alt/text gambar

Jumat, 10 Oktober 2025

Wawancara DN Aidit

Wawancara Intisari dengan DN Aidit awal 1964, selama 2 jam banyak minum air putih dan kopi pahit


[...]


Kawan hidup Aidit seorang dokter spesialis atom untuk kesehatan tetapi juga seorang aktivis Gerwani. Namanya, nyonya dokter Tanti Aidit. Mereka kawin pada tahun 1948, rupanya di Solo. "Sebenarnya anak saya 4, tetapi karena yang bungsu kembar jadi 5," kata Aidit sambil menarik-narik kedua pipa celananya sampai-sampai ke atas lutut.


Tatkala nyonya Tanti mengadakan spesialisasi di Moskow, anak-anaknya turut serta. Dua anak perempuan yang tertua sekolah di sana sampai sekarang, 1 SM, 1 SD. Tiga yang di rumah semuanya lelaki. Dokter Tanti Aidit mengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Bung Aidit berkendaraan mobil mentereng Dodge hitam karena sebagai wakil ketua MPRS dia adalah Yang Mulia Menteri. Dengan sendirinya tokoh seperti dirinya banyak pikiran dan pekerjaan. Namun tetap segar, jernih mukanya. Seminggu sekali sedapat-dapatnya ia berenang.


Kesehatan perlu bagi seorang pemimpin, "Kalau pemimpin sakit, bukan dia saja menanggung akibatnya, tetapi organisasi masyarakat." Politikus yang tak berolahraga menurut pendapatnya abnormal. Selama wawancara 2 jam itu, Aidit banyak minum, rokok, dan secangkir kopi pahit.


Dia pun gemar musik. Musik yang indah mampu melenyapkan keletihan tubuh. Tidur cukup 4 – 5 jam sehari. Asal betul-betul pulas.


Pernah karena kesibukan dalam MPRS ia tak tidur dua hari dua malam. Seorang politikus menurut pendapatnya seharusnya gemar juga akan kesenian. Kesenian membantu perkembangan pribadi yang harmonis, perkembangan pikiran, dan perasaan.


Dia gemar kesusasteraan. Shakespeare misalnya. Karena sekalipun ia bukan seorang sosialis tetapi karya-karyanya melukiskan keadaan masyarakat pada zamannya. Amir Syarifuddin suka juga membaca Shakespeare. Sobron Aidit seorang sastrawan terkemuka adalah saudara kandungnya. Jamak kalau Aidit pun menyukai puisi.


Dulu dia beranggapan untuk politik cukup mengetahui sosiologi. Itu sebabnya dia membaca banyak buku sosiologi di museum. Itu tak benar, harus ditambah dengan ekonomi dan politik. Orang berpolitik harus belajar banyak. Mengambil keputusan-keputusan politik hanya berdasarkan surat kabar atau majalah tidaklah cukup.


Karena itu kader-kader PKI sendiri diwajibkan mengikuti pelajaran. Untuk itu dibuka Akademi-akademi seperti Akademi Ali Archam, Dr. Rivai, Dr. Ratulangi, dll. Kalau kader-kader PKI militan dan semangat itu karena mereka telah mendapat pendidikan, latihan, dan contoh dari pimpinan.


Seorang kader yang mengeluh tentang beban sandang pangan dewasa ini, misalnya, harus insaf bahwa rakyat banyak yang ia bela lebih sulit keadaannya. Padahal kekuatan mereka justru dalam kesetiakawanan dengan massa rakyat. Demikian keterangan bung Aidit.


Saya ajukan pertanyaan: selama berjuang dalam politik sejauh ini manakah puncak baginya? Dijawab, "Proklamasi kemerdekaan," lalu ditambahkan "Itu sampai sekarang…. Entah nanti!"


Itulah sekadar perkenalan pertama dengan bung Aidit. Belum mendalam tentu, tiada lengkap pula. Maklum hasil percakapan 2 jam saja.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034305424/wawancara-intisari-dengan-dn-aidit-awal-1964-selama-2-jam-banyak-minum-air-putih-dan-secangkir-kopi-pahit


#DNaidit #pki #partaikomunisindonesia

,

BAN BIN BUN

Kolom Tempo

Oleh: Emha Ainun Nadjib


Selama tak kurang dari 20 tahun saya hormati dan kagumi kakak kandung saya, sedemikian rupa sehingga sekarang saya memutuskan untuk memberontak kepadanya. Saya seorang wanita tulen: oleh karena itu, saya tahu untuk belajar memiliki kejantanan yang tak dimiliki oleh kakak kandung saya yang lelaki itu.

Sudah pasti. Saya ambil keputusan untuk bilang tidak dan telah saya siapkan diri untuk mereguk risikonya. Seseorang yang berbakat untuk ditindas biasanya menambahkan kalimat itu dengan ... meskipun saya wanita"; tetapi tambahan dari saya ialah "justru karena saya wanita".

Waktu kanak-kanak, betapa bangga saya melihat kakak saya itu paling pintar mengaji tetapi juga memimpin teman-temannya mencuri mangga di kebun siapa saja. Waktu di sekolah menengah saya merasa kenakalan kakak saya sama penting dengan kecerdasannya. Kemajuan dunia akan lamban dan keindahannya akan berkurang apabila kenakalan semacam itu tak diperbolehkan ada. Dan kemudian ketika ia memasuki universitas, jadilah ia seorang muslim yang patuh dan keras. 

Matanya berbinar-binar membicarakan ratusan juta muslimin yang disebutnya bodoh, terbelakang, dan tertindas. Tangannya berkibar-kibar mengecam susunan-susunan keadaan politik atau ketidakadilan kerajaan ekonomi dunia dan peng-"kelas"-an sosial budaya yang meletakkan saudara-saudaranya seiman di selangkangan kaki kekuasaan sejarah.

Kakak saya bercita-cita merintis berbagai bentuk kebangkitan Islam dan kalau bisa ia akan kasih lapangan kerja kepada seluruh penganggur muslim di seantero bumi. Pada pendapatnya, kaum Muslimin harus mengubah posisi ban dan bin menjadi bun. 

Dalam bahasa Arab, b-an itu obyek, b-in itu dibawahkan. Dan b-un ialah subyek. Maka, kakak kandung tercinta saya itu berangkatlah mensubyeki dirinya sendiri, untuk akhirnya siap mensubyeki dunia dan sejarah.

Dan langkah pertama yang ia lakukan ialah keluar dari universitas. Sistem persekolahan dipandangnya sebagai rumah pegadaian tempat anak-anak bangsa dihimpun untuk mengabdi kepada perusahaan peradaban yang seolah sengaja menghancurkan tetes demi tetes kemanusiaan. 

Dengan bersekolah anak-anak manusia digiring untuk menjual murah dirinya kepada mesin dan toko-toko kekuasaan politik ekonomi yang secara perlahan tapi pasti membawa umat manusia lebih cepat memasuki kuburan hari depannya. Sejarah begitu gelap di mata kakak saya. Sehingga, kalau saja Tuhan bersedia mengubah tempo lakon yang dimaui-Nya, kakak saya ingin merombak kegalauan itu dalam waktu satu atau dua bulan.

Cinta kakak saya kepada perbaikan nasib umat manusia melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Perbaikan sejarah sudah menjadi cita-cita pribadinya dan hampir tak ia sisakan lagi ruang untuk cita-cita yang menyangkut dirinya sendiri. Ia anti-karier pribadi. Ia mengabdi kepada proses masyarakat. Ia tidak pernah berbicara bahwa ia ingin menjadi apa pun di masa depannya. la menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial keagamaan, bahkan merintis jemaah-jemaah ekonomi umat, yang dipandangnya akan bisa menumbuhkan daya kuasa politik dan kebudayaan dalam jangka jauh. 

Setiap gejolak peri lakunya merupakan semacam sub-versi di bawah versi-versi nilai yang menggelombang di permukaan sejarah. la cenderung bersikap sangat keras terhadap setiap kemapanan, dan saya kira ia tidak cukup hati-hati karena terlalu mengandalkan Allahswt. untuk menjadi faktor pengaman dirinya di tengah tentakel- tentakel kekuasaan.

Ayah kami yang makin uzur usia hanya pasrah kepadanya dan Ibunda di kubur entah apa yang dibatininya. Kakak saya memimpin seluruh situasi rumah, juga kendali ekonominya. Kakak saya tidak bekerja dan memang memilih tidak membudakkan dirinya terhadap perusahaan ekonomi atau politik sekularistik apa pun. Ia rajin bikin proposal kegiatan-kegiatan, memperoleh dana dari luar negeri, dan tampaknya kami menumpang hidup dari dana kemelaratan umat manusia itu. Atau lebih tepat disebut kami makin bergantung kepadanya, meskipun belum bisa disebut kami menjadi kaya raya berkat komoditi kemiskinan itu.

Hal terakhir ini makin menggelisahkan saya, meskipun sejauh ini membayangkan saya hanyalah segumpal ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, saya membayangkan kemungkinan langkah yang agak berbeda dengan kakak saya.

Sudah lama saya mematuhi kakak saya. Sejak di sekolah menengah saya berjilbab. Ada sesuatu di dalam diri saya maupun di luar diri saya yang membutuhkan saringan dan kontrol: untuk beberapa hal, menjamin kemungkinan saya untuk mengembangkan kepribadian bisa saya pasrahkan kepada jilbab. Dengan demikian, jilbab justru dan pilihan nilai-nilai yang saya anut.

Tetapi mungkin saya berkeyakinan kakak saya agak berlebihan dan ia tak cukup sabar berhadapan dengan langgam perubahan dunia. Kakak saya makin berkembang menjadi pemimpin. la tentukan kepada siapa saya boleh berkawan atau berpacaran. la buang buku-buku atau koran yang katanya tak baik untuk saya baca. Ia kontrol setiap langkah keseharian maupun setiap gejala keputusan hidup saya. 

Saya sedang menunggu kapan ia mulai mengatur bagaimana sebaiknya saya menyungging senyum, berapa kali sehari saya mandi serta berapa kali mulut saya harus mengunyah sebiji pisang goreng. Tetapi instruksi terakhir yang saya peroleh ialah bahwa saya harus berhenti kuliah. Pertama, agar saya terhindar dari dosa-dosa struktural. Kedua kakak tercinta itu telah memprogram saya di dalam berbagai kegiatan, misalnya training pembebasan, sosialisasi ideologi, atau proyek pemberian susu bagi penduduk miskin. 

Saya katakan tidak. Sebab, hubungan kami adalah hubungan pengertian dan anjuran.Tidak seorang pun berhak menentukan saya kecuali keyakinan saya sendiri. Tidak sebuah pihak pun berwenang mengatur langkah kaki saya kecuali kesadaran perhitungan saya sendiri. 

Bagi saya yang penting bukan bagaimana tidak bersekolah, tapi bagaimana menyikapi hasil sekolah.

Sumber: TEMPO, No. 32, Tahun XVII, 10 Oktober 1987


,

REFORMASI DALAM BIDANG EKONOMI

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Banyak gejala dan terutama diskusi mengindikasikan bahwa masyarakat banyak, terutama yang intelektual dan semi intelektual, menghendaki perubahan. Perubahan yang dikehendakinya dalam banyak bidang, antara lain yang penting tentunya adalah bidang politik dan ekonomi. 

Namun kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh perilaku dan pikiran-pikiran para politisi yang merupakan pimpinan bangsa ini, hiruk pikuknya justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi dan substansi yang dengan istilah besar disebut it dengan kata "perubahan” atau "reformasi". 

Dalam bidang ekonomi, yang paling mendasar tentunya adalah sistem ekonomi, orde ekonomi atau tata ekonomi yang kita anut dan yang kita praktekkan. Diskusi mengenai ini ada, bahkan ada buku yang ditulis oleh Prof. Mubyarto mengenai Sistem Ekonomi Pancasila. Tetapi diskusinya sangat semrawut dan membingungkan. Pikiran-pikirannya juga banyak dalam bentuk negarif, yaitu sistem ekonomi 

kita bukan sosialis, bukan komunis, bukan kapitalis, bukan liberal. Sistem ekonomi kira adalah yang Pancasila. Sistem ekonomi yang Pancasila itu yang seperti apa, tetap saja tidak jelas. 

Yang berdiskusi tetap berdiskusi, roda ekonominya ber. jalan terus. Produksi dan distribusi berjalan terus. Produk Domestik Bruto tumbuh. Semuanya berjalan dalam satu sistem yang riil, yang bekerja secara efektif, tanpa meng. hiraukan diskusi yang ada. Mengapa demikian? Karena diskusi yang ada tidak memberikan gambaran yang konkret, jelas, dan bisa dimengerti. Apalagi formulasinya yang serba negatif dan serba bukan, sehingga oleh Frans Seda dijuluki sebagai paham ”bukanisme”. | 

Kalau ada yang setuju bahwa sistem yang berlaku di Indonesia sebaiknya adalah sistem kapitalisme atas dasar mekanisme pasar, serta merta ada saja yang mengatakan bahwa mereka itu ekstrem kanan, kebarat-baratan. Masih saja ada yang mengatakan bahwa kapitalisme itu jelek, karena kapitalisme menghasilkan imperialisme yang menjadikan kita dijajah oleh Belanda sekian lamanya, dengan segala kesengsaraan yang menyertainya. 

Kenyataannya adalah bahwa orang per orang sebagai individu boleh memiliki kapital. Kapital ini boleh dipakai untuk berusaha, berproduksi, dan berdistribusi untuk meraih laba. Besarnya laba yang bisa diraih tergantung dari kekuatannya di pasar dalam persaingan. Batasan mengenai besarnya akumulasi kapital yang dibolehkan dari laba tidak dibatasi. Batasan laba yang boleh diraih juga tidak dibatasi. Besarnya laba diserahkan kepada harga yang dapat diperoleh dari pasar dan dari volume penjualan yang dihasilkan dari bekerjanya mekanisme pasar yang didasarkan atas persaingan bebas. Tidak ada satu suara pun yang mengatakan bahwa yang demikian itu jelek, bertentangan dengan Pancasila dan bertentangan dengan UUD 1945. Kalau ada yang mengatakan bahwa yang demikian itu kapitalisme, langsung saja banyak yang mengutuk, bahwa itu tidak benar. Indonesia tidak mengenal kapitalisme. Sekali lagi, kalau kepada yang mengatakan demikian diminta untuk menguraikan yang seperti apa yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tidak keluar pikiran yang konkret, operasional dan bisa dimengerti. 

Dikatakan kita tidak menganut kapitalisme, tetapi dalam kenyataan, paham yang dianut adalah dibolehkannya individu memiliki kapital sebagai hak miliknya yang dilindungi oleh undang-undang. Besarnya kapital yang boleh dimilikinya juga tidak dibatasi sama sekali. Buat saya ini adalah kapitalisme. Apakah ini perlu direformasi? Menurut saya tidak perlu.

Jadi pemilikan kapital boleh, besarnya tidak dibatasi, boleh digelembungkan terus melalui usaha, yaitu berproduksi dan berdistribusi. Ini yang sudah berjalan dan menaikkan PDB kita setiap tahunnya, meningkatkan pendapatan per kapita kita, memakmurkan bangsa kita, tetapi kurang merata dan kurang adil. Jadi dalam pahamnya tidak perlu ada reformasi. Yang perlu adalah bagaimana membuat lebih adil dan lebih merata. Caranya nanti dalam tulisan khusus lagi, karena cakupannya yang luas, dan rinciannya yang banyak. 

Mekanisme bekerjanya paham ini bagaimana? Dalam berproduksi dan berdistribusi, semua orang boleh ikut serta. Apa yang harus diproduksi, berapa banyak yang harus diproduksi, bagaimana spesifikasi produknya tidak dikomandokan oleh pemerintah. Yang menentukan adalah selera konsumen, yang memberikan sinyal-sinyalnya kepada pasar. Semua berproduksi menurut tafsirannya sendiri-sendiri tentang apa yang dikehendaki oleh konsumen. Ada yang tepat, barangnya laku, usahanya menjadi besar dan pemiliknya menjadi kaya. Ada yang meleset, usahanya merugi dan pemiliknya menjadi miskin. Jatuh-bangunnya para usahawan melalui mekanisme pasar dengan persaingan. Apakah mekanisme tentang pengaturan produksi dalam jumlah, macam ragam, kualitas, harga, dan sebagainya yang demikian itu jelek, sehingga perlu perubahan atau reformasi? Saya kira tidak perlu ada reformasi dalam bidang ini.

***

Apakah praktek kita sudah seperti yang digambarkan di atas? Tidak. Pasar didistorsi oleh oknum-oknum penguasa yang berkolusi dengan pengusaha menghalang-halangi persaingan. Akibatnya monopoli atau kondisi monopolistik adalah kenyataan. Praktek persaingan kotor dan praktek bisnis yang kotor menggejala, seperti menyalahgunakan Bursa Efek, menyalahgunakan kredit bank, ekspor fiktif, dan sebagainya. Apakah ini baik? Tidak. 

Dalam bidang ini kita perlu reformasi. Bagaimana? Yang paling fundamental adalah harus ada campur tangan pemerintah, agar praktek-praktek demikian terjaring oleh hukum. Jadi dalam bidang mekanisme pasar dan persaingan yang berlaku, perlu ada pembaruan dan reformasi. Bagaimana bentuknya yang konkret sudah banyak yang memberikan sumbangan pikiran. Sayang bahwa kebanyakan orang hanya mampu dan asyik berdebat mengenai kulit-kulit yang hiruk pikuk. 

Kita sangat kurang mampu memahami dan menelurkan gagasan-gagasan yang teknokratik, yang operasional, dan yang konkret. Kepada mereka yang menghendaki pembaruan atau reformasi, marilah kita berdiskusi pada dataran yang ini.

Cepat atau lambat, kita nantinya akan tiba pada formulasi-formulasi tentang aturan main mengenai praktek bisnis, mekanisme pasar, dan persaingan yang kita terima sebagai baik melalui konsensus. Ketika itu nanti akan ternyata, bahwa tanah, kekayaan alam, dan aset produktif dalam magnitude yang sangat luar biasa besarnya sudah telanjur dimiliki oleh individu-individu tertentu melalui cara-cara yang kita anggap kotor, sehingga harus direformasi. Cara-caranya memiliki segala kekayaan ini melalui praktek kotor yang didasarkan atas nepotisme, kolusi, dan korupsi. 

Pada suatu saat nanti, kita akan bisa mewujudkan secara efektif semua konsep, pikiran, dan pola-pola yang kita anggap sebagaimana mestinya, yang wajar, adil, dan fair. Pada satu saat nanti, kita akan mampu menegakkan hukum. Apakah kerika itu nantinya, semua yang sudah telanjur dimiliki oleh individu-individu tertentu melalui cara-cara yang kotor perlu kena reformasi, yang harus digugat, dan disita kembali oleh negara? Inilah yang perlu didiskusikan untuk mencapai konsensus. Diskusi melalui konsensus harus diupayakan, terutama kalau kita khawatir bahwa alternatifnya adalah kemungkinan pemaksaan reformasi melalui kekerasan. 

Artikel ini adalah pengantar, sekelumit yang elementer tentang reformasi yang banyak kita bicarakan, tetapi belum tahu harus berubah menjadi apa? Masih banyak yang perlu kita teropong. Marilah kita mulai diskusikan secara terbuka dan transparan, karena proses yang demikian menjamin reformasi yang tertib dan damai.

Kwik Kian Gie, ekonom senior

Kompas, 22 Juli 1996


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.


,

SISTEM EKONOMI PANCASILA: Upaya Memahami Prof. Dr. Mubyarto

Drs. Kwik Kian Gie

Oleh: Kwik Kian Gie


Di Kompas 21 April 1997 saya menulis tentang "Kapitalisme di Indonesia”. Pada 7 Mei 1997 Prof. Mubyarto menanggapi dengan judul: ”Kapitalisme, UUD 1945, dan Kwik Kian Gie”. Banyak terima kasih atas tanggapan tersebut. Pada 12 Mei 1997, Tajuk Kompas membahas hal yang sama dengan judul "Mengacu ke Manakah Jalan Ekonomi Pasar yang Kita Tempuh Ini”. Karena telah beberapa kali saya sempat berdiskusi dengan Prof. Mubyarto tentang masalah yang sama, maka banyak yang sudah diketahui olehnya, jawaban apa yang akan saya berikan terhadap sanggahan atau pikiran beliau. Supaya lebih produktif, sesuai dengan yang dianjurkan oleh Prof. Mubyarto dan Tajuk Kompas, bahwa diskusi ini bermanfaat, saya akan memberikan gambaran operasional tentang Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) tanpa menggunakan istilah "kapitalisme” sama sekali. Tentu akan banyak pengulangan dari apa yang telah sering saya tulis. Semoga tidak membosankan. 

***

SEP menurut saya adalah ekonomi kerakyatan yang berarti bahwa seluruh rakyat, atau setiap warga negara dibolehkan ikut serta dalam proses produksi dan distribusi. Artinya, mereka dibolehkan memiliki modal yang menjadi hak milik pribadinya. Modal ini boleh dipadukan dengan faktor-faktor produksi lainnya untuk membuat barang dan jasa, yang dijual kepada para konsumen dengan memperoleh laba. Bentuk hukum dari organisasinya boleh apa saja. Yang lazim adalah perusahaan perorangan (eenmanszaak), persekutuan perorangan (maatschap), firma, firma komanditer, perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama (onderlinge). Dengan demikian, akan terbentuk sangat banyak produsen yang dalam menjajakan barang dan jasa hasil produksinya saling bersaingan. Setiap produsen bebas menentukan sendiri barang apa yang akan diproduksi, berapa jumlahnya, dan berapa harga yang dimintanya. Semuanya ini tidak ditentukan oleh pemerintah secara sentral. Yang menjadi petunjuk bagi mereka tentang barang apa, berapa jumlahnya dan harga berapa yang akan dipasang adalah harga yang terbentuk di pasar. Harga yang terbentuk di pasar adalah hasil dari bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran. 

Ada banyak sekali produsen dari barang yang sama yang saling bersaing di pasar. Karena mereka mempunyai daya kreasi dan daya inovasi, cara-caranya bersaing juga seribu satu macam. Di antaranya banyak sekali yang kotor, melanggar kewajaran, melanggar etika, melanggar kejujuran. Cara-cara yang tidak baik ini dicoba ditiadakan atau diminimumkan dengan peraturan dan pengaturan. Yang lazim adalah undang-undang anti-monopoli, undang-undang antitrust, undang-undang tentang persaingan. 

Walaupun semua boleh berusaha, dan cara bersaingnya sudah wajar, adil, jujur, dan fair, ada yang mandek sama sekali, ada yang maju sedikit, maju agak banyak, maju sangat banyak, dan maju menjadi raksasa dan konglomerat. Di antara semua pengusaha terbentuk satu mosaik dalam skala dan besarnya usaha dari yang gurem, seperti pedagang asongan dan pedagang kaki lima, pengusaha kecil, menengah, sampai yang raksasa dan konglomerat. Mosaik ini dinamis. Yang gurem bisa tumbuh, yang sudah besar bisa menyusut dan hancur.

Jadi ekonomi kerakyatan akan menghasilkan mosaik tersebut. Karena SEP juga berasaskan kekeluargaan, maka sebagai sesama anggora keluarga, kita tidak tega kalau ada yang tertinggal terlampau jauh, sehingga terus-menerus kecil saja skala usahanya. Maka dengan bermodalkan uang rakyat seluruhnya yang dihimpun secara gotong royong sebagai hasil pajak, yang tertinggal ini didongkrak, dilindungi, dan didukung. Di Indonesia, landasan pengaturannya adalah Undang-undang Koperasi dan UU Usaha Kecil. Lembaganya adalah Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil. Pemimpinnya, tidak tanggung-tanggung, diberi pangkat menteri. Program kerjanya banyak sekali, misalnya proyek IDT, KUK, KMKP Kemitraan, dan masih banyak lagi. 

Yang kita bicarakan tadi adalah pengusaha yang tidak punya majikan. Ada banyak sekali orang yang menjadi pegawai dari para pengusaha tersebut. Mereka adalah kaum buruh. Dalam SEP karena kita mengenal Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, kaum buruh adalah manusia yang upahnya tidak boleh sebagai harga yang tingginya diserahkan pada hasil kekuatan perpaduan antara permintaan dan penawaran. Kita mengenal UMR dan sejumlah perangkat peraturan dan pengaturan yang sifatnya mempertahankan derajat dan martabat buruh sebagai manusia. Di Indonesia, ada UU Perburuhan, ada Departemen Tenaga Kerja yang juga tidak tanggung-tanggung kekuasaannya, karena berpangkat menteri. 

Setiap orang mempunyai pendapatan dari nafkah dan usahanya. Besarnya sangat bervariasi. SEP tidak bisa menerima perbedaan yang terlampau mencolok itu, karena bertentangan dengan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Maka yang pendapatannya sampai dengan Rp 1.728.000 per tahun bebas pajak. Yang lebih tinggi dari ini, dikenakan pajak yang tarifnya progresif. Kita mengenal tiga tarif, yaitu 10, 15 dan 30 persen. Dengan demikian sedikit banyak dilakukan redistribusi pendapatan, yang sifatnya pemerataan, karena pendapatannya dipakai untuk kepentingan rakyat seluruhnya yang dikoordinir oleh pemerintah. Yang menentukan penggunaannya rakyat seluruhnya, karena DPR ikut menentukan. 

Asas kebersamaan dan asas kekeluargaan yang begitu dominan di dalam UUD 1945 sebenarnya adalah gotong royong, yaitu yang sedang beruntung karena mempunyai pendapatan, memberikan sumbangannya untuk dijadikan dana santunan kepada mereka yang sedang membutuhkan. Yang sudah ada adalah Astek dan beberapa program lainnya. Kalau mau, untuk setiap kebutuhan bisa dibuat program asuransi wajib ini, misalnya untuk memberantas biaya pengobatan, untuk memberi pendapatan yang kehilangan pekerjaan karena sedang sakit, santunan kepada janda, yatim piatu, santunan kepada yang cacat, yang sedang menganggur dan sebagainya. Keseluruhan ini disebut sistem jaminan asuransi sosial. 

Dengan demikian, asas kebersamaan dan kekeluargaan menjadi gotong royong menyangkut seluruh rakyat. Karena begitu besar jumlahnya, dan tersebar dalam kepulauan yang demikian banyak dan luasnya, maka cakupan pemikiran kita tidak bisa seperti gotong royong yang berlaku di pedesaan, tetapi haruslah organisasi raksasa yang modern. Mau tidak mau menjadi rumit dan membutuhkan keahlian dan profesionalisme yang canggih. 

Barang yang penting bagi negara dan yang menguasai, hajat hidup orang banyak, serta bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikuasai tidak diartikan dimiliki, melainkan diatur. Yang berlaku sekarang, untuk banyak komoditas, rakyat mendapat porsi sekitar 10 persen. 

***

Dahulu, jauh sebelum saya menulis artikel tentang "Kapitalisme di Indonesia” di Kompas tanggal 21 April 1997 tersebut, saya sering kali ditanya oleh wartawan dan kawan-kawan diplomat asing. Mereka bertanya, sistem ekonomi Indonesia itu apa? Saya katakan Sistem Ekonomi Pancasila. 

Mereka bertanya lagi, apakah itu berbeda dengan sistem komunis? Saya jawab sangat berbeda. Lantas ditanya lagi, apakah berbeda dengan sistem yang berlaku di negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lain yang bukan komunis? Saya jawab lagi berbeda SEP adalah orisinal Indonesia yang bersumber dari Pancasila, yang hanya dimiliki oleh Indonesia. Mereka lalu minta saya menggambarkannya dalam tulisan. Saya menuliskan yang kurang lebih seperti di atas. Setelah membaca, mereka bertanya kepada saya: "Anda kan pernah lama sekali tinggal di Eropa, dan lagi pula belajar ekonomi di sana. Apa bedanya dengan sistem ekonomi yang berlaku di Eropa Barat, terutama yang sangat maju dalam keadilan sosialnya, yaitu di Skandinavia, Inggris, dan Belanda”? 

Setelah merenung terpaksa saya jawab, bedanya adalah bahwa dalam praktek dan kehidupan sehari-hari, yang berlaku di negara-negara para penanya itu jauh lebih manusiawi, karena sistem jaminan asuransi sosialnya lebih lengkap cakupannya dan lebih besar jumlah santunannya, sehingga setiap manusia hidup sangat layak. Kedudukan kaum buruh mereka juga sangat kuat, sehingga mempunyai partai politik yang sering kali memerintah. 

Buruh juga mempunyai kedudukan di dalam apa yang mereka namakan "dewan perusahaan”, yang harus memberikan persetujuan atas keputusan-keputusan penting tentang kebijaksanaan perusahaan. Tingkat upah minimum mereka sangat tinggi. Mereka mempunyai undang-undang yang mengatur persaingan ekonomi yang tidak kita miliki. 

Perbedaan tingkat gaji antara yang terendah dan tertinggi sekitar 15 kali, sedangkan di Indonesia boleh tidak terbatas. Banyak sekali yang 300 kali atau lebih. Tarif pajak yang tertinggi sampai melampaui 70 persen. Mereka mengenal pajak kekayaan dan pajak warisan yang kita tidak punya. Dan masih sangat banyak sekali yang berbeda. 

Kwik Kian Gieekonom senior

Kompas, 19 Mei 1997 


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.


Kamis, 09 Oktober 2025

Safari Harmoko

Harmoko


Oleh : Dahlan Iskan


BELIAU begitu loyal kepada Pak Harto. Setiap memberi keterangan pers selalu didahului dengan kata-kata ''sesuai dengan petunjuk bapak presiden''.

Itulah ''predikat'' yang melekat pada Pak Harmoko: ''menteri petunjuk''. Hebat sekali. Presiden Soeharto begitu percaya pada beliau: menjadi menteri penerangan 14 tahun, menjadi Ketua Umum Golkar, menjadi Ketua DPR/MPR.

Padahal beliau itu sipil. Bukan pula sarjana apalagi profesor –seperti umumnya menteri saat itu. Beliau wartawan yang kemudian menjadi pengusaha pers.

Wartawan itu sulit diatur. Beliau, ternyata, juga orang yang begitu tegar melengserkan Pak Harto.

Memang, demo mahasiswanya yang luar biasa: menduduki gedung DPR/MPR. Sampai bermalam di situ. Mereka menuntut Pak Harto mundur. Ekonomi negara memburuk.

Memang, aparat keamanan yang juga ''hebat'': membiarkan demo mahasiswa itu menduduki DPR/MPR. Bagaimana bisa para jenderal yang begitu loyal membiarkan gedung DPR diduduki.

Tapi semua itu menjadi lebih berarti karena Ketua DPR/MPR H. Harmoko, bikin pernyataan resmi: atas nama rakyat minta Pak Harto mundur.

Waktu itu secara legal DPR/MPR adalah lembaga yang sah mewakili rakyat. Dan Pak Harto selalu menghargai legalitas formal itu. Keesokan harinya, Pak Harto meletakkan jabatan.

Sabtu kemarin Pak Harmoko meninggal dunia. Karena sakit lamanya. Di usia 82 tahun.

Seharusnya saya melayat. Saya termasuk sangat dekat dengan beliau. Sesama wartawan. Sesama pengusaha pers. Sesama Golkar. Mudahan beliau memaafkan saya yang tidak bisa melayat.

Minggu ini begitu banyak teman dekat saya meninggal. Sedih sekali. Begitu banyak juga yang masuk rumah sakit. Seorang pengusaha sangat besar juga lagi di ICU. Kabar gembiranya: Azrul Ananda, anak saya, sudah negatif. Tepat di hari ulang tahunnya, 4 Juli kemarin.

Tentu begitu banyak kenangan saya dengan Pak Harmoko. Berkat hubungan baik saya dengan beliau Jawa Pos bisa selamat. Dan berkembang pesat. Banyak pelanggaran yang saya lakukan beliau biarkan: jumlah halaman melanggar, jumlah iklan melanggar, larangan cetak jarak jauh saya langgar. Diam-diam. Semua itu saya selesaikan dengan hubungan baik.

Saat itu menyelamatkan koran sangatlah penting. Mati-hidup koran di tangan menteri penerangan. Wartawan sulit diatur. Sesekali pasti memuat berita yang sensitif. Jawa Pos beberapa kali tergelincir. Saya harus berusaha agar bisa selamat.

Saya ikut gaya pak Jakob Oetama (baca: Yakob Utomo), pemimpin besar grup Kompas. Koran harus selamat –meski kesan negatif melekat pada diri kami: orang yang kompromistis. Kurang memegang prinsip independen.

Saya memang memilih sikap koran harus terus berkembang.

Suatu saat saya harus ''minta petunjuk'' Pak Harmoko: akan mengambil alih harian Merdeka Jakarta. Yang legendaris itu.

Tanpa restu menteri penerangan hal itu akan bahaya.

Sebenarnya kata ''mengambil alih'' kurang tepat. Bapak BM Diah-lah yang meminta saya mengelola koran tertua di Indonesia yang masih hidup saat itu. Beliau adalah pemilik koran itu. Beliau tokoh besar pers Indonesia. Mantan ketua umum PWI Pusat. Mantan menteri penerangan. Beliau sakit-sakitan. Harian Merdeka terancam mati.

Pak Harmoko tidak langsung memberikan restu. Tapi juga tidak langsung memberi isyarat menolak. Sebagai sesama Jawa saya harus tahu membawa diri: saya beralih ke pembicaraan lain.

Seminggu setelah lapor itu, saya dipanggil Pak Harmoko. "Bagus," kata beliau. "Nanti yang jadi pemimpin umumnya xxxx," kata beliau, menyebut satu nama.

Ganti saya yang tidak langsung bereaksi. Sambil tetap tersenyum saya manggut-manggut. Saya tidak mengucapkan kata apa pun. Lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain.

Keluar dari ruang kerja beliau saya pusing. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin umum harian Merdeka yang baru nanti saya kenal. Politisi. Loyalis. Bukan pengusaha. Bukan wartawan.

Maka saya harus cari akal untuk menolak nama itu. Harus dengan cara yang benar–cara Jawa. Saya kan ingin koran itu maju. Kalau nama itu yang tampil menjadi pemimpin umumnya pasti sulit berkembang. Koran itu nanti akan terasa terlalu Golkar. Saya pun memutuskan untuk sementara tidak bertemu Pak Harmoko lagi. Biar beliau lupa dulu.

Lalu datanglah ide baik. Pak Harmoko itu kan nasionalis. Beliau pernah menjadi aktivis GSNI –Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia. BM Diah itu juga nasionalis. Soekarnois. Harian Merdeka itu sangat nasionalis. Pak Harmoko pernah berkarir di harian Merdeka. Sebagai wartawan dan karikaturis.

Akhirnya saya bertemu Pak Harmoko. Saya bilang dengan nada yang amat sangat sopan. Dengan dua tangan ngapurancang. Dengan mata menatap ke lantai.

"Pak Harmoko, semua koran sekarang ini kan sudah Golkar. Bagaimana kalau tetap ada satu koran yang nasionalis. Satu saja. Biar kesannya tetap baik. Saya janji akan menjaganya. Kami kan tahu batas," kata saya.

Pak Harmoko diam sejenak. Lalu: ''Ya sudah, Dik Dahlan atur''.

Pak Harmoko sering menyebut diri sebagai orang pergerakan. Beliau bergerak terus. Jadi pemimpin terus. Beliau menjadi ketua PWI Jakarta. Lalu, ketika PWI Pusat pecah–ada kubu Ketua Umum BM Diah dan kubu Ketua Umum Rosihan Anwar–Pak Harmoko  yang kemudian tampil sebagai pemenang. Dua tokoh pers itu saling mengklaim sebagai ketua umum yang sah. Pak Harmoko yang menjadi ketua umum tunggal berikutnya.

Beliau teguh. Termasuk menghadapi penilaian negatif pada dirinya. Misalnya ketika beliau mendirikan koran Pos Kota. Koran jenis baru di Indonesia saat itu. Kecaman datang bertubi-tubi. Setengah melecehkan. Kok bikin koran kuning seperti itu.

Tapi Pak Harmoko teguh. Di seluruh dunia koran seperti itulah yang oplahnya paling besar. Dan beliau benar. Pos Kota menjadi koran terbesar di Jakarta–secara oplah. Iklan mininya berhalaman-halaman. Menjadi kaya. Bikin percetakan modern. Bikin koran-koran lainnya lagi. Termasuk harian Surya di Surabaya –yang kemudian diambil alih grup Kompas.

Jenis korannya itulah yang membuat Pak Harmoko kurang dikesankan sebagai wartawan intelektual.

Tapi beliau itu memang sangat kaya ide. Dan selalu mengerjakan idenya itu. Beliau seperti kipas angin –berputar terus. Banyak yang mengatakan beliau itu tidak punya pusar –istilah Jawa untuk menggambarkan orang yang tidak pernah istirahat.

Banyak sekali langkah beliau sebagai menteri penerangan. Istilah ''sambung rasa'' sangat terkenal. Ada pula ''kelompencapir'': kelompok pendengar (radio), pembaca (koran), dan pemirsa (TV). Ada juga koran masuk desa. TV masuk desa. Dan yang abadi adalah: Safari Ramadan.

Beliau juga sangat cinta budaya Jawa. Beliau bisa mendalang wayang kulit. Bisa menulis geguritan --puisi berbahasa Jawa.

Beliau sedih ketika majalah berbahasa Jawa kian redup. Beliau minta agar saya menghidupkan majalah berbahasa Jawa, Jayabaya (baca: Joyoboyo). "Kita ajak nanti seluruh redaksi Jayabaya rapat. Saya akan hadir. Nanti rapatnya harus pakai bahasa Jawa," kata beliau.

Beliau pun ke Surabaya. Seluruh awak Jayabaya berkumpul. Saya yang memimpin rapat itu. Saya menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya. Sesuai dengan petunjuk beliau.

Lalu saya mempersilakan beliau berpidato. Memberikan arahan. Beliau pun mulai berpidato menggunakan bahasa Jawa. Kian lama kian seret. Lalu mulai kecampuran bahasa Indonesia. Dan akhirnya beliau menyerah. "Huh..." kata beliau... "sulit juga ya...".

Tentu saya juga beberapa kali ke desa Patihan Rowo di utara kota Kertosono. Itulah tempat kelahiran beliau. Persis di seberang pabrik gula yang kini sudah mati. Sering ada acara di situ.

Tapi saya tidak menyangka beliau lantas mendirikan pesantren tidak jauh dari rumah kelahirannya itu. Bagus sekali. Bangunan fisiknya modern. Beliau mengangkat salah seorang alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo untuk menjadi pimpinan. Beliau sangat terkesan dengan sistem pendidikan di Gontor.

Tapi beliau juga orang yang suka ''nglakoni''. Yakni menjalankan olah jiwa secara Jawa: ke makam, tirakat, ke tempat keramat, dan berpuasa. Beliau hampir selalu puasa Senin-Kamis.

Saya pernah diajak ke tempat seperti itu. Ke sebuah air terjun di gunung. Yang di bawahnya ada sendang (danau mini). Kami harus kungkum (berendam) di sendang itu. Harus jam 00.00. Tengah malam. Sunyi. Sepi. Dingin.

Yang membuat saya panik: beliau kejang di dalam sendang itu. Kami membopongnya keluar dari air. Saya juga kedinginan. Dingin sekali. Pak Harmoko harus selamat. Beliau orang yang begitu penting di jagat politik nasional saat itu.

Tapi kami tidak berani membawa beliau ke rumah sakit. Itu akan menghebohkan. Terlalu sensitif untuk tokoh politik yang begitu sentral. Maka kami membawa beliau ke rumah seorang dokter.

Beres. Aman. Beliau segar kembali. Tidak ada satu wartawan pun yang mendengar. Sampai sekarang.

Saya juga pernah ikut Safari Ramadan. Dari Bandung sampai Banyuwangi. Lewat jalur selatan. Dipilih jalur selatan karena dianggap wilayah itu kurang mendapat kemajuan –dibanding sisi utara Jawa.

Tiap hari jalan darat. Naik mobil. Siang. Malam. Dari satu kota ke kota berikutnya. Tiap hari pukul 02.30 sudah bangun. Harus pergi ke pesantren. Makan sahur di situ. Diteruskan dengan sambung rasa. Dengan warga pesantren.

Beliau memberi pidato di situ. Lalu salat Subuh bersama. Lantas jalan ke kota berikutnya. Sambung rasa lagi. Pidato lagi. Jalan lagi. Terus seperti itu. Dari satu acara ke acara berikutnya. Jalan terus. Pidato terus. Pun sampai habis tarawih. Masih diteruskan rapat dengan pengurus Golkar setempat. Sampai jam 12.00 malam.

Beliau hanya tidur 2 jam. Kami bisa tidur lebih banyak –termasuk saat beliau berpidato. Mata beliau terlihat selalu merah. Selama hampir satu bulan Ramadan penuh.

Sukses. Golkar menang terbesar di Pemilu setelah itu.

Nama Harmoko pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon wakil presiden. Waktu itu cita-cita tertinggi politikus adalah menjadi wakil presiden–karena presiden berikutnya pasti Pak Harto lagi.

Pak Harmoko habis-habisan mengambil hati Pak Harto. Mulai dari prestasi sampai pidato-pidatonya. Di tahun kejatuhan Pak Harto itu pun pak Harmoko-lah yang pertama melontarkan bahwa rakyat masih tetap menghendaki Pak Harto untuk terus menjabat presiden. "Saya sudah keliling seluruh pelosok Indonesia. Semua rakyat menghendaki Pak Harto lagi," begitu kurang lebih kata-kata Pak Harmoko ketika itu.

Ternyata Pak Harto lebih memilih Pak B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pak Harmoko ''dibuang'' ke jabatan ketua DPR/MPR.

Lalu terjadilah reformasi itu.

Pasca reformasi, Pak Harmoko sangat pandai membawa diri: diam. Tidak pernah bersuara. Tidak pernah tampil. Sekali saja beliau ingin ikut partai baru. Saya lupa namanya. Tapi tidak berlanjut. Diam lagi.

Saya masih beberapa kali bertemu beliau. Terakhir sekitar 3 tahun lalu. Beliau sudah sakit-sakitan. Jalannya sangat-sangat-sangat pelan. Tapi ingatan beliau tetap sangat baik. Dan encepan bibirnya masih khas Pak Harmoko. (Ada satu tokoh lagi yang kalau mencep sangat khas: Bu Mega).

Saya masih terus mengamati: bagaimana Pak Harmoko akan ditempatkan dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibenci kelompok anti-Soeharto pada zamannya. Ia dibenci keluarga Soeharto pada akhirnya.(Dahlan Iskan)

Dahlan Iskan

Selasa 06 July 2021

https://www.disway.id/r/1368/safari-harmoko#.YON0ylcxP8A

Sumber: Fb Catatan Dahlan Iskan


,

Penjara Orde Baru, Tempat Pertama Rizal Ramli Beralih dari Fisika ke Ekonomi

Rizal Ramli, seorang aktivis


Penjara Orde Baru, Tempat Pertama Rizal Ramli Beralih dari Fisika ke Ekonomi

-------

Rizal Ramli muda

Bagi yang belum pernah membaca biografi Rizal Ramli, mungkin tak pernah menyangka ahli ekonomi yang satu ini sebelumnya pernah berkuliah di jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ya, saat itu Rizal muda memutuskan untuk kuliah di Fisika ITB lantaran dirinya mengidolakan Albert Einstein, ahli fisika yang pada tahun 1999 disebut oleh Majalah Time sebagai Manusia Abad Ini. 

Sejak SMP Rizal telah mengagumi Einstein. Banyak buku mengenai Einstein yang telah ia baca. 

Saking kagumnya terhadap Einstein, Rizal pun mengoleksi barang-barang yang terkait dengan Einstein. Tak cuma itu, ia pun sempat bercita-cita ingin menjadi fisikawan seperti Einstein.

Lalu, apa alasannya sehingga Rizal beralih bidang dari fisika ke ekonomi?

Sewaktu kuliah di ITB, Rizal menggeluti dunia aktivis. Karena sikapnya yang ikut memprotes pemerintahan Orde Baru pada tahun 1970-an, Rizal dan sejumlah mahasiswa lainnya sempat ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. 

“Nah kemudian di penjara saya baca (buku) terus, kebanyakan soal political economy (ekonomi politik),” Rizal mengisahkan masa lalunya kepada kumparan (kumparan.com), Jumat (8/12) sore lalu.

Memiliki ketertarikan yang begitu kuat terhadap bahasan ekonomi, akhirnya Rizal memutuskan setelah keluar dari penjara ia akan belajar ekonomi, bukan lagi fisika. Dan akhirnya Rizal memang tidak pernah menyelesaikan studi fisikanya di ITB.

Setelah keluar dari penjara di Bandung, Rizal sempat mendapat beasiswa untuk belajar Asain Studies di Sophia University, Tokyo. Di kampus Jepang itu, ia mengambil beberapa pelajaran, salah satunya sejarah ekonomi (economic history).

Kegemarannya membaca buku-buku berbahasa Inggris sejak kecil serta pengalamannya menjadi penerjemah buku-buku berbahasa Inggris dan Presiden Student English Forum (SEF) sewaktu kuliah memudahkan Rizal mendapatkan beasiswa dari kampus luar negeri lainnya.

Beralih dari Jepang, Rizal kemudian mulai berkuliah di Boston University, Amerika Serikat. Di kampus itu Rizal memilih jurusan ekonomi. 

Rizal yang selama ini menyukai pelajaran fisika dan matematika sempat terkejut. 

“Saya kaget ternyata ekonomi itu isinya matematika mulu. Wah saya seneng dong,” kata Rizal.

Rizal Ramli menceritakan kisah semasa muda

Rizal mengaku tidak mengerti banyak istilah ekonomi, tapi banyaknya materi matematika dalam ekonomi telah mempermudah proses belajarnya. 

“Ya saya mah sederhana. Pakai logika matematika ternyata banyak nolong (dalam belajar ekonomi),” ujarnya.

Tekun menggeluti ekonomi, Rizal kemudian meraih gelar PhD dari Boston University. Kembali ke Indonesia dan konsisten bergelut di bidang ekonomi, Rizal pun perlahan mulai dikenal sebagai ahli ekonomi nasional.

Saat era pemerintahan Gus Dur, Rizal sempat dipercaya untuk memegang amanah menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Menteri Keuangan.

Tak cuma bergelut di ekonomi, di era pemerintahan Jokowi pun Rizal sempat dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selama sekitar setahun. 

Berbagai bidang tak menjadi masalah bagi Rizal. Logika dalam matematika dan sikap rasional ala Einstein selalu ia terapkan dalam menghadapi dan menganalisis berbagai masalah serta mencari solusinya. 


https://kumparan.com/@kumparansains/penjara-tempat-pertama-rizal-ramli-beralih-dari-fisika-ke-ekonomi

Fb: Rizal Ramli

TERBARU

MAKALAH