alt/text gambar

Senin, 08 Desember 2025

PROTES

(TEMPO, No. 41, Thn. XV, 7 Desember 1985)


Oleh: Goenawan Mohamad


Di daerah pesisir utara Jawa Tengah yang datar dan berdebu, di pertengahan abad ke-19, seseorang menulis sejumlah buku. Ia adalah Haji Mohamad Rifangi.


Waktu itu usianya pasti sudah agak lanjut. Ia dilahirkan pada 1786 di wilayah Kendal, beberapa puluh kilometer dari Semarang. Ia juga pasti orang yang berilmu dan berpengikut. la anak seorang pengulu, dan itu berarti bukan seorang santri kampung sembarangan. Pada satu tahap dalam riwayatnya, ia berangkat ke Mekkah, dan bermukim selama delapan tahun. Setelah itu, ia kembali, ke tempat ia dilahirkan. Tapi sikapnya berubah.


la bentrok dengan para ulama. Baginya, kehidupan beragama sebagaimana yang dilihatnya di sekitarnya itu keliru. Dan ia mengutarakan soal itu dengan keras. Mungkin karena ini, ia sempat difitnah dan masuk penjara. Tapi Rifangi punya nasib baik: setelah istrinya meninggal, ia menikah dengan janda demang yang makmur. Lepas dari penjara, Rifangi pun pindah ke Kalisalak, mendirikan pusat pengajian dan menulis sejumlah buku.


Sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Protest Movements in Rural Java, Rifangi sebenarnya tak mengumumkan ajaran baru. Karya-karyanya, yang kumpulannya disebut Tarajumah, sejenis bunga rampai terjemahan dari pelbagai kitab. Hanya Haji Mohamad Rifangi menyusunnya dalam bentuk tembang berbahasa Jawa.


Toh bunga rampai itu ia pilih dengan kecaman kepada keadaan di sekitar. Para peng- uasa negeri, di mata Rifangi, berdosa. Para pengulu, pejabat keagamaan resmi, tak mau menuruti perintah menegakkan hukum Allah. Banyak hal menyimpang dari Quran dan Hadis. Maka, orang harus sadar: para bupati dan wedana dan lurah itu tak lain cuma orang-orang munafik. Siapa yang menghamba kepada "raja kafir" dalam hal agama, tak lebih baik ketimbang anjing dan babi.


Sebagaimana umumnya para "reformis", ada sikap kesucian yang memusuhi praktis siapa saja dalam pendirian Rifangi. Ia memang ingin membawakan suatu kehidupan beragama yang tak tercampur dengan noktah apa pun dari luar doktrin. Tak heran bila Rifangi pun menentang hal-hal seperti wayang dan gamelan.


Kita agaknya kenal dengan tipe ini. Dalam riwayat, pelbagai versi Rifangiisme datang dan pergi: perawat-perawat yang gigih yang mencoba mensterilkan ruang sejarah ketika mengarungi waktu. Dalam proses masuk ke luar debu dan lumpur ini, dalam kendaraan yang terguncang-guncang, tiap kita diharapkan tetap murni, bersih. Untuk itu surga menunggu. Juga keselamatan di dunia. Dalam Kitab Nalam Wikayah, salah satu karyanya, Haji Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah "Tanah Jawa" yang makmur, tanpa begal dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.


Tak ayal, para pengikut berkerumun di sekitar kiai Kalisalak. Pertengahan abad ke- 19 dan seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial telah mempertemukan kakek-nenek kita itu dengan lingkungan budaya yang telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada kekuasaan yang terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada bentuk-bentuk kebaha giaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan. Ada frustrasi, ada penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin, sejenis kepastian dan jaminan, di tengah perubahan sosial-budaya yang tak tenteram.


Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering kali memakai bendera Islam, meletup.


Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para penduduk pedesaan Kedu dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai pemimpin ngèlmu Kalisalak. Para santrinya, disebut santri Budiah, memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak menonton wayang; juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan – menurut laporan Residen Pekalongan – mereka menolak kawin di depan penghulu. Para wanita mereka tak keluar ke tempat umum, dan di luar kalangan mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang sesat.


Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang – khususnya para pejabat keagamaan gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang, untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin dianggap suatu ancaman yang bisa mengganggu ketertiban – meskipun Rifangi tak pernah angkat golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri Budiah setelah sang guru tak ada.


Rifangi memang bukan pemberontak. la hanya pemimpin suatu gerakan "sektarian", seperti dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang memisahkan diri, seorang yang merasa paling di depan dalam menjaga kemurnian agama. la layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa selamanya diikuti.


Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu "saat dramatik" ketika Rifangi berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia "kalah". Kita tak tahu bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia bukan  cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.

Goenawan Mohamad■


Sumber: TEMPO, No. 41, Thn. XV, 7 Desember 1985

Jean-Paul Sartre: Orang Lain, Neraka?

Jean-Paul Sartre. Sumber gambar: buku Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000


Oleh: Franz Magnis-Suseno


A. Latar belakang 

Jean-Paul Sartre adalah filosof utama aliran filsafat abad ini yang disebut "eksistensialisme”. Sartre sendirilah yang membentuk kata ini. Sartre lahir di Paris tahun 1905. Ia belajar pada perguruan tinggi elit Ecole Normale Superieure, kemudian menjadi guru di beberapa SMA. Selama dua tahun ia belajar di Jerman di mana ia kemudian juga sebagai tahanan perang. 

Masa besar Sartre adalah tahun lima puluhan. Ia menjadi filosof yang sangat populer di Eropa, khususnya di Prancis. Eksistensialismenya menjadi aliran yang menekankan individualitas dan autentisitas manusia masing-masing yang tidak mau diseragamkan menurut selera massa. 

Orang eksistensialis itu orang yang menentukan sendiri norma-norma dan nilai-nilai hidupnya, yang tidak sekadar membebek pada apa yang dianggap biasa. Bagi orang muda, ekistensialisme menyediakan kemungkinan untuk mengungkapkan identitasnya berhadapan dengan masyarakat yang, dalam rangka pembangunan pasca-perang, menekankan kenormalan dan keseimbangan. Akhirnya "kaum eksistensialis” sendiri pun tidak berhasil menghindari keseragaman: Karena mereka suka memelihara "janggut eksistensialis” dan memakai pakaian kusut yang mirip dengan kaum gelandangan di pinggir sungai Seine mereka malah mudah dikenal juga. 

Tetapi kita akan salah kalau menganggap pemikiran Sartre sendiri hanya sebagai mode. Sartre adalah seorang sastrawan yang bagus, tetapi juga seorang filosof yang berpikir secara mendalam, yang terutama dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Jerman, oleh Hegel dan Heidegger dan kemudian oleh Karl Marx. 

Dengan cukup jelas dapat dibedakan dua tahap dalam pemikiran Sartre. Karya utama tahap pertama adalah L'Etre et le Neant, essai d'Ontologie Phenomenologique ("Keberadaan dan ketiadaan, esai tentang ontologi fenomenologis”), sebuah tulisan panjang dan berat yang diselesaikan pada tahun 1943. Tiga tahun kemudian, terbit L'Existentialisme est un humanisme ("Eksistensialisme adalah humanisme” ). Tahap pertama itulah tahap eksistensialismenya. Pada akhir tahun 50-an, Sartre semakin berpaling pada Marxisme (untuk sementara waktu ia juga menjadi anggota Partai Komunis Prancis). Karya tahap itu adalah Critique de la raison dialectique ("Kritik atas cara berpikir dialektis”). Sebuah etika yang dijanjikan Sartre sejak bukunya yang pertama tidak pernah ditulisnya. 

Sartre berada dalam kontak erat dengan pelbagai pemikir utama Prancis seperti Merleau-Ponty, dan Simone de Beauvoir yang dengannya ia hidup bersama selama dua puluh tahun terakhir hidupnya. Sartre sangat aktif dalam gerakan anti-perang Vietnam dan berpartisipasi dalam revolusi mahasiswa bulan Mei 1968. Ia meninggal pada tahun 1980. 

B. Eksistensialisme dan kerangka fenomenologis 

Sartre sendiri menyebut pemikirannya sebagai eksistensialisme karena pusatnya adalah eksistensi. Eksistensi pada Sartre (dan Heidegger) tidak berarti "berada" dalam arti biasa, misalnya ada orang, ada ayam, ada makanan, melainkan berarti cara keberadaan yang khas bagi manusia. Manusia itu sadar bahwa ia berada, ia “bereksistensi” karena ia menyadari diri berhadapan dengan kekosongan. Eksistensi adalah keberadaan manusia yang sadar bahwa ia ada, bahwa ia menjorok dari ketidakadaannya. 

Eksistensi manusia itu, menurut Etre et le neant, ditentukan oleh dua dimensi, yaitu etre en-soi dan etre-pour-soi, 'berada pada dirinya sendiri' dan 'berada-bagi-dirinya-sendiri'. Yang pertama adalah realitas objek-objek (yang oleh Hegel disebut "An-sich-Sein”), benda-benda yang kita hadapi yang, sejauh menyangkut kita, merupakan realitas mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna. Berada-bagi-dirinya-sendiri adalah kesadaran manusia, subjek dalam arti Hegel ("Fur-sich-sein”), maksudnya, pengada yang mengada “bagi dirinya sendiri”, yang menyadari diri sendiri. 

Yang khas bagi pengalaman kesadaran atau berada-bagi-dirinya sendiri adalah bahwa dia menyadari diri sebagai yang lain daripada objek-objeknya, berada-pada-dirinya-sendiri. Menurut Hegel aku tidak menyadari diri secara langsung melainkan secara tidak langsung, yaitu dalam menyadari sesuatu yang lain. Begitu yang lain saya sadari sebagai yang lain, saya menyadari diri sebagai yang lain daripada yang lain. 

Dengan latar belakang itu kita dapat mengerti jalur pemikiran Sartre. Aku adalah kesadaran diri dan sebagai itu aku berlawanan total dengan alam objektif, dengan alam ada-en-soi. Aku hanya ada sebagai penyangkalan realitas, aku adalah yang bukan-objek, aku tanpa realitas. Aku mempertahankan diri dengan “meniadakan” yang lain. Maka tepat petunjuk Harry Hamersma (1983, 109) pada kemungkinan untuk mengungkapkan ada-pour-soi sebagai nothingness dalam arti no-thingness.

Ketegangan antara berada-pada-dirinya-sendiri dan berada-bagi-dirinya-sendiri merupakan kerangka pemikiran Sartre dalam tahap pertama pemikirannya, tahap eksistensialisnya. Dan meskipun Sartre tidak jadi mengembangkan sebuah etika, akan tetapi pemikirannya mempunyai implikasi etis. Berikut ini saya mendasarkan diri pada analisis Wolfgang Bender (1988, 137-146). Mengikuti Bender, saya akan memfokuskan uraian pada dua pokok gagasan yang menunjukkan relevansi etis pemikiran Sartre, yaitu “kebebasan” dan "orang lain”. Dua tema itu masing-masing akan saya bahas baik menurut tahap pemikiran Sartre yang eksistensialis maupun menurut tahap pemikirannya kemudian yang lebih ditentukan oleh Marxisme. 


C. Kebebasan I 

1. Analisis pertama kebebasan ditemukan dengan paling jernih dalam karangan Sartre 1946, L'Existentialisme est un humanisme (Sartre 1946). Mirip dengan Nietzsche, Sartre bertolak dari ateisme keras. Penyangkalan adanya Tuhan merupakan unsur kunci dalam filsafatnya. Sartre berpendapat bahwa manusia hanya bebas apabila tidak ada Tuhan. Dan manusia memang bebas. Maka Tuhan tidak boleh ada. 

Dari tiadanya Tuhan, Sartre menarik kesimpulan bahwa bagi manusia "eksistensi ... mendahului esensi" (1946, 18). Apa yang dimaksud Sartre? Makhluk-makhluk bukan manusia tentu sebaliknya. Kalau kijang atau pohon cemara, eksistensi, pertumbuhan dan perkembangannya mengikuti hakikatnya, esensinya. Akan tetapi manusia adalah ada-pour-soi, no-thingness, lawannya dari segala objektivitas. Ia yang lain dari yang lain. Esensi, hakikat adalah ada-en-soi, sedangkan manusia adalah kesadaran. Dunia objektif berhadapan dengan kesadaran. Tubuhku sendiri, lingkunganku, data-dataku seperti umur, kesempatan bersekolah atau bekerja atau pergaulan dengan orang lain dsb., semuanya itu bukanlah aku, melainkan kusadari, jadi semua unsurku itu adalah bukan-aku, objekku, terhadapnya aku harus mengambil sikap: Menyetujui atau menolak, merangkul atau menganggapnya sepi. Aku adalah kekosongan total, keterbukaan, kebebasan, aku berada ke arah masa depan. 

Keadaan itu menurut Sartre disertai perasaan putus asa dan absurd, tak masuk akal. Memang, kalau tak ada Tuhan, eksistensiku, kenyataan bahwa aku menemukan diri dalam dunia, merupakan rahasia yang tak terselami. Aku tidak tahu mengapa aku ada, aku menemukan diri bereksistensi. 

2. Esensiku, hakikatku, adalah hasil pilihan atau putusanku. Aku bertanggung jawab penuh atas diriku sendiri: "Kalau memang benar bahwa eksistensi mendahului esensi, maka manusia bertanggung jawab atas kenyataannya” (1946, 24). Karena akulah yang mengambil sikap. Sartre menegaskan bahwa dalam pilihan di mana aku menjadikan diri itu, aku sekaligus mengacu pada manusia pada umumnya. Manusia “bukan hanya bertanggung jawab atas individualitasnya, melainkan ia bertanggung jawab atas semua manusia” (1946, 24). Aku menjadikan diri menurut apa yang kusadari sebagai kemanusiaan. Jadi aku merealisasikan kemanusiaan melalui putusan bebasku sendiri. Dan aku sendirilah yang bertanggung jawab. Maka aku merasa sepi dan takut. Aku dihukum untuk bebas. Aku tidak dapat lari. "Tak ada peraturan moralitas umum yang dapat menunjukkan apa yang harus kaulakukan” (1946, 47). Apa yang harus saya putuskan dalam situasi konkret, berhadapan dengan sebuah masalah, tidak bisa dideduksikan dari suatu peraturan atau norma moral. Gagasan ini akan menjadi inti etika situasi Joseph Fletcher. 

Sebagai ilustrasi, Sartre menceriterakan bagaimana, pada waktu Prancis diduduki Jerman, seorang pemuda minta nasihat kepadanya tentang apa yang harus dilakukannya [1946, 39ss.]: Tetap tinggal bersama ibunya yang sendirian, atau melarikan diri ke Inggris untuk masuk pasukan de Gaulle. Sartre tidak mau memberikan jawaban. Hanya pemuda itu sendiri yang dapat memutuskannya. Karena ia harus memilih apa yang lebih bernilai, tetapi apa yang bernilai baginya justru ditentukan sendiri dalam keputusannya. Di sini pun kita melihat dekatnya Sartre denga Nietzsche. Tak ada nilai-nilai yang mendahului keputusan manusia. Keputusan bebas itulah yang menciptakan nilai-nilai [“c'est la liberte comme fondement de toutes les valeurs”, 1946, 82). Tak ada norma dan tak ada nilai yang di luar manusia. Yang ada di luarnya adalah ada-en-soi dan terhadapnya ia justru tidak boleh tunduk. Ia harus autentik, artinya menjadi nyata sesuai dengan dirinya sendiri. Dan dirinya sendiri terwujud melalui pilihan-pilihannya. Maka orang tidak dapat lari dengan menunjuk pada kondisi objektif di luar atau di dalamnya sendiri: "Setiap orang yang bersembunyi di belakang alasan (kekuatan) nafsu-nafsu, atau dengan membikin sebuah ajaran deterministik menipu diri" [1946, 80s].

Maka dalam pilihan-pilihannya, manusia sendiri tidak hanya menciptakan nilai-nilainya, melainkan ia juga mengikatkan diri. Ia menjadi diri. Ia mendapat bentuk, hakikatnya mulai tampak. Keputusan itu berarti bahwa ia menjadi ini atau itu, jadi esensinya terwujud. Keputusan-keputusannya menunjukkan siapa dia. Kita dapat mengatakan, melalui pilihan-pilihannya manusia mewujudkan karakternya. Lama kelamaan kelihatan orang macam apa dia. 

D. Kebebasan II 

1. Dalam tahapnya yang kedua, dalam tahap Critique de la raison dialectique, Sartre tampaknya berubah sama sekali. Ia membuang gagasan tentang kebebasan total. Di bawah pengaruh Marxisme Sartre sekarang mengajar bahwa manusia seluruhnya terdeterminasi oleh lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial, kelas sosialnya, ras, suasana keluarganya, itulah yang menentukan seseorang menjadi apa. Bukan pilihannya yang menentukan, melainkan kondisi-kondisi sosialnya. 

2. Akan tetapi, Sartre tidak menyerah seratus persen terhadap diktat lingkungan. Ia mempertahankan kebebasan sebagai "gerakan kecil" yang tetap masih mungkin dalam batas-batas kondisi-kondisi sosial itu. Kondisi-kondisi sosial menyediakan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk bertindak. Di situ kita masih dapat memilih. Kita membuat proyeksi, kita mengambil satu dari kemungkinan-kemungkinan itu. Praxis-lah penengah: Kegiatan meniadakan yang ada dan mengadakan yang belum ada, yang mungkin ada. Maka di tengah-tengah segala macam kondisi dan pembatasan objektif, darinya kita tidak dapat lari, kita masih dapat bertindak juga, kita dapat mengambil sikap, kita dapat bahkan memilih kematian. 

E. Orang lain I 

1. Kebebasan kita terlaksana dalam dunia, berhadapan dengan alam ada-en-soi. Tetapi alam ada-en-soi itu tidak seragam. Di dalamnya ada banyak objek. Objek yang paling berarti bagi kita adalah orang lain. Kebebasan kita ditantang oleh adanya orang lain. Bagaimana orang lain menantang kita diceriterakan Sartre dalam Etre et le neant. Titik tolak adalah aku gang mengamati. 

Bayangkan aku duduk di sebuah taman dan melihat keliling (1943, 311ss.). Ada pohon, rerumputan, sumur, jalan. Akulah pusat segala yang ada dan apa yang kulihat kuatur di sekelilingku. Mendadak ada orang muncul. Pertama dia hanyalah objek di antara yang lain-lain. Akan tetapi segera dia menjadi objek khusus. Ia tidak dapat saya atur, ia sendirilah sebuah pusat. Ia seakan-akan menyedot objek-objek tadi ke dalam dirinya sendiri. "Secara mendadak muncul objek yang mencuri duniaku” (1943, 313). Namun ia tetap objekku. 

2. Situasi berubah apabila ia juga melihat aku. Ia menjadi subjek dan aku objeknya. Sartre mengambil contoh begini (1943, 317s.): Aku sedang mengintip ke dalam sebuah kamar lewat lobang kunci. Dengan penuh perhatian. Aku bersifat murni kesadaran akan objek-objek yang kuintip. Sekarang aku mendengar langkah di belakangku. Ada orang lewat yang telah melihat aku mengintip. Kejadian itu mengubah situasiku secara menyeluruh. Aku tidak dapat dengan tenang terus mengintip, bahkan sesudah orang itu menghilang. Aku merasa malu. Aku merasa telah menjadi objek orang itu. Aku menjadi sadar akan diriku sendiri (sedangkan sebelumnya aku tak sadar akan diriku, aku seluruhnya terarah pada apa yang kulihat lewat lobang kunci), aku menjadi objek diriku. Aku tidak lagi bebas, aku dibatasi dalam kemungkinan-kemungkinan saya, aku menjadi ada-en-soi. Orang lain itu telah sebentar menghancurkan kebebasanku. 

3. Ada langkah ketiga (1943, 347ss.): Saya, bagaimanapun juga, harus mengambil sikap terhadap pengalaman itu tadi. Apakah aku tetap mau merasa takut, malu, terasing dari kebebasanku? Jawabannya adalah: tidak harus. Aku dapat melawan. Aku dapat mengubah situasi. Bukan ia yang bertanggung jawab terhadap aku (sehingga aku malu ketahuan), melainkan aku bertanggung jawab atas dia, aku tetap mengobjekkan dia. Seakan-akan aku bersikap "persetan dengan dia”. Aku bebas lagi, aku tak peduli. Hanyalah, situasi itu tidak stabil. Orang lain ada dialektikanya. Ia dapat mengejutkanku lagi, misalnya, dengan muncul secara mendadak, ia "sebuah alat eksplosif yang harus saya tangani dengan hati-hati” (1943, 358), maka aku harus memakai siasat untuk menjamin agar ia tetap objekku. Karena kita hanya aman terhadap orang mati (ib.). Maka hubungan dasar aku dengan orang lain adalah konflik: Kami bersaing dengan mau saling mengobjekkan. Dalam konteks itu cocok ucapan Garcin dalam sandiwara “Pintu Tertutup”: "Jadi, itulah neraka. Tak pernah kusangka... Kalian ingat toh: Belerang, api unggun, pemanggang... Ah, lucu: Tak perlu pemanggang, neraka, itulah orang lain” (1947, 75). 

F. Orang lain II 

1. Bagi Sartre yang eksistensialis, orang lain dipandang sebagai ancaman karena ia sebagai ada-en-soi yang sekaligus ada-pour-soi tidak dapat saya kuasai secara aman. Adanya orang lain mengurangi kebebasan saya, ia mengancam akan mengobjekkan saya. Hanya dengan tetap mengobjekkan dia saya dapat mempertahankan diri saya, dan ia tidak dapat seratus persen saya objekkan. 

Dalam Critique de la raison dialectique hubungan aku - orang lain diperluas menjadi hubungan segi tiga: Ada unsur baru yang mendapat perhatian, yaitu kelompok. Sartre memberikan sebuah contoh yang juga mulai dengan tatapan (1976, 100-121). Sartre melihat ke luar jendela hotel. Di jalan, ia melihat seorang buruh sedang mengerjakan sesuatu, sedangkan di belakang sebuah tembok tinggi, tukang kebun bekerja dalam kebun hotel. Mereka saling tidak tahu satu terhadap yang lainnya. Hanya Sartre-lah yang melihat mereka. Hubungannya dengan mereka negatif: Ia tidak termasuk kelas sosial mereka, mereka mempunyai dunia mereka sendiri. Masing-masing bekerja karena keanggotaan dalam kelas sosial tertentu dan Sartre adalah outsider yang tidak mengerti untuk apa mereka bekerja. 

Pada tahap kedua situasi itu, Sartre melihat bahwa mereka memiliki kebersamaan berhadapan dengan dia: Mereka bersama dalam ketidaktahuan mereka satu tentang yang lain, sedangkan ia mengetahui mereka. Mereka bekerja dengan tenang, sedangkan Sarte merasakan diri sebagai outsider. Seakan-akan mereka berkongkalikong melawan Sartre (Kita dapat membayangkan, andaikata mereka melihat bahwa Sartre mengamati mereka, mereka masing-masing akan menjadi sadar dari cara Sartre melihat-lihat, bahwa di seberang tembok masing-masing ada juga orang yang diamati Sartre, jadi seorang "rekan” objek pengamatan, kemudian mereka bertemu dan bersama-sama menyindir Sartre). 

Tahap ketiga adalah tindakan nyata yang mengubah situasi itu. Sartre dapat (1) secara aktif menghubungi mereka, (2) membiarkan diri dilihat oleh mereka, atau (3) secara pasif terus mengamati saja mereka. 

Alternatif pertama dan kedua akan mengubah baik Sartre sendiri pun si pekerja dan si tukang kebun, mereka akan berinteraksi. 

2. Dinamika ke arah perubahan sosial itu tampak dengan lebih jelas dalam konteks kelompok dan sejarah. Begitu misalnya, pada waktu Revolusi Prancis, individu-individu sebuah massa rakyat di Paris yang merasa diancam oleh sepasukan kavaleri raja yang muncul mendadak -- pihak ketiga -- bersatu dalam menghadapi pasukan itu. Mereka mengorganisasikan diri, mereka siap untuk memberi perlawanan, artinya untuk bertindak bersama: Rakyat bangkit melawan rajanya. Ancaman bersama mempersatukan dan dengan demikian menciptakan potensi-potensi perubahan sosial (1976, 351ss.). 

G. Tanggapan dan refleksi 

1. Sartre tidak menyajikan sebuah etika. Ia tidak merumuskan norma-norma, tidak menetapkan nilai-nilai, tidak memberikan aturan bagaimana kita harus bertindak. Ia justru menolak itu semua. Demi kebebasanku, demi autentisitasku. Dapat dikatakan, kebebasan dan autentisitas itulah nilai satu-satunya bagi Sartre. Jadi, Sartre pun ada nilainya, ada yang diyakininya, yaitu kebebasan manusia dan tuntutan agar ia hidup secara autentik. 

Penegasan bahwa autentisitas adalah syarat harkat kemanusiaan dalam segala sikap yang kita ambil, bagi saya, merupakan jasa Sartre yang terbesar (di sini kita teringat akan "Eigentlichkeit” Martin Heidegger). Manusia hanya mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap setia pada dirinya sendiri, apabila ia bertindak berdasarkan keyakinannya, apabila ia, sebagaimana ditekankan Sartre (1946), bertanggung jawab terhadap segala-galanya. Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung jawab terhadap peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor objektif di luarnya. Faktor-faktor objektif, dunia para ada-en-soi, memang tidak dapat diubah orang, tetapi ia dapat mengambil sikap terhadapnya. Dan hanya ialah yang dapat melakukannya. Dalam arti ini manusia bebas, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan ia diharapkan (oleh Sartre pun) tidak melarikan diri darinya. 

2. Akan tetapi uraian Sartre ini miring. Yang membuka kemiringan ini adalah Sartre sendiri, Sartre dari Critique de Ia raison dialectique. Tidak betul bahwa kita dalam mengambil sikap terhadap dunia objektif, sama sekali bebas. Kebebasan semacam itu abstrak semata-mata. Secara konkret, lingkungan, pendidikan, tekanan dari luar, dan struktur-struktur psikis dari dalam selalu sudah mengarahkan kita. Juga tidak betul bahwa kita bertang jawab atas segala-galanya. Apa dasar tuntutan berlebihan semacam itu (yang juga merupakan pengandaian utilitarisme)? Kiranya kita hanya bertanggung jawab terhadap apa yang memang langsung terjadi dalam lingkup kemungkinan tindakan kita dan dalam struktur-struktur di mana kitalah yang diharapkan. Begitu pula Sartre pasca-eksistensialis tepat dalam penegasan bahwa kita dapat mengubah dunia, bahwa perubahan sosial dapat diinisiasikan. 

3. Tetapi bukan itulah masalah utama posisi Sartre. Masalah utama adalah apakah betul bahwa kebebasan saya niscaya diancam oleh kebebasan orang lain? Apakah begitu ada orang lain, aku mesti kurang bebas? Kalau Sartre konsekuen, situasi satu-satunya di mana manusia tetap diri sendiri adalah situasi Robinson Crusoe: Aku dikelilingi oleh ada-en-soi-ada-en-soi murni, oleh lingkungan yang seratus persen bebas manusia lain. Betul, di situ saya tidak ditantang (kecuali oleh tuntutan pemenuhan kebutuhan fisik), tidak ada kehendak yang melintang terhadap kehendakku. Aku bisa tenang. Tetapi apakah ketenangan itulah hakikat kebebasan? Apakah dalam ketenangan kesendirian itu kebebasan dan autentisitasku bisa menjadi nyata? Bukankah adanya manusia lain yang tidak dapat saya manipulasikan seratus persen menantang, dan dengan demikian merangsang dan mengembangkan kebebasan saya? Bukankah baru berhadapan dengan manusia lain akan kentara siapa aku sebenarnya, jadi manusia lain justru membantu saya untuk menjadi autentik? 

4. Dengan demikian perlu dipertanyakan juga: Apakah hubungan antara dua kebebasan, jadi antara dua manusia, dua ada-pour-soi, hanya dapat bersifat saling meniadakan? Kemungkinan untuk meniadakan orang lain dan untuk ditiadakan oleh orang lain memang ada. Tetapi apakah ini satu-satunya kemungkinan? Apakah orang lain tidak juga dapat menjadi penyelamat saya dan saya penyelamatnya? Misalnya dalam hubungan orang tua terhadap anaknya sebagaimana kita mencita-citakannya dan kadang-kadang juga untuk sebagian besar tercapai: Bukankah kehadiran orang tua justru memberikan kemantapan, kedirian, keterbukaan, autentisitas dan kebebasan untuk mengembangkan diri kepada anaknya? Anaknya tidak takut, tidak terasing, tidak terancam, justru karena dia berada dalam naungan kasih sayang orang tuanya. 

Begitu pula halnya persahabatan, apalagi hubungan cinta mendalam antara dua orang. Di situ, kehadiran orang lain tidak membelenggu, melainkan membebaskan aku. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, keluarga inti adalah tempat di mana orang merasa betul-betul bebas dari segala tekanan batin, ia tidak merasa malu seperti terhadap orang luaran. Hubungan cinta kasih membebaskan. Orang yang tahu bahwa ia dihargai dan disenangi oleh sahabat-sahabatnya, apalagi yang tahu bahwa ia betul-betul dicintai, akan berani menjadi diri sendiri, berani memperlihatkan diri secara autentik dan menyatakan apa cita-citanya. Contoh Sartre tentang orang yang ketahuan sedang mengintip: Apabila yang memergokinya adalah kekasihnya dan cinta mereka mendalam dan matang, kekasihnya akan mengerti dan menerima kelemahan manusiawinya itu (mengintip orang, sebagaimana kita tahu semua, amat merangsang, meskipun kita tahu bahwa itu kurang patut dan karena itu malu kalau ketahuan), dan yang dipergoki tidak akan merasa dinista oleh kenyataan bahwa kekasihnya memergokinya. 

Jadi, sangat berat sebelahlah kalau orang lain semata-mata dilihat sebagai ancaman dan tidak juga sebagai penyelamat. Sartre tampak tidak mampu menangkap arti kesosialan. Orang lain dapat menjadi neraka bagi kita, betul, tetapi kemungkinan itu suatu penyelewengan. Orang lain dapat juga mendekati surga bagi kita. 

5. Maka, sebagai catatan terakhir, barangkali Sartre sudah menutup kemungkinan untuk mengalami orang lain secara positif pada saat ia menolak Tuhan berdasarkan ketakutan, bahwa adanya Tuhan mesti mengobjekkan manusia. Orang-orang yang bicara dari pengalaman penghayatan Tuhan, serta beberapa pemikir yang merefleksikan pengalaman itu secara teoretis, memberikan kesaksian yang sangat lain. Menurut mereka, kehadiran Tuhan justru membebaskan. Apa yang dalam hubungan persahabatan dan cinta duniawi hanya digapai, dalam Tuhan terjanji menjadi realitas sempurna: Bahwa dalam tatapan Tuhan -- kita ingat tatapan orang asing waktu kita mengintip tadi -- kita justru dapat menjadi diri kita sendiri, dapat menjadi utuh dan sembuh, dapat aman dan kuat. 


Sumber:

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 73-84.


Minggu, 07 Desember 2025

FRIEDRICH NIETZSCHE: MORALITAS TUAN LAWAN MORALITAS BUDAK

Nietzsche


Oleh: Franz Magnis-Suseno


A. Latar belakang 

Bersama dengan Marx dan Kierkegaard ”Nietzsche adalah pemikir revolusioner ketiga dalam filsafat abad ke-19”.[1] Nietzsche sendiri melihat diri sebagai penghancur. "Aku bukan manusia, aku dinamit... Aku menentang sebagaimana belum pernah ada yang menentang.”[2] Meskipun tidak sistematik dan tergerogoti oleh penyakit jiwa yang akan merenggutnya, pemikirannya merupakan peristiwa yang menggetarkan alam pikiran Eropa dan getarannya terasa sampai sekarang. Apakah tepat bahwa kaum pascamodernis mengklaim Nietzsche sebagai kakek mereka dapat diragukan, tetapi bahwa ia menantang segala sistem pikiran tidak dapat diragukan. Heidegger, Jaspers, dan Camus merasa berhutang budi padanya. Psikologi alam tak sadar dibuka medannya olehnya. Padahal Nietzsche hampir tidak membaca buku filsafat apa pun kecuali filsafat Yunani. "Ia seorang amatir keterampilan filsafat, tetapi teresapkan keberanian fantasi berpikir yang senantiasa menariknya ke percobaan-percobaan pemikiran baru... Pemikiran Nietzsche kerasukan setan keekstremen dan ke arah mana pun ia menarik konsekuensi yang paling tajam.”[3] Etika barangkali tidak dapat belajar dari Nietzsche, tetapi ia pasti dikejutkan olehnya. Kejutan itu membuatnya merefleksikan diri. Oleh karena itu, Nietzsche yang anti moralitas sangat pantas dibahas dalam etika. 

Friedrich Nietzsche lahir di Rocken di Saksonia, Jerman, pada tahun 1844. Ayahnya, seorang pendeta Lutheran, meninggal lima tahun kemudian sehingga Friedrich dibesarkan dalam lingkungan yang hanya terdiri dari wanita saleh: ibu, kakak, nenek dan dua tante. Sesudah gimnasium, tempat ia belajar mengagumi semangat Yunani, ia belajar bahasa Latin dan Yunani di Universitas Bonn dan Leipzig. Di situ ia sudah melepaskan iman Kristiani. Ia membaca Schopenhauer. 

Atas rekomendasi profesornya, meskipun belum berumur 25 tahun dan belum mencapai doktorat, ia diangkat menjadi profesor di Basel, Swis. Dari situ ia banyak bergaul dengan Richard Wagner, komponis termasyhur yang waktu itu sangat dikaguminya. Namun, kemudian Nietzsche berbalik dan semakin membenci Wagner karena Wagner tetap menjunjung tinggi agama Kristiani. Namun, kesehatan Nietzsche memburuk. Pada tahun 1877 ia melepaskan keprofesorannya. Sejak itu, ia mengembara, terutama di Swis dan Italia. Pada saat itu ia menulis karya-karyanya yang paling besar, seperti Also sprach Zarathustra ("Demikianlah Sabda Zoroaster”), Jenseits von Gut und Bose ("Di Seberang yang Baik dan yang Jahat”), dan Zur Genealogie der Moral (“Tentang Asal Usul Moralitas”). Tahun 1889 ia jatuh sakit jiwa dan tidak sembuh lagi. Ia dibawa kembali ke Sachsen, dirawat oleh ibu dan kakaknya sampai meninggal tahun 1900.

B. Kehendak untuk berkuasa 

1. Nietzsche bukan hanya seorang filsuf, melainkan seorang pujangga dan pengkritik kebudayaan. Ia sebenarnya bukan ahli filsafat dan tidak pernah menulis uraian yang sistematis. Mengartikan percikan pemikirannya secara metafisik sudah pasti menyesatkan. Ia tidak perduli apakah yang ditulisnya konsisten atau kontradiktif, dan sedikit pun tidak tertarik memberi pembuktian atau ”legitimasi” pada penilaian-penilaiannya. Ia senang menulis dengan tajam; dengan demikian, ia mengungkapkan pelbagai kebencian. Ia sinis, sarkastik, penuh ironi, juga terhadap dirinya sendiri sehingga kita akan ”berdosa” terhadap maksudnya yang sebenarnya kalau kita mempelajarinya dengan sangat serius. Ia justru senang menulis melawan garis, contra, terutama untuk mendestruksikan pendapat-pendapat yang sudah mapan. 

Berikut ini tidak dicoba diberikan semacam sistematika. Judul "Kehendak untuk Berkuasa”, Wille zur Macht (juga menjadi judul kumpulan catatan-catatannya yang diterbitkan oleh kakaknya, tetapi nilai editorialnya diragukan) dipilih karena Nietzsche sendiri menyatakannya sebagai pusat filsafatnya. 

2. Kesenangan untuk menentang sudah dilihat dalam pemikirannya yang pertama sekitar kebudayaan Yunani. Umumnya kesempurnaan sastra dan seni Yunani kuno yang begitu dikagumi ditempatkan dalam keseimbangannya: wajahnya terang, jernih, indah, positif, tenang, rasional, teratur, kuat dalam kemampuan untuk membatasi diri, bebas karena tahu diri, di tengah antara ekspresi dan penguasaan diri. Simbol keceriaan Yunani itu adalah Apollo, dewa cahaya. Nietzsche mengklaim bahwa pengartian itu salah sama sekali. Menurutnya, Apollo hanyalah kedok jiwa Yunani yang sebenarnya persis kebalikan: penuh nafsu, liar, gelap, irasional, dikuasai insting, tak teratur, penuh ketakutan, spontan, buruk, dan emosional. Dewa yang mengungkapkan jiwa Yunani yang sebenarnya itu adalah DIONYSOS, dewa orang kesurupan, kesuburan, dan orang mabuk. Yang rasional, indah, dan terang hanyalah topeng muka dionisik yang vital, penuh nafsu, dan gelap. 

3. Bahwa Nietzsche mengutamakan sifat-sifat Dionysos sudah memperlihatkan patok-patok pemikirannya: primat nilai-nilai vital terhadap nilai-nilai rohani, kehendak terhadap akal budi, nafsu spontan terhadap tata tertib. Yang dikehendaki Nietzsche adalah die Umwertung aller Werte, penjungkirbalikan semua nilai. Namun, apakah penjungkirbalikan itu akan berhasil? Apakah nilai-nilai lama yang dihancurkan dapat diganti dengan nilai-nilai baru? Ataukah yang akan tinggal hanyalah puing-puing, kekosongan, ketiadaan, nihil? Nietzsche tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Ia memang melihat zaman NIHILISME muncul di cakrawala zaman modern. Nietzsche mengkhawatirkan nihilisme itu, tetapi ia tidak gentar terhadapnya kalau kehancuran alam lama harus melalui nihilisme itu. 

Namun, Nietzsche bukan pembangun tatanan nilai baru. Yang dilihatnya sebagai panggilannya adalah penghancuran tatanan nilai lama yang diartikannya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena nilai-nilai tradisional itu berkaitan secara tak terpisah dengan agama, Nietzsche mempermaklumkan KEMATIAN ALLAH sebagai "peristiwa paling penting zaman ini”. Allah hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Nietzsche mengharapkan, bahkan menyatakan sebagai fakta, bahwa iman akan Allah, dan dengan demikian Allah sendiri, sedang mati dalam hati orang. Nietzsche secara fanatik menyangkal adanya Allah bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan karena dengan adanya Allah ia tidak melihat ruang bagi pengembangan diri manusia (gagasan ini kemudian menjadi inti ateisme Sartre). Allah dianggap musuh hidup. Karena itu, membebaskan diri dari pikiran Allah bagi Nietzsche berarti membebaskan manusia agar ia dapat hidup sendiri. Hanya kalau manusia membuang kepercayaan pada hidup di alam fana ia dapat hidup sepenuhnya di alam ini.

4. Dengan kematian Allah, Nietzsche melihat medan terbuka bagi kedatangan sang MANUSIA SUPER (Ubermensch). "Allah mati: sekarang kami mau agar hiduplah manusia super.”[5] Manusia super adalah manusia baru yang kembali ke semangat kekuasaan, yang telah bebas dari belenggu sistem nilai dan moralitas lama serta secara bebas mewujudkan KEHENDAK UNTUK BERKUASA (Wille zur Macht). Manusia super adalah manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang tidak dihadang oleh belas kasih dengan yang lemah, dan yang seperlunya berani bertindak kejam (die blonde Bestie, "binatang buas berambut pirang”, istilah yang dipergunakan kemudian oleh kaum Nazi sebagai pendukung ideologi rasial mereka). Apakah arti kata-kata itu? Nietzsche tidak menjelaskannya. Kita tidak mendapat jawaban bagaimana operasionalisasinya. Para ahli kebanyakan setuju bahwa pengartian rasial terhadap paham manusia super itu bertentangan dengan maksud Nietzsche. Apakah manusia super itu lebih dari ”sejumlah bingkai tanpa lukisan”? [6]

Manusia super adalah manusia yang sepenuhnya menghayati, atau lebih tepat: membiarkan diri diresapi oleh kehendak untuk berkuasa. Dari Schopenhauer, Nietzsche mendapat gagasan bahwa kehendak adalah hakikat realitas. Namun, berbeda dengan Schopenhauer, Nietzsche tidak berpikir secara metafisik. Ia tidak bicara tentang alam noumenal dan alam fenomenal, melainkan ia melihat di mana saja ada hidup, di situ ada kehendak untuk timbul, tumbuh, menjadi besar, mempertahankan diri, menjadi kuat, dan berkuasa. Hidup baginya adalah kehendak untuk berkuasa. Segala apa yang hidup mencari kekuasaan, bahkan hanya mencari kekuasaan. (Gagasan ini kemudian cukup berpengaruh pada psikologi, terutama pada psikologi Alfred Adler.) Karena hidup adalah nilai tertinggi manusia yang betul-betul menjadi diri, manusia yang mencari identitasnya harus mengatasi cita-cita kemanusiaan yang ditentukan oleh moralitas lama dan mewujudkan kehendak untuk berkuasa.

Dalam pandangan Nietzsche, kehendak untuk berkuasa berarti membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segala macam aturan yang mengerem nafsu dan insting. Berkuasa berarti berani bersemangat dan hidup menurut semangat itu. "Dengan kritiknya yang tajam, Nietzsche tidak bermaksud memadamkan semangat atau menyebarkan pesimisme budaya. Tidak tanpa alasan ia menyebut filsafat hidupnya yang kritis terhadap kebudayaan sebagai 'pembukaan sebuah filsafat masa depan'. Namun, paham-pahamnya yang dipakai untuk mengungkapkan kehendak yang mengiyakan diri sebagai hidup, yang mengarah ke masa depan itu tidak lebih daripada kehendak untuk berkuasa, perjuangan, peternakan, manusia super, 'orang-orang kuat masa depan', 'binatang buas berambut pirang', jarak, hierarki, dan sebagainya. Jadi, paham-paham itu secara historis dan sosiologis-konkret tidak jelas.”[7]

5. Dengan tidak adanya Allah, segala-galanya di dunia bergerak dan berkembang dari kekuatannya sendiri. Tak ada permulaan, tak ada akhir, dan tak ada kebebasan. Semuanya akhirnya terdeterminasi (anggapan yang tidak mengganggu obsesi Nietzsche dengan kehendak untuk berkuasa). Karena itu, tidak mungkin hanya ada kemajuan. Akhirnya, semuanya harus runtuh dan hancur dan seluruhnya dimulai lagi. Itulah ajaran terkenal—dan aneh—Nietzsche tentang KEMBALI ABADI segala-galanya. Menurut Nietzsche, gerak alam semesta dalam waktu bagaikan sebuah roda raksasa. Garis gerak itu tidak lurus melainkan berlingkar sempurna. Kita naik dan kita turun dan kemudian semuanya akan kembali, persis sama dengan yang sekarang. Nietzsche tidak pernah sempat menjawab sekian banyak pertanyaan yang mudah dapat muncul sekitar anggapannya itu. 


C. Moralitas budak dan moralitas tuan 


1. KEBENCIAN paling buas diarahkan Nietzsche kepada AGAMA KRISTEN. Menurut Nietzsche, agama Kristen telah memenangkan sikap-sikap yang mencegah perkembangan manusia super yang vital, ganas, dan ditentukan oleh kehendak akan kekuasaan. Agama Kristen mengajarkan cinta kasih, kesediaan untuk menerima, untuk tidak membalas dendam, untuk memaafkan, untuk mencintai musuh, untuk bersedia mengurbankan diri. Agama Kristen memuji mereka yang berhati miskin, mau berdamai, baik hati, dan lemah lembut. Moralitas, sebagaimana dimuat dalam "khotbah di bukit” (Mat 5), bagi Nietzsche adalah tanda pemujaan terhadap yang sakitan dan kalah. Menurutnya agama Kristen ”secara prinsipiil menyelamatkan yang sakit dan menderita, ... memutarbalikkan segala ... yang kuat, membusukkan harapan-harapan besar, mencurigai kebahagiaan dalam keindahan, mematahkan yang angkuh, jantan, si penindas, si rakus kuasa, semua naluri yang dimiliki tipe 'manusia' yang paling tinggi dan berhasil, sampai menjadi kebimbangan, siksaan suara hati, perusakan diri ...”.[8] Dengan lain kata, Nietzsche membenci apa yang menjadi inti moralitas Kristiani, yaitu cinta kasih, perhatian kepada yang lemah, dan kerendahan hati karena menurutnya yang baik adalah yang angkuh, keras, yang maju mengikuti insting dan nafsu, tanpa memperhatikan mereka yang lemah. 

2. Moralitas Kristiani oleh Nietzsche dianggap MORALITAS khas BUDAK. Kemenangan agama Kristiani atas agama Romawi diartikannya sebagai PEMBERONTAKAN KAUM BUDAK yang sudah dimulai dalam agama Yahudi. Para budak tidak suka ditindas, tetapi juga tidak mampu untuk membebaskan diri. Karena itu, mereka memutarbalikkan semua nilai yang sampai saat itu dianggap positif: ciri-ciri yang dibanggakan oleh orang kuat, MORALITAS manusia TUAN, dijadikan tanda keburukan, sedangkan ketidakmampuan mereka sendiri diangkat menjadi hakikat sikap baik. Jadi, menurut Nietzsche moralitas budak lahir dari SENTIMEN (Resentiment) orang lemah terhadap orang kuat. Budak tidak dapat menjadi tuan, yang lemah tidak dapat menjadi kuat, maka ia sentimen, ia merendahkan sifat-sifat orang kuat dan meninggikan sifat-sifat orang lemah. Dengan demikian, yang baik dalam moralitas tuan menjadi buruk dan yang buruk dalam moralitas tuan menjadi baik. Kebaikan moral disamakan dengan sikap-sikap seperti menerima, rendah hati, berkurban, melindungi mereka yang miskin dan lemah. Sedangkan kehendak untuk menang, untuk menyatakan diri, seperlunya dengan menindas orang-orang lain, ciri khas orang kuat, dianggap salah dan dosa. Moralitas budak yang berdasarkan sentimen atau rasa iri itu diinternalisasikan dan menjadi SUARA HATI. Suara hati—yang kemudian oleh Sigmund Freud akan disamakan dengan superego—membuat orang yang angkuh, yang ingin menikmati, yang mau maju dan merealisasikan kehendaknya sendiri, merasa bersalah. Dengan cara itu, mereka yang kuat dapat dipatahkan dari dalam. 

3. Jadi, Nietzsche membedakan dua macam moralitas—yang dalam kenyataan, menurut Nietzsche sendiri, tidak muncul secara murni, melainkan masih bergelut satu sama lain—, yaitu moralitas budak dan moralitas tuan. MORALITAS BUDAK adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas orang yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan oleh karena itu lalu merasa sentimen atau iri terhadap mereka yang mampu, yang kuat. Karena itu, ia mau mengebiri mereka dengan aturan-aturan moral yang menjegal sikap-sikap keras dan berani serta menjunjung tinggi keseimbangan, yang menggagalkan individualitas dan memenangkan massa. Ia membenci excellency dan memuji yang pukul rata. Suara hati diartikan sebagai kebengisan dan agresi orang yang telah dikebiri, yang terlalu lemah untuk langsung melampiaskannya, maka diarahkan kepada dirinya sendiri dan menjadi suara dalam dirinya sendiri yang menggagalkan segala usaha yang luhur dan berani. Dengan penuh cemooh, Nietzsche menulis, "Di mana moralitas budak mulai menang, bahasa menunjukkan kecenderungan untuk mendekatkan arti kata 'baik' dan 'bodoh'.”[9] "Moralitas sebagai sikap mental: kurang sedap!”[10]

Moralitas budak itu meresapi seluruh kebudayaan. "Hampir segala apa yang kita sebut 'kebudayaan tinggi' berdasarkan perohanian dan penginternalisasian kebengisan ... dan 'hewan ganas' itu belum jadi dibunuh, masih hidup, berkembang, hanya diilahkan” (sebagai suara hati [11]). Jadi, yang baik bagi orang kuat: kekuatan, keberanian, kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah kehidupannya, dalam moralitas budak dianggap buruk, egois, dan sebagainya, sedangkan yang dijunjung tinggi adalah yang dianggap hina oleh orang kuat: cinta kepada yang biasa, kesederhanaan, ketenteraman, belas kasih. Moral budak adalah moralitas kawanan (Herdenmoral), sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur. Ke dalam moralitas budak, Nietzsche tidak hanya memasukkan agama Kristiani, melainkan juga gerakan demokrasi (karena menolak kekuasaan diktator dan elite, jadi memenangkan massa terhadap mereka yang kuat, terhadap para tuan) dan sosialisme (yang dianggapnya padanan agama Kristiani, gerakan berdasarkan sentimen orang-orang lemah berjiwa budak yang iri terhadap mereka yang kuat dan kaya). Begitu pula, teori hukum kodrat, Pencerahan, liberalisme dan kapitalisme, oleh Nietzsche digambarkan sebagai musuh hidup. Akhirnya, apa pun yang bercita-cita ditolak Nietzsche. 

4. Untuk melawan moralitas budak itu, Nietzsche menempatkan MORALITAS TUAN. Dalam moralitas manusia tuan, 'baik' adalah sama dengan 'luhur' dan 'buruk' sama dengan 'hina'. ”Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung: begitu pula si pencuriga yang tidak berani menatap mata lawan bicara, yang merendahkan diri, si manusia macam anjing yang suka disiksa, si penjilat yang mengemis-ngemis, terutama si pembohong ....”[12] Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa. 

Kalau kita bertanya bagaimana konkretnya moralitas tuan itu, apa artinya sikap-sikap seperti ”luhur” dan ”mulia”, Nietzsche tidak banyak membantu. Apakah moralitas tuan lebih dari kebencian terhadap yang lemah (dan andaikata demikian, moralitas tuanlah moralitas yang berdasarkan sentimen!)? Yang jelas, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting, pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri. Moralitas tuan akan melahirkan manusia super. Namun, seperti gagasan manusia super itu sendiri tinggal verbal, begitu pula moralitas tuan tidak diuraikan. 

5. Kalau dilihat secara teoretis, paham moralitas Nietzsche merupakan contoh jelas RELATIVISME MORAL yang NORMATIF. Nietzsche menolak secara eksplisit anggapan bahwa norma-norma moral berlaku mutlak dan universal. Setiap golongan orang mempunyai moralitasnya sendiri, entah moralitas tuan, entah moralitas budak. Karena moralitas tuan berarti bahwa manusia mewujudkan sendiri nilai-nilanya, maka memang tidak ada moralitas universal. 

Sebaliknya, anggapan bahwa ada moralitas universal—yang tentunya salah satunya moralitas budak, seperti moralitas Kristen—sudah merupakan tanda sentimen: moralitas itu mau menjegal mereka yang kuat dari menikmati kekuatan mereka. Moralitas yang menklaim diri universal hanyalah usaha untuk memastikan dominansi mereka yang lemah di atas yang kuat. Dengan demikian, pemikiran Nietzsche tentang moralitas termasuk bentuk KRITIK IDEOLOGI menurut pola "TIDAK LAIN DARIPADA”[13]: Nietzsche mengkritik moralitas masyarakat Barat sebagai sentimen kaum lemah, sebagai "tidak lain daripada” kebencian mereka yang terlalu lemah untuk menentukan hidup mereka sendiri terhadap mereka yang kuat dan luhur. Nietzsche mengkritik moralitas budaya Barat itu sebagai "ideologi kaum lemah” (agak berlawanan dengan Marx yang mengartikannya sebagai ideologi kaum kuat), sebagai ungkapan sentimen yang, karena tidak mampu kuat sendiri, menyatakan sikap-sikap kuat sebagai dosa dan sikap-sikap lemah sebagai baik. 

D. Dampak dan tanggapan 

1. Terutama para pemikir eksistensial dan eksistensialis, seperti Heidegger, Jaspers, Sartre, dan Camus, sangat menjunjung tinggi Nietzsche. Bagi mereka, Nietzsche mendobrak klise-klise budaya borjuis abad ke-19, menempatkan kembali manusia yang asli ke pusat perhatian serta meramalkan kedatangan nihilisme. Jadi, yang amat kuat pengaruhnya dalam banyak aliran filsafat kemudian adalah KRITIK NIETZSCHE terhadap pelbagai kebohongan dan kepalsuan dalam budaya masyarakat borjuis, termasuk budaya berpikir dan berfilsafat. 

Namun, anggapan-anggapan Nietzsche sendiri, seperti kehendak untuk berkuasa, manusia super, dan moralitas tuan, tidak diterima sama sekali (kecuali, dengan diputar dan disalahgunakan, oleh fasisme, lebih-lebih oleh Nasional-sosialisme Jerman). Nietzsche diterima sebagai si perusak, bukan sebagai si pembangun. 

2. Apakah KRITIK NIETZSCHE terhadap moralitas umum sebagai moralitas budak kena? Apakah moralitas yang memperhatikan orang lemah dan sakit serta menganjurkan agar orang tahu diri dan menguasai nafsu-nafsunya tidak lebih dari ungkapan sentimen mereka yang tidak berdaya? 

Kiranya setiap moralitas dan setiap sistem nilai budaya akan mempunyai kelemahan-kelemahan serta segi-segi yang ambivalen. Mungkin juga bahwa justru moralitas resmi Eropa abad ke-19, moralitas ”borjuis” dengan tekanan pada hak milik, kemapanan, kesopanan yang mau meniru-niru budaya para bangsawan, dengan moralitas seksual yang sempit, dan dengan tekanan pada unsur-unsur seperti kerajinan, ketepatan waktu, dan sikap hemat, mengandung unsur-unsur kemunafikan. Adalah jasa Nietzsche bahwa ia membuka ambivalensi yang inheren dalam moralitas itu. Bahwa budaya hati lebih daripada kemampuan untuk mengambil sikap-sikap tata krama tepat dalam setiap situasi, bahwa manusia hendaknya berani menjadi otentik, berani menjadi diri sangatlah penting dan menjadi inti utama dalam etika Eksistensialisme. 

Sebuah etika yang hanya menekankan penyesuaian diri dan sikap menerima, yang memutlakkan kerukunan dan menutup-nutupi konflik, yang menuntut agar orang selalu membawa diri secara seimbang serta jangan sampai menonjol dapat menjadi kerangkeng dan kebohongan eksistensial. Kebaikan moral dapat merosot menjadi rasionalisasi kelemahan dan ketakutan terhadap segala konfrontasi. Altruisme, sikap orang yang selalu mendahulukan orang lain dan seakan-akan melupakan diri serta senang melayani, secara psikologis pun meragukan. Kepribadian yang kuat dan seimbang dalam arti baik juga harus dapat menjadi marah, dapat menolak melayani, mampu memperhatikan kebutuhan sendiri, berani bertindak melawan arus, serta mengajukan tuntutan yang keras kepada orang lain. 

Analisis Nietzsche dapat membuat kita menjadi lebih kritis terhadap mutu moralitas kita sendiri. Petunjuk pada peran sentimen sebagai salah satu daya motivatif kuat yang dapat meracuni seluruh sikap seseorang (yang kemudian dikembangkan oleh Max Scheler) merupakan salah satu penemuan Nietzsche yang paling penting. Anggapan bahwa suara hati dapat menjadi ungkapan kebencian seseorang terhadap dirinya sendiri kemudian dikembangkan dalam psikoanalisis. Orang yang selalu takut berdosa, yang selalu bertanya apakah tindakan itu betul atau salah tidak mampu memandang dunia, masyarakat, bahkan dirinya sendiri secara positif, tidak mampu pula membangun sikap tanggung jawab. 

3. Namun, apakah dari kemungkinan adanya distorsi-distorsi dalam kesadaran moral dapat ditarik kesimpulan bahwa KESADARAN MORAL itu sendiri sesuatu yang negatif? Ambil saja tuntutan etika Jawa agar orang bersedia untuk narima. Bisa saja narima menjadi kedok orang yang lemah, takut konflik, dan tidak berani bertanggung jawab. Bisa saja orang itu "menerima" apa saja, menelan apa saja, membiarkan diri dihina dan diinjak dan hanya malu-malu senyum saja. Namun, bukan itulah yang dimaksud dengan sikap narima. Narima berarti mampu menerima hal-hal yang berat tanpa patah, tidak memberontak seperti anak kecil apabila mengalami peristiwa yang tidak disenangi, tahu bahwa banyak pengalaman dalam hidup memang harus diterima, tetapi kuat untuk tetap bangkit kembali, untuk terus bertanggung jawab dan tetap berani bertindak. Orang yang dapat menerima kejadian apa pun dari luar tidak dapat dihancurkan dan mampu untuk mulai lagi. 

Begitu pula, apakah perhatian kepada orang kecil, solidaritas aktif, kesediaan untuk menunda pemuasan keinginan sendiri demi saudara merupakan tanda kelemahan atau kekuatan? Bukankah amat aneh bahwa Nietzsche menjelek-jelekkan baik kapitalisme maupun sosialisme? Siapa yang lebih benar: Nietzsche yang mengatakan bahwa orang kuat mengikuti nafsu-nafsunya, atau para ahli kerohanian hampir segala agama dan kebudayaan yang, sebaliknya, mengatakan bahwa orang baru kuat kalau ia dapat menguasai nafsu-nafsunya? Apa bedanya antara mengikuti segala kehendak, insting, dan nafsu serta diperbudak olehnya? Tekanan agama Kristiani, dan juga agama Islam serta Kejawen agar manusia menguasai diri, merupakan tanda kekuatan, bukan kelemahan. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang tenang, yang tidak ditentukan oleh apa pun yang tidak disetujuinya? Barangkali maksud Nietzsche begitu pula. Namun, tekanannya pada nilai-nilai vital, pada kebinatangan dalam manusia serta pada nafsu dan insting, disertai cemoohannya terhadap mereka yang menguasai diri, memberikan kesan bahwa ia justru tidak tahu apa arti kepribadian yang kuat. Siapa yang lebih kuat: orang yang langsung mau membalas dendam, yang cepat mata gelap, yang begitu kena senggol menarik clurit, atau orang yang hanya tersenyum atau bahkan tertawa serta bersedia berjabat tangan? Lagi, yang kuat itu siapa? Orang yang begitu kena pukul tak bisa tidak pukul kembali, atau orang yang, sebagaimana dituntut Yesus (Mt. 5,39), kalau dipukul pipi kanannya dengan tenang menawarkan pipi kirinya? Begitu pula, kebebasan untuk mengakui manusia yang lemah merupakan tanda kekuatan kepribadian dan bukan tanda kelemahan. 

Sulit untuk menghindari kecurigaan bahwa contoh terbaik kemungkinan distorsi moralitas oleh sentimen adalah Nietzsche sendiri. Nietzsche secara fisik lemah, ia dibesarkan dalam lingkungan yang tidak ada prianya, dalam suasana Protestan yang amat saleh. Ia pribadi amat kontras dengan manusia super yang dilukiskannya. Apakah karena itu, ia dengan kebencian luar biasa terdorong untuk menyobek apa pun yang kelihatan suci, saleh dan susila, untuk di mana pun mencium kemunafikan, untuk mengartikan apa pun sebagai "bukan lain hanyalah” perasaan iri, jadi yang membuatnya buta terhadap apa saja yang betul-betul bernilai? Kekuatan kepribadian termasuk juga kemampuan untuk menemukan kebesaran hati orang lain meskipun barangkali tertutup oleh macam-macam sampah. 

Franz Magnis-Suseno, rohaniwan, guru besar filsafat STF Driyarkara

Sumber: 

Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997





Sabtu, 06 Desember 2025

CERITA DARI BLORA: SEBUAH EPILOG

Pramoedya Ananta Toer


Oleh: Joesoef Isak


CERITA DARI BLORA sudah berusia lebih dari 42 tahun, namun sampai sekarang tetap tidak kehilangan apa pun: makna, moral dan nilai-nilai estetik yang dikandunginya. Sampai hari ini pun cerita-cerita ini masih tetap indah, mengasyikkan, mencekam, mengharukan. Sungguh mencengangkan bahwa cerpen-cerpen ini sampai kini tetap memiliki aktualitas hangat bagaikan kisah-kisah visioner! Seakan berlangsung “self fulfilling prophecy” bagi penulisnya sendiri mau pun banyak di antara pembaca untuk pada satu waktu juga mengalami segala derita dan kesengsaraan seperti yang dikisahkannya bila terlibat dalam pertarungan bagi harkat manusia dan kebebasan. 

Rupanya itulah sebabnya ada pengulas sastra memuji-muji kekuatan Pramoedya terutama sebagai penulis cerpen. Mereka membanding-bandingkan dan membedakan Pramoedya dalami 'periode cerpen'-nya dengan novel-novel besarnya yang ditulis di Pulau Buru. Tentulah setiap orang berhak dan bebas mempunyai pendapat sendiri. Pengulas di luar sastra pun punya pendapat sendiri, mereka juga memilah-milah karya-karya Pramoedya. Tampaknya untuk itu ada kriteria tersendiri: pra dan purna Lekra, sebelum dan sesudah Pramoedya jadi tapol. Dan ini lantas menjadi apa dan siapa Pramoedya. Dan kalau sudah begitu, orangnyalah jadi paling utama. Dan apa yang dia tulis menjadilah sekedar bahan pembenaran untuk label yang sudah dijatahkan kepadanya. Dan seterusnya kita semua sudah maklum.

Benarkah ada perbedaan Pramoedya dulu dan sekarang? Dari segi azas kepengarangan dan keyakinan pasti harus dijawab tidak. Pram dulu dan sekarang tetap Pram yang sama. Yang tidak sama adalah munculnya standar ganda dan penilaian yang berubah terhadap pribadi Pramoedya pada kalangan tertentu. 

Minatnya terhadap berbagai problema sosial-politik tidak mengubah dia menjadi seorang politikus. Di atas segala-galanya dia tetap seorang pengarang dengan pandangan hidup mandiri. Bahkan sangat mandiri sampai nyaris individualis untuk memihak atau bisa diikat oleh suatu 'isme' disiplin partai politik apa pun. Pengritik sastra H.B. Yasin dalam kata pengantar untuk buku ini di tahun 1952 sudah menulis: “Pram tidak memberatkan simpatinya kepada suatu isme kecuali kepada humanitas.” Jauh-jauh hari H.B. Yasin seakan sudah menandai humanitas itu sebagai ciri khas Pramoedya yang bisa kata harapkan akan selalu muncul dalam setiap novelnya.

Pendapatnya di tahun 1952 itu betul, tetap valid, tetap sah dan benar untuk semua karya Pramoedya, dulu dan sekarang. Yang mengkotak-kotakkan Pramoedya dan karya-karyanya ke dalam suatu isme golongan, tiada lain adalah obyektvitas rancu dan cara berpikir irasional, purbasangka literer dan non-literer yang terlalu sering sudah sangat patologis. Siapa pun tidak akan berdaya menghadapi argurnentasi yang bersumber dari prasangka separah itu. 

Memang benar Pramoedya terikat dan sadar mengikatkan diri untuk selama-lamanya kepada pandangan hidup yang diyakini dengan kukuh: selalu memihak kepada si kecil, kepada rakyat, kepada mereka yang selalu menjadi korban, siapa pun dan dari golongan mana pun. Kepada mereka yang menderita akibat penindasan, kekerasan dan kekuasaan sewenang-wenang. Itulah yang disebut memihak pada kemanusiaan, kemanusiawian dan martabat manusia. Untuk keyakinannya itu, dia membayar mahal sekali: hidupnya, kebebasannya, umurnya, kesehatannya, harta-bendanya, mata pencariannya, anak-anak rohaninya, yaitu buku-buku hasil kreativitasnya dan dokumentasinya yang tak ternilai. 

Pramoedya adalah pengarang humanis dalam kadar tinggi. Itulah predikat paling tepat kalaulah coute que coute suatu cap tertentu mesti dikenakan kepadanya. Kepengarangan dan hidupnya digadaikan untuk selama-lamanya bagi kemanusiaan, prikeadilan dan harkat manusia. Nilai-nilai universal yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, tak berubah oleh penjara, tak berkisut akibat tekanan. Itulah benang-merah yang konsisten mengalir dalam semua karya Pramoedya, dulu dan sekarang. Ini dapat ditelusuri dan sangat jelas bisa dikenali oleh tiap orang yang bersih prasangka. Yang menghalau Pramoedya dari pentas sastra Indonesia tidak melihat semua itu, juga tidak terlalu peduli implikasi dari langkah sefatal itu. Sungguh tragis—para intelektual dan budayawan Indonesia sebenarnya tahu betul tentang seluk-beluk tragedi ini. Mereka diam.

Maka yang diharapkan dari mereka sekarang tidaklah terlalu banyak: kembali pada jatidiri cendekia! Kepedulian, peka tanggap terhadap tanda-tanda zaman, mewahanai perubahan dan kemajuan. Sudah waktunya untuk itu semua! Sudah waktunya hatinurani paling murni yang bicara, melangkah seiring derap zaman, berinisiatif dan berbuat bagi suatu kehidupan intelektual, budaya dan sosial politik yang rasional, jujur dan bermartabat. 

Di pihak kami—Hasta Mitra, inilah bagian kecil prakarsa yang dapat ikut kami sumbangkan—menerbitkan lagi karya-karya klasik Pramoedya Ananta Toer: mengembalikan aset bangsa kepada bangsa. Dan anak-anak bangsa pantas tahu apa itu. 

—Joesoef Isak

Sumber: 

Epilog dalam Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Blora, Jakarta: Hasta Mitra, 1994


POLITIK IDENTITAS DAN KEADABAN PUBLIK

Kompas, 6 Desember 2022

Oleh: Haryatmoko


Situasi sosial politik di Indonesia akhir-akhir ini mudah memicu polemik dan ketegangan karena gerak kelompok masyarakat tertentu yang cenderung menolak kebinekaan. 

Dinamika di atas ditunjang perkembangan komunikasi digital terutama media sosial (Facebook, blog, SnapChat, Twitter, Tik-Tok, ataupun Youtube). Medsos adalah bentuk jurnalisme warga. Kendalinya lebih di tangan pengguna, yang tidak bisa dituntut seperti praktisi profesional. 

Jurnalisme warga ini mudah disalahgunakan untuk menyebarkan informasi bohong, ujaran kebencian, sehingga memecah belah warga karena tanpa deontologi jurnalisme: tak peduli terhadap verifikasi, akuntabilitas, dan indepedensi. 

Kebohongan semakin marak di era Pasca-Kebenaran karena “iklim sosial-politik membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan untuk mengalahkan obyektivitas dan rasionalitas, meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda” (Llorente, 2017: 9). Mengapa keyakinan politik sering tak mendasarkan fakta obyektif? 

Emosi menentukan opini publik

J Hadt menyebutnya sebagai ilusi Muller-Lyer, keyakinan politik ditentukan oleh proses kognitif sederhana “melihat bahwa” yang hanya mengandalkan pada intuisi atau hasrat. Kalau fakta tidak sesuai dengan keyakinan, bukan pikiran yang harus direorganisasi agar berpijak pada fakta, tetapi justru fakta yang harus diubah. 

Maka, hoaks marak, karena intuisi dan emosi lebih menentukan dalam menerima dan membentuk opini publik. Intuisi tidak otomatis mendorong untuk “berpikir mengapa”. Padahal, hanya orang yang mulai “berpikir mengapa” bisa kritis terhadap hoaks. “Berpikir mengapa” membutuhkan kesadaran penuh dalam bernalar (2012). 

Kebohongan dan wacana yang mengobok-obok emosi menyuburkan polarisasi masyarakat karena semakin meneguhkan keyakinan/ideologi masing-masing kelompok. Dengan ideologi, kelompok masyarakat semakin yakin akan kehebatan identitasnya. 

Ideologi berfungsi meneguhkan dan meningkatkan kohesi sosial, dan menafikan yang bukan kelompoknya. 

Kebohongan di era Pasca-Kebenaran ditandai dimensi baru: (i) berkembang di masyarakat informasi ketika jurnalisme warga (medsos) menjamur sehingga terjadi demokratisasi media; (ii) prioritasnya lebih pada bagaimana “mengintensifkan prasangka negatif” dengan memanipulasi emosi masyarakat; (iii) audiens hanya mau menerima informasi yang sesuai dengan ideologinya. 

Lalu, fenomena echo chamber kian menggejala. Orang mencari peneguhan dari sesama pemeluk ideologi sehingga ketika gagasannya diulang-ulang, meski bohong atau keliru, karena gema terus didengar di ruang sama, akan dianggap benar. Melalui echo chamber, populisme agama mendapat angin karena agama semakin mudah digunakan sebagai legitimasi simbolik untuk menaklukkan ruang publik. Namun, populisme bisa juga menggunakan kendaraan sentimen kesukuan (Jawa/non-Jawa), terutama menghadapi Pilpres 2024. 

Maka, politik identitas harus dipahami dalam kaitan dengan dua bentik sentimen itu. Jangan heran “NKRI harga mati” pun bisa berubah menjadi politik identitas ketika secara membabi buta mendiskreditkan kelompok seberang. Menafikan kelompok seberang adalah unsur pokok mekanisme ideologi. 

Unsur mekanisme ideologi lain beroperasi melalui ilusi Muller-Lyer dan echo chamber yang menjadikan populisme sarat dengan politik identitas. 

Keyakinan alergi verifikasi fakta

Populisme agama lebih mudah memikat banyak orang karena memberi kepastian daripada populisme yang berdasar sentimen kesukuan: (i) dalam ketidakpastian ekonomi global, pengangguran dan ketidakadilan, populisme agama menjamin ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral. 

Kemudian: (ii) agama memberi identitas politik yang pasti berkat retorika yang menjamin hidup akan sejahtera, bukan atas dasar analisis, tapi berdasarkan keyakinan. Karena keyakinan, orang tak peduli lagi dengan verifikasi fakta. 

Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas informasi, pesan atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. 

Kebohongan menyelinap masuk dengan mudah melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Ujaran kebencian marak dengan berlindung di balik kebebasan berpendapat. 

Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu. Buzzer dan algoritma melanggengkan permusuhan dua kubu yang bersaing dan bermusuhan. Maka, bangsa ini perlu sadar untuk membangun keadaban publik. 

Keadaban publik

Keadaban publik mengandaikan sikap kritis dalam interaksi sosial. Artinya, peduli apa yang tak beres dalam masyarakat, seperti ketidakadilan, kesetaraan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, adu domba, bias jender, perundungan, dan politik identitas yang memecah belah. Maka, keadaban publik berarti kritis terhadap informasi dengan menganalisis sumber sebab dan kepetingan-kepentingan agar terbangun institusi-institusi yang lebih adil. 

Kritis dalam menerima informasi mengandaikan kritis terhadap penggunaan bahasa. Maka, diperlukan analisis wacana kritis karena bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan memiliki konsekuensi. Melalui bahasa, fenomena yang sama bisa dideskripsikan dengan beragam cara: laporan, cerita harafiah, fiksi, representasi atau virtual. 

Salah satu faktor yang bisa membantu terwujudnya keadaban publik apabila tujuan etika komunikasi terlaksana: (i) menciptakan masyarakat yang melek informasi secara politik sehingga tercerahkan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat; (ii) membantu masyarakat medapat informasi kredibel agar bisa ambil bagian dalam membangun komunitas yang lebih adil dan toleran. 

Selain itu; (iii) mendorong komunikasi yang transparan dan akuntabel untuk mencegah konflik kepentingan dan korupsi. Dengan demikian, keadaban publik adalah bentuk keutamaan. 

Keutamaan publik itu mengandaikan tiga unsur. Pertama, sikap hormat dan rasa cinta terhadap sesama warga yang melibatkan bentuk komunikasi penuh pengertian. Kedua, rasa empati yang mendorong menjadi warga negara yang kompeten, artinya mampu memahami hak-haknya dan hak-hak sesamanya untuk bisa memperjuangkan dengan mengorganisasi diri. Dan ketiga, menuntut kerelaan untuk mengorbankan diri atau kemampuan mengatur diri. 

Keadaban publik mengandaikan kemampuan mengendalikan diri untuk tidak hanya mencari kepentingan diri demi menjaga harmoni masyarakat. 

Maka, bertindak adil merupakan sikap pribadi rasional yang penuh hormat terhadap orang lain. Bertindak adil hanya mungkin apabila bersedia menunda mengejar kepentingan diri, berarti berkorban. Pengorbanan merupakan nilai moral yang menjadi dasar kuat bagi pranata sosial dan penataan sosial. 

HARYATMOKO, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Komisi Kebudayaan 


Sumber: 

Kompas, 6 Desember 2022

Kamis, 04 Desember 2025

SANG EMPU DAN KEBEBASAN

MATRA, Desember 1994, Rubrik “Intermeso”


Oleh: Mohamad Sobary


Apa sebenarnya yang diinginkan seorang penyair, sebutlah juga seorang empu, saat membacakan sajak-sajaknya di sebuah taman terbuka? Adakah di sana ia sedang beragitasi sambil mengumpulkan massa buat melakukan gerakan-gerakan mengacau keamanan untuk mengganggu stabilitas nasional yang kita dambakan bersama? 

Alhamdulillah, tidak! Para malaekat, nabi-nabi, dan segenap orang suci serentak bersaksi bahwa penyair seperti itu juga berjalan di jalan lempang. Isi pikiran dan jiwanya juga penuh impian damai. Dambaan hidupnya pun jelas: masyarakat adil dan makmur dalam citra kita bersama. 

Benarkah kalau begitu bahwa pada saat pembacaan sajak di taman pagi itu ia tak sedang menyulut kebencian massa pada suatu kekuatan dalam masyarakat kita? Benar. 

Ia bukan remaja yang berkata bahwa sesuatu disebut perjuangan, dan tindakan tertentu dianggap heroik, hanya bila ia sudah berani menantang. Orang dewasa tak mungkin bicara dalam bahasa menantang. 

Dapatkah kalau begitu dibuktikan agar ada kesaksian konkret, hitam di atas putih? Dapat. 

Ketika ia ditendang dari belakang tanpa aba-aba, tanpa peringatan, ia pun merasa sakit. Rasa sakit itu bukan terutama karena ditendang, melainkan karena ia merasa dihina. Ia saat itu diperlakukan seperti maling. Hatinya perih melebihi perihnya bekas tendangan itu. Karenanya wajar bila ia kemudian berkesimpulan bahwa kebebasan memang tidak ada! Dan bahwa sebuah perjuangan tanpa kekerasan dilawan dengan kekerasan.

Tapi adakah ia membalas? Tidak. 

Bukankah wajar tak membalas sebab ia, tentu saja, takut.

Mungkin. Tapi jangan lupa bahwa penyair ini juga pendekar. Ia tahu strategi mengayunkan kepalan tangan. Dan di perguruan Bangau Putih ia belajar pula mengangkat lutut buat menyodok perut lawan. Tapi semua itu toh tak dilakukannya. Ia ke sana pagi itu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk menciptakan dengan cara dan gayanya sendiri sebuah “taman” kebebasan. 

“Taman” kebebasan yang hendak diciptakannya ialah “taman” dalam jiwa kolektif bangsa kita, suatu bentukan sadar, terencana dan disengaja karena memang tertulis dalam landasan struktural maupun ideologis hidup kenegaraan kita. Ia, sebagai intelektual, bermimpi secara konstitusional. Ia bermimpi dalam kerangka yang bukan saja tak dilarang, melainkan malah sebuah keharusan bagi tiap warga negara yang memiliki komitmen moral pada persoalan bangsanya. 

Ia tak bakal dituntut–karena memang tak bisa–secara hukum bila ia tak berbuat sesuatu. Tendangan juga tak bakal didapatkannya bila ia mau tinggal dipadepokan dengan rasa tenang. Tapi ia tahu, nuraninya sendiri akan menuntut. Dan itu yang membuatnya takut. 

Renungan ini perlu ditulis karena gugatan nurani pada komunitas intelektual yang cenderungan diam seribu bahasa melihat sebuah ketertindasan. Dan siapa yang masih peduli mempertimbangkan soal-soal semacam itu, tindakannya perlu digarisbawahi sebagai teladan laku. 

Kita telah merenung. Dan dalam beberapa hari akhir-akhir ini sikap mawas diri sebagaimana dianjurkan dari atas juga telah dilakukan. Tapi lalu apa? 

Jika segenap renungan dan imbauan–yang disampaikan dengan baik-baik dan tetap terbungkus suba sita Jawa sebagaimana dikehendaki budaya politik kita–akhirnya cuma membentur meja birokrasi dan tercabik oleh kepentingan politik praktis, imbauan mawas diri pun jadinya bakal bertemu sebuah lorong buntu. 

Kita semua mandeg. Kita cuma akan saling memandang dengan cara tak saling memahami. Komunikasi kita berlangsung dalam kebisuan. Dan dalam situasi seperti itu biasanya keputusan yang diambil pun jelas: jalan kekuasaan. 

Saya pribadi masih tetap percaya pada “good will”. Dengan landasan itu lalu bisa dibangun sebuah asumsi bahwa tanggung jawab “nasional”: kepedulian menjaga persatuan dan kesatuan, dan berusaha menjauhkan diri dari rongrongan yang memperlemah hidup kenegaraan kita, masih menyebar luas dalam semua sekmen sosial kita. 

Lebih lanjut saya pun berani bertaruh bahwa sangat banyak pihak, juga kalangan pejabat dan birokrasi (sipil maupun militer), yang amat sadar bahwa hidup kenegaraan kita ini sudah dewasa. Setengah abad (tahun depan) adalah usia yang cukup matang, cukup bisa senantiasa bertindak arif dalam tiap-tiap kali menata corak kehidupan kita bersama. 

Di tengah kearifan macam inilah, pada hemat saya telah tiba saatnya buat sungguh-sungguh melanjutkan usaha kita bersama membangun sebuah “taman” kebebasan sebagaimana kita kehendaki bersama. 

Baik, juga kita tegaskan dari awal bahwa kata “kebebasan” di sini tak lain dari “bebas” dan bertanggung jawab juga. Dengan begitu, tentu saja sebuah jembatan dialog telah kita tegakkan bersama. Dan persepsi coba kita samakan. Langkah lebih lanjut kemudian bisa kita ayunkan bersama menuju “taman” kebebasan tadi. 

Apa yang tampak di sana? Bisa kejelasan “rules of the game” dalam bidang apa saja. Bisa kesederajatan posisi tiap warga negara, yang memang telah dijamin dalam gagasan “rules of law” kita. Dan selanjutnya masih banyak hal yang bisa dikemukakan. Tapi satu ini agaknya perlu diutamakan: bagaimana membangun “manusia mahardika” di masyarakat kita, agar gagasan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi–juga di depan hukum dan dalam politik–mengejawantah dalam alam kesadaran sosiologis kita dan bukan cuma dalam alam ideal. 

Memang benar bahwa mewujudkan ini semua diperlukan taktik, strategi, dan cara-cara pendekatan politis tertentu, dan bahwa ia tak bisa disabda dengan “kun fa ya kun”. Kita perlu proses. Kita perlu tenggang laku. Juga tenggang rasa. Dalam hidup saling menenggang rasa itu tentu saja di antara kita tak boleh muncul apa yang dalam kerangka orang asing disebut “the dominator” dan “the dominated”, atau “the dominated, atau “the oppressor” dan “the oppresed

Saya juga masih percaya di kalangan mereka yang sekarang berada dalam posisi di atas pun hasrat membangun “taman” kebebasan tadi tetap menyala meskipun ada yang redup.

Usaha ke arah itu, dengan kata lain, merupakan usaha kita semua. Tiap pihak merasa  bertanggungjawab untuk itu. Dan kita perlu melaksanakannya sekarang. Kita tak ingin melanggar tugas sejarah agar kelak terhindar dari kutukan sejarah juga. 

Para empu (kaum intelektual), seksi “melek-nurani dalam tiap masyarakat dan negara,  memikul tanggungjawab moral lebih besar dari warga masyarakat biasa. Karena itu, maka tiap empu kehidupan, juga empu di bidang seni, harus menugaskan dirinya sendiri untuk senantiasa merasa wajib–dengan sabar, sopan, ketimuran, bebas, dan bertanggungjawab– mengimbau, atau mengingatkan tiap pihak yang lalai terhadap tugas nasionalnya. 

Para empu, para intelektual, memang manusia biasa. Mereka tak bebas dari kepentingan dan pamrih. Dan meski tiap diri di antara mereka sadar bahwa pamrih itu harus diperangi, toh tak semua berhasil melakukannya. 

Maka, bila banyak di antara mereka gagal menghayati– apalagi melaksanakan–peran keempuan mereka, artinya dalam situasi yang begitu “wajib” bersuara tapi mereka tetap diam seribu bahasa, maka soalnya kian jelas bagi kita: “internal conflicts” pada diri mereka sendiri belum lagi terakomodasi, belum ada rasa damai. Mereka masih belum selesai mengatasi soal dalam diri sendiri. 

Dengan begitu mereka belum menjadi manusia mahardika.

Mustahil manusia yang terjerat jiwanya sendiri akan bisa membangun kebebasan bagi orang lain. Dan juga mustahil birokrasi yang dipimpin manusia-manusia yang terjerat kepentingan politis akan bisa menjadi wahana membangun kebebasan jiwa. 

Mohamad Sobary

Sumber: MATRA, Desember 1994



TERBARU

MAKALAH