alt/text gambar

Minggu, 21 Desember 2025

,

Surat dari Melbourne (1) MELAMAR UNTUK JABATAN GURU BESAR

(Kompas, 15 Desember 1997)

Oleh: Arief Budiman


Ketika menjadi penganggur pada akhir tahun 1994 (dipecat dari Universitas Kristen Satya Wacana), saya berusaha mencari pekerjaan tetap. Kalau pekerjaan tidak tetap sebagai penulis di media massa, ini terus saya jalankan. Untunglah gaji dosen di Indonesia relatif rendah sehingga dengan menulis beberapa tulisan saja, praktis gaji saya tergantikan. 

Saya tetap ingin mengabdikan diri di dunia akademik, karena di dunia inilah saya merasa bisa mengekspresikan diri secara jujur sambil menggunakan daya pikir dan kreativitas. Lamaran saya bukan saja ke universitas di Indonesia, tapi juga di luar negeri. 

Salah satu yang saya lamar adalah sebuah posisi di Universitas Melbourne. Mula-mula ada dua hambatan yang membuat saya ragu-ragu melamar ke universitas ini. 

Pertama, posisi ini ada di bawah naungan Sekolah Bahasa dari Fakultas Humaniora. Dengan demikian, saya pikir posisi ini merupakan posisi untuk mengajar Bahasa Indonesia, baik segi penggunaannya maupun linguistiknya. Tapi pada iklan untuk posisi ini jelas-jelas dinyatakan bahwa jabatan ini bukan semata-mata untuk ahli bahasa. Ahli dari bidang lain juga diharapkan. Atas dasar ini, dengan latar belakang pendidikan sosiologi, saya melamar. 

Kedua, pekerjaan yang saya lamar adalah sebuah jabatan guru besar. sampai saat ini hampir tidak pernah ada orang Indonesia menduduki jabatan tertinggi itu di univeritas Australia. Karena itu, saya merasa kemungkinan untuk bisa mendapatkannya sangat kecil. Tapi, apa salahnya mencoba? 

Dipanggil ke Melbourne

Suatu hari saya mendapat telepon dari Melbourne. Rupanya dari Kepala Jurusan Bahasa di sana. Dia mengatakan apakah saya bisa datang ke Melbourne untuk berkenalan. Cuma untuk berkenalan, belum untuk wawancara. Semua biaya ditangung mereka. 

Tentu saja saya mau datang, karena biaya ditanggung. Hitung-hitung jalan-jalan ke Melbourne secara gratis. Saya berpikir seperti itu karena beranggapan hampir mustahil saya akan mendapatkan jabatan yang sangat tinggi itu. 

Saya tinggal di Melbourne selama tiga hari dua malam, dipertemukan dengan beberapa orang, termasuk Dekan Fakultas Humaniora yang membawahi Jurusan Bahasa. Pada waktu itu baru saya ketahui bahwa meskipun jurusannya adalah studi Bahasa Indonesia, di sana diberikan juga kuliah-kuliah nonbahasa, seperti Kebudayaan Indonesia, Politik Indonesia, Ekonomi Indonesia, dan sebagainya. 

Meskipun fokusnya masih bahasa, tapi jurusan Indonesia ini sudah menjadi sebuah lembaga yang melakukan Studi Kawasan, di mana bahasa hanya merupakan salah satu komponennya yang terbesar. Pada saat itulah saya jadi paham mengapa mereka mencari seorang guru besar yang bukan ahli bahasa untuk memimpin lembaga ini. 

Saya juga diberi tahu bahwa pelamarnya ada sekitar 20 orang dari seluruh dunia, kebanyakan tentunya dari Australia. Pada saat itu mereka sudah membuat daftar pendek dari enam calon yang dianggap terbaik, dan mereka diminta datang untuk berkenalan dengan pejabat-pejabat universitas tersebut. Saya termasuk dalam daftar enam orang ini. 

Wawancara pertama

Pembicaraan dengan berbagai orang di Universitas Melbourne bersifat santai dan menyenangkan. Tujuannya untuk memperkenalkan program-program yang ada di universitas itu, beserta fasilitasnya. Hanya pembicaraan dengan Kepala Sekolah Bahasa dan Dekan Fakultas Humaniora yang agak serius.

Salah satu pertanyaan yang menarik adalah: “Kalau Anda bekerja di sini, mengingat peran Anda sebagai dissident di Indonesia, apakah ini akan mempersulit hubungan Universitas Melbourne dengan pemerintah Indonesia?”

Saya tersentak ketika pertanyaan itu dilontarkan. Saya dengan mudah bisa mengatakan “tidak”, tapi tentunya ini tidak sepenuhnya benar. Setelah mempertimbangkan jawaban saya sejenak, antara lain karena toh saya tidak terlalu berharap untuk diterima, maka saya memutuskan bahwa saya akan menjawab berdasarkan prinsip honesty is the best policy. 

Maka, dengan santai saya menjawab: “Saya kira memang begitu. Anda harus ingat bahwa di Indonesia, hubungan pribadi sangat penting. Saya punya beberapa teman di kalangan pemerintahan, karena beberapa di antaranya adalah teman-teman seperjuangan dulu pada tahun 1966. Dengan mereka saya bisa berhubungan secara pribadi, dan mereka mengenal saya dengan cukup baik. Dan saya kira, meskipun dianggap dissident, kritik-kritik saya tidak asal saja. Juga, dengan melakukan kritik, saya tidak mengambil keuntungan materiel apa-apa. Saya melakukannya murni karena saya mau berbuat sesuatu yang baik bagi bangsa ini. Karena itu, saya merasa, orang yang yang saya kritik pun menghormati saya secara pribadi.”  

Saya tidak tahu apakah jawaban ini membuat mereka terkesan. Yang jelas mereka tidak melanjutkan pertanyaannya.

Wawancara kedua

Setelah kembali ke Indonesia, saya beranggapan proses ini berakhir sampai di sini. Artinya, saya gagal dan paling-paling mendapatkan sepucuk surat yang isinya menyatakan terima kasih tapi “dengan sangat menyesal...” dan seterusnya. Saya sudah menjadi biasa mendapatkan surat seperti ini.

Tapi, ternyata saya mendapatkan panggilan lagi. Sekarang cuma ada tiga calon, yang akan diwawancarai oleh sebuah panitia seleksi di mana rektor dan beberapa guru besar di universitas tersebut juga dilibatkan. Di samping itu, ada tiga orang akademisi Australia yang ahli Indonesia dari beberapa universitas di luar Melbourne yang didatangkan khusus untuk ikut serta  dalam proses pemilihan ini. Untuk jabatan guru besar, mereka memang sangat hati-hari melakukan pemilihan. 

Ketiga calon diminta memberikan sebuah presentasi tentang penelitian masing-masing di muka umum. Kemudian, baru diadakan wawancara dengan panitia seleksi tersebut. 

Kali ini, meski tetap merasa pesimis, ada semacam perasaan harap-harap cemas bahwa mungkin juga saya akan mendapatkan pekerjaan ini. Bahwa mereka mau membiayai saya datang ke Australia untuk kedua kalinya, bukankah ini berarti bahwa saya mungkin dianggap lebih baik ketimbang dua calon lainnya? Karena kalau nilainya sama, ambil saja yang dari Australia, ‘kan lebih murah? (Dua calon lain adalah akademisi Australia). Tapi, karena dalam hidup ini saya sering dikecewakan, maka saya masih tidak berani berharap. 

Dengan sikap “kalau dapat syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa”, saya mempresentasikan rencana penelitian saya tentang munculnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia. 

Wawancara yang diselenggarakan di ruang yang formal, di hadapan sekitar 20 orang guru besar dan ahli-ahli Indonesia, sekaligus Chancellor dari universitas ini, membuat saya sedikit merinding. Tapi saya kembali tenang setelah mengatakan kepada diri saya bahwa anggap saja ini sebuah pengalaman yang menarik. Tidak dapat, juga tidak apa-apa. Maka, pertanyaan-pertanyaan dapat saya jawab dengan cukup lancar, rasanya. 

Salah satu pertanyaan “politis” yang diajukan adalah apakah saya akan terus melakukan kritik terhadap pemerintah Indonesia, kalau saya bekerja di Univeristas Melbourne. Saya jawab: “Saya melakukan kritik karena saya mau menyumbangkan pikiran saya bagi perkembangan bangsa saya. Kritik ini saya lakukan baik ketika saya ada di Indonesia, maupun di luar negeri. Juga harus diingat, kritik saya sedapat mungkin saya lengkapi dengan argumen-argumen ilmiah, bukan hanya sekadar melontarkan kritik. Karena itu, kritik yang saya lontarkan, saya anggap sebagai bagian dari fungsi saya sebagai seorang akademikus dan cendekiawan. Ya, dari sini pun, saya tetap akan melontarkan kritik-kritik saya terhadap apa yang saya anggap tidak benar dan harus diperbaiki.” 

Malam itu, ketika saya kembali ke hotel sehabis makan malam dengan seorang teman lama, penjaga hotel memberikan kunci kamar bersama secarik kertas di mana tertulis sebuah pesan telepon. Di kamar, saya buka kertas itu dan saya baca pesan telepon dari Prof Tony Stephen, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne. Bunyinya: “Selamat Anda sekarang seorang guru besar!” 

Saya cuma terperangah! Hampir tidak percaya!

Arief Budiman, guru besar di Universitas Melbourne, Australia 


Sumber: Kompas, 15 Desember 1997


,

Surat dari Melbourne (2-Habis) MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN AKADEMIK

(Kompas, 16 Desember 1997)


Oleh: Arief Budiman


Berbagai perasaan dan pikiran bercampur-aduk menjadi satu setelah membaca pesan Prof Stephens, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne, yang menyebutkan bahwa saya kini menjadi guru besar. 


Selama ini saya mempersiapkan diri untuk menerima kegagalan. Jadi yang ada dalam bayangan saya adalah akan kembali ke Indonesia setelah mendapatkan berita bahwa orang lain yang terpilih. Dan saya kemudian bekerja lagi menulis di koran-koran. Saya akan kembali ke rumah saya yang ekologis di Salatiga, pergi ke sana-kemari lagi untuk berceramah, menghadiri rapat RT desa sebulan sekali, memberi makan angsa piaraan yang masih terus berusaha menggigit tangan saya, dan semua hal rutin dari hidup saya yang saya cintai. Inilah yang ada dalam benak saya ketika kembali ke hotel tersebut. 


Tapi, sekarang lain. Setelah ada pesan dari Prof Stephens itu, berarti saya harus pindah ke Melbourne, karena sebagai guru besar, pekerjaan saya bukan kontrak, tapi tetap. Ini jelas merupakan sebuah perubahan drastis. Siapa yang akan menjaga rumah saya? Bagaimana koleksi buku-buku saya yang jumlahnya sudah mencapai ribuan? Bagaimana ini, dan bagaimana itu? Semua membuat saya gelisah, sehingga malam itu tidur saya tidak nyenyak. 


Tapi lambat laun semuanya menjadi tenang kembali. Saya mulai meyakinkan diri bahwa memang begitulah yang terjadi: saya akan jadi guru besar di Universitas Melbourne. Dan saya pun mulai mempersiapkan diri untuk berangkat, meskipun dengan perasaan yang masih tidak keruan. 


Persoalan sebelum berangkat

Semboyan Universitas Melbourne adalah “Postera Crescam Laude.” Artinya, “saya akan bekerja untuk generasi mendatang.’ Semboyan sederhana ini memang mengandung arti mendalam.


Universitas ini (paling sedikit dalam teori), tidak mau hanya sekadar bersikap pragmatis dalam menghadapi masa sekarang. Masa mendatang menjadi perhitungan. Misalnya, dalam menggunakan sumber-sumber alam, kelestarian alam akan sangat diperhitungkan, supaya apa yang diambil sekarang tidak merugikan masa depan. Kemudian, dalam menghadapi tekanan politik, universitas ini tidak akan tunduk kepada regim yang sedang berkuasa. Kepentingan masa depan masyarakat secara keseluruhan juga diperhatikan. 


Prinsip ini teruji ketika saya mengalami sebuah pesoalan dalam proses keberangkatan ke Melbourne.


Suatu ketika di bulan April 1997, Menteri Pendidikan Negara Bagian Victoria (Melbourne adalah ibu kotanya), Phil Honeywood, mengunjungi Indonesia. Di Jakarta ia dicegat wartawan dan salah satu yang ditanyakan adalah penunjukan saya sebagai guru besar di Universitas Melbourne. 


Pertama-tama, dia ditanya apakah benar bahwa universitas di Australia sekarang sudah menjadi pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Tentu saja sang menteri menjawab “tidak”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kasus saya yang baru ditunjuk sebagai guru besar di Universitas Melbourne. Jawab sang menteri: “Kalau Universitas Melbourne memutuskan untuk memakai dananya sendiri untuk program ini, saya tidak bisa mencegahnya.” Tapi, kalau dana pemerintah yang dipakai, hal ini akan diteliti, katanya lebih lanjut. (The Age, 17/4/97)


Dari Universitas Melbourne segera muncul bantahan dari Kepala Sekolah Bahasa Prof. Tony Stephens, yang menyatakan penunjukan saya sebagai guru besar sudah melalu rposedur resmi. 


Tapi, jawaban yang keras diberikan oleh Rektor (Vice Chancellor) dari universitas ini. Dalam pernyataannya yang dimuat di harian The Australian (18/4/97), dia menyatakan bahwa tidak benar Universitas Melbourne menyediakan pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Bahwa sang menteri ingin meninjau kembali penunjukan saya sebagai guru besar kalau uang negara dipakai, ini dinilai sebagai usaha mencampuri kebebasan akademik. Pernyataan seperti ini, hanya dilakukan oleh “para diktatur Afrika dan anggota-anggota negara totaliter, baik yang fasis maupun yang komunis.” 


Akhirnya rektor menyatakan dia percaya banhwa sang menteri sudah salah dikutip oleh wartawan yang mewawancarainya. 


Polemik ini dilanjutkan dengan datangnya surat-surat pembaca yang dimuat di harian di sana, yang pada umumnya melakukan kritik kepada menteri tersebut. Mereka menambahkan bahwa saya merupakan orang yang memadai untuk jabatan ini. 


Maka, ketika saya datang ke Universitas Melbourne untuk mulai bekerja pada permulaan buan Juni yang lalu, banyak orang yang sudah mengenal saya. Tanpa sengaja, Menteri Phil Honeywell telah melakukan semacam promosi gratis bagi kedatangan saya. 


Itulah kehidupan. Apa yang tadinya tampak merupakan hal yang bisa memperburuk, ternyata akhirnya berubah menjadi nasib baik buat saya. 


Kebebasan akademik dijunjung tinggi

Pada titik ini saya jadi teringat kembali kepada semboyan universitas ini, yakni “saya akan bekerja untuk generasi mendatang.” Dengan menolak campur-tangan pemerintah, untuk kegiatan akademis, meskipun universitas ini dibiayai negara, rektor menegakkan suatu prinsip bahwa kebenaran ilmu tidak bisa ditundukkan oleh kekuasaan. Karena kalau hal ini terjadi, masa depan generasi ini akan terancam. 


Prinsip kebebasan akademik yang dijalankan oleh rektor sebenarnya juga sudah dilaksanakan dalam proses penunjukan saya. Seperti diuraikan pada seri sebelumnya, salah satu pertanyaan yang diajukan dalam wawancara adalah apakah Universitas Melbourne tidak akan mengalami kesulitan dengan Pemerintah Indonesia kalau memperkerjakan saya. Menurut informasi, faktor ini menjadi pembicaraan di kalangan panitia seleksi. Tapi keputusan yang diambil, faktor ini bukan merupakan bahan pertimbangan sama sekali. “Kalau untuk memperkerjakan ahli tentang Burma, kita harus minta semacam ‘persetujuan’ dari pemerintah militer Burma, apa jadinya bagi masa depan universitas ini,” kata salah seorang guru besar anggota panitia seleksi.


Begitulah, setelah melalui banyak liku-liku, saya akhirnya berhasil bekerja di Universitas Melbourne.***


Sumber: Kompas, 16 Desember 1997

Jumat, 19 Desember 2025

, ,

SEPUTAR SENI MEMAHAMI

Kutipan-kutipan berikut saya ambil dari buku karya F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2018).

***

Demokrasi kontemporer mendorong proses pembiasaan tidak hanya dengan berbagai pemahaman, melainkan juga dengan kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Kesalahpahaman dan ketidaksepahaman memang tidak selalu dapat dianggap sebagai "kurangnya" pemahaman, tetapi pasti berkaitan dengan bentuk pemahaman tertentu dan—jika masih dimungkinkan—kerinduan untuk memahami. Memahami harus dibuka seluas-luasnya sehingga mencakup tidak hanya memahami pemahaman, melainkan juga memahami kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Hermeneutik pemahaman yang dikembangkan oleh kedelapan tokoh yang diulas dalam buku ini membuka kemungkinan itu. Berbagai masalah ketaksepahaman dan kesalahpahaman mungkin tidak dapat diselesaikan oleh hermeneutik pemahaman—atau malah mungkin ditimbulkan olehnya?—tetapi hermeneutik dapat membantu kita bersikap terbuka untuk berkomunikasi dengan dan di dalam dunia-dunia dan pandangan-pandangan yang majemuk, dengan tradisi-tradisi dan subtradisi-subtradisi yang majemuk, dengan subyektivitas-subyektivitas dan intersubyektivitas-intersubyektivitas yang majemuk.

Meski demikian, hermeneutik modern memiliki keterbatasan. Sebagai pendekatan. rasional ia mengandaikan sikap rasional penggunanya. Kesulitan akan dijumpai ketika hermeneutik harus berhadapan dengan modus-modus interpretasi dalam agama yang menolak pendekatan rasional dan cenderung fideistis. Hermeneutik memperlakukan kitab-kitab suci, seperti Al Qur'an dan Alkitab, sebagai sebuah teks seperti teks-teks lain. Teks-teks sakral itu lalu juga dipahami dalam konteks-konteks sosio-historis mereka. Di sini hermeneutik menghadapi masalah yang tidak mudah. Umat beragama memercayai teks-teks sakral mereka sebagai wahyu ilahi.

Ada kecenderungan kuat di antara umat beragama untuk menentang analisis sosial-historis atas isi kitab suci mereka, karena mereka meyakini isi kitab suci mereka itu bersifat “ilahi, abadi dan melampaui batas kemampuan manusiawi untuk menentukan apa yang telah -diwahyukan oleh Allah”. Akan tetapi fakta bahwa kitab-kitab suci telah, sedang dan akan mendapat penafsiran yang berbeda-beda menunjukkan bahwa kekayaan makna wahyu ilahi itu tidak habis ditimba. Artinya, entah melarang atau memperbolehkan pemakaian hermeneutik, hermeneutik tetap berlangsung, sehingga literalisme skriptural juga dapat dipandang sebagai suatu modus hermeneutis. (h. 23-25) 

***

Enam Definisi Hermeneutik menurut Richard E. Palmer

Menurut Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics. Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Northwestern University Press, Evanston, 1969, hlm. 44)—sebagaimana dikutip oleh F Budi Hardiman dalam bukunya Seni Memahami—ada enam definisi hermeneutik, yaitu:

Pertama, hermeneutik sebagai teori eksegesis Alkitab. Pengertian ini adalah yang paling tua—muncul pasca Reformasi Protestan—dan masih bertahan sampai hari ini. 

Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Definisi ini muncul lewat perkembangan rasionalisme di Eropa yang mencoba menafsirkan berbagai teks, termasuk Alkitab, dalam terang nalar. 

Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik. Definisi ini dapat kita temukan dalam pemikiran Schleiermacher yang mencoba menggariskan "seni memahami” sebagai sebuah metode seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu modern. 

Keempat, hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Definisi ini dirintis oleh Dilthey yang mencoba mendasarkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan dengan metode interpretatif. 

Kelima, hermeneutik sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Definisi ini berasal dari Heidegger, sebuah pendalaman konsep hermeneutik yang tidak hanya mencakup pemahaman teks, melainkan menjangkau dasar-dasar eksistensial manusia. 

Keenam, hermeneutik sebagai sistem interpretasi. Definisi yang berasal dari Ricoeur ini mengacu pada teori tentang aturan-aturan eksegesis dan mencakup dua macam sistem, yakni pertama, pemulihan makna sebagaimana dipraktikkan dalam demitologisasi Bultmann, dan kedua, ikonoklasme atau demistifikasi sebagaimana dipraktikkan oleh Marx, Nietzsche, dan Freud. 

(lihat F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2018, h. 13).

***



Kamis, 18 Desember 2025

, ,

Kartini tentang Tuhan dan Takdir


Oleh: Pramoedya Ananta Toer


Tambah jauh dengan surat-suratnya, tambah banyak Kartini bicara tentang Tuhan, dan tambah jauh ia meninggalkan bentuk-bentuk keibadahan atau agama. Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat, jadi ia termasuk dalam golongan javanis Jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama yang dianut, bahkan juga bagi si ateis sekalipun, sebagaimana jelasnya dinyatakannya dalam hubungan dengan buku Edna Lyall We Two

Ia dapat menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikan atas agama apapun, sebagaimana halnya pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz Quo Vadis?

Dan bagaimana tentang kepercayaannya sendiri sebagai seorang pemeluk agama Islam? 

"Tahun-tahun datang dan mereka kemudian pergi...... Kami bernama orang-orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah kata, adalah bunyi tanpa makna...... Demikianlah kami hidup terus—sampai terbitlah hari yang akan mendatangkan pergulingan di dalam kehidupan rohani kami."

Kalau Kartini menyatakan seperti itu, bukan berarti ia memunggungi agama nenek-moyangnya, tetapi hanyalah suatu pengakuan jujur tentang suasana hati sesaat, di mana ia merasa tidak puas terhadap sikap orang-orang yang menamakan dirinya orang Islam, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang justru tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya beragama. Dan perlakuan semacam itu terlalu banyak diterima oleh Kartini dari orang-orang yang justru mengakui dirinya Islam, terutama perlakuan dalam bentuk fitnah dan bisik-desus. Memang Kartini banyak bicara tentang religi, tetapi sebenarnya ia lebih banyak seorang humanis, yang melihat segala dari jurusan kepentingan manusia: amal manusia kepada manusia sebagai dasar moral dunia modern. Asas ini yang menyebabkan ia dengan kata-kata yang terasa keluar dari hati jengkel menulis:

In 't kort, zendingsarbeid—doch zonder doop

atau: 

Pendeknya, kerja amal—tapi tanpa baptis. 

Ini dinyatakannya kepada E.C. Abendanon sebagai syarat-jawaban, yang mungkin sekali hendak mempergunakan krisis pengertian Kartini atas religi yang tidak memuaskan hatinya sebagai kesempatan untuk berpindah kepercayaan Protestan, sebagaimanamana dilakukan oleh Pandita Ramabai di Hindia Inggris. Dan selanjutnya ia menyatakan, bahwa, kalau Belanda hendak mengajarkan kesalehan mutlak pada orang Jawa, haruslah diajarkan kepada mereka itu cara mengenal Tuhan yang Mahaesa, Bapa Cinta. Bapa seluruh Makhluk-Nya, tak peduli Orang Nasrani, Islam, Buddha, ataupun Yahudi. Kemudian Kartini menyatakan pula, bahwa: 

".... agama yang sesungguhnya ialah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.” 
Kembali di sini orang berhadapan dengan sinkretisme dalam jiwa Kartini, yang selalu mencoba meninggalkan syarat, untuk tidak terpeleset dari asas ajaran. Tapi lebih jelas ialah sebagaimana ia rumuskan sendiri: 
"Selalu menurut paham dan pengertian kami, inti segala agama adalah 'Kebajikan', yang membuat setiap agama menjadi baik dan indah. Tapi, duh! Orang-orang ini apakah yang telah kalian perbuat atasnya! 
Agama adalah dimaksudkan sebagai karunia, untuk membentuk ikatan antara semua makhluk Tuhan, coklat dan putih, dari kedudukan, jenis, kepercayaan apapun, semua kita adalah anak-anak dari satu Bapa, dari satu Tuhan! 
Tak ada Tuhan lain terkecuali Allah! Kata kami orang-orang Islam, dan bersama kami juga semua orang beriman, kaum monoteis, Allah adalah Tuhan, Pencipta Sekalian Alam.
Anak-anak dari satu Bapa, saudara dan saudari jadinya, harus saling cinta-mencintai, artinya tunjang-menunjang bertolong-tolongan. Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta-mencintai, itulah nada-dasar segala agama. 
Duh, kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya: karunia! 
Itu yang justru membuat kami bersiaga terhadap agama, ialah bahwa para pemeluk agama yang satu menghinakan, membenci, kadang memburu-buru yang lain, malah..."
Jadi, sebagai humanis Kartini memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya. Jelas sekali pendapat ini berasal dari golongan javanis dan dirumuskan secara modern sejalan dengan humanisme Eropa dan yang oleh Multatuli dalam Minnebrieven-nya dikristalisasikannya dengan kata-kata: “Tugas Manusia ialah menjadi Manusia.” 
Sejalan dengan gaya Kartini yang bermakna-ganda, pernyataan-pernyataannya tentang soal yang sangat khusus nampaknya ini, bukan tidak mungkin mempunyai latar belakang lain lagi, yaitu hubungan tanpa berperikemanusiaan antara penjajah putih dan terjajah coklat. Meninggalkan kemungkinan adanya makna-ganda dalam pernyataannya tersebut menarik adalah istilah-istilah Nasrani yang dipergunakannya dalam membicarakan bidang ini, hampir tak pernah dipergunakannya istilah Arab. Benar ia pernah menyatakan, di lingkungannya tiada seorang pun paham bahasa Arab, tapi sedikit atau banyak mengherankan juga keadaan ini.
Namun apapun kekurangannya di bidang agama Islam, ia tiada pernah mencederai agamanya, sebagaimana ia pun tiada pernah mencederai Rakyatnya. 
R.M. Notosuroto menyatakan, bahwa “perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan imannya, dalam mana ia terdidik, tetapi suatu keteguhan yang berbareng dengan pengertian yang lembut di mana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan agama-agama lain. Penghargaannya ini menyebabkan kalbunya tidak membeku dalam dogma-dogma kaku, tapi sebaliknya menyebabkan ia menjadi lebih kaya dan membuat ia mengerti quintessence atau inti setiap religi: kebajikan dan cinta sesama. 
Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis watak Kartini yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari orang-orang lain."
“Keseimbangan yang sama dengan anggapannya terhadap religinya sendiri serta orang lain dapat kita temukan kembali di dalam penghargaannya terhadap sifat pandangan hidup Timur maupun Barat.” 
Jadi yang manakah Tuhan Kartini sesungguhnya? Segera atas pertanyaan ini Mr. C. Th. van Deventer menjawab: “Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini? Yah, Dialah Yang Tertinggi tanpa Batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi bersaudara satu dengan yang lain, yang menyebabkan juga orang-orang Brahma dan bahkan juga orang Kafir dijiwai dan bahwa Kebajikan dan Cinta merupakan ketentuan-ketentuannya yang terutama. Kepercayaan pada Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi. Sebagai orang yang terdiri secara Islam, ia ingin tetap menjadi Islam sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan dari ajaran itu, karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal kedua, dan setiap bentuk itu pun punya kelemahannya sendiri.
"... Tidak pernah dihadapkan kepada kita dengan lebih jelas betapa perasaan-perasaan keagamaan pada orang Jawa yang telah bersentuhan dengan peradaban Barat mendapatkan suatu pentahbisan yang lebih tinggi tanpa harus memunggungi agama Islam.” 
Dan setelah memahami Tuhan-nya Kartini, barulah orang dapat memahami pula ucapan-ucapannya dalam mana Tuhan disebut-sebutnya. 
Sungguh mengherankan, sekalipun begitu banyak menyebut-nyebutnya, hampir selalu ia mempergunakan istilah dan isi yang ada dalam ajaran Nasrani yang dicampuraduknya dengan ajaran-ajaran Islam yang diterimanya hanya secara tradisional dan asimilatif dan nampak sekali Kartini tidak pernah berkenalan dengan teologi baik menurut Islam maupun Nasrani, dan di sana-sini muncul teori-teori yang berasal dari bacaan. Baik teori-teorinya sendiri maupun yang telah menjadi kepunyaannya sendiri, tidak pernah meninggalkan pengutamaan nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat. 

Manusia dan batas kemampuannya 

Sekalipun pengutamaannya atas nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat, Kartini tidak melupakan kenyataan, bahwa usaha dan kesanggupan manusia ada batasnya. Dan kebijaksanaan Kartini justru terletak pada kemampuannya mengenal batas ini, sehingga, sekalipun Abu Hanifah menamainya sebagai “wanita idealis dari Jepara”, ia tidaklah termasuk idealis yang tak kenal batas. Sebaliknya, bukankah kemampuannya mengenal batas itu justru salah satu ciri dari realisme? Sekalipun pada tarafnya yang permulaan? Tetapi apakah Kartini seorang idealis ataukah seorang realis, sebenarnya tidak mengurangi maknanya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam sejarah kebudayaan Indonesia. 
Dalam suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada bulan Oktober tahun 1900, ia mengatakan, bahwa “Pemenuhan dari hasrat-hasrat hati, banyak kali dibarengi dengan penerimaan luka-luka pada hati itu pula.” 
"Dan begitu banyak kejadian pada hari-hari belakangan ini menunjukkan: Manusia menimbang—Tuhan jua yang menentukan. Itulah peringatan bagi kami orang-orang berpemandangan cetek ini, peringatan agar terutama sekali tidak congkak: merasakan sungguh-sungguh, bahwa kita sendiri mempunyai kemauan sendiri."
Dan kemudian: 
"Ada suatu Kekuasaan, yang lebih besar daripada seluruhnya yang ada di atas muka bumi ini; ada suatu Kemauan, lebih kuat, lebih berkuasa daripada seluruh kemauan umat manusia. Celakalah manusia, yang menyombongkan kemauan besi dan dahsyatnya sendiri! 
Hanya ada satu Kemauan, yang boleh dan harus kita punyai; kemauan untuk mengabdi kepadanya: Kebajikan!... "
Teori-teori semacam itu selamanya dinyatakan oleh Kartini sewaktu ia berada dalam situasi jiwa yang pelik, dan ada dirasainya suatu tenaga yang lebih besar daripada tenaganya sendiri, usaha yang lebih besar daripada usahanya sendiri, yang semuanya itu membatasi kemampuannya, gerak-geriknya, usahanya. Jadi teori-teori semacam itu seakan-akan menjadi kebutuhan baginya sebagai kompensasi atas kegagalan-kegagalannya, atau semacam hiburan yang lahir karena kesadaran akan keterbatasan manusia. Lama-kelamaan, karena terlalu sering mengalami yang demikian, ia lebih hati-hati dalam usahanya, bahkan dalam pemikirannya pun, sehingga memberinya sifat baru padanya, yaitu sifat mengenal batas. 
Juga di masa-masa ia merasa di dalam jurang penderitaan yang paling dalam, dari keyakinannya akan keterbatasan manusia, timbul anakkepercayaan, bahwa pasti ada sesuatu penjelasan atau jalan keluar, entah dari mana datangnya—yang pasti datang—dan karena tiada diketahuinya sebelumnya dari mana datangnya, maka dinamainya "tenaga gaib". Dan tenaga ini mengangkatnya ke atas dari dasar jurang, melalui salah satu peristiwa, keadaan, yang mungkin tak pernah disangka-sangka sebelumnya, tetapi yang mana ia menolaknya dinamai "kebetulan". Dengan demikian sampailah ia kemudian pada teorinya tentang Takdir. 
"Kebetulan!—tidak, bukan kebetulan, itulah takdir Tuhan. Allah, Bapa kami, yang mengirimkan kemari mereka ke sini, untuk mengisi jiwa-jiwa muda kami yang muda dan berjuang dengan tenaga dan ketabahan segar. Pertemuan itu merupakan titik balik di dalam hidup kami. Mulanya kami masih ragu-ragu, tapi setelah itu mantaplah tekad kami untuk mencapai cita-cita kami, apapun korban yang dipintanya. 
Dahulu nampaknya begitu gaib; sekarang telah menjadi jelas, bening, sederhana. 
Tuhan sajalah yang mengerti rahasia dunia; tangan-Nya mengendalikan alam semesta; Dialah, yang mempertemukan jalan-jalan yang berjauhan menjadi satu jalan baru. 
Demikianlah ia telah arahkan jalan kawan-kawan itu kepada kami, agar kami menjadi lebih kuat oleh pertemuan-pertemuan itu, disatukan dengan jiwa-jiwa besar dan kuat, menjadi jalan baru yang dapat dilalui oleh mereka yang berada di belakang kami. Kami tidak mengenal sama sekali satu daripada yang lain, dan kami sama sekali tidak mengetahui tentang mereka. Maka tiba-tiba kami pun berhadap-hadapan, dan roh-roh yang tadinya asing itu, kemudian memancarkan simpati satu kepada yang lain. Beberapa jam hanya pertemuan kami itu; waktu kami berpisahan, tahulah kami, bahwa kami akan bersahabat.
Keajaiban itu telah dimulai, dan ia mengembangkan dirinya! Sebulan setelah pertemuan itu terjadi sesuatu, yang tiada pernah kami duga-duga sebelumnya, mengimpikannya pun tidak. Nyonya tahu bukan, bahwa keluar rumah bagi gadis-gadis Jawa bukanlah adat, bahwa mereka semestinya harus terus dikurung di balik tembok atau pagar bambu, sedemikian lamanya sampai datang seorang yang sama sekali tak dikenalnya, “seorang suami yang ditakdirkan Tuhan” itu dan datang menuntutnya dan menyeretnya ke rumahnya. Begitu pendek kami baru mengenal kebebasan, atau bagaimana sajalah Nyonya menamainya. Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu ialah: kami berada di Batavia di tempat sahabat-sahabat baru. 
“Rasanya aku harus jelajahi seluruh Jawa untuk dapat bertemu dengan kalian, aku harus temukan kalian. Dan kalau sudah aku temukan kalian, puaslah hatiku.” 
Kami ditakdirkan untuk bertemu, pertemuan untuk mengemudiankan pengaruh besar atas hidup kita. 
Sebelum kedatangan mereka kami telah melayang-layang dalam keraguan, maklumlah, waktu itu masih gelap-gulita di sekeliling kami. Tanpa sadar kami, mau atau tidak, mereka telah obori arah yang pasti ketika kami dalam keadaan melayang-layang. Ke sanalah kami harus pergi, menempuh jalan menuju Cita!"
Jelaslah bahwa Takdir bagi Kartini bukan kata lain daripada defiatisme, fatalisme, atau penyerahan diri dalam kehilangan kepercayaan diri, tapi berasal dari wawasan yang luas serta mendalam tentang tugas sang kebajikan itu bagi peningkatan terus-menerus umat manusia ke arah yang baik dan lebih baik, pendeknya bagi evolusi manusia dan masyarakatnya. 

***
Kalau diperhubungkan pengertian Kartini tentang Tuhan dan tentang Takdir, orang mendapatkan, bahwa Tuhan adalah Kebajikan sedang Takdir adalah Pimpinan yang diberikan oleh Kebajikan itu pada evolusi manusia dan masyarakatnya. Dan karena Tuhan adalah Kebajikan, dengan sendirinya Ia berada di tengah-tengah kehidupan manusia, Ia hidup di dalam hati dan jiwa manusia. Maka tanpa Tuhan, manusia sebenarnya tiada berhati, tiada berjiwa, dia adalah binatang, hewan yang tiada mengenal Kebajikan. Kembali orang bertemu dengan rumusan humanis Multatuli: “Tugas Manusia ialah menjadi Manusia.” 

Paham tentang Tuhan dan akal
 
Paham Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik daripada metafisik. Karena Tuhan adalah Kebajikan, sudah pastilah bahwa makna yang diberikan Kartini pada-Nya mengandung faal yang positif, tanpa sesuatu kesamaran, jelas. Malah pada kesempatan lain ia perjelas lagi dengan keterangan yang lebih realistik: 

"Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami, dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia."

Antara Kebajikan dan Nurani memang ada perbedaan yang besar, yang bisa menyebabkan orang bertanya-tanya, yang mana sesungguhnya pengertian Kartini tentang Tuhan. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa Kebajikan dan Nurani merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu kebajikan sebagai panji-panji dan Nurani sebagai pengawasnya, seorang humanis pejuang sebagaimana Kartini ini sebenarnya tidak pernah mengalami jalan buntu dalam perjuangannya. 
Ciri kemodernan Kartini di bidang ini pun nampak dari tuntutannya, bahwa segala-galanya harus bisa dipertanggungjawabkan kepada akal, dan sudah tentu sesuai dengan kriteria pemikirannya. Pertanggungjawaban ini selalu nampak pada penolakannya terhadap syariat dan mengambil sarinya, yakni filsafatnya. Dari pengertian ini dengan lebih mudah orang dapat memahami, mengapa pada suatu kali ia menyatakan: 

Sebagai bocah kuperbuat semua (maksudnya syariat) dengan sendirinya, tanpa bertanya, karena orang-orang lain sebelum aku dan bersama aku melakukannya juga. Kemudian tibalah waktunya, jiwaku mulai bertanya: “Mengapa aku lakukan ini begini dan itu begitu?” Mengapa—mengapa—tiada habis-habisnya mengapa! 
Dan kemudian aku memutuskan tidak lagi melakukan sesuatu yang tak kuketahui hukum dan keterangannya. Aku tak mau lagi melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa mengetahui mengapa, buat apa, dan dengan tujuan apa. Tak mau lagi aku membaca Qur'an, menghafal kalimat-kalimat asing, yang tak kuketahui maknanya, dan barangkali kiai-kiaiku sendiri, lelaki dan perempuan, juga tidak mengerti. “Katakan padaku apa artinya dan aku mau mempelajari semuanya.” Aku telah melakukan dosa, kitab dari segala kitab itu terlalu kudus untuk dapat kami pahami. Jadi kami putuskanlah untuk tidak lagi berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat lagi kami kerjakan. Gelap—kami merasa kegelapan—tiada seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.” 

Kembali orang dapat dengarkan suara humanis Multatuli: “Tugas Manusia adalah menjadi Manusia.” Manusia itu berakal karena itu harus menggunakan akalnya. Kartini menolak tiadanya pertanggungjawaban terhadap akal. Ia tidak mengerti mengapa harus berpuasa, harus membaca Quran, tiada seorang pun dapat memberikannya penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan pada akalnya, karena itu ia tinggalkan syariat yang telah menjadi adat ini. Ia tidak mau dipaksakan dalam situasi tanpa pikir, dengan kondisi akal yang dinonaktifkan sebagai penganggur. 
Bagaimanapun Kartini berteori sendiri di bidang ini, ia sebenarnya tidak pernah memunggungi agamanya, sesuai dengan pepatah Melayu: 
“Sekali lancung ke ujian....”, yang juga terdapat dalam anggapan Jawa yang berbunyi kurang lebih “Sekali bertukar kesetiaan, dia tak punya kesetiaan lagi,” atau seperti kata-kata yang dipergunakannya sendiri, bahwa ia takkan “mengabdi pada dua tuan”.



Sumber

Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003,
h. 260-267, dan 269-271.

Keterangan

Tulisan Pramoedya Ananta Toer ini saya ambil dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja, yaitu dari halaman 260 sampai 267 dan 269-271. Judul di atas dari saya sendiri. 


BISAKAH KITA . . .?

(TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42)


Oleh: Ignas Kleden

“Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Itulah kalimat Goethe yang paling menyenangkan, semenjak saya membaca riwayatnya beberapa tahun lalu. Ucapan itu baru-baru ini menjadi hidup lagi dalam kepalaku. Bagaimana tidak?


Hari itu siang bolong, hari amat panas dengan suhu Jakarta pada maximum. Kantor redaksi majalah itu sepi-sepi saja. Hampir semua reporter tugas-luar. Dengan ragu-ragu, teman diskusi, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang sejak tadi hilang-timbul di sudut matanya. Dalam nada yang aneh: “Bung, menurut bung, adakah kemungkinan manusia berbahagia?” Saya juga pernah risau dengan soal tersebut, tetapi segera lupa begitu saja. Kesibukan mencari duit dan sesuap nasi merenggut saya keluar dari renungan semuskil itu. Apalagi tanpa duit, agak bingung rasanya bagaimana akan berbahagia di Jakarta. 


Tetapi teman wartawan itu nampak bertekun. “Saya kok obsesi benar! Seandainya kita tak mungkin berbahagia, buat apa harus begitu banyak berkorban?” Dan dia mulai berbicara tentang Mao. Tokoh almarhum ini kabarnya mencita-citakan lahirnya Manusia Baru, suatu ungkapan yang sering juga saya dengar dalam pelajaran agama di Sekolah Menengah. Menurut Mao, rakyat RRC harus dididik untuk tidak mudah tergoda oleh materialisme – atau menurut teman saya – tidak mudah terpancing oleh keinginan-keinginan daging. Seingat saya, cita-cita itu pernah dianjurkan oleh Gandhi dan Kristus, dan saya tak tahu – mungkin juga oleh beberapa penganjur lain dalam sejarah. Dan sahabat saya berbisik risau setiap kali: “Mungkinkah ada masa di manusia tak begitu serakah, tidak dilanda banjir kerakusan yang bukan-bukan?” Mao misalnya mendidik rakyatnya bekerja keras sekali tanpa suatu hak milik atas tanah. Rasanya rada kelewatan. Tapi demikianlah titah sang Maha-Pemimpin, dan Tiongkok seperti mengalami hari penciptaan kedua. Kelaparan pupus- menyingkir dari daratan Cina.


Bagaimanapun pokok soal tinggal yang sama. Mao ternyata sukses, seperti juga Firaun Mesir sukses membangun Piramide di Giza. Hanya tidakkah rakyat harus berkorban terlalu banyak?


                                             ***

Bagi banyak orang, Mao menimbulkan kegemparan besar, baik dalam keyakinan maupun dalam cara-fikir. Bisa timbul kesan: manusia ternyata selalu dapat menyesuaikan diri, tanpa batas, tanpa sisa. Kalau seorang anak Semarang belajar teknik ke Jerman Barat, maka dia akan butuh beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan hawa di sana, beberapa minggu untuk menyesuaikan perutnya dengan makanan di sana, beberapa bulan untuk menguasai bahasa percakapan di sana dan beberapa tahun untuk bisa faham cara-fikir dan adat-istiadatnya. Jadi apa yang disusahkan? 


Kalau sekelompok rakyat harus diharuskan takluk pada suatu sistim politik, mereka juga niscaya akan sanggup menyesuaikan dirinya dengan sistim itu – atau sistim apa saja – asal pemerintahnya cukup kuat untuk meng-enforce-kan pelaksanaan sistim itu. Dan selesailah soalnya: masuk kandang kambing mengembik. 


                                                  ***   

Pada tahap penjelasan dan reasoning ini, perasaan saya jadi repot. Kalau benar misalnya bahwa manusia semata-mata mahluk yang adaptik dalam seluruh seginya, maka apa yang bernama kodrat, martabat, human condition, das Sollen dan sebagainya, hanya dusta dan bual orang-orang pintar. Menurut jalan fikiran di atas, apa yang dinamakan kodrat manusia – dari mana berasal hak-hak azasi manusia – sebenarnya omongkosong. Kalaupun ada kodrat, maka kodrat manusia adalah adaptasi. Karena itu kita sebetulnya tak punya alasan sungguhan yang benar-benar asasi untuk menentang kolonialisme. Kita hanya harus menyesuaikan, dan cepat atau lambat kita akan betah juga berada di bawah sayap penjajahan asing. Lalu mengapa perang kemerdekaan? Dan 10 Nopember di Surabaya? Barangkali karena pemerintah Belanda dan Sekutu pada waktu itu kurang kuat memaksakan sistim dan kehendak politiknya? 


Amerika Serikat kiranya boleh dipandang sebagai “orang kuat”. Kuat juga dalam seluruh perlengkapan yang mendukung sistim politiknya: komunikasi, senjata, dollar, diplomasi, logidtik bahkan persuasi dan pengalaman. Ternyata dia tumbang di Vietnam. Dan Rusia, mengapa dia tak cukup kuat memaksakan seorang Solzhenitsyn menyesuaikan diri dengan kehendak partai Komunis? 


Bagi saya segi praktis yang membuat bergidik adalah: kalau kita tak punya suatu apa yang bernama kodrat, martabat (atau apalah namanya), kita niscaya tak mempunyai alasan dasar untuk menolak, bila sekali kelak akan ada (semoga dihindarkan kiranya!) suatu sistim yang lalil yang hendak dipaksakan ke atas Indonesia. 


                                          ***

Kembali ke soal Mao: dengan dasar manakah Mao berhak memaksakan 800 juta manusia bertekuk lutut di depan kehendaknya? Bukankah hanya karena de facto dia berkuasa dan amat berkuasa? Rakyat seakan mengorbankan segala sesuatunya (hak, kegembiraan, kebebasan dan lain-lain) demi mewujudkan cita-cita sang Pemimpin, sementara dunia dengan rasa kagum menyampaikan salut karena 800 juta perut tidak lagi diancam rasa lapar. Namun saya tak dapat membayangkan bagaimana bisa berhitung dengan kelaparan jiwa yang dikorbankan. Demi apa ya sebetulnya? Sistim Mao kukuh seperti Tembok Besar yang melindungi RRC dari luar. Tetapi siapa bisa memastikan bahwa sistim itu bisa menjadi baluarti untuk meringkus hati nurani yang bebas dan menaklukan yang bernama martabat? 


Dalam percakapan pribadi dengan Prof. De Vries – rektor pertama IPB, sekarang mahaguru universita Pittsburg – baru-baru ini, dia membicarakan tentang perlunya Indonesia memperhatikan juga suatu rencana kebudayaan, yang memikirkan bagaimana secara kongkrit dijaga, dikembangkan dan diperluas nilai-nilai yang menunjang martabat manusia. Saya tak menjamin bahwa saya faham sekalian yang dikatakannya, tetapi rasanya tertangkap juga beberapa bayangan maksudnya, yang masih memerlukan waktu dan pengalaman untuk disingkapkan lebih jelas. Di hati saya berfikir, persoalan kebudayaan kita dari segi ini mungkin berarti: bagaimana mengusahakan agar supaya sambil berikhtiar memperbaiki seluruh nasibnya, tiap orang bisa berbahagia dengan keadaannya masing-masing, karena terjaga martabatnya. 


Ada teman lain alumnus pesantren Pondok Gontor berkunjung ke tempat saya. Setelah percakapan jadi asyik, saya akhirnya bertanya apa kiranya yang menurut dia paling khas diberikan Pondok Gontor bagi perkembangan dirinya. “Ada satu utang budi” dia menjawab tanpa pikir, “sekarang saya merasa mampu untuk hidup di mana saja dengan rasa senang. Di pesantren saya belajar menghargai dan dihargai orang”. Dengan pasti saya dapat meraba bahwa di balik penghargaan yang disebutnya itu adalah martabat manusia. 


                                               ***


Ada sebuah ucapan Mao yang amat terkenal: “Politik keluar dari laras senapan”. Seorang pengagumnya baru-baru ini di Amerika Serikat bahkan menyatakan: “Moral keluar dari laras senapan”. Dalam khayal saya, muncul kantor majalah itu. Terdengar suara setengah memberontak: mungkinkah kita berbahagia? Hari ini tak dapat saya bayangkan untuk menjawabnya dengan parafrase lain dari ucapan Mao: kebahagiaan keluar dari laras senapan. 


Bagi saya Goethe lebih menyenangkan, dan barangkali lebih benar. “Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Dan Goethe menurut kisahnya sendiri merasakan kebahagiaan yang sepenuhnya, ketika dia diam-diam melarikan diri dari istana Weimar, turun dari negeri utara ke Italia dan mengadakan pengembaraan di sana di negeri “kebebasan dan penemuan”. 


Sumber: TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42

Rabu, 17 Desember 2025

UKURANNYA JELAS, BUKAN SEKADAR NOMOR SEPATUNYA AKBAR TANDJUNG

(Kompas, 15 Desember 1998)


(Catatan Kecil buat Saur Hutabarat)

Oleh: Abdurrahman Wahid

Di harian dan ruangan ini, beberapa waktu lalu, Saur Hutabarat (SH) mengemukakan pendapat yang sangat menarik. Intinya, tiap bangsa mempunyai ukuran kepemimpinan tersendiri, yang berbeda dari waktu ke waktu dialami oleh masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, ia menolak tegas pendapat Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Golkar, yang menganggap bahwa tidak ada orang yang mempunyai kepemimpinan untuk meneruskan pemerintahan di masa ini. Karena itu pulalah, lalu, Pak Harto (Soeharto, mantan Presiden RI) tetap menjadi pemimpin selama tiga puluh tahun hingga dijatuhkan bulan Mei lalu. Saur menolak anggapan bahwa bangsa in tidak memiliki pemimpin yang tidak sesuai dengan kebesarannya sebagai masyarakat. Melainkan, hal ini terjadi karena tidak ada yang diberi kesempatan oleh Golkar untuk menjadi pemimpin sekaliber itu. 


Pendapat di atas benar, dan memang harus dibenarkan. Akibatnya, yang parah juga tidak bisa ditutup-tutupi oleh siapa pun. Demikian banyak biaya dikeluarkanuntuk memperoleh pemimpin yag diharapkan. Dengan kata lain, kita menyia-nyiakan waktu untuk hanya ingin memiliki pemimpin yang cakap. 


Dengan mengemukakan pendapat ini, penulis bukan bermaksud menolak anggapan SH, bahkan seluruh hidup penulis sepulang dari Timur Tengah banyak dihabiskan untuk berjuang menegakkan demokrasi. Sebab, itu semua merupakan persyaratan utama bag mmi kejayaan sebuah bangsa, seperti yang dicapai oleh negera-negara industri maju. Contohnya, Uni Soviet yang mempunyai Kapal Angkasa untuk mendarat di bulan, adalah nyata menunjukknan hal itu. Begitu pemerintahannya jatuh, Negeri Beruang Merah itu langsung mengalami krisis yang berkepanjangan yang belum selesai hiingga hari ini. Hal itu sama halnya industri pesawat terbang kita, yang sama sekali tidak didukung  oleh basis ekonomi yang sehat dan teknologi maju secara keseluruhan. Bukankah ini sangat menyedihkan?


Bahwa, sumber dari kelemahan ini adalah kurangnya perhatian kita terhadap dasar-dasar teknologi dan kurangnya sendi-sendi yang kukuh bagi ekonomi kita di segala bidang. Dalam hal ini, ada sebuah lelucon yang menggambarkan kenyataan di atas tadi dengan tepat. Yaitu, ketika Neil Amstrong mendaratkan kapsulnya di bulan, ia melihat orang Cina dan Indonesia. “Kami bisa sampai ke sini (bulan) dengan menaiki pundak kami, sebab bangsa Cina jumlahnya satu milyar lebih, hingga sampai di bumi,” ujar orang Cina itu. Akan tetapi lain lagi, lain lagi kata orang Indonesia, “Kami sampai di sini (bulan) karena memanjat makalah-makalah dan pidato-pidato yang diadakan di negeri kami (selama masa Orde Baru).” Dari sini jelaslah, jelaslah bawa sikap hidup orang Indonesia tidaklah realistik, melainkan hanya tertulis belaka.


Hal itu juga berlaku dalam soal kepemimpinan. Begitu tingginya syarat-syarat yang ditekankan pada hampir semua pihak, mulai dari MPR hingga buku-buku P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)—yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin bangsa ini, ternyata tak bisa dicapai. Konsep beriman dan bertaqwa, misalnya, keduanya telah membuat keruwetan masing-masing. Padahal, bangsa lain tak pernah merumuskan tentang hal tersebut. Namun, dengan hukum dasar yang sangat sederhana, seperti terhadap pihak-pihak yang memenangkan pertarungan politik, mereka mampu mencapai tingkat pembangunan yang sangat pesat yang membuat bangsa-bangsa lain iri. Lihat saja Australia yang dulunya dikenal banyak dihuni para pembunuh dan perampok, kini justru menjadi pemerintahan yang kukuh dan kuat.  


Hal itulah yang dilupakan oleh negeri kita. Semakin banyak yang dirumuskan, maka semakin sedikit pula yang dikerjakan. Pelaksanaan sebagian besarnya merupakan persiapan, bukannya omong kosong yang tak memberi hasil apa-apa. Suatu bangsa yang tak menyadari hal ini aka tinggal dalam kemiskinan dan ketertinggalan, sementara bangsa-bangsa lain di sekitarnya terus semakin maju. Jika kenyataan ini saja sering terlepas dari perhatian kita, bagaimana kita akan memikirkan hal-hal yang lebih besar yang terbentang di hadapan kita, sebagai sebuah bangsa. 


Salah satu akibat dari kesenangan kita untuk verbalisasi kepemimpinan, karena langkanya pemimpin-pemimpin di hampir segala bidang untuk digantikan oleh orang yang sungguh-sungguh punya kemampuan. Akhirnya, kecerdikan selalu memanipulasi keadaan dan kesediaan menyembunyikan fakta dipakai sebagai ukuran. Akibatnya, masalah kepemimpinan kita jadi rancu, dan hal ini pun sangat tampak dalam tulisan SH. Karenanya, tulisan ini dibuat untuk meluruskan hal tersebut. Karena, keadaannya akan jadi parah jika hal itu akan diterus-teruskan lagi. 

                                               ***

Masalahnya sederhana saja: apabila saudara SH menyatakan dirinya sebagai pengikut setia Golongan Putih (Golput). Hal itu, disebabkan ketiadaan pemimpin yang mempunyai persyaratan dan terlepas dari pengaruh Golkar. Tentunya, semua itu tidak disadarinya, tetapi justru dianggap sebagai sebagai kecendekiaan tersendiri. Persoalannya, jika tidak ada yang memenuhi syarat, lalu bagaimana? Dengan kata lain, di sini, persoalannya sangat terkait dengan struktur tidak adil yang menguasai masyarakat. Jadi, tidak ada jawaban yang cukup memuaskan yang dapat diberika lagi. 


Juga, hal yang sama dapat dilihat dalam tuntutan penggantian pemimpin yang tidak becus. Mengapa? Karena tidak ada yang dapat menyainginya. Bukankah itu berarti bahwa seluruh bangsa yang salah karena struktur politik yang tidak memungkinkan tumbuhnya seorang pemimpin. Atau, tidak ada yang bersalah karena keadaannya tidak memungkinkan bagi munculnya sang pemimpin. Logika semacam inilah yang harus diberlakukan pada pendapat SH itu. Ia menjadi pengikut Golput, karena tidak mau jadi pengikut golongan lain. Akan tetapi, ia tidak bisa jadi pengikut golongan lain, karena yang tersedia baginya hanyalah Golput. Jadi, logika tidak bisa dipakai dalam hal seperti itu, dan memaksakan logika dalam ini sama sekali tidak mungkin. Tak semua warga Jerman menjadi Hitler, karena memang bagi mereka tak ada pilihan lain. Dan, bangsa kita tak bisa memilih orang lain karena pilihan yang tersedia hanyalah Soeharto. 


Dengan demikian, terlihat jelas ketiadaan konsistensi dalam penggunaan akal untuk menjawab argumentasi; mengapa kita memilih Soeharto. Dan itu sekaligus langkanya peluang untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Karena jatuhnya saudara SH pada keadaan tidak logis ini, maka jawaban yang kita peroleh pun tak memuaskan. Karena itu, kita mesti berhati-hati dalam menyuarakan perasaan, karena kesan yang akan diperoleh juga akan lain dari yang kita inginkan. Inilah kesulitan hidup kita, antara pikiran dan kenyataan hidup terdapat celah lebar yang seakan-akan tak dpat dijembatani lagi. 

                                                    *** 

Dengan argumentasi seperti inilah, kita juga mendudukkan latar belakang histroris dari berbagai hal yang terjadi dalam sejarah. Pada waktu penulis dan seorang teman berkendaraan dari stasiun sentral Amsterdam menuju ke arah utara, kami berdua melintasi Afslusdijk (tanggul tertutup di sebelah belakang). Tanggul ini, memisahkan antara tanah Polder di sebelah timurnya dengan laut utara (North Sea) di sebelah kirinya. Tanah itu semula berupa laut yang, kemudian airnya dipompa ke lautan. Hingga, setelah mengering, kini terlihat di sebelah timur itu—yang berada di bawah titik terendah permukaan air laut—daerah pertanian yang subur, ruas jalanan serta hal-hal lain di atas yang tadinya tertutup air laut. Teman penulis mengatakan bahwa untuk membuat Polder ini, dulunya dibangun tanggul (Dijk) sepanjang kurang lebih 21 km, yang tentu hanya dimungkinkan oleh tersedianya biaya yang cukup. Dan, biaya itu bukankah mereka peroleh dari proses penjarahan (kolonialisasi) di tanah air kita? 


Penulis menjawab bahwa hal itu mungkin saja benar. Akan tetapi, itu juga membuktikan adanya kelemahan kita sebagai bangsa. Sebab, sejak dahulu mereka telah bersatu dalam sebuah Nation (bangsa), sedangkan kita terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Makanya, kita jangan melihat keserakahan bangsa Belanda saja, tetapi juga melihat kelemahan bangsa kita sendiri yang tidak mampu bersatu. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya melihat dari satu arah atau sebab kesejarahan saja melainkan harus melihatnya dari sudut lain. Dan, sudut lain itu berupa ketidakmampuan kita bersatu dan pendeknya pandangan kesejarahan kita sendiri. 


Pertanyaannya, adakah dosa kolketif dalam hal ini? Kalaupun ada, penulis yakin, tidak dapat dilihat sebagai suatu kesadaran bersama, melainkan sebagai sikap khusus yang tak memungkinkan kita untuk menyalahkannya sebagai dosa bersama dari semua kerajaan tersebut. Hal inilah yang sering dilupakan oleh orang ketika membahas apa yang dinamakan “dosa sejarah” dari sebuah bangsa dalam menjalani sejarahnya. Artinya, sejarah atau kebenaran praktis tidak dapat diukur atau dari satu sudut kenyataan saja, melainkan suatu keruwetan tersendiri yang menunjukkan kekalangkabutan sejarah itu juga. Inilah yang sering dilupakan banyak orang, termasuk saudara SH, yang hanya melihat kesalahan kolektif Golkar sebagai sebuah kenyataan sejarah. Yang menarik, justru kesimpulan ini datang dari penulis sendiri yang sepanjang hidupnya belum pernah menjadi anggota Golkar, tetapi ingin mempelajari sejarah dari perspektif yang benar. 


Yakni bahwa antara kenyataan sejarah dan rasio tidaklah bisa disamakan begitu saja. Wallahu a’alam bi shawab! 


*Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU, pengamat sosial dan politik, tinggal di Jakarta 


Sumber: Kompas, 15 Desember 1998

TERBARU

MAKALAH