereka akan memeriksa sumber, mencari sudut pandang lain, dan baru mengambil sikap. Orang yang hanya mengandalkan gelar bisa saja ikut menyebarkan informasi keliru karena merasa sudah cukup pintar.

Sikap kritis ini adalah tameng terhadap manipulasi, baik di dunia politik, bisnis, maupun hubungan personal.


5. Wawasan Membuka Banyak Pintu Rezeki

Banyak orang beranggapan gelar adalah tiket menuju karier sukses. Namun, wawasanlah yang membuatmu tetap relevan dalam jangka panjang.

Orang berwawasan luas tahu cara mengobrol dengan orang dari berbagai latar belakang, memahami tren industri, dan mengantisipasi perubahan. Akibatnya, mereka sering mendapat kesempatan yang tidak datang ke orang yang hanya mengandalkan prestasi akademik.

Kesuksesan karier mereka terasa alami karena mereka tahu cara “membaca ruangan” dan menempatkan diri di tempat yang tepat.


6. Wawasan Membentuk Kepribadian yang Menarik

Tidak ada yang lebih membosankan daripada percakapan yang dangkal. Orang berwawasan luas membuat percakapan hidup karena mampu menghubungkan banyak topik menjadi relevan.

Misalnya, saat nongkrong bersama teman-teman, mereka bisa membahas isu ekonomi sambil tetap membuat suasana santai. Mereka tidak menggurui, tetapi membuat orang lain merasa lebih pintar setelah berbicara dengan mereka.

Inilah yang membuat orang berwawasan luas sering disukai dan diingat. Kehadiran mereka membawa perspektif baru, bukan hanya mengulang pelajaran sekolah.


7. Wawasan Menumbuhkan Kebijaksanaan

Gelar mengukur apa yang kamu tahu, tetapi wawasan mengukur bagaimana kamu memperlakukan pengetahuan itu. Orang berwawasan luas biasanya tidak terburu-buru menghakimi.

Contoh nyata terlihat dalam perdebatan. Mereka tidak sekadar ingin menang, tetapi mencari pemahaman bersama. Mereka sadar bahwa kebenaran itu sering memiliki banyak lapisan dan butuh kesabaran untuk menemukannya.

Sikap seperti ini menciptakan aura kebijaksanaan yang membuat mereka dihormati, bahkan ketika mereka tidak memegang gelar akademik yang tinggi.

Wawasan luas bukan sesuatu yang bisa dibeli, melainkan dilatih setiap hari melalui membaca, berdiskusi, dan mengamati dunia dengan pikiran terbuka. Menurutmu, apakah gelar masih lebih penting daripada wawasan? Tulis pandanganmu di komentar dan bagikan artikel ini supaya lebih banyak orang mulai menghargai pentingnya wawasan dalam hidup.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1B9yeQW1Qs/

Ignas Kleden: Postcript Sebuah Kesungguhan Intelektual

  

Oleh: Hamid Basyaib

 

SANGAT sedikit intelektual Indonesia seperti Ignas Kleden. Ia tak pernah mau berkompromi dalam soal kualitas ide dan kesungguhan dalam menghadapi masalah. Mungkin ini sebabnya ia tak pernah tampil di acara talk show televisi—sebuah medium komunikasi yang tekun memerosotkan mutu percakapan intelektual, selain mengumbar kedangkalan kultural tanpa putus melalui acara-acara hiburan yang keburukannya sulit dipercaya.

Ia meminati percakapan intelektual sejak masih belia, sejak ia, dari kampungnya di Waibalun, Nusa Tenggara Timur, memandangi orang-orang pintar Jakarta menyajikan ide-ide mereka atau berpolemik di media massa. Ia menikmati semua itu dari perpustakaan yang baik di seminari Larantuka, yang selalu menerima kiriman edisi terbaru majalah apapun. Ia menawarkan diri untuk bekerja di sana, supaya bisa menikmati bahan bacaan yang melimpah.

Ia menerjemahkan teks-teks berbahasa Inggris (atau Jerman) untuk Nusa Indah, sebuah penerbit yang komited menerbitkan buku-buku bermutu, menerapkan standar intelektual para pastur pembinanya.

“Saya membicarakan mereka (para intelektual Jakarta) seolah-olah saya mengenal mereka secara pribadi,” katanya, tersenyum geli, mengenang sikap “sok tahu”-nya. Dan ia pun berani menyodorkan ide-idenya sendiri di forum media ibukota, bersanding dengan nama-nama besar seperti Asrul Sani atau Wiratmo Sukito. Waktu itu ia baru awal 20-an, dan menulis kolom-kolom yang bagus di mingguan Tempo atau bulanan Budaya Jaya.

Ia tampak berupaya menawarkan pendekatan akademis terhadap isu-isu sastra, bahasa dan budaya. Ia, misalnya, mengutip Sigmund Freud untuk kolomnya tentang bahasa.

Perujukan kepada para sarjana ilmu sosial ini, untuk isu-isu budaya, jarang dikerjakan oleh para penulis yang menekuni bidang itu. Mereka enggan membaca buku, dan lebih mengandalkan “pengolahan batin yang otentik”—agar tak dikotori oleh ide-ide intelektual para sarjana.

***

Tawaran akademis semacam ini terus diupayakannya sampai puluhan tahun kemudian. Dalam kritik sastra, misalnya, ia akhirnya terang-terangan mengungkap motifnya ketika ia mengritik tulisan penyair Afrizal Malna untuk sebuah kumpulan cerita pendek Kompas (karena tanpa keterusterangan itu rupanya ia merasa maksud tawaran yang sudah sering diajukannya tak dimengerti).

Ia, katanya, ingin menyarankan supaya kritik sastra kita punya referensi teoretis, misalnya pada Paul Ricour, yang sudah banyak mengulas soal ini dengan baik. Mengapa teori orang-orang seperti itu tidak dimanfaatkan?

Tanpa rujukan teoretis, kritik sastra kita hanya akan berputar-putar dengan mengandalkan “kreatifitas” dadakan sang kritikus, sambil mengumbar aneka peristilahan mentereng atau serampangan yang tak tentu maknanya.

Itulah yang dia lihat pada pengantar berjudul “Upaya Membuat Telinga” tersebut—tentu ini ia maksudkan sebagai sekadar contoh terdekat. Dengan kekocakan yang cerdas, ia mengibaratkan tulisan itu dengan pemain yang sibuk membawa bola, asyik menggoreng bola dengan berputar-putar di dekat gawang lawan, tapi tak pernah menendang untuk mencetak gol. Pembaca dibiarkan dalam ketidakmengertian atas maksud si kritikus.

Tulisan itu, katanya, seperti menjanjikan hal-hal yang istimewa, seakan mau mengajak pembacanya menikmati steak yang enak, tapi ternyata hanya menyajikan makanan sehari-hari yang biasa saja.

***

Ketajamannya dalam mengidentifikasi pemikiran orang, dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, tak tertara. Ia menulis pengantar panjang yang sangat bagus untuk antologi Soedjatmoko (Etika Pembebasan, LP3ES, 1984). Baginya, seluruh kerja intelektual Soedjatmoko bertumpu pada martabat manusia, dan dapat dirangkum dalam dua kata: otonomi dan kebebasan. 

Ia dengan gemilang mempertanggungjawabkan klaim itu, dengan secara konsisten menunjukkan dua pokok ide tersebut dalam begitu banyak tulisan Soedjatmoko yang tersebar di jurnal maupun sumbangan artikel di buku-buku yang kebanyakan disunting sarjana lain dan diterbitkan di luar negeri, selain tulisan-tulisan editorial di mingguan Siasat milik Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Soedjatmoko di tahun 1950-an.

Temuannya seperti menjawab kebingungan Arief Budiman dalam menghadapi lanskap luas pemikiran Soedjatmoko, setidaknya yang terhimpun dalam antologi “Dimensi Manusia dalam Pembangunan” (LP3ES, 1981). Dalam resensi atas buku itu di Majalah Tempo, Arief mengeluh bahwa ia gamang menghadapi Soedjatmoko. “Ia seperti melukis di kanvas besar, dengan sapuan-sapuan kuas yang juga besar-besar,” tulis Arief.

Maksud Arief: sebagai pemikir, Soedjatmoko tidak menganut suatu mazhab atau pendekatan tertentu seperti lazimnya para sarjana di kancah ilmu-ilmu sosial, sehingga orang kesulitan untuk melacak dan menggeledah pikirannya.

Ignas Kleden menyanggahnya dan mengajukan dua kata kunci itu (otonomi dan kebebasan), sambil menunjukkan bahwa Soedjatmoko tampaknya banyak terpengaruh oleh Karl Jaspers, seorang psikiater-filosof Swiss-Jerman.

***

Ia juga menulis pengantar panjang yang kuat untuk kumpulan Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989)—sebuah tinjauan brilian yang sangat mungkin tidak disukai penulis bukunya karena ulasannya yang tajam dan sulit dibantah.

Baginya, meskipun Goenawan menebar begitu banyak tema dalam esai pendek yang terbit setiap minggu di Majalah Tempo itu, untuk memahaminya (tapi terutama memahami sikap dan gaya, bukan substansinya), pertama-tama Goenawan harus dilihat sebagai wartawan, dan kedua sebagai penyair.

Konsekuensi dari kedua predikat itu terlihat jelas pada pendekatan jurnalistisnya—yang serba sekilas dan terpotong-potong—dalam menangani isu apapun, dan pada semangat artistiknya dalam membahas isu apapun. Sikap Goenawan, katanya, tidak pernah jelas dalam hampir semua masalah, kecuali dalam soal kebebasan.

Sebab kedua profesi itu, wartawan dan penyair, sangat mementingkan kebebasan sebagai prasyarat—tapi tentang ini pun tidak ada elaborasi yang memadai yang ditawarkan Goenawan, berbeda dari semua isu lain yang disentuhnya, yang selalu ditandai dengan tendensi philosophizing; seakan-akan kebebasan tak memerlukan bahasan filosofis lagi karena sudah sangat jelas manfaatnya bagi manusia/warganegara.

Terhadap obsesi Goenawan pada keindahan bentuk, pada ketekunannya mendekorasi kalimat atau merumuskan proposisi ide dengan elan artistik khas penyair, Ignas berkomentar: Goenawan menebar begitu banyak kembang dalam esai-esainya, tapi susah ditebak apa jenis tanamannya.

Dengan kata lain: keluhan Ignas terhadap Goenawan Mohamad mirip keluhan Arief Budiman tentang Soedjatmoko, yaitu ketiadaan disiplin metodologis pada keduanya.

Esai-esai pendek Goenawan itu, setidaknya bagian-bagiannya, menurut Ignas, tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai pernyataan diskursif yang bisa didiskusikan, melainkan sekadar cetusan keluar dari suatu perenungan batin yang intim.

Inilah yang disebut Karl Raimund Popper dengan “expressionism epistemology”—ia memang terpengaruh Popper sejak sebelum kuliah di Jerman. Konsekuensi dari karakter tulisan seperti itu, menurutnya, ialah: kita hanya bisa menerima atau menolaknya—tidak ada peluang untuk diskusi.

***

Kecemelangan Ignas Kleden semakin terlihat saat ia merangkum percakapan di seminar HIPIIS di Palembang, 1996. Ia menulis postcript itu di jurnal Prisma.

Ia menjahit dengan sangat rapi begitu banyak gagasan—dari soal strategi besar pembangunan negara hingga perhitungan konsumsi kalori rakyat Indonesia dan rasio gini nasional—dan menjadikannya masuk akal bahwa semua itu memang saling terkait, dan terutama membuat kita mendapat kebulatan pemahaman yang memadai terhadap perhelatan keilmuan yang meriah itu.

Siapapun tahu bahwa membuat catatan akhir semacam itu—yang berhasil mengaitkan paparan semua pemrasaran, dengan menangkap ide-ide besar mereka sambil melayani detail-detail dan ilustrasinya—merupakan pekerjaan yang saya duga bahkan panitia penyelenggara seminar  pun tidak sanggup mengerjakannya.

Dan yang lebih mengagumkan: ia memotret seluruh ide yang dipertukarkan di sana semata-mata dari meneliti makalah-makalah para peserta. Ia tidak hadir di Palembang.

Ia pernah mencoba membentuk lembaga riset yang lebih berorientasi aksi, bertumpu pada upaya menumbuhkan spirit demokrasi, terutama untuk Indonesia Timur. Sangat sedikit kiprahnya yang kita dengar.

***

Seperti kebanyakan pemikir serius, ia tampak kurang peduli pada harta, dan tidak pandai mencari uang. Ia berangkat diam-diam tadi subuh. Ia tak akan pernah hadir lagi di kota manapun—ia memulai perjalanan dari stasiun Waibalun pada Mei 1948, dan berakhir di Jakarta, Januari 2024.

Ia tak menitipkan apa-apa kepada kita. Tapi kita tahu: sejak lama generasi-generasi intelektual Indonesia terinspirasi oleh titipan karya-karya cemerlang Ignas Kleden—suatu inspirasi penting yang dulu tak mudah kita dapatkan dari intelektual lain, dan makin sulit kita raih hari-hari ini. ***

Gus Dur dan Marxisme-Leninisme

Oleh: Roy Murtadho


Perjumpaan Gus Dur dengan Marxisme-Leninisme

PERJUMPAAN Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biografi yang ditulis oleh Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capital karya Marx dan What Is To Be Done? karya Lenin. Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book nya Mao (kutipan kata-kata Ketua Mao).[1] Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme Marxisme dengan agama.[2] Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam Marxisme-Leninisme.

Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan Marxisme-Leninisme sejak masa remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapapun untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya. Dari semua esainya, setahu penulis, hanya ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaitu Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme yang dimuat pertamakali dalam Persepsi No. 1 1982.[3] Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan ekspektasi Gus Dur atas Marxisme-Leninisme.

Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Sikap terbuka ini, kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan oleh ayahnya, Wahid Hasyim, dimana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid biasa bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar ideologi. Bahkan bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang berhaluan Komunis.

Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur yang pada masa remajanya telah membaca Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa Gus Dur tidak tertarik untuk mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis? Pertanyaan tersebut juga bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia di era orde baru enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu? Pertanyaan ini relevan untuk diajukan dimuka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya Marxisme-Leninisme bagi pemikiran Islam.

Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat kajian Marx di era orde baru. Pertama, Secara historis kaum muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang memposisikan Islam dan Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965. Kedua, para intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru. Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan oleh upaya mencari kesesuaian Islam dan Developmentalism. Nalar instrumental yang dibawa serta oleh developmentalism tak pelak menyeret intelektual Islam Indonesia masuk pada narasi: ‘apakah kontribusi Islam terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju sebagaimana proyek orde baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih argumentasi teologis dan historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan. Ketiga, politik anti-komunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan. Konjungtur politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx dan Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia.

Dengan demikian, Marxisme di era orde baru berada di tepian kajian humaniora di Indonesia. Ini berbeda dengan di era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan Indonesia, dimana Marxisme bisa dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi primadona dan memberi pengaruh besar bagi kaum pergerakan pada masanya. Bahkan ketika Tan Ling Djie, seorang Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut Muhammad Hatta sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya tentang Marxologie sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya. Ia mengaku seorang marxis yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan seorang Marxis”.[4] Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat ini.

Perlunya Mencari Kesesuaian Islam dan Marxisme

Secara umum, esai Gus Dur yang berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme berisi pesan perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan Marxisme. Berbeda dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar anti terhadap komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur justru melihat perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme. Ia tak khawatir akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut. Sebaliknya, ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui “penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme tersebut. Di sinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini pasca 65.

Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan tersebut lebih bersifat politis, bukan ideologis. Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila. Gus Dur menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari satu sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam praktik.

Bagi Gus Dur menjadi penting dalam konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme dan Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah pemikir muslim semacam Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati. Bahkan Gus Dur mengungkapkan adanya sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Yang lebih mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan Nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir. Gus Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.

Ada yang lebih mengharukan dari esai tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun 1982 dimasa kuat-kuatnya orde baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, sebagimana dilakukan Partai Komunis Italia yang membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global. Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme, yaitu penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis struktur atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme. Inilah yang luput dari Gur Dur, ia tak melihat dimensi revolusiner dari filsafat Marx yaitu penemuannya atas tendesi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara ilmiah. Sebagaimana diungkapkan Engels dalam Speech at the Graveside of Marx[5] bahwa: “Marx menemukan… fakta yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama.”

Relevansi Islam dan Marxisme Menuju Another World is Possible

Dalam esainya, Gus Dur sangat terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia yang salah satunya dimotori oleh Antonio Gramsci. Kita tahu di Eropa, teori Gramsci menjadi sangat terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya sosialisme via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.

Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur. Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang berkembang jauh dari apa yang selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan runtuhnya Tembok Berlin dimana semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti gagal dan segera ditinggalkan, Fredric Jameson[6], seorang kritikus sastra dan teoritisi politik Marxis, malah mengatakan bahwa Marxisme makin diperkuat dan diremajakan oleh keterbebasannya dari tradisi Soviet yang monolitik. Dengan adanya Revolusi Cina dan Kuba, Kiri Baru Amerika, peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari kebekuan Stalinisme dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan pluralistik.

Sementara, jika kita melihat konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin sosialis-kiri radikal yang pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya: Michelle Bachelet, mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo Morales, tokoh gerakan petani suku Indian, presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden Venezuela; Lula Da Silva, presiden Brazil; Netro Kirchner, presiden Argentina; dan Daniel Ortega, presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan presiden Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua Amerika.

Jadi di abad ini, percobaan sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende, seorang presiden Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di Chile dan deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol, memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin. Sayangnya, Via Chilena (jalan Chili) menuju sosialisme yang dicanangkan Allende melalui pidato pelantikannya yang sangat terkenal: “…Sekarang rakyat telah berhasil merebut kekuasaan atas nasib mereka sendiri, untuk berderap maju menuju sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun 1973, digulingkan secara brutal oleh militer Chilieatas perintah Amerika, dalam sebuah operasi militer yang diberi nama “Operasi Jakarta”. Kudeta tersebut telah merenggut nyawa Allende berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta jiwa itu.

Penulis percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery (Pusat dan Pinggiran), yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di Utara dan negara-negara miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan terus dilanggengkan. Bagi Samir Amin, ada pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana terjadinya peralihan surplus dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang disebutnya “periphery” (negara-negara pinggiran) ke negara-negara maju yang disbutnya ”centre” (negara-negara pusat).[7] Dari kolonialisme berupa penjajahan politik hingga neo-kolonialisme berupa penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah negara-negara Dunia Ketiga atau negara periphery, selamanya hanya diposisikan sebagai tempat penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat pemasaran hasil produksi negara maju.

Penutup

Kita patut bersyukur mempunyai agawaman sekaligus pemimpin semacam Gus Dur yang tak pernah dogmatis dan selalu terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya perubahan. Penulis baru sadar bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, dimana ia mengkritik sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme. Gus Dur tidak bergeser setitikpun dengan konsistensi sikap politiknya.

Terakhir, agar prasangka atas komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa, setitikpun jangan!. Nelson Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang Marxis. Sahed Baghat Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan anehnya, semoga tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama mentahbiskan dirinya sebagai Marxis. Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri. Berikut kutipan lengkapnya:

“Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah anti-Kapitalisme. Pancasila adalah Anti “explotation de’l home par l’homme”. Pacasila adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila kiri”[8]

Kenapa kita yang begitu bersemangat dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak siap menerima kenyataan ini. Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan toleran? Sepertinya hanya Allah yang tahu.***

Roy Murtadho, guru ngaji, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik dan aktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Penulis bisa diubungi melalui roy.murtadho@gmail.com.

Poin-poin utama esai ini merupakan bahan awal dari materi tambahan atau suplemen untuk “Pondok Mahasiswa” di Purwokerto.


Catatan Kaki:

————-

[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 53.

[2] Ibid., 54.

[3] Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme”, dalam Aula, September (1988). Sebelumnya pernah dimuat dalam Persepsi, No. 1, (1982), dan kini dibukukan dalam Kacung Marijan dan Al-Brebesy (ed.), Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), dan menjadi prolog dalam buku karya Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta: LkiS, 2015). Dan dimuat dalam website NU online.

[4] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2003). Catatan kaki No. 203, hlm. 690-691.

[5] Lih. Frededich Engels, “Speech at the Graveside of Marx,” dalam Karl Marx and Engels: Selected Works, diterjemahkan dan disunting oleh Marx-Engels-Lenin Institute, vol 2. (Moscow 1951), 2:153.

[6] Frederic Jameson dalam Pendahuluan atas karya Henri Arvon, Estetika Marxis, (Yogyakarta: Resist Book, 2010).

[7] Untuk menilik pemikiran Samir Amin lebih lanjut lih. Samir Amin, Imperialism and Unequal Development, (New York: Monthly Review Press, 1978). Unequal Development, (New York: Monthly Review Press. 1976). Capitalism in the Age on Globalization, 1997.

[8] Lih. Bonnie Triyana dan Budi Setiyono: Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 63

 

TERBARU

MAKALAH