 |
Albert Camus |
Oleh: Sindhunata dan A. Sudiardja
Dalam La Peste (penyakit sampar) Albert Camus menulis:
Kata ”sampar” terdengar untuk pertama kalinya. Karena berita ini, Bernard Rieux termangu di belakang jendela kamarnya. Orang akan mentolerir si pengarang untuk membenarkan ketidak-pastian dan kehenaran sang dokter, karena dalam arti tertentu, reaksinya adalah reaksi yang wajar dari sebagian besar penduduk. Wabah itu sebenarnya merupakan hal yang lumrah, tetapi sulit untuk dipercaya jika wabah itu menimpa kepala Anda sendiri.1
A. Sekitar novel La Peste?2
Tak dapat disangkal La Peste (1947) mempunyai kedudukan istimewa di antara novel-novel Albert Camus yang lain. Bukan saja karena novel ini merupakan karya Camus yang paling laris dan membuatnya lebih dikenal dalam kancah sastra dan filsafat sekitar tahun 1947-1957, tetapi karena La Peste lebih jauh boleh dikata merupakan novel Camus yang paling "merumuskan” pemikirannya yang terakhir. Inilah karya Camus yang paling penting dan yang paling menentukan terpilihnya sebagai pemenang hadiah nobel pada tahun 1957.
Tentu saja dalam novel itu tercakup pandangan-pandangan Camus yang paling pokok yang sudah diyakininya sejak terbitnya novel yang pertama L'Etranger (Orang asing); seperti absurditas dunia, relativitas cinta, keterasingan, penderitaan dan kematian manusia. La Peste ditulis di tengah situasi perang dunia kedua di Eropa. Dan seperti dicatat oleh Adele King dalam pengantarnya mengenai Camus, masuknya tentara sekutu di Aljazair (1942) yang memaksanya berpisah dari istrinya termasuk salah satu inspirasi yang mendorongnya untuk menulis novel itu.3 Berjangkitnya penyakit sampar yang membuat penduduk kota Oran kocar-kacir seperti diceriterakan dalam novel itu adalah sindiran terhadap pendudukan tentara Jerman di Prancis.4
Kalau kegiatan Camus bisa dibagikan dalam dua periode, maka La Peste mengawali periode kedua dari novel-novelnya, seperti halnya L'Etranger untuk periode yang pertama. Secara singkat L'Etranger mendalami segi absurditas dunia ini, irasionilitasnya kehidupan, sehingga daripadanya ditimbulkan sikap pemberontakan. Dan inilah yang menjadi keterlibatan pokok La Peste. Ditempatkan dalam kondisi perang dunia kedua, maka L'Etranger mengungkapkan moral "tabula rasa” dari tahun-tahun peperangan, sedang La Peste mengajak "berontak” sebagai cara menciptakan kesadaran moral yang baru.5
Meskipun La Peste terbit sesudah perang, namun isinya secara simbolis menunjukkan keadaan perang. Pol Gaillard, staf penguji pada universitas Paris dan Nanterre, mengatakan bahwa La Peste adalah karya yang digarap di tengah-tengah peperangan. Bahkan menurutnya gagasan tentang La Peste sudah muncul pada tahun 1939 ketika ia sudah menyelesaikan suatu drama Caligula, tahun mana merupakan awal perang dunia kedua.6 Penyakit sampar bagi Camus bukan hanya irasionalitas yang menguasai kehidupan ini, tetapi juga merupakan simbol dari penindasan yang diakibatkan oleh perang. Dalam catatannya Camus menulis,
Dengan "sampar” saya memaksudkannya sebagai kesumpekan yang mencekik kita, dan keadaan di mana ancaman dan pembuangan kita alami. Di samping itu saya ingin memperluas pengertian ini ke dalam pengertian eksistensi pada umumnya.7
La Peste berkisah tentang berjangkitnya penyakit sampar di kota Oran sebuah kota di Aljazair, koloni Perancis. Kota yang dilukiskan sebagai kering, tak ada pepohonan yang tidak mempunyai keistimewaan apa-apa, merupakan refleksi Camus atas kehidupan yang monoton, tanpa jiwa. Tiba-tiba wabah sampar berjangkit di sana dan orang-orang mulai menyadari artinya kecemasan, kebingungan dan ketakutan yang diakibatkan oleh kematian, penyakit, keterpisahan dengan sanak saudara, keterkungkungan dalam kota yang tertutup. Wabah sampar telah mengakibatkan kesadaran manusia akan lingkungan dan kondisinya sendiri yang malang. Dari situ pulalah Camus ingin menunjukkan berbagai potret manusia yang bereaksi terhadap keadaan malang tersebut.
B. Absurditas seorang eksistensialis
Untuk melacak gagasan tentang absurditas yang diulangi terus-menerus oleh Camus, pertama-tama kita harus mengambil posisi untuk menentukan Camus sebagai seorang eksistensialis seperti dimaksud oleh Walter Kaufmann.8 Lepas dari pengingkaran Camus sendiri dan para eksistensialis pada umumnya terhadap sebutan ini, Camus telah menjalankan suatu filsafat yang bebas dari konvensi-konvensi tradisional ataupun untuk membentuk sistem global dari pemikirannya. Seperti dirumus oleh Kaufmann. "eksistensialis” sebetulnya bukanlah suatu filsafat, tetapi suatu sebutan saja bagi sejumlah pemikir yang terang-terangan menentang filsafat tradisional.9
Ciri eksistensialis Camus menurut Kaufmann paling menyolok nampak dalam karangannya Le Myte de Sisyphe (Mitos Sisiphus). Di situ ditunjukkan penghayatan Sisiphus dalam tragedi Homerus Sisiphus adalah orang yang berani menentang para dewa karena mempertahankan pendiriannya sendiri, dan lebih dari itu ia berani menanggung akibat-akibatnya. Kalau ciri eksistensialis itu dapat ditaruhkan pada penekanan individu, seraya meninggalkan keseragaman oleh karena ikatan-ikatan sosial yang ada, maka ciri absurditas itu boleh dirumuskan sebagai salah satu ciri eksistensialis yang ireligius. Dalam ekspresi Camus ini berarti penghayatan individual seraya meninggalkan dimensi transenden.
Andai kata seorang eksistensialis masih percaya akan Allah, maka selalu ada jalan keluar untuk persoalan-persoalan dunia yang kendatipun mereka alami sebagai yang semrawut ataupun menyengsarakan. Bagi seorang eksistensialis yang religius, penghayatan akan Allah atau yang transenden justru dipertebal oleh situasi problematis yang dialaminya. Tetapi dengan itu rasanya jalan pemikiran sudah sedemikian lurus sehingga kurang memberikan variasi. Eksistensialis religius selalu berakhir pada suatu optimisme. Ada tiga alasan menurut Kaufmann yang membuat eksistensialis religius kurang menarik untuk ditelaah. Pertama karena persoalan religius sudah dengan sendirinya mengundang pemikiran eksistensialis. Selalu ditekankan oleh agama bahwa pengetahuan religius belaka tidak memadai untuk kehidupan. Kedua karena eksistensialis religius tak meninggalkan bekas yang mengesankan dalam tulisan-tulisan atau filsafat. Dengan mengecualikan Kierkegaard, eksistensialis religius kebanyakan bersikap reaktif dan kurang menunjukkan orisinalitas. Ketiga pemikiran-pemikiran eksistensialisme religius karena keseragaman dalam kesimpulan pada umumnya bisa dikumpulkan dalam satu bunga rampai.10
Dari segi ini absurditas Camus dapat dilihat dengan tajam. Absurditas itu merupakan salah satu posisi filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme ateis, kalau boleh dikatakan demikian, sebab absurditas berarti ketidak-mungkinannya mencari jawab pada yang transenden. Camus amat mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan kematian Allah, agar manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi ini adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi kurang mengena.
Camus sependapat dengan Nietzsche, seraya menyimpulkan bahwa dunia ini absurd. Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai variasi, misalnya bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia bersifat sementara saja. Apakah nilai keindahan ini bila manusia kemudian mati dan tak dapat menikmatinya (dalam Noces); orang lanjut usia yang tidak tahu melewatkan hari-harinya kecuali dengan tindakan-tindakan yang naif (dalam L'ironie). Dunia ini absurd karena tidak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini irasional karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana ataupun tujuan hidup manusia.
Patrick Henry dalam sebuah karangan menganalisa absurditas yang terungkap dalam L'Etranger dan dalam Le Mythe de Sisyphe.11 Dalam kedua buku itu tokoh absurd menghayati absurditas hidupnya sudah sejak awal ceritera. Bentuk kesadaran ini terungkap dalam ketak-acuhan si tokoh terhadap masa depan. Ia lebih suka menggeluti pengalaman-pengalaman langsung yang merupakan kekayaan hidupnya. Dalam kedua buku ini tokoh absurd adalah orang yang terasing. Tokoh absurd dalam L'Etranger dianggap orang yang kurang waras yang aneh dan menimbulkan dugaan macam-macam. Tetapi Meursault, sang tokoh adalah orang yang sebenarnya sangat akrab dengan alam. Ia konsekuen dengan prinsip alam. Ia tidak mengalami kebimbangan ataupun keraguan dalam tindakan karena merasa yakin akan dirinya yang bersatu dengan ritme alam. Karena tuduhan orang lain, Mersault malah menjadi bingung dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia juga menjadi terasing dari dirinya seperti halnya tokoh Sisiphus.12 Namun pada akhir karangan, Patrick Henry melihat adanya perbedaan mengenai perkembangan makna absurditas dalam L'Etranger dan Le Mythe. Dalam Le Mythe, dunia tidaklah absurd tetapi irrasionil. Absurditas itu muncul karena tokoh yang absurd mempertanyakan makna kehidupannya di dunia, tetapi tidak mendapatkan jawabannya. Problem absurditas di sini lebih bersifat metafisik. Dalam L'Etranger baik taraf metafisik maupun taraf sosial disinggung dalam menunjukkan absurditas. Dalam taraf sosial ditunjukkan kesan seolah-olah Meursault yang absurd itu menganggap kehidupan sebagai permainan belaka. Tentu saja kesan ini timbul dalam diri orang-orang yang tak dapat memahami Meursault.
C. Absurditas pada La Peste
Dalam La Peste, absurditas itu dilukiskan dengan berjangkitnya wabah sampar di kota Oran. Orang tidak bisa menerangkan mengapa Oran yang sebelumnya menjalani kehidupan yang tenang itu tiba-tiba terkena musibah? Tidak ada alasan yang bisa mendasari jawaban atas pertanyaan, mengapa Oran terkena musibah sampar ini. Timbulnya wabah sampar di kota itu secara mendadak adalah sesuatu yang pahit yang membuat seluruh penduduk kota menjadi cemas. Tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan ini. Bahkan khotbah pastor Paneloux yang menjelaskan wabah sebagai penghukuman Tuhan pun tak dapat dipahami.
Tetapi orang-orang tak mempunyai pendapat yang cukup beralasan. Namun, khotbah itu membuat orang lebih berpikir, mengenai satu gagasan yang kabur, gagasan bahwa mereka ada dalam penghukuman, terhadap suatu kejahatan yang tak jelas apa, suatu pemenjaraan yang sulit bisa dibayangkan.13
Wabah itu nampaknya tak dapat diterangkan begitu saja sebagai akibat dari suatu sebab. Wabah itu sungguh-sungguh absurd bagi mereka dan tak bisa diterima begitu saja.
Absurditas ini lebih konkret lagi dalam implikasi selanjutnya. Pastor Paneloux sendiri misalnya, terpukul oleh peristiwa kematian anak Tuan Hakim Othon yang masih kecil. Bagi anak sekecil itu, kejahatan manakah yang telah diperbuatnya sehingga ia pun harus menderita sampar sampai mati? Dalam khotbahnya yang kedua Paneloux berkata,
Saudara-saudara, kata Paneloux dalam kesimpulan khotbahnya, cinta Allah adalah cinta yang sukar. Ia mengajak penyerahan diri yang total dan perendahan diri. Tetapi, hanya dari kanak-kanak, hanya dia sendiri yang menganggap ini semua perlu, karena tak mungkin memahami ini semua dan tak mungkin berbuat lain kecuali menghendakinya.14
Absurditas ini mirip yang ditemui Dostoevsky dalam bukunya The Brothers Kamarazov. Penderitaan di dunia ini semakin tak dapat dipahami jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah.
Kemudian Rambert, wartawan dari Paris, juga jengkel dan tak mau menerima kenyataan bahwa dia tak boleh keluar dari kota Oran karena kota itu ditutup bagi semua komunikasi luar semenjak wabah sampar dinyatakan berjangkit. Ia merasa diri sebagai bukan penduduk Oran dan berhak mendapat privilese dari peraturan yang baginya tidak masuk akal itu. Tetapi, dokter Rieux yang dimintai konfirmasinya menggelengkan kepala, meskipun ia memahami keinginan Rambert untuk bertemu dengan istrinya.
Percayalah bahwa saya dapat memahami tuan, kata Rieux, tetapi pemahaman tuan kurang baik. Saya tidak dapat membuatkan tuan surat konfirmasi, karena saya tidak tahu apakah tuan sudah kejangkitan penyakit ini (sampar) atau belum, dan dalam hal ini, saya tak dapat menjamin bahwa detik-detik antara tuan keluar dari kantor saya dan tuan masuk dalam kantor walikota tuan tetap bebas dari kuman.15
Secara umum maka wabah sampar telah membuat kota Oran menjadi semacam pembuangan (I'exil). Orang terkurung tanpa bisa keluar daripadanya. Lebih lanjut pembuangan ini menjadi pengasingan yang tidak mengenakkan. Tidak saja seluruh warga kota terasing dari dunia luar, tetapi juga masing-masing terasing satu dengan yang lain, kesepian.
Dengan amat meyakinkan absurditas itu diungkapkan Camus dalam kalimat ini:
Dalam kesepian luar biasa ini, akhirnya tak seorang pun dapat mengharapkan bantuan dari tetangganya. Setiap orang tinggal sendirian dalam kecemasannya.16
Kesepian macam inilah yang dialami Tarrou, sahabat dokter Rieux, ketika ia menghadapi ajalnya. Kematian itu sendiri absurd selama orang tidak lagi menerima kenyataan yang transenden. Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang tak diinginkannya. Dan Tarrou menghadapi kematiannya sebagi pertandingan yang berakhir dengan kekalahan dirinya.
Dia mengerutkan mukanya yang kaku dan mencoba tersenyum.
— Terima kasih. Saya tak ingin mati dan saya berjuang, tapi jika saya kalah dalam pertandingan ini, saya ingin membuat suatu penyelesaian yang baik.
Rieux menunduk dan memegang pundaknya.
— Jangan. Untuk menjadi seorang Santo, perlulah hidup. Bertahanlah terus.17
Kematian merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan ini. Jika kehidupan itu bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan menghancurkan seluruh proyek-proyek yang sudah dibangun manusia selama hidupnya? Apakah manusia harus menyerah saja untuk ditelan oleh kematian dan mengakhiri hidupnya yang sudah dibangun sekian lama? Pertanyaan ini dalam filsafat absurditasnya Camus tak boleh dikembalikan pada jawaban akan adanya kehidupan di balik kematian. Jawaban seperti ini tidak mempunyai dasar yang logis, tetapi hanya merupakan ungkapan optimisme psikologis.
Persoalan kematian sebagai kunci absurditas ini sebetulnya sudah lama muncul dalam Le Mythe de Sisyphe. Seperti dikutip oleh Copleston, bagi Camus hanya ada satu persoalan filsafat yang serius yakni "bunuh diri”. Apakah kehidupan itu layak untuk dihayati atau tidak, inilah yang harus dijawab oleh filsafat.18 Tetapi persoalannya tidakkah sesederhana yang dibayangkan. Jika kehidupan itu terkena oleh wabah sampar menjadi kehidupan yang brengsek, kehidupan yang penuh kemalangan, kehidupan yang pahit, yang penuh dengan kedengkian dan sebagainya, apakah makna itu masih terkandung di dalamnya, sehingga orang patut untuk memperjuangkan dan menghayatinya? Sungguh suatu pertanyaan yang absurd.
D. Heroisme kontra Pemberontakan Manusia Absurd
Terhadap situasi kehidupan yang absurd ini, manusia harus menentukan sikapnya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tidak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri. Setiap anggapan yang menolak eksistensi Allah akan berpendapat seperti Nietzsche, bahwa kini terbuka suatu daerah tak bertuan yang harus dikuasi. Itulah anggapan kaum nihilis. Nietzsche mengisi kekosongan kekuasaan itu dengan cita-cita pembinaan manusia ”superman”, sedang Marx mengajukan gagasan kekuasaan kaum proletar. Tetapi tidak demikian halnya Camus.
Camus menyadari betul tidak perlunya suatu masa depan. Bukan karena gagasan tentang masa depan itu jelek tetapi karena masa depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya yang dihadapinya saat ini. Ia amat radikal dalam hal ini dan karena itu pada tahun 1949, sesudah terbit bukunya L'Home Revolte (Pemberontak) ia memisahkan diri dari Sartre untuk sebagian dikarenakan Sartre menjadi penganut komunisme. Ia mengritik komunisme karena utopi ”masyarakat proletar” telah mengakibatkan perhatian manusia memberat pada masa depan. Komunisme dengan demikian tidak menghapus penderitaan masa kini tetapi memanipulasinya demi masa depan.19
Karena absurditas kehidupan ini Camus telah menolak segala bentuk agama, futurisme atau ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Bagi Camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, konkret masa kini. Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenal cita-cita atau perencanaan di masa depan.
Sebetulnya yang dimaksud Camus adalah suatu sikap yang tidak "sok” pahlawan. Sikap yang seolah-olah mau menyelamatkan keadaan dunia ini untuk tujuan-tujuan luhur di masa depan, kiranya tidak bersesuaian dengan tokoh yang absurd. Manusia absurd itu tidak mempunyai pretensi moral. Ia tidak mau mengajarkan moral kepada orang-orang lain, mengenai hidup macam apa yang sebaiknya dianut. Dalam konteks ini juga, moral yang formal adalah absurd. Orang tidak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang jahat sebab nilai-nilai selalu dapat diputar-balikkan demi kepentingan-kepentingan tertentu dari suatu golongan. Nilai-nilai harus ditinjau bukan sebagai nilai yang absolut, tetapi sebagai yang selalu bersesuaian dengan sejarah.20
Terhadap kenyataan yang absurd ini, manusia tidak dapat menganggap diri sebagai pahlawan, tetapi sebagai manusia absurd. Manusia absurd itu ialah manusia yang menyadari absurditas kehidupan yang bertindak untuk masa kini saja, seraya meninggalkan masa depan dan masa lampau. Ada beberapa tipe manusia absurd; Don Juan yang tidak menganggap cinta sebagai pengalaman yang menuju kehidupan abadi, tetapi sebagai pengalaman inderawi yang digelutinya masa kini; Seniman yang mengekspresikan diri dalam karya-karyanya untuk mengintensifkan pengalaman inderawinya; Petualang yang mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, ini semua merupakan tipe manusia absurd yang ditunjukkan Camus.21
Rumusan yang paling tepat mengenai sikap Camus terhadap absurditas ialah pemberontakan (la revolte). Harus dibedakan antara manusia yang absurd dengan manusia yang menyadari absurditasnya. Seorang Don Juan, seniman atau petualang adalah manusia-manusia yang absurd. Mereka bertindak menurut prinsip-prinsip absurditas kehidupan. Manusia yang menyadari akan absurditasnya atau absurditas kehidupan ini dapat menyerah dan menjadi putus asa, tetapi dapat juga menjadi "pemberontak”. Dan alternatif kedua inilah yang dipilih Camus. Jadi, Camus meskipun tidak mengajarkan moral, tetapi ia tidak abstain terhadap permasalahan moral. Ia melibatkan diri dalam moral, dan mempunyai pendirian moral yang kuat.
Adele King dalam sebuah bukunya tentang Camus merumuskan tiga hal sehubungan dengan "pemberontakan”. Pertama ”pemberontakan” ini harus dipertahankan terus-menerus, yakni dengan menyadari kodrat dunia seraya menolak untuk ikut tercebur dalam tragedinya. Kedua, karena kematian merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka “pemberontakan” merupakan ekspresi kebebasan yang sangat istimewa, yakni kebebasan dari seorang tertuduh, dengan menyatakan diri benar kendati harus menjalankan hukuman mati. Ketiga, karena kematian merupakan akhir dari segalanya, maka yang paling pokok adalah mengumpulkan pengalaman "pemberontakan” sebanyak-banyaknya. Pengalaman ini harus dilihat sebagai kuantitas daripada kualitas.22
Dengan demikian "pemberontakan” dapat juga dianggap sebagai reaksi positif dari kemacetan dunia karena absurditas itu.
E. Moralitas Pemberontakan dalam La Peste
Camus memang tidak mengajarkan moral. Dalam hal ini La Peste juga tidak bisa diinterprestasikan sebagai pengajaran moral. Camus berusaha terlibat dalam permasalahan moral, menggeluti permasalahan moral tanpa harus jatuh menjadi seorang pewarta moral. Hal ini dikarenakan moralitas tidak mempunyai nilai absolut sehingga dapat diajarkan begitu saja. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya keterbatasan-keterbatasan manusia. Jika manusia itu terbatas, maka tindakannya juga terbatas, dan dalam keterbatasan inilah "pemberontakan” harus ditempatkan.
Karena keterbatasan ini juga, maka dalam La Peste tidak ditemukan pahlawan. Selalu ada sudut-sudut kelemahan yang membuat tokoh-tokoh La Peste tidak sampai menjadi pahlawan. Tetapi kalau La Peste boleh dianggap sebagai ajang pertandingan seperti dikatakan Tarrou, maka ada tokoh-tokoh yang menang dalam pertandingan itu, ada tokoh-tokoh yang kalah. Demikianlah Pol Gaillard membagi dua . tokoh-tokoh dalam La Peste.23
Tokoh-tokoh kalah ialah Tarrou, Cottard, dan Paneloux. Tarrou dan Paneloux mati oleh Sampar, sedang Cotttard menjadi gila dan ditangkap polisi. Ketiganya dianggap kalah karena sesudah wabah berakhir mereka tidak dapat memulai kehidupan lagi dari depan. Namun kekalahan ini tidak berarti meniadakan ”pemberontakan” yang telah mereka lakukan. Dalam ekspresi Tarrou, keinginannya untuk menjadi "santo" tanpa Allah adalah jenis pemberontakan yang dilakukannya terhadap kenyataan sampar.
— Pendek kata, kata Tarrou dengan jujur, apa yang menarik ialah mengetahui bagaimana menjadi santo.
— Tapi Anda tidak percaya kepada Allah.
— Persis. Dapatkah menjadi santo tanpa Allah, inilah satu-satunya problem konkret yang kuhadapi saat ini.24
Dengan keterbatasannya yang ada, apakah Tarrou dapat menjadi santo? Tetapi yang jelas Tarrou-lah yang berhasil meyakinkan Rambert untuk bergabung dalam kelompok sukarela dalam membantu korban wabah itu.25 Tarrou-lah yang mencoba mendekati Cottard untuk menjadi kawannya, meskipun Cottard dianggap pencoleng. Dan ketika menjelang ajal, Tarrou menyadari bahwa dirinya tidak berdaya menghadapi kematian, meskipun ia merasa tak perlu bersedih karenanya.
Lain lagi dengan Cottard. Tokoh ini dicari-cari polisi dan merasa dirinya dicurigai oleh semua orang. Tetapi wabah sampar telah membuatnya sedikit lega. Orang mengalihkan perhatiannya dari dirinya. Orang dibingungkan oleh penyakit sampar. Cottard lari pada pasaran gelap dan mengambil keuntungan dari suasana itu. Tetapi ketika pada akhirnya wabah sampar surut kota Oran hendak dibuka kembali, Cottard menjadi bingung. Ia menjadi gila.26 Rupanya Cottard tidak siap dengan perubahan itu. Ia merasa sudah mapan dengan keadaan wabah sampar.
— Jika pun kita terima demikian, kata Cottard kepada Tarrou, lantas apa yang Anda maksudkan dengan kembali pada hidup normal?
— Seperti mengulangi film dalam bioskop, jawab Tarrou tersenyum. Tetapi Cottard tidak tersenyum. Ia ingin mengerti apakah orang bisa menerima andai kata wabah sampar tidak mengubah apa-apa di dalam kita dan andai kata semua berulang lagi seperti sebelumnya, artinya seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun.27
Apa yang mengesan pada Paneloux, pastor yesuit itu ialah perubahan pandangannya setelah melihat kematian anak Tuan Hakim Othon. Meskipun ia tidak berubah dalam pendirian imannya. Namun ia mulai bisa memahami absurditas kematian dan penderitaan. Tetapi Camus tidak sampai mengatakan bahwa dengan demikian Allah yang diakui Paneloux adalah Allah yang absurd juga, yang mentolerir kematian kanak-kanak tak bersalah. Sikap Paneloux diinterpretasikan oleh Adele King sebagai sikap Kierkegaard yang kendati tidak tahu apakah Allah itu baik atau kejam, tetapi sikap manusia haruslah menyerah kepada-Nya.28 Paneloux pun akhirnya mati ditelan oleh sampar yang absurd itu.
Dari tokoh-tokoh yang masih hidup sampai berakhirnya wabah sampar antara lain Grand, Rambert dan Rieux. Boleh dikata suatu kemenangan bagi mereka dapat bertahan hidup dalam kemelut wabah itu dan mulai hidup yang baru. Grand, pegawai rendah dari kantor kotapraja, adalah representasi dari orang yang mempunyai perhatian terhadap hubungan pribadi. Istrinya yang dicintainya meninggalkan dirinya dan ia dihantui kesepian yang luar biasa. Tetapi dari pengalaman ini ia merasa terpanggil untuk menolong sesamanya yang menderita kesepian juga oleh sebab-sebab yang lain. Ia ingin menulis novel, katanya, untuk mengungkapkan perasaannya dengan setepat-tepatnya. Tetapi ia tidak sampai menulis kecuali satu kalimat pembukaan yang berulang-kali diubahnya karena tidak memuasinya.
Ia sakit sebentar karena wabah, tetapi kemudian sembuh. Grand adalah orang yang tetap manusiawi yang penuh rasa kasih kepada sesamanya, kendati nampaknya bodoh dan naif. Ia tidak seperti dokter Rieux yang merasa harus menekan perasaannya demi tugas-tugas kedokterannya melawan wabah sampar ini.
Setiap sore, ibu-ibu menangis demikian dengan wajah kosong di depan perut-perut yang terbuka dengan tanda-tanda kematian; setiap sore lengan-lengan menggelantung pada Rieux, kata-kata yang tak berarti, janji-janji dan tangisan bersahutan, setiap sore sirene ambulans memecahkan krisis dengan sia-sia, sesia-sia semua penderitaan ini. Dan pada akhir setiap sore yang panjang, yang selalu sama ini, Rieux tak dapat mengharapkan apa-apa kecuali suatu rentetan adegan yang sama, terus-menerus diulang.
Grand menjadi pahlawan bagi Rieux justru karena ia jujur dengan perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga sulit bagi Rieux untuk menyatakan perasaannya terhadap kejadian ini. Ia merasa tak bisa berbuat apa-apa selain harus merasa netral, meski bukan berarti tidak memahami kesedihan orang-orang lain itu. Ia merasa tak bisa bersikap seperti Grand. Ia juga tak bisa menerima hasrat Tarrou untuk menjadi seorang santo. Baginya sikap yang paling cocok dalam menghadapi kejadian seperti ini adalah menjadi manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia menyatakan kepada Tarrou,
Barangkali, jawab dokter, tapi Anda tahu, saya merasakan solidaritas lebih dengan orang-orang yang gagal daripada dengan para santo. Saya tak mempunyai hasrat, saya kira, untuk suatu jenis heroisme dan kesucian. Apa yang baik bagi saya ialah menjadi seorang manusia.30
Rambert si wartawan mempunyai sikap yang lain lagi. Wabah sampar itu semula merupakan sumber kejengkelannya, karena ia terpaksa terkena peraturan untuk tinggal di kota Oran di luar kemauannya. Tetapi ketika ia menyaksikan sendiri korban-korban yang bergelimpangan di balai-balai rumah sakit bersama Tarrou dan dokter Rieux, putusannya untuk meninggalkan kota itu dibatalkannya. Ia merasa terpanggil untuk solider bersama orang-orang di kota itu. Perubahan keputusan ini sangat menarik karena persis pada saat justru ia mendapat kesempatan untuk dapat meninggalkan kota itu pada malam harinya. Itulah kesempatan yang dicari-carinya sejak ia mengetahui kota ditutup oleh pemerintah kotapraja. Ia mulai menyadari bahwa dirinya bukan orang asing lagi di Oran. Situasi telah memaksanya terbiasa dengan keadaan itu.
Bukan itu, kata Rambert. Saya selalu berpikir bahwa saya adalah seorang asing di kota ini dan bahwa saya tak mempunyai urusan apa-apa dengan Anda. Tapi sekarang saya telah melihat apa yang telah saya lihat, saya tahu bahwa saya orang sini, mau tak mau. Sejarah ini melibatkan kita semua.31
Dari tokoh-tokoh yang banyak ini tidak bisa ditentukan mana yang pahlawan dan mana yang bukan pahlawan. Masing-masing menyatakan sikapnya terhadap absurditas yang mereka hadapi. Dengan demikian juga tak dapat ditarik suatu ajaran moral untuk dianut. Inilah bentuk keaneka-ragaman ”pemberontakan”, kalau boleh dikatakan demikian, tanpa adanya pesan moral yang jelas. Masing-masing melakukan apa yang paling baik.
F. Tinjauan kritis dari La Peste
Kalau kita mau meninjau La Peste dari sudut pandangan Camus sendiri, maka secara konsekuen harus dikatakan bahwa Camus seorang yang absurd. Pandangannya absurd dan tak bisa dimengerti. Tetapi dengan demikian kita tak bisa mendapatkan apa-apa dan sia-sia seluruh penyelidikan kita. Dalam Carnets 1942-1951 Camus menulis.
La Peste, nilai yang sama sekali sama (dengan yang dipaparkan dalam L'Etranger) dari sudut pandang individual yang berhadapan dengan absurditas yang sama pula. Tetapi, dengan tambahan, La Peste menunjukkan bahwa yang absurd tidak mengajarkan apa-apa. Inilah kemajuan yang definitif.32
Di tempat lain ditulis.
Moral dari wabah sampar: tidak berguna untuk apa pun dan untuk siapa pun. Hanya mereka yang telah disentuh oleh kematian sendiri atau lewat keluarga mereka, telah belajar sesuatu daripadanya. Tetapi sebetulnya mereka dengan demikian sudah melibatkan diri mereka. Tak ada masa depan.33
Apa yang bisa dikatakan dari ini ialah bahwa Le Peste sesungguhnya tidak berbicara untuk sesuatu, tetapi berbicara tentang pengalaman. Dan pengalaman, terlebih pengalaman mengenai kematian seperti nampak dalam La Peste, adalah yang paling pribadi dan tak terkomuniksikan kecuali bagi orang yang mengalaminya sendiri.
Paling baik kiranya melihat Camus dari sudut eksistensialisme. Sekali lagi lepas dari ingkaran Camus sendiri terhadap sebutan ini, serta lepas dari pretensi untuk mengkotakkan Camus dalam salah satu aliran, sudut pandangan ini dapat lebih membantu menguraikan simpul-simpul absurditas yang sudah dipeluk Camus.
Dari sudut pandangan eksistensialis, nampak Camus bertolak dari kenyataan dunia yang pahit, yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Hal ini tidak amat aneh. Banyak eksistensialis yang bertolak dari anggapan ini termasuk Nietzsche dan Kierkegaard, dua perintis eksistensialisme. Dan datangnya penderitaan di dunia ini seperti datangnya penyakit sampar tidak dapat diduga dan dipikirkan. Penderitaan itu begitu saja ada dan menguasai kehidupan. Akan tetapi mau apa dengan penderitaan, jika penderitaan itu adalah peristiwa duniawi yang amat wajar? Camus yang menyatakan diri sebagai ber-”kerajaan di bumi” tidak harus heran dengan kenyataan ini. Ia sendiri terlibat di dalamnya, dan menyatakan diri "berontak” terhadap kenyataan pahit ini. Ada dua hal yang patut diperhatikan sehubungan dengan sikap Camus ini. Pertama perlu dipertanyakan apakah kenyataan duniawi harus dinilai melulu secara negatif? Terhadap pertanyaan ini, meskipun dalam La Peste tidak nampak secara menyolok, namun Camus sebenarnya sudah mempunyai jawabannya.
Bahwa di dunia ini ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan. Inilah kerajaan manusia sendiri, yang membuat manusia krasan dan membenci kematian. Keindahan ini adalah langit yang bersih, yang tidak tersentuh oleh kuman sampar, laut yang nyaman di mana dokter Rieux dan Tarrou dapat mandi bersama untuk menyatakan ikatan persahabatan mereka. Pendek kata ada sikap mendua terhadap kenyataan dunia ini, yang membuat manusia sekaligus mencintai dan ”memberontak” dunia.34
Hal yang kedua, yang sering menjadi kritikan yang paling umum dilontarkan, ialah sehubungan dengan “pemberontakan” yang diusulkan Camus. Apakah arti ”pemberontakan” ini jika tidak diberi imbangan dengan efektivitas perubahan? Camus membedakan pemberontakan (rebellion) dari revolusi (revolution). Pemberontakan itu bersifat alamiah, primitif, sedang revolusi adalah produk pikiran modern, yang mau mengubah dunia dengan janji-janji.35 Jika Camus berpendapat demikian, maka "pemberontakan”-nya tak lebih dari sebuah suara yang berseru di padang gurun. ”Pemberontakan” yang tidak mengejar implikasi perubahan adalah sia-sia.
Tidak mengherankan bila Sartre sesudah perpisahannya dengan Camus, menuduh Camus kurang mempunyai disiplin dan aturan kerja. Filsafat Camus tidak menganut prinsip dan main-main saja. Gagasan Camus "mengawang di udara”. Agaknya Camus menerima kritikan ini secara serius karena untuk beberapa saat sesudah terbitnya L'Homme revolte ia mengundurkan diri dari politik karena merasa tidak dimengerti maksudnya.36
Akan tetapi salah pengertian ini juga dapat dikembalikan pada maksud Camus untuk menghindari pengajaran moral. Camus tentulah tak dapat dibandingkan dengan Sartre dalam kegiatan filsafatnya. Camus bukan seorang filsuf profesional. Dengan menghindari ontologi, Camus berharap dapat lebih terlibat pada permasalahan moral.
Seperti nampak dalam La Peste, segi artistik mendapat tekanan yang cukup mendasar. Bagi Camus untuk melibatkan diri pada permasalahan moral, tanpa sendiri terperangkap dalam pengajaran moral, jalan satu-satunya ialah lewat seni. Dan jika La Peste sebagai karya sastra adalah salah satu bentuk kesenian, maka Camus berhasil menuangkan gagasan absurditas itu ke dalam bentuk yang tidak absurd. Seni adalah di antara realitas dan mitos. Dan seni itu lebih bersifat ironis justru untuk menyerang didaktisme. Karena itu penggarapan La Peste dalam bentuk sastra amat diperhitungkan. Pol Gaillard yang membahas secara khusus La Peste tak kurang menyajikan data bagaimana gaya bahasa dan bentuk novel itu dipersiapkan.37 Dengan tata cara ini Camus sebetulnya lebih menghargai seni daripada filsafat.
Akhirnya untuk menutup karangan ini patut dicatat bahwa Camus bagaimanapun juga berhasil mengungkapkan kondisi manusia secara telak. Kendatipun kita tak dapat memperoleh pesan moral yang bisa dijadikan bahan perbandingan, namun dengan La Peste ini Camus telah menggali pengalaman yang amat pekat mengenai absurditas manusia. Pengalaman ini tentu saja dapat menjadi bahan renungan bagi siapa pun; dan untuk menentukan sikap mana yang diperlukan untuk menghadapinya, Camus memberikan kebebasan yang luas. Sungguh, di jaman di mana orang lebih suka pada hal-hal yang praktis dan superfisial ini, Camus telah menyumbangkan refleksinya yang paling dalam mengenai kondisi manusia, agar kita dapat hidup secara baru.
Catatan kaki:
1. Albert Camus, La Peste, Gallimard, Paris, 1947, hal. 40.
2. Untuk selanjutnya dengan La Peste dimaksudkan buku yang dikarang Camus dan bukan "penyakit sampar”.
3. Adele King, Camus, Edinburgh and London, 1968 (1964), hal. 6.
4. Pendudukan NAZI (Jerman) di Prancis pada 1942 telah menimbulkan berbagai kekacauan, perpecahan orang-orang antara daerah yang dikuasai dan daerah yang masih bebas, keharusan birokrasi, perpisahan dengan keluarga karena pengungsian, larangan macam-macam, penindasan orang-orang Yahudi, novena dan doa-doa yang bersifat takhyul dan sebagainya. Pol Gaillard dalam sebuah edisi kritis terhadap La Peste mengatakan bahwa La Peste merupakan kesaksian tak langsung dari kejadian di atas. Dan sebagai kesaksian tak langsung La Peste tidak mencukupkan diri dengan data super-fisial, tetapi mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa itu. Lihat Pol Gallard, La Peste-Camus, Paris, 1972 hal. 28-29.
5. Adele King, ibidem, hal 6. Sesudah L'Etranger, 'Le Mythe de Sisyphe dan Le Malentendu adalah novel-novel yang terbit semasa perang, sedang La Peste, L'etat de Siege, Les Justes, L'Homme revolte adalah novel-novel Camus yang terbit sesudah perang.
6. Pol Gaillard, ibidem, hal. 5.
7. Dikutip oleh Adele King dari Carnets II, ibidem, hal. 76
8. Walter Kaufmann, Exsitensialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland, 1967 (1956).
9. Walter Kaufmann, ibidem, hal. 11.
10. Dengan mengecualikan Kierkegaard, W. Kaufmann menunjuk contoh para eksistensialis religius seperti Berdyaev, Bultmann, Tillich dan Marcel. Lihat W. Kaufmann, ibidem, hal. 49-50.
11. Patrick Henry, "The Myth of Sisyphus and The Stranger of Albert Camus”, dalam Philosophy Today, XIX (1975), hal. 358-368.
12. Tentang analisa L'Etranger, baca misalnya Wahono Prawiro, ”Sebuah Model Manusia Menurut Albert Camus, dalam majalah Driyarkara, hal. 103-109.
13 La Peste, hal. 96.
14 Ibidem, hal. 207.
15 La Peste, hal. 83
16 Ibidem, hal. 74
17 Ibidem, hal. 257
18. Copleston, The History of Philosophy, vol IX, London, 1974, hal 392.
19 Adele King, ibidem, hal. 9.
20. Ibidem, hal. 35.
21. Ibidem, hal. 26
22 Ibidem, hal. 25.
23 Pol Gaillard, ibidem, hal. 50-56.
24 La Peste, hal. 253.
25 Pol Gaillard, ibidem, hal. 50.
26 Ibidem, hal. 51.
27. La Peste, hal. 253.
28 Adele King, ibidem, hal. 70.
29 La Peste, hal. 87.
30 Ibidem, hal. 230.
31. La Peste, hal. 190.
32 Albert Camus, Carnets 1942-1951, (trans. with introd. by Philip Thody), London, 1966, hal. 15. Carnets adalah catatan-catatan yang digunakan Camus dalam menyusun rencana karangan-karangannya. Tambahan kurung dari penulis, sedang garis bawah pada: tidak mengajarkan apa-apa dari Camus sendiri.
33. Ibidem, hal. 32.
34 Dalam L'Exil et le royaume dan dalam L'Envers et l'endroit, Camus menunjukkan kemenduaan dunia. Di satu pihak dunia adalah tempat di mana manusia terbuang, di lain pihak adalah kerajaannya sendiri. Lihat Adele King, Ibidem, hal. 97.
35. Ibidem, hal. 29-30.
36 Ibidem. hal. 10.
37. Pol Gaillard, ibidem, hal. 77-79. Dalam Carnets, Camus juga menulis bukan saja perencanaan plot, tetapi juga penggunaan ekspresi dan gaya bahasa yang setepat-tepatnya.
Sumber tulisan:
Sindhunata dan A. Sudiardja, "La Peste: Suatu Penampilan Absurditas dan Pemberontakan Camus", dalam M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 15-31.