4. Neraca Pembayaran
Dalam tahun laporan, neraca pembayaran mengalami tekanan-tekanan yang cukup berat. Kuatnya permintaan dalam negeri menyebabkan impor nonmigas tetap tumbuh tinggi. Situasi tersebut diikuti pula oleh melambatnya ekspor nonmigas sebagai akibat ketatnya persaingan di pasar internasional dan maraknya pasar dalam negeri. Perkembangan tersebut mengakibatkan transaksi perdagangan nonmigas kembali mengalami defisit sehingga defisit transaksi berjalan meningkat tajam. Namun, pada periode yang sama peningkatan arus modal masuk bersih juga meningkat pesat. Peningkatan arus modal tersebut terutama berasal dari pemasukan modal swasta, sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan investasi. Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan neraca pembayaran masih menunjukkan surplus.
Dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan, selain telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan permintaan domestik, Pemerintah juga mengambil langkah-langkah deregulasi di sektor riel pada bulan Mei 1995 dan Januari 1996. Rangkaian kebijakan di sektor riel tersebut bertujuan, antara lain, untuk mendorong investasi melalui peningkatan efisiensi dan daya saing komoditas ekspor, misalnya melalui penurunan tarif bea masuk bagi bahan baku dan barang modal untuk produksi barang ekspor dan penghapusan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Di samping langkah-langkah deregulasi tersebut, sebagai antisipasi meningkatnya pertumbuhan impor Pemerintah berupaya mengendalikan pertumbuhan impor melalui pembentukan Tim Penelitian Proyek-proyek Pemerintah dan BUMN yang bertugas, antara lain meneliti proyek-proyek pemerintah atau BUMN yang memiliki kandungan impor yang tinggi.
Dalam tahun 1995/96, nilai total impor masih meningkat tinggi, dengan pertumbuhan sebesar 17,6%. Kenaikan terbesar terjadi pada impor nonmigas, yaitu sebesar 19,8%. Pertumbuhan impor nonmigas yang cukup tinggi tersebut terutama berasal dari impor bahan baku/penolong dan barang modal, sejalan dengan lonjakan realisasi investasi, terutama yang berasal dari PMA dan PMDN. Di samping itu, impor barang konsumsi, antara lain mobil penumpang dan bahan makanan, juga meningkat pesat. Sementara itu, nilai ekspor naik 10,0%, dengan sumbangan terbesar dari sektor nonmigas yang mengalami pertumbuhan sebesar 13,94, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, defisit transaksi berjalan meningkat pesat, dari $3,5 milyar atau 2,0% dari PDB menjadi $6,9% milyar atau 3,3% dari PDB.
Dalam tahun laporan, pemasukan modal bersih mencapai $11,4 milyar, sebagian besar berupa modal swasta yang meningkat tajam dan dalam bentuk yang semakin beragam. Selain dalam bentuk penanaman modal langsung dan utang luar negeri, arus modal swasta juga masuk dalam bentuk investasi portofolio. Dilihat dari jangka waktu, sebagian besar arus masuk modal swasta tersebut berjangka menengah dan panjang. Sementara itu, pemasukan modal bersih pemerintah menjadi negatif. Berkaitan dengan percepatan pembayaran utang luar negeri yang berbunga tinggi. Dalam pada itu, posisi cadangan devisa resmi Bank Indonesia meningkat menjadi $16,0 milyar, setara dengan 4,7 bulan impor nonmigas.
B. Moneter
Dalam periode 1995/96, sektor moneter diwarnai oleh upaya otoritas moneter untuk mengendalikan ekspansi moneter dalam rangka mengurangi kuatnya tekanan permintaan domestik terhadap keseimbangan ekonomi makro. Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi telah mendorong peningkatan pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit pada bulan-bulan pertama tahun laporan lebih pesat dibandingkan dengan peningkatan mobilisasi dana sehingga kesenjangan antara dana dan kredit cenderung melebar. Hal ini mendorong kenaikan sukubunga dalam negeri, sementara sukubunga luar negeri cenderung menurun. Melebarnya selisih sukubunga dalam dan luar negeri terebut mendorong masuknya modal luar negeri.
Dengan situasi moneter yang cenderung semakin ekspansif di tengah-tengah pesatnya kenaikan permintaan domestik, pengendalian moneter yang efektif semakin diperlukan guna mencegah bahaya memanasnya suhu perekonomian. Namun, dalam situasi pasar keuangan dalam negeri yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan luar negeri dan cepatnya inovasi produk-produk keuangan, pengendalian moneter menjadi tidak mudah. Penggunaan operasi pasar terbuka (OPT) untuk mengendalikan sumber-sumber ekspansi yang berasal dari dalam negeri akan menghadapi tantangan masuknya arus modal luar negeri yang justru semakin meningkatkan likuiditas perekonomian.
Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian uang beredar, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter dan perbankan yang berhati-hati agar dapat memperketat sumber-sumber ekspansi dalam negeri dan untuk memperkecil kebocoran moneter dari sektor luar negeri.
Dalam rangka menekan sumber-sumber ekspansi dalam negeri, selain menggunakan OPT, Bank Indonesia juga telah menggunakan piranti cadangan wajib minimum. Pada bulan Desember 1995 Bank Indonesia mengubah ketentuan cadangan wajib minimum menjadi ketentuan GWM. Dengan ketentuan baru tersebut, komponen yang diperhitungkan diubah dari yang semula giro pada Bank Indonesia dan kas menjadi hanya giro pada Bank Indonesia. Selanjutnya, dalam ketentuan yang baru tersebut bank diwajibkan untuk menempatkan 3% dari dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk giro pada Bank Indonesia yang berlaku sejak Februari 1996.
Selanjutnya, untuk mengendalikan ekspansi kredit yang berlebihan, Bank Indonesia juga melanjutkan persuasi moral agar laju pemberian kredit oleh perbankan tetap sejalan dengan arah kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan ketentuan mengenai penambahan modal dan peningkatan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bagi bank-bank devisa secara bertahap. Meskipun pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan daya saing perbankan, kebijakan tersebut secara tidak langsung akan mendorong bank untuk lebih berhati-hati dalam memberikan kredit.
Sementara itu, untuk mengurangi dorongan masuknya arus modal jangka pendek, terutama yang bersifat spekulatif, Bank Indonesia berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar rupiah. Pada bulan Juni 1995, Bank Indonesia memperlebar spread kurs jual dan kurs beli Bank Indonesia dari Rp 30,00 menjadi Rp 44,00. Kemudian, pada bulan Desember 1995 Bank Indonesia menetapkan batas kurs intervensi dengan perbedaan antara batas atas dan bawah sebesar Rp 66,00. Di samping itu, Pemerintah juga membatasi jumlah dana luar negeri yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan.
Sejalan dengan upaya pengendalian tersebut, pertumbuhan beberapa besaran moneter menjadi lebih lambat. Pertumbuhan M1 dapat dikendalikan sehingga mendekati target yang telah ditetapkan dan pertumbuhan kredit sudah mulai melemah meskipun masih relatif tinggi. Sementara itu, pertumbuhan M2 yang pada awal tahun laporan cenderung meningkat secara bertahap melambat sejak semester II periode laporan. Namun, secara tahunan, pertumbuhan M2 tetap lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya sebagai akibat kuatnya pertumbuhan kredit yang didukung oleh arus masuk dana luar negeri.
Sementara itu, sukubunga deposito terus mengalami peningkatan secara bertahap. Rata-rata sukubunga deposito 3 bulan secara berangsur-angsur meningkat dari 15,9% pada akhir 1994/95 menjadi 17,3% pada akhir tahun laporan. Dengan kenaikan tersebut, perbedaan sukubunga dalam dan luar negeri meningkat dari 9,7% menjadi 11,8%. Kenaikan sukubunga deposito tersebut mendorong kenaikan sukubunga kredit. Sukubunga kredit modal kerja dan investasi secara bertahap meningkat, masing-masing menjadi 19,3℅ dan 16,4% pada akhir Maret 1996. Dengan meningkatnya sukubunga dalam negeri, sejak awal semester II periode laporan pertumbuhan mobilisasi dana menjadi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit sehingga kesenjangan antara dana dan kredit mulai menurun. Pada akhir tahun laporan. Pertumbuhan tahunan kredit turun menjadi 23,6% dan jumlahnya mencapai Rp 242,4 trilyun, sementara pertumbuhan mobilisasi dana meningkat menjadi 28,7% dan jumlahnya mencapai Rp 223,7 trilyun.
Sementara itu, sejalan dengan kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia, ketergantungan pasar valuta asing antarbank kepada Bank Indonesia menjadi semakin berkurang. Hal tersebut tercermin pada penurunan volume transaksi valuta asing antara bank dengan Bank Indonesia. Kurs valuta asing antarbank cenderung mendekati batas bawah kurs intervensi Bank Indonesia, yang mencerminkan tetap tingginya kepercayaan investor luar negeri untuk menanamkan dananya dalam rupiah.
Sumber: HMT Oppusunggu, Sumber Krisis Moneter Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1998, h. 150-154.