alt/text gambar

Senin, 03 Maret 2025

,

SENI: MEMAHAMI FILSAFAT SENI SUSANNE K. LANGER



Susanne K. Langer (1895-1985)–filsuf wanita kelahiran Amerika–mendefinisikan seni sebagai "kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia. Bentuk simbolis yang dilemparkan seniman dalam kreasi seninya itu tidak berasal dari pikirannya, melainkan dari perasaannya, atau lebih tepat dikatakan sebagai formasi pengalaman emosionalnya."

Kalau bentuk simbolis itu berasal dari pikirannya, maka akan dihasilkan suatu 'insight' filosofis, tetapi karena berasal dari perasaan, maka yang dihasilkan adalah 'insight' estetis. 

MEMAHAMI SIMBOL SENI

Simbol seni bukanlah suatu struktur atau konstruksi, melainkan suatu kreasi utuh. Dengan kata lain, simbol seni bukanlah suatu sistem dari simbol-simbol melainkan satu kesatuan simbol. Karena itu kurang tepat apabila seni dianggap sebagai suatu jenis simbolisme. Kalaupun dalam suatu karya seni—misalnya sebuah sajak—terdapat beberapa simbol, namun simbol-simbol itu tidaklah disusun menurut suatu prinsip konstruktif. Simbol-simbol dalam sajak itu mempunyai maknanya masing-masing tanpa perlu menjadi unsur-unsur tunggal dari keutuhan makna sajak itu, karena makna tersebut tidak bersifat struktural. Bahkan kata "makna" itu sendiri tidak tepat untuk diterapkan dalam simbol seni. 

Secara umum dikatakan bahwa hanya suatu susunan mempunyai makna. Suatu ketak-tersusun-an atau ke-tidak-teratur-an tidaklah mempunyai makna. Sebuah kalimat baru mengatakan sesuatu arti jikalau ia tersusun menurut aturan yang benar. Apabila tidak tersusun secara benar, maka kalimat itu tidak mengutarakan suatu arti atau makna. Akan tetapi simbol seni bukanlah suatu susunan,  jadi tak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol seni adalah satu dan utuh karena itu ia tidak menyampaikan "makna” (meaning) untuk "dimengerti”, melainkan "pesan” (import) untuk ”diresapkan”. Terhadap " makna” orang hanya dapat mengerti atau tidak mengerti, tetapi terhadap "pesan” dari seni orang dapat tersentuh secara lemah dan secara intensif. Di sini terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan "'pesan” seni itu. 

Satu hal yang perlu ditambahkan pada masalah simbol seni ialah bahwa simbol seni sebagai suatu abstraksi merupakan suatu bentuk perkembangan yang rampung (terminal). Simbol seni bukanlah suatu tahapan simbolisasi yang masih menantikan penyempurnaannya dalam pembentukan simbol yang lain. Hal ini menjadi jelas kalau kita membandingkan simbol seni dengan simbol-simbol lain yang digunakan dalam agama primitif. Mitos dalam agama primitif misalnya, menurut Langer adalah jenis simbolisasi yang belum selesai. Ia berada dalam suatu proses ke arah simbolisasi yang penuh, karena dalam mitos masih tercampur unsur-unsur subyektif dan obyektif, perasaan dan kenyataan, unsur fantasi dan rasionalitas, unsur mimpi dan kesadaran. Jadi, mitos belum merepresentasikan sikap simbolis yang tegas dari manusia primitif. Pada seni, simbol itu sudah menunjuk sikap yang tegas, yakni sikap yang tidak mau kompromi dengan rasionalitas. Simbol seni memang tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan realitas obyektif atau fakta, melainkan perasaan atau realitas subyektif seniman. Jadi, simbol seni boleh disejajarkan dengan simbol ilmu dalam arti bahwa keduanya merupakan terminal dari perkembangan dua macam simbol yang berbeda: simbol presentasional dan simbol diskursif. 

KONSEPSI SENI SEBAGAI "LIVING FORM''

Karena realitas yang diangkat ke dalam simbol seni bukan realitas obyektif melainkan realitas subyektif, maka bentuk atau forma simbolis yang dihasilkannya mempunyai ciri yang amat khas. Forma simbolis ini adalah forma yang hidup (living form) menurut istilah Langer.
Tentu saja pengertian living form ini mengundang persoalan yang menggelitik, terutama dari sudut pandangan yang sudah terbiasa dengan tradisi neo-positivis. Bagaimana dimungkinkan abstraksi dari perasaan subyektif? Apakah pernah mungkin suatu perasaan itu diproyeksikan menjadi suatu forma atau suatu konsepsi? Apakah perbedaan forma yang hidup dengan forma lainnya yang mengikut pola abstraksi diskursif? Apakah living form dengan demikian tidak bersifat paradoksal? 

Susanne Langer memang sudah cukup siap dengan berbagai persoalan yang akan timbul ini. Ia mengaku bahwa memang terjadi suatu paradoks dalam prinsip-prinsip simbolisasi seni. Akan tetapi, menurutnya, paradoks ini memang merupakan ciri esensial dari simbol seni itu sendiri. Paradoks tak boleh dihindari dengan menaklukkan seni ke dalam wilayah abstraksi semantik. Seni lantas secara gampangan dianggap sebagai suatu jenis bahasa dengan kode-kode lain. Ia juga menolak usaha yang mau mempolarisir seni seperti dilakukan Nietzsche sekedar untuk menghindari paradoks tersebut. (Dalam bukunya Die Geburt der Tragedie aus dem Geiste der Musik (1872), Nietzsche mempertentangkan seni yang bersumber pada rasionalitas yang nampak dalam seni plastis dengan seni yang bersumber pada emosionalitas yang nampak dalam seni musik. Itulah dua kutub seni Yunani kuno yang nampak dalam perayaan besar untuk menghormati kedua dewa seni Apollo dan Dyonisius). 

Mengapa ada anggapan bahwa “perasaan” (feeling) tak dapat diabstraksikan? Menurut Langer hal ini merupakan ekses dari anggapan neo-positivis yang mempertentangkan "'perasaan” (feeling) dan "forma” (form). Perasaan diasosiasikan dengan spontanitas, spontanitas dengan ketidak-teraturan, jadi juga dengan informalitas atau ke-tiada-nya bentuk. Di lain pihak forma dianggap menjadi inti formalitas, keteraturan, represi dari perasaan dan spontanitas, jadi dianggap tidak mengandung perasaan. Menurut Langer anggapan seperti ini merupakan bentuk pemikiran yang tergelincir.

Menurut Langer pengalaman subyektif bisa menjadi isi suatu forma simbolis. Jikalau pengalaman ini adalah suatu perasaan yang kuat, maka pembentukan forma ini akan menunjukkan ekspresivitas yang sedemikian kuat memancar sehingga forma itu seolah-olah hidup. Forma yang hidup ini misalnya paling nampak dalam bentuk dekorasi yang menuruti pola tertentu yang disebut "design”. Pola ini menunjukkan garis-garis secara dinamis, misalnya bentuk yang menunjukkan berombak-ombak”, "bergulung-gulung”, ”melingkar-lingkar” sehingga seolah-olah menampakkan suatu gerakan atau perkembangan.

Tentu saja prinsip 'ke-hidup-an” dari forma simbolis pada seni ini bisa dilihat pada semua jenis kesenian. Tebal-tipisnya cat dan jenis warna mempengaruhi penampilan suatu lukisan, sehingga lukisan itu nampak "hidup”; keras-lemahnya bunyi, halus-kasarnya timbre menurut jenis instrumen dan cepat pelannya irama akan menampilkan "kehidupan” tertentu pula di dalam musik. Jelaslah bahwa perasaan yang dikatakan atau diformulasikan dalam simbol yang logis akan sangat berbeda dengan perasaan yang diungkapkan atau diformulasikan dalam simbol seni. Formulasi simbol logis itu hanya akan membuat orang lain "'mengetahui” perasaan macam apa yang diutarakan, sedang simbol seni membawa orang lain pada pengalaman perasaan itu sendiri, karena simbol seni sungguh-sungguh hidup. 

EKSPRESI DAN PERSENTUHAN SENI

Akhirnya ekspresi merupakan hal yang tak boleh dilupakan dalan memahami simbolisasi seni. Simbol seni itu adalah simbol ekspresif, dan berkat ekspresivitas inilah simbol seni itu nampak hidup. Ekspresi itu bagaikan roh yang menjiwai simbol seni, sehingga simbol seni sungguh-sungguh menghadirkan subyektivitas seniman. Berkat ekspresi, simbol seni tidak tinggal beku dan bisu tetapi berbicara kepada orang lain, pengamat seni. 

Jadi, ekspresi boleh dikata mengundang persentuhan dengan pihak lain. Seni bukanlah suatu imajinasi yang menutup diri, melainkan yang justru membuka diri. Seorang pelukis tidak bermaksud menyimpan lukisan-lukisannya di dalam gudang, tetapi untuk memamerkannya. Seorang penyair tidak ingin membaca syair-syairnya di kamar sendirian, melainkan untuk membacakannya di muka umum atau menerbitkannya. Demikian juga seorang penulis drama ingin mementaskan lakonnya. Arah keluar inilah yang menjadi pokok tujuan ekspresi. Ekspresi menuntut adanya suatu perwujudan material, supaya seni tidak hanya berhenti sebagai imajinasi belaka.

Tetapi dengan persentuhan seni dalam rangka penjelasan mengenai ekspresi di dalam seni, orang harus hati-hati. Langer tentu saja tidak memaksudkannya sebagai suatu bentuk komunikasi berkutub dua, seperti kalau dua orang subyek mengadakan pembicaraan. Ekspresi itu memang menunjukkan arah keluar, tetapi tidak menentukan ke tujuan "tertentu”. Langer pernah menyebutkan bahwa karya seni sering merupakan ekspresi yang spontan dari perasaan, dan dengan itu ditunjukkan juga unsur ketidak-sadaran dalam seni. Seni dengan demikian boleh digolongkan dalam jenis mimpi, karena ciri ilusinya yang tanpa sadar, spontan dan bebas; hanya saja pada seni berkat adanya ekspresi, ilusi itu bisa disaksikan oleh orang lain, sedang pada mimpi tidak. 

Ekspresi seni juga berbeda dengan ungkapan emosional atau perasaan yang menggejala. Ungkapan emosional dapat dilihat langsung pada diri seseorang yang marah, yang sedih atau gembira, baik dari air mukanya maupun dari tingkah lakunya. Ekspresi seni menurut Langer bukanlah ekspresi diri (self-expression). Kalau demikian seni lantas akan berupa kecengengan belaka. Ia tidak akan menawarkan suatu nilai keindahan tetapi justru merangsang emosi orang lain, baik untuk ikut marah, sedih atau gembira, maupun untuk menjadi jengkel terhadapnya. Keistimewaan seni dalam ekspresivitas ini ialah memperhalus ciri komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang kental, yakni dengan menularkan kesan dan pengalaman subyektif—dalam hal ini kesan dan pengalaman seniman—kepada publik. 

Jadi seni mempunyai nilai edukatif, karena seni menyimpan konsepsi keindahan dan menanamkan konsepsi ini ke dalam perasaan masyarakat. Namun pola pendidikan ini tidak langsung atau terang-terangan. Dengan kehalusan dan ciri simbolisnya yang khas itu, seni mengajak publik untuk mengalami nilai-nilai keindahan yang sudah dihayati si seniman.


(A. Sudiarja, "Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, hlm. 74-81).

Catatan:

Seni itu sangat penting dalam hidup manusia. "Tanpa seni, manusia itu tak utuh," kata Gus Dur.

Sabtu, 01 Maret 2025

Seputar Pemikiran Ranciere tentang Politik dan Demokrasi

Jacques Ranciere, filsuf Prancis kontemporer


Dalam Caping “Lee", GM menulis: Lee: “Bila orang mengatakan, 'Ah, tanya saja pendapat rakyat!' itu ocehan kekanak-kanakan". Lee tak percaya seorang penjual es paham konsekuensi dari suara yang diberikannya ketika pemilu. Di masyarakat, orang lebih mendengarkan bujukan berlezat-lezat ketimbang seruan untuk bekerja berat (“more to the carrot than to the stick”). (...) Dengan kata lain: demokrasi adalah jalan ke kebangkrutan.

***

Kata skandal berasal dari bahasa Yunani scandalon yang artinya "to trigger a trap or snare, to cause someone to stumble and fall". Skandal artinya batu sandungan yang membuat orang jatuh. Di depan skandal, orang berhati-hati, takut tergoda, dan lebih baik menghindarinya. Demokrasi menjadi skandal bagi kebanyakan orang persis karena kebanyakan orang berpikir “mana mungkin rakyat kok berkuasa, apa yang bisa diharapkan dari rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa?”

***

Di Caping 2015 berjudul “Polisi”, GM menulis: “Revolusi 1945 itu sederhana tapi ajaib. Mao Zedong pernah mengatakan bahwa kekuasaan datang dari laras bedil, tapi hari 17 Agustus itu tak ada bedil yang dipakai untuk mendirikan kedaulatan. Yang kedengaran hanya sebuah pernyataan 'atas nama bangsa Indonesia'. Dengan suara Bung Karno yang agak menggeletar membaca paragraf-paragraf pendek yang diketik tergesa-gesa, sebuah nation dinyatakan ada. Serentak dengan itu, juga sebuah Negara. Begitu saja: dari imajinasi. Baru kemudian, Negara itu berubah dari imajinasi menjadi sebuah administrasi. Dengan kata lain, dari sebuah antusiasme menjadi sebuah rasionalitas. Dalam proses itulah polisi datang. (...) Namun berbeda dari yang digambarkan Foucault, tak pernah terjadi pemerintahan, apalagi di Indonesia, yang mirip Panoptikon: sistem politik yang mampu membuat penduduk merasa kehidupan mereka sedang terus-menerus diawasi. (...) Itu sebabnya di Indonesia Polisi tak datang.” Dalam artikel ini GM menunjukkan keniscayaan revolusi bertransformasi menjadi polisi (la police: tatanan). GM juga sedikit bergurau menunjukkan bahwa “tatanan administrasi rasional" pun tidak sepenuhnya berhasil di Indonesia. Jadi, selain bahwa tatanan selalu luput menata, menutur GM, di Indonesia tatanan yang ada hanya setengah matang sehingga tak pernah benar-benar menata. Untuk itu, peluang untuk mengubah selalu ada. 

***

Di Caping tertanggal 2 Oktober 2011 berjudul “Representasi”, GM merumuskan tawarannya sbb. “Lembaga menegakkan tata. Lembaga, dalam istilah Jacgues Ranciere, adalah 'Polisi'. Di sana politik diambil alih, tapi juga dibekukan. Tapi ada yang mustahil. Tiap rezim mengandung ketegangan. Di satu pihak ia bertolak dari asumsi kesetaraan: antara yang mengatur dan yang diatur tak ada celah dalam kapasitas, hingga kebijakan diharapkan akan dipahami dan diikuti. Tapi di lain pihak tiap rezim bertolak dari hierarki. Dengan kata lain, Polisi akan selalu ada, tapi selalu ada juga sikap yang menampung asumsi kesetaraan yang mendasari sistem politik modern. Pada gilirannya sikap itu bertahan, bahkan akan selalu jadi gerak yang melawan hierarki. Gerak itulah politik. Politik, kata Ranciere, 'tak dapat didefinisikan semata-mata sebagai pengorganisasian sebuah komunitas'. Politik juga tak bisa disamakan dengan 'pengisian tempat pemerintahan'. Politik selamanya adalah 'alternatif bagi tata Polisi yang mana pun'."

Di Caping tertanggal 5 Februari 2012 berjudul “Kemudian”, GM menulis dengan gamblang tawaran pemikirannya (dengan memakai Ranciere): “Sebab demokrasi punya dua makna dan dua gerak. Demokrasi sering diterjemahkan sebagai lembaga dan prosedur. Partai-partai politik. Majelis perwakilan rakyat. Perundang-undangan. Lembaga hukum. Pemilihan umum untuk menyeleksi wakil-wakil. Dalam proses itu, Negara terjadi. Tapi Negara, seperti kata Stuart Hall, adalah 'the instance of the performance of a condensation'. Pelbagai kepentingan, aliran, dan kekuatan sosial tak akan bisa tertampung dan tersalur sekaligus. 'Peringkasan', condensation, pun tak terelakkan. Tak terelakkan pula di satu saat dan satu kasus tertentu ada elemen yang 'masuk' dan ada yang 'tak masuk' hitungan. Lalu tiba masa ketika kaum yang 'masuk' mampu mengawetkan posisinya dengan daya dan dana yang mereka peroleh. Sebuah oligarki pun terbangun. Di masa itulah ketaksetaraan, yang sering berarti ketidakadilan, terjadi. Terutama dirasakan oleh mereka yang disebut Ranciere "les incomptes'. Dengan mengidentifikasi mereka yang 'tak masuk hitungan' itu Ranciere menunjukkan makna lain dari demokrasi. Demokrasi bukan bentuk, melainkan laku. Lebih tepat lagi, 'tindakan yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik dari pemerintahan yang oligarkis'”.

***

Iman GM pada demokrasi tampak dalam penutupnya untuk Caping “Lee" (2015): "Juga bukan takdir sebuah kaum untuk melahirkan kelas pemimpin. Tak ada yang ulung yang kekal. Demokrasi, apapun cacatnya, tak punya nujum bahwa kekuasaan akan seutuhnya baik dan tak berubah. Di sini memang ada ilusi, tapi tak banyak. Demokrasi bergerak karena tiap kali seorang besar meninggal akan tampak ia hanya penghuni sementara kursi yang kosong."

***

Di Caping “Subaltern" (kemungkinan tahun 2016) GM menulis: “Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin di ibukota Argentina, Ranciere mengemukakan teorinya tentang demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang kini dipraktekkan di negeri-negeri demokrasi 'sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme oligarki'. Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah 'sebuah gerakan aksi yang kuat yang merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan kekuasaan setiap orang dan siapa saja'."

***

GM menulis di "Politik”: Pada mulanya memang ada kebutuhan akan sebuah tata ketika manusia hidup bersama-sama. Pada mulanya keniscayaan politik. Politik lahir dari proses menyusun distribusi posisi dan kekuasaan. Dalam sebuah ruang dan waktu, dua hal itu tersedia terbatas. Tak semua orang mendapatkannya, atau mendapatkannya dengan kepuasan yang tetap. Mau tak mau berkecamuk persaingan, desak-mendesak, konflik. Sejarah mengajarkan proses itu penuh risiko: sebuah negeri bisa dirundung sengketa tak berkesudahan ketika benturan 354 Catatan Pinggir 13 untuk posisi dan kekuasaan itu tak dikelola dengan baik. Dalam sejarah Jawa, peperangan tak henti-hentinya berkobar karena masalah suksesi.

***

GM menulis di “Politik”: Terutama ketika politik berubah jadi apa yang oleh Ranciere disebut la police: kuasa yang akhirnya memberi batasan ke dalam hidup sosial, kepada ketentuan peran dan posisi warga, kepada penegakan tata. Jelas bahwa tata itu sebenarnya bukan sesuatu yang alamiah. Ia tak punya fondasi dan tak akan bisa memadai. Selalu ada celah yang kosong, ada unsur-unsur sosial yang tak masuk hitungan, terkucil, dan tak puas. Dalam keadaan itu, politik adalah “disensus", bukan "konsensus".

***

Menurut Ranciere, pemikiran Hobbes dan Rousseau masuk dalam kategori para-politik ini. Mereka mengajukan sebuah sistem kontrak sosial, di mana individu-individu soliter akhirnya berhadap-hadapan dengan sebuah 'kekuasaan' (entah itu Leviathan atau Kekuasaan Republik). Di satu sisi, Hobbes maupun Rousseau sebenarnya sudah memiliki intuisi tentang 'kesetaraan radikal' di antara umat manusia, namun akhirnya 'kesetaraan' itu dilumerkan dalam pendirian sebuah tatanan politik. Bila saja kesetaraan radikal itu dipertahankan, maka tak perlu adanya tatanan. Risiko hidup dalam kesetaraan semua dengan semua adalah munculnya kekerasan. Problem ini yang hendak diatasi Hobbes maupun Rousseau lewat kontrak sosial yang mereka teorikan. Sejauh saya tahu, Ranciere malah tidak pernah mengelaborasi soal risika kekerasan. Apakah karena di matanya tatanan itu sendiri sebentuk kekerasan? Bila tatanan sebentuk kekerasan, apakah proses verifikasi 'subjek' untuk masuk ke tatanan mengandaikan adanya kekerasan? Ranciere hanya berbicara tentang 'gangguan, ketidaksepakatan, atau dissensus', namun tak pernah eksplisit berpendapat mengenai kekerasan. 

***

Menurut Anders Field, Jacques Ranciere: Pratiquer I'egalite, hlm 54-55, dissensus-nya Ranciere tidak pernah berujud dalam 'pure opposition'. Politik demokratis bagi Ranciere bukanlah soal bagaimana menciptakan harmoni di masyarakat (menaklukkan opisisi), bukan soal bagaimana meredam oposisi mengikuti mekanisme kelembagaan yang sudah ada. Politik demokratis bukan soal saling meredam atau memimpikan utopia harmoni. Di mata Ranciere politik muncul saat le tort (le part-sans-part) muncul. Mereka muncul bukan karena perlakukan “injustice". Mengapa? Karena kalau soalnya adalah soal “injustice" tentu sudah ada mekanisme, aturan dan struktur yang akan membantu mengoreksi dan mereparasi ketidakadilan itu. Mereka muncul dan menimbulkan Ia politique karena mereka adalah kaum yang sebelumnya tak pernah dilihat, tak pernah diperhitungkan, tak pernah dianggap ada. 

Sumber: A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 432-444).


Jumat, 28 Februari 2025

,

LA PESTE: SUATU PENAMPILAN ABSURDITAS DAN PEMBERONTAKAN CAMUS

Albert Camus

Oleh: Sindhunata dan A. Sudiardja


Dalam La Peste (penyakit sampar) Albert Camus menulis: 

Kata ”sampar” terdengar untuk pertama kalinya. Karena berita ini, Bernard Rieux termangu di belakang jendela kamarnya. Orang akan mentolerir si pengarang untuk membenarkan ketidak-pastian dan kehenaran sang dokter, karena dalam arti tertentu, reaksinya adalah reaksi yang wajar dari sebagian besar penduduk. Wabah itu sebenarnya merupakan hal yang lumrah, tetapi sulit untuk dipercaya jika wabah itu menimpa kepala Anda sendiri.1

A. Sekitar novel La Peste?2

Tak dapat disangkal La Peste (1947) mempunyai kedudukan istimewa di antara novel-novel Albert Camus yang lain. Bukan saja karena novel ini merupakan karya Camus yang paling laris dan membuatnya lebih dikenal dalam kancah sastra dan filsafat sekitar tahun 1947-1957, tetapi karena La Peste lebih jauh boleh dikata merupakan novel Camus yang paling "merumuskan” pemikirannya yang terakhir. Inilah karya Camus yang paling penting dan yang paling menentukan terpilihnya sebagai pemenang hadiah nobel pada tahun 1957.

Tentu saja dalam novel itu tercakup pandangan-pandangan Camus yang paling pokok yang sudah diyakininya sejak terbitnya novel yang pertama L'Etranger (Orang asing); seperti absurditas dunia, relativitas cinta, keterasingan, penderitaan dan kematian manusia. La Peste ditulis di tengah situasi perang dunia kedua di Eropa. Dan seperti dicatat oleh Adele King dalam pengantarnya mengenai Camus, masuknya tentara sekutu di Aljazair (1942) yang memaksanya berpisah dari istrinya termasuk salah satu inspirasi yang mendorongnya untuk menulis novel itu.3 Berjangkitnya penyakit sampar yang membuat penduduk kota Oran kocar-kacir seperti diceriterakan dalam novel itu adalah sindiran terhadap pendudukan tentara Jerman di Prancis.4

Kalau kegiatan Camus bisa dibagikan dalam dua periode, maka La Peste mengawali periode kedua dari novel-novelnya, seperti halnya L'Etranger untuk periode yang pertama. Secara singkat L'Etranger mendalami segi absurditas dunia ini, irasionilitasnya kehidupan, sehingga daripadanya ditimbulkan sikap pemberontakan. Dan inilah yang menjadi keterlibatan pokok La Peste. Ditempatkan dalam kondisi perang dunia kedua, maka L'Etranger mengungkapkan moral "tabula rasa” dari tahun-tahun peperangan, sedang La Peste mengajak "berontak” sebagai cara menciptakan kesadaran moral yang baru.5

Meskipun La Peste terbit sesudah perang, namun isinya secara simbolis menunjukkan keadaan perang. Pol Gaillard, staf penguji pada universitas Paris dan Nanterre, mengatakan bahwa La Peste adalah karya yang digarap di tengah-tengah peperangan. Bahkan menurutnya gagasan tentang La Peste sudah muncul pada tahun 1939 ketika ia sudah menyelesaikan suatu drama Caligula, tahun mana merupakan awal perang dunia kedua.6 Penyakit sampar bagi Camus bukan hanya irasionalitas yang menguasai kehidupan ini, tetapi juga merupakan simbol dari penindasan yang diakibatkan oleh perang. Dalam catatannya Camus menulis,

Dengan "sampar” saya memaksudkannya sebagai kesumpekan yang mencekik kita, dan keadaan di mana ancaman dan pembuangan kita alami. Di samping itu saya ingin memperluas pengertian ini ke dalam pengertian eksistensi pada umumnya.7

La Peste berkisah tentang berjangkitnya penyakit sampar di kota Oran sebuah kota di Aljazair, koloni Perancis. Kota yang dilukiskan sebagai kering, tak ada pepohonan yang tidak mempunyai keistimewaan apa-apa, merupakan refleksi Camus atas kehidupan yang monoton, tanpa jiwa. Tiba-tiba wabah sampar berjangkit di sana dan orang-orang mulai menyadari artinya kecemasan, kebingungan dan ketakutan yang diakibatkan oleh kematian, penyakit, keterpisahan dengan sanak saudara, keterkungkungan dalam kota yang tertutup. Wabah sampar telah mengakibatkan kesadaran manusia akan lingkungan dan kondisinya sendiri yang malang. Dari situ pulalah Camus ingin menunjukkan berbagai potret manusia yang bereaksi terhadap keadaan malang tersebut.

B. Absurditas seorang eksistensialis 

Untuk melacak gagasan tentang absurditas yang diulangi terus-menerus oleh Camus, pertama-tama kita harus mengambil posisi untuk menentukan Camus sebagai seorang eksistensialis seperti dimaksud oleh Walter Kaufmann.8 Lepas dari pengingkaran Camus sendiri dan para eksistensialis pada umumnya terhadap sebutan ini, Camus telah menjalankan suatu filsafat yang bebas dari konvensi-konvensi tradisional ataupun untuk membentuk sistem global dari pemikirannya. Seperti dirumus oleh Kaufmann. "eksistensialis” sebetulnya bukanlah suatu filsafat, tetapi suatu sebutan saja bagi sejumlah pemikir yang terang-terangan menentang filsafat tradisional.9

Ciri eksistensialis Camus menurut Kaufmann paling menyolok nampak dalam karangannya Le Myte de Sisyphe (Mitos Sisiphus). Di situ ditunjukkan penghayatan Sisiphus dalam tragedi Homerus Sisiphus adalah orang yang berani menentang para dewa karena mempertahankan pendiriannya sendiri, dan lebih dari itu ia berani menanggung akibat-akibatnya. Kalau ciri eksistensialis itu dapat ditaruhkan pada penekanan individu, seraya meninggalkan keseragaman oleh karena ikatan-ikatan sosial yang ada, maka ciri absurditas itu boleh dirumuskan sebagai salah satu ciri eksistensialis yang ireligius. Dalam ekspresi Camus ini berarti penghayatan individual seraya meninggalkan dimensi transenden. 

Andai kata seorang eksistensialis masih percaya akan Allah, maka selalu ada jalan keluar untuk persoalan-persoalan dunia yang kendatipun mereka alami sebagai yang semrawut ataupun menyengsarakan. Bagi seorang eksistensialis yang religius, penghayatan akan Allah atau yang transenden justru dipertebal oleh situasi problematis yang dialaminya. Tetapi dengan itu rasanya jalan pemikiran sudah sedemikian lurus sehingga kurang memberikan variasi. Eksistensialis religius selalu berakhir pada suatu optimisme. Ada tiga alasan menurut Kaufmann yang membuat eksistensialis religius kurang menarik untuk ditelaah. Pertama karena persoalan religius sudah dengan sendirinya mengundang pemikiran eksistensialis. Selalu ditekankan oleh agama bahwa pengetahuan religius belaka tidak memadai untuk kehidupan. Kedua karena eksistensialis religius tak meninggalkan bekas yang mengesankan dalam tulisan-tulisan atau filsafat. Dengan mengecualikan Kierkegaard, eksistensialis religius kebanyakan bersikap reaktif dan kurang menunjukkan orisinalitas. Ketiga pemikiran-pemikiran eksistensialisme religius karena keseragaman dalam kesimpulan pada umumnya bisa dikumpulkan dalam satu bunga rampai.10

Dari segi ini absurditas Camus dapat dilihat dengan tajam. Absurditas itu merupakan salah satu posisi filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme ateis, kalau boleh dikatakan demikian, sebab absurditas berarti ketidak-mungkinannya mencari jawab pada yang transenden. Camus amat mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan kematian Allah, agar manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi ini adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi kurang mengena.

Camus sependapat dengan Nietzsche, seraya menyimpulkan bahwa dunia ini absurd. Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai variasi, misalnya bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia bersifat sementara saja. Apakah nilai keindahan ini bila manusia kemudian mati dan tak dapat menikmatinya (dalam Noces); orang lanjut usia yang tidak tahu melewatkan hari-harinya kecuali dengan tindakan-tindakan yang naif (dalam L'ironie). Dunia ini absurd karena tidak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini irasional karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana ataupun tujuan hidup manusia. 

Patrick Henry dalam sebuah karangan menganalisa absurditas yang terungkap dalam L'Etranger dan dalam Le Mythe de Sisyphe.11 Dalam kedua buku itu tokoh absurd menghayati absurditas hidupnya sudah sejak awal ceritera. Bentuk kesadaran ini terungkap dalam ketak-acuhan si tokoh terhadap masa depan. Ia lebih suka menggeluti pengalaman-pengalaman langsung yang merupakan kekayaan hidupnya. Dalam kedua buku ini tokoh absurd adalah orang yang terasing. Tokoh absurd dalam L'Etranger dianggap orang yang kurang waras yang aneh dan menimbulkan dugaan macam-macam. Tetapi Meursault, sang tokoh adalah orang yang sebenarnya sangat akrab dengan alam. Ia konsekuen dengan prinsip alam. Ia tidak mengalami kebimbangan ataupun keraguan dalam tindakan karena merasa yakin akan dirinya yang bersatu dengan ritme alam. Karena tuduhan orang lain, Mersault malah menjadi bingung dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia juga menjadi terasing dari dirinya seperti halnya tokoh Sisiphus.12 Namun pada akhir karangan, Patrick Henry melihat adanya perbedaan mengenai perkembangan makna absurditas dalam L'Etranger dan Le Mythe. Dalam Le Mythe, dunia tidaklah absurd tetapi irrasionil. Absurditas itu muncul karena tokoh yang absurd mempertanyakan makna kehidupannya di dunia, tetapi tidak mendapatkan jawabannya. Problem absurditas di sini lebih bersifat metafisik. Dalam L'Etranger baik taraf metafisik maupun taraf sosial disinggung dalam menunjukkan absurditas. Dalam taraf sosial ditunjukkan kesan seolah-olah Meursault yang absurd itu menganggap kehidupan sebagai permainan belaka. Tentu saja kesan ini timbul dalam diri orang-orang yang tak dapat memahami Meursault. 

C. Absurditas pada La Peste 

Dalam La Peste, absurditas itu dilukiskan dengan berjangkitnya wabah sampar di kota Oran. Orang tidak bisa menerangkan mengapa Oran yang sebelumnya menjalani kehidupan yang tenang itu tiba-tiba terkena musibah? Tidak ada alasan yang bisa mendasari jawaban atas pertanyaan, mengapa Oran terkena musibah sampar ini. Timbulnya wabah sampar di kota itu secara mendadak adalah sesuatu yang pahit yang membuat seluruh penduduk kota menjadi cemas. Tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan ini. Bahkan khotbah pastor Paneloux yang menjelaskan wabah sebagai penghukuman Tuhan pun tak dapat dipahami. 

Tetapi orang-orang tak mempunyai pendapat yang cukup beralasan. Namun, khotbah itu membuat orang lebih berpikir, mengenai satu gagasan yang kabur, gagasan bahwa mereka ada dalam penghukuman, terhadap suatu kejahatan yang tak jelas apa, suatu pemenjaraan yang sulit bisa dibayangkan.13

Wabah itu nampaknya tak dapat diterangkan begitu saja sebagai akibat dari suatu sebab. Wabah itu sungguh-sungguh absurd bagi mereka dan tak bisa diterima begitu saja.

Absurditas ini lebih konkret lagi dalam implikasi selanjutnya. Pastor Paneloux sendiri misalnya, terpukul oleh peristiwa kematian anak Tuan Hakim Othon yang masih kecil. Bagi anak sekecil itu, kejahatan manakah yang telah diperbuatnya sehingga ia pun harus menderita sampar sampai mati? Dalam khotbahnya yang kedua Paneloux berkata,

Saudara-saudara, kata Paneloux dalam kesimpulan khotbahnya, cinta Allah adalah cinta yang sukar. Ia mengajak penyerahan diri yang total dan perendahan diri. Tetapi, hanya dari kanak-kanak, hanya dia sendiri yang menganggap ini semua perlu, karena tak mungkin memahami ini semua dan tak mungkin berbuat lain kecuali menghendakinya.14

Absurditas ini mirip yang ditemui Dostoevsky dalam bukunya The Brothers Kamarazov. Penderitaan di dunia ini semakin tak dapat dipahami jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah.

Kemudian Rambert, wartawan dari Paris, juga jengkel dan tak mau menerima kenyataan bahwa dia tak boleh keluar dari kota Oran karena kota itu ditutup bagi semua komunikasi luar semenjak wabah sampar dinyatakan berjangkit. Ia merasa diri sebagai bukan penduduk Oran dan berhak mendapat privilese dari peraturan yang baginya tidak masuk akal itu. Tetapi, dokter Rieux yang dimintai konfirmasinya menggelengkan kepala, meskipun ia memahami keinginan Rambert untuk bertemu dengan istrinya.

Percayalah bahwa saya dapat memahami tuan, kata Rieux, tetapi pemahaman tuan kurang baik. Saya tidak dapat membuatkan tuan surat konfirmasi, karena saya tidak tahu apakah tuan sudah kejangkitan penyakit ini (sampar) atau belum, dan dalam hal ini, saya tak dapat menjamin bahwa detik-detik antara tuan keluar dari kantor saya dan tuan masuk dalam kantor walikota tuan tetap bebas dari kuman.15

Secara umum maka wabah sampar telah membuat kota Oran menjadi semacam pembuangan (I'exil). Orang terkurung tanpa bisa keluar daripadanya. Lebih lanjut pembuangan ini menjadi pengasingan yang tidak mengenakkan. Tidak saja seluruh warga kota terasing dari dunia luar, tetapi juga masing-masing terasing satu dengan yang lain, kesepian.

Dengan amat meyakinkan absurditas itu diungkapkan Camus dalam kalimat ini:

Dalam kesepian luar biasa ini, akhirnya tak seorang pun dapat mengharapkan bantuan dari tetangganya. Setiap orang tinggal sendirian dalam kecemasannya.16

Kesepian macam inilah yang dialami Tarrou, sahabat dokter Rieux, ketika ia menghadapi ajalnya. Kematian itu sendiri absurd selama orang tidak lagi menerima kenyataan yang transenden. Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang tak diinginkannya. Dan Tarrou menghadapi kematiannya sebagi pertandingan yang berakhir dengan kekalahan dirinya.

Dia mengerutkan mukanya yang kaku dan mencoba tersenyum.

— Terima kasih. Saya tak ingin mati dan saya berjuang, tapi jika saya kalah dalam pertandingan ini, saya ingin membuat suatu penyelesaian yang baik.

Rieux menunduk dan memegang pundaknya.

— Jangan. Untuk menjadi seorang Santo, perlulah hidup. Bertahanlah terus.17

Kematian merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan ini. Jika kehidupan itu bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan menghancurkan seluruh proyek-proyek yang sudah dibangun manusia selama hidupnya? Apakah manusia harus menyerah saja untuk ditelan oleh kematian dan mengakhiri hidupnya yang sudah dibangun sekian lama? Pertanyaan ini dalam filsafat absurditasnya Camus tak boleh dikembalikan pada jawaban akan adanya kehidupan di balik kematian. Jawaban seperti ini tidak mempunyai dasar yang logis, tetapi hanya merupakan ungkapan optimisme psikologis.

Persoalan kematian sebagai kunci absurditas ini sebetulnya sudah lama muncul dalam Le Mythe de Sisyphe. Seperti dikutip oleh Copleston, bagi Camus hanya ada satu persoalan filsafat yang serius yakni "bunuh diri”. Apakah kehidupan itu layak untuk dihayati atau tidak, inilah yang harus dijawab oleh filsafat.18 Tetapi persoalannya tidakkah sesederhana yang dibayangkan. Jika kehidupan itu terkena oleh wabah sampar menjadi kehidupan yang brengsek, kehidupan yang penuh kemalangan, kehidupan yang pahit, yang penuh dengan kedengkian dan sebagainya, apakah makna itu masih terkandung di dalamnya, sehingga orang patut untuk memperjuangkan dan menghayatinya? Sungguh suatu pertanyaan yang absurd. 

D. Heroisme kontra Pemberontakan Manusia Absurd 

Terhadap situasi kehidupan yang absurd ini, manusia harus menentukan sikapnya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tidak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri. Setiap anggapan yang menolak eksistensi Allah akan berpendapat seperti Nietzsche, bahwa kini terbuka suatu daerah tak bertuan yang harus dikuasi. Itulah anggapan kaum nihilis. Nietzsche mengisi kekosongan kekuasaan itu dengan cita-cita pembinaan manusia ”superman”, sedang Marx mengajukan gagasan kekuasaan kaum proletar. Tetapi tidak demikian halnya Camus. 

Camus menyadari betul tidak perlunya suatu masa depan. Bukan karena gagasan tentang masa depan itu jelek tetapi karena masa depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya yang dihadapinya saat ini. Ia amat radikal dalam hal ini dan karena itu pada tahun 1949, sesudah terbit bukunya L'Home Revolte (Pemberontak) ia memisahkan diri dari Sartre untuk sebagian dikarenakan Sartre menjadi penganut komunisme. Ia mengritik komunisme karena utopi ”masyarakat proletar” telah mengakibatkan perhatian manusia memberat pada masa depan. Komunisme dengan demikian tidak menghapus penderitaan masa kini tetapi memanipulasinya demi masa depan.19

Karena absurditas kehidupan ini Camus telah menolak segala bentuk agama, futurisme atau ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Bagi Camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, konkret masa kini. Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenal cita-cita atau perencanaan di masa depan. 

Sebetulnya yang dimaksud Camus adalah suatu sikap yang tidak "sok” pahlawan. Sikap yang seolah-olah mau menyelamatkan keadaan dunia ini untuk tujuan-tujuan luhur di masa depan, kiranya tidak bersesuaian dengan tokoh yang absurd. Manusia absurd itu tidak mempunyai pretensi moral. Ia tidak mau mengajarkan moral kepada orang-orang lain, mengenai hidup macam apa yang sebaiknya dianut. Dalam konteks ini juga, moral yang formal adalah absurd. Orang tidak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang jahat sebab nilai-nilai selalu dapat diputar-balikkan demi kepentingan-kepentingan tertentu dari suatu golongan. Nilai-nilai harus ditinjau bukan sebagai nilai yang absolut, tetapi sebagai yang selalu bersesuaian dengan sejarah.20

Terhadap kenyataan yang absurd ini, manusia tidak dapat menganggap diri sebagai pahlawan, tetapi sebagai manusia absurd. Manusia absurd itu ialah manusia yang menyadari absurditas kehidupan yang bertindak untuk masa kini saja, seraya meninggalkan masa depan dan masa lampau. Ada beberapa tipe manusia absurd; Don Juan yang tidak menganggap cinta sebagai pengalaman yang menuju kehidupan abadi, tetapi sebagai pengalaman inderawi yang digelutinya masa kini; Seniman yang mengekspresikan diri dalam karya-karyanya untuk mengintensifkan pengalaman inderawinya; Petualang yang mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, ini semua merupakan tipe manusia absurd yang ditunjukkan Camus.21

Rumusan yang paling tepat mengenai sikap Camus terhadap absurditas ialah pemberontakan (la revolte). Harus dibedakan antara manusia yang absurd dengan manusia yang menyadari absurditasnya. Seorang Don Juan, seniman atau petualang adalah manusia-manusia yang absurd. Mereka bertindak menurut prinsip-prinsip absurditas kehidupan. Manusia yang menyadari akan absurditasnya atau absurditas kehidupan ini dapat menyerah dan menjadi putus asa, tetapi dapat juga menjadi "pemberontak”. Dan alternatif kedua inilah yang dipilih Camus. Jadi, Camus meskipun tidak mengajarkan moral, tetapi ia tidak abstain terhadap permasalahan moral. Ia melibatkan diri dalam moral, dan mempunyai pendirian moral yang kuat. 

Adele King dalam sebuah bukunya tentang Camus merumuskan tiga hal sehubungan dengan "pemberontakan”. Pertama ”pemberontakan” ini harus dipertahankan terus-menerus, yakni dengan menyadari kodrat dunia seraya menolak untuk ikut tercebur dalam tragedinya. Kedua, karena kematian merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka “pemberontakan” merupakan ekspresi kebebasan yang sangat istimewa, yakni kebebasan dari seorang tertuduh, dengan menyatakan diri benar kendati harus menjalankan hukuman mati. Ketiga, karena kematian merupakan akhir dari segalanya, maka yang paling pokok adalah mengumpulkan pengalaman "pemberontakan” sebanyak-banyaknya. Pengalaman ini harus dilihat sebagai kuantitas daripada kualitas.22

Dengan demikian "pemberontakan” dapat juga dianggap sebagai reaksi positif dari kemacetan dunia karena absurditas itu. 

E. Moralitas Pemberontakan dalam La Peste 

Camus memang tidak mengajarkan moral. Dalam hal ini La Peste juga tidak bisa diinterprestasikan sebagai pengajaran moral. Camus berusaha terlibat dalam permasalahan moral, menggeluti permasalahan moral tanpa harus jatuh menjadi seorang pewarta moral. Hal ini dikarenakan moralitas tidak mempunyai nilai absolut sehingga dapat diajarkan begitu saja. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya keterbatasan-keterbatasan manusia. Jika manusia itu terbatas, maka tindakannya juga terbatas, dan dalam keterbatasan inilah "pemberontakan” harus ditempatkan. 

Karena keterbatasan ini juga, maka dalam La Peste tidak ditemukan pahlawan. Selalu ada sudut-sudut kelemahan yang membuat tokoh-tokoh La Peste tidak sampai menjadi pahlawan. Tetapi kalau La Peste boleh dianggap sebagai ajang pertandingan seperti dikatakan Tarrou, maka ada tokoh-tokoh yang menang dalam pertandingan itu, ada tokoh-tokoh yang kalah. Demikianlah Pol Gaillard membagi dua . tokoh-tokoh dalam La Peste.23

Tokoh-tokoh kalah ialah Tarrou, Cottard, dan Paneloux. Tarrou dan Paneloux mati oleh Sampar, sedang Cotttard menjadi gila dan ditangkap polisi. Ketiganya dianggap kalah karena sesudah wabah berakhir mereka tidak dapat memulai kehidupan lagi dari depan. Namun kekalahan ini tidak berarti meniadakan ”pemberontakan” yang telah mereka lakukan. Dalam ekspresi Tarrou, keinginannya untuk menjadi "santo" tanpa Allah adalah jenis pemberontakan yang dilakukannya terhadap kenyataan sampar. 

— Pendek kata, kata Tarrou dengan jujur, apa yang menarik ialah mengetahui bagaimana menjadi santo. 

— Tapi Anda tidak percaya kepada Allah. 

— Persis. Dapatkah menjadi santo tanpa Allah, inilah satu-satunya problem konkret yang kuhadapi saat ini.24 

Dengan keterbatasannya yang ada, apakah Tarrou dapat menjadi santo? Tetapi yang jelas Tarrou-lah yang berhasil meyakinkan Rambert untuk bergabung dalam kelompok sukarela dalam membantu korban wabah itu.25 Tarrou-lah yang mencoba mendekati Cottard untuk menjadi kawannya, meskipun Cottard dianggap pencoleng. Dan ketika menjelang ajal, Tarrou menyadari bahwa dirinya tidak berdaya menghadapi kematian, meskipun ia merasa tak perlu bersedih karenanya. 

Lain lagi dengan Cottard. Tokoh ini dicari-cari polisi dan merasa dirinya dicurigai oleh semua orang. Tetapi wabah sampar telah membuatnya sedikit lega. Orang mengalihkan perhatiannya dari dirinya. Orang dibingungkan oleh penyakit sampar. Cottard lari pada pasaran gelap dan mengambil keuntungan dari suasana itu. Tetapi ketika pada akhirnya wabah sampar surut kota Oran hendak dibuka kembali, Cottard menjadi bingung. Ia menjadi gila.26 Rupanya Cottard tidak siap dengan perubahan itu. Ia merasa sudah mapan dengan keadaan wabah sampar. 

— Jika pun kita terima demikian, kata Cottard kepada Tarrou, lantas apa yang Anda maksudkan dengan kembali pada hidup normal? 

— Seperti mengulangi film dalam bioskop, jawab Tarrou tersenyum. Tetapi Cottard tidak tersenyum. Ia ingin mengerti apakah orang bisa menerima andai kata wabah sampar tidak mengubah apa-apa di dalam kita dan andai kata semua berulang lagi seperti sebelumnya, artinya seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun.27 

Apa yang mengesan pada Paneloux, pastor yesuit itu ialah perubahan pandangannya setelah melihat kematian anak Tuan Hakim Othon. Meskipun ia tidak berubah dalam pendirian imannya. Namun ia mulai bisa memahami absurditas kematian dan penderitaan. Tetapi Camus tidak sampai mengatakan bahwa dengan demikian Allah yang diakui Paneloux adalah Allah yang absurd juga, yang mentolerir kematian kanak-kanak tak bersalah. Sikap Paneloux diinterpretasikan oleh Adele King sebagai sikap Kierkegaard yang kendati tidak tahu apakah Allah itu baik atau kejam, tetapi sikap manusia haruslah menyerah kepada-Nya.28 Paneloux pun akhirnya mati ditelan oleh sampar yang absurd itu. 

Dari tokoh-tokoh yang masih hidup sampai berakhirnya wabah sampar antara lain Grand, Rambert dan Rieux. Boleh dikata suatu kemenangan bagi mereka dapat bertahan hidup dalam kemelut wabah itu dan mulai hidup yang baru. Grand, pegawai rendah dari kantor kotapraja, adalah representasi dari orang yang mempunyai perhatian terhadap hubungan pribadi. Istrinya yang dicintainya meninggalkan dirinya dan ia dihantui kesepian yang luar biasa. Tetapi dari pengalaman ini ia merasa terpanggil untuk menolong sesamanya yang menderita kesepian juga oleh sebab-sebab yang lain. Ia ingin menulis novel, katanya, untuk mengungkapkan perasaannya dengan setepat-tepatnya. Tetapi ia tidak sampai menulis kecuali satu kalimat pembukaan yang berulang-kali diubahnya karena tidak memuasinya. 

Ia sakit sebentar karena wabah, tetapi kemudian sembuh. Grand adalah orang yang tetap manusiawi yang penuh rasa kasih kepada sesamanya, kendati nampaknya bodoh dan naif. Ia tidak seperti dokter Rieux yang merasa harus menekan perasaannya demi tugas-tugas kedokterannya melawan wabah sampar ini.

Setiap sore, ibu-ibu menangis demikian dengan wajah kosong di depan perut-perut yang terbuka dengan tanda-tanda kematian; setiap sore lengan-lengan menggelantung pada Rieux, kata-kata yang tak berarti, janji-janji dan tangisan bersahutan, setiap sore sirene ambulans memecahkan krisis dengan sia-sia, sesia-sia semua penderitaan ini. Dan pada akhir setiap sore yang panjang, yang selalu sama ini, Rieux tak dapat mengharapkan apa-apa kecuali suatu rentetan adegan yang sama, terus-menerus diulang. 

Grand menjadi pahlawan bagi Rieux justru karena ia jujur dengan perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga sulit bagi Rieux untuk menyatakan perasaannya terhadap kejadian ini. Ia merasa tak bisa berbuat apa-apa selain harus merasa netral, meski bukan berarti tidak memahami kesedihan orang-orang lain itu. Ia merasa tak bisa bersikap seperti Grand. Ia juga tak bisa menerima hasrat Tarrou untuk menjadi seorang santo. Baginya sikap yang paling cocok dalam menghadapi kejadian seperti ini adalah menjadi manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia menyatakan kepada Tarrou, 

Barangkali, jawab dokter, tapi Anda tahu, saya merasakan solidaritas lebih dengan orang-orang yang gagal daripada dengan para santo. Saya tak mempunyai hasrat, saya kira, untuk suatu jenis heroisme dan kesucian. Apa yang baik bagi saya ialah menjadi seorang manusia.30

Rambert si wartawan mempunyai sikap yang lain lagi. Wabah sampar itu semula merupakan sumber kejengkelannya, karena ia terpaksa terkena peraturan untuk tinggal di kota Oran di luar kemauannya. Tetapi ketika ia menyaksikan sendiri korban-korban yang bergelimpangan di balai-balai rumah sakit bersama Tarrou dan dokter Rieux, putusannya untuk meninggalkan kota itu dibatalkannya. Ia merasa terpanggil untuk solider bersama orang-orang di kota itu. Perubahan keputusan ini sangat menarik karena persis pada saat justru ia mendapat kesempatan untuk dapat meninggalkan kota itu pada malam harinya. Itulah kesempatan yang dicari-carinya sejak ia mengetahui kota ditutup oleh pemerintah kotapraja. Ia mulai menyadari bahwa dirinya bukan orang asing lagi di Oran. Situasi telah memaksanya terbiasa dengan keadaan itu. 

Bukan itu, kata Rambert. Saya selalu berpikir bahwa saya adalah seorang asing di kota ini dan bahwa saya tak mempunyai urusan apa-apa dengan Anda. Tapi sekarang saya telah melihat apa yang telah saya lihat, saya tahu bahwa saya orang sini, mau tak mau. Sejarah ini melibatkan kita semua.31 

Dari tokoh-tokoh yang banyak ini tidak bisa ditentukan mana yang pahlawan dan mana yang bukan pahlawan. Masing-masing menyatakan sikapnya terhadap absurditas yang mereka hadapi. Dengan demikian juga tak dapat ditarik suatu ajaran moral untuk dianut. Inilah bentuk keaneka-ragaman ”pemberontakan”, kalau boleh dikatakan demikian, tanpa adanya pesan moral yang jelas. Masing-masing melakukan apa yang paling baik. 

F. Tinjauan kritis dari La Peste 

Kalau kita mau meninjau La Peste dari sudut pandangan Camus sendiri, maka secara konsekuen harus dikatakan bahwa Camus seorang yang absurd. Pandangannya absurd dan tak bisa dimengerti. Tetapi dengan demikian kita tak bisa mendapatkan apa-apa dan sia-sia seluruh penyelidikan kita. Dalam Carnets 1942-1951 Camus menulis. 

La Peste, nilai yang sama sekali sama (dengan yang dipaparkan dalam L'Etranger) dari sudut pandang individual yang berhadapan dengan absurditas yang sama pula. Tetapi, dengan tambahan, La Peste menunjukkan bahwa yang absurd tidak mengajarkan apa-apa. Inilah kemajuan yang definitif.32

Di tempat lain ditulis. 

Moral dari wabah sampar: tidak berguna untuk apa pun dan untuk siapa pun. Hanya mereka yang telah disentuh oleh kematian sendiri atau lewat keluarga mereka, telah belajar sesuatu daripadanya. Tetapi sebetulnya mereka dengan demikian sudah melibatkan diri mereka. Tak ada masa depan.33

Apa yang bisa dikatakan dari ini ialah bahwa Le Peste sesungguhnya tidak berbicara untuk sesuatu, tetapi berbicara tentang pengalaman. Dan pengalaman, terlebih pengalaman mengenai kematian seperti nampak dalam La Peste, adalah yang paling pribadi dan tak terkomuniksikan kecuali bagi orang yang mengalaminya sendiri. 

Paling baik kiranya melihat Camus dari sudut eksistensialisme. Sekali lagi lepas dari ingkaran Camus sendiri terhadap sebutan ini, serta lepas dari pretensi untuk mengkotakkan Camus dalam salah satu aliran, sudut pandangan ini dapat lebih membantu menguraikan simpul-simpul absurditas yang sudah dipeluk Camus. 

Dari sudut pandangan eksistensialis, nampak Camus bertolak dari kenyataan dunia yang pahit, yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Hal ini tidak amat aneh. Banyak eksistensialis yang bertolak dari anggapan ini termasuk Nietzsche dan Kierkegaard, dua perintis eksistensialisme. Dan datangnya penderitaan di dunia ini seperti datangnya penyakit sampar tidak dapat diduga dan dipikirkan. Penderitaan itu begitu saja ada dan menguasai kehidupan. Akan tetapi mau apa dengan penderitaan, jika penderitaan itu adalah peristiwa duniawi yang amat wajar? Camus yang menyatakan diri sebagai ber-”kerajaan di bumi” tidak harus heran dengan kenyataan ini. Ia sendiri terlibat di dalamnya, dan menyatakan diri "berontak” terhadap kenyataan pahit ini. Ada dua hal yang patut diperhatikan sehubungan dengan sikap Camus ini. Pertama perlu dipertanyakan apakah kenyataan duniawi harus dinilai melulu secara negatif? Terhadap pertanyaan ini, meskipun dalam La Peste tidak nampak secara menyolok, namun Camus sebenarnya sudah mempunyai jawabannya. 

Bahwa di dunia ini ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan. Inilah kerajaan manusia sendiri, yang membuat manusia krasan dan membenci kematian. Keindahan ini adalah langit yang bersih, yang tidak tersentuh oleh kuman sampar, laut yang nyaman di mana dokter Rieux dan Tarrou dapat mandi bersama untuk menyatakan ikatan persahabatan mereka. Pendek kata ada sikap mendua terhadap kenyataan dunia ini, yang membuat manusia sekaligus mencintai dan ”memberontak” dunia.34 

Hal yang kedua, yang sering menjadi kritikan yang paling umum dilontarkan, ialah sehubungan dengan “pemberontakan” yang diusulkan Camus. Apakah arti ”pemberontakan” ini jika tidak diberi imbangan dengan efektivitas perubahan? Camus membedakan pemberontakan (rebellion) dari revolusi (revolution). Pemberontakan itu bersifat alamiah, primitif, sedang revolusi adalah produk pikiran modern, yang mau mengubah dunia dengan janji-janji.35 Jika Camus berpendapat demikian, maka "pemberontakan”-nya tak lebih dari sebuah suara yang berseru di padang gurun. ”Pemberontakan” yang tidak mengejar implikasi perubahan adalah sia-sia. 

Tidak mengherankan bila Sartre sesudah perpisahannya dengan Camus, menuduh Camus kurang mempunyai disiplin dan aturan kerja. Filsafat Camus tidak menganut prinsip dan main-main saja. Gagasan Camus "mengawang di udara”. Agaknya Camus menerima kritikan ini secara serius karena untuk beberapa saat sesudah terbitnya L'Homme revolte ia mengundurkan diri dari politik karena merasa tidak dimengerti maksudnya.36

Akan tetapi salah pengertian ini juga dapat dikembalikan pada maksud Camus untuk menghindari pengajaran moral. Camus tentulah tak dapat dibandingkan dengan Sartre dalam kegiatan filsafatnya. Camus bukan seorang filsuf profesional. Dengan menghindari ontologi, Camus berharap dapat lebih terlibat pada permasalahan moral. 

Seperti nampak dalam La Peste, segi artistik mendapat tekanan yang cukup mendasar. Bagi Camus untuk melibatkan diri pada permasalahan moral, tanpa sendiri terperangkap dalam pengajaran moral, jalan satu-satunya ialah lewat seni. Dan jika La Peste sebagai karya sastra adalah salah satu bentuk kesenian, maka Camus berhasil menuangkan gagasan absurditas itu ke dalam bentuk yang tidak absurd. Seni adalah di antara realitas dan mitos. Dan seni itu lebih bersifat ironis justru untuk menyerang didaktisme. Karena itu penggarapan La Peste dalam bentuk sastra amat diperhitungkan. Pol Gaillard yang membahas secara khusus La Peste tak kurang menyajikan data bagaimana gaya bahasa dan bentuk novel itu dipersiapkan.37 Dengan tata cara ini Camus sebetulnya lebih menghargai seni daripada filsafat.

Akhirnya untuk menutup karangan ini patut dicatat bahwa Camus bagaimanapun juga berhasil mengungkapkan kondisi manusia secara telak. Kendatipun kita tak dapat memperoleh pesan moral yang bisa dijadikan bahan perbandingan, namun dengan La Peste ini Camus telah menggali pengalaman yang amat pekat mengenai absurditas manusia. Pengalaman ini tentu saja dapat menjadi bahan renungan bagi siapa pun; dan untuk menentukan sikap mana yang diperlukan untuk menghadapinya, Camus memberikan kebebasan yang luas. Sungguh, di jaman di mana orang lebih suka pada hal-hal yang praktis dan superfisial ini, Camus telah menyumbangkan refleksinya yang paling dalam mengenai kondisi manusia, agar kita dapat hidup secara baru. 


Catatan kaki:

1. Albert Camus, La Peste, Gallimard, Paris, 1947, hal. 40.
2. Untuk selanjutnya dengan La Peste dimaksudkan buku yang dikarang Camus dan bukan "penyakit sampar”.
3. Adele King, Camus, Edinburgh and London, 1968 (1964), hal. 6.
4. Pendudukan NAZI (Jerman) di Prancis pada 1942 telah menimbulkan berbagai kekacauan, perpecahan orang-orang antara daerah yang dikuasai dan daerah yang masih bebas, keharusan birokrasi, perpisahan dengan keluarga karena pengungsian, larangan macam-macam, penindasan orang-orang Yahudi, novena dan doa-doa yang bersifat takhyul dan sebagainya. Pol Gaillard dalam sebuah edisi kritis terhadap La Peste mengatakan bahwa La Peste merupakan kesaksian tak langsung dari kejadian di atas. Dan sebagai kesaksian tak langsung La Peste tidak mencukupkan diri dengan data super-fisial, tetapi mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa itu. Lihat Pol Gallard, La Peste-Camus, Paris, 1972 hal. 28-29.
5. Adele King, ibidem, hal 6. Sesudah L'Etranger, 'Le Mythe de Sisyphe dan Le Malentendu adalah novel-novel yang terbit semasa perang, sedang La Peste, L'etat de Siege, Les Justes, L'Homme revolte adalah novel-novel Camus yang terbit sesudah perang.
6. Pol Gaillard, ibidem, hal. 5.
7. Dikutip oleh Adele King dari Carnets II, ibidem, hal. 76

8. Walter Kaufmann, Exsitensialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland, 1967 (1956).

9. Walter Kaufmann, ibidem, hal. 11.

10. Dengan mengecualikan Kierkegaard, W. Kaufmann menunjuk contoh para eksistensialis religius seperti Berdyaev, Bultmann, Tillich dan Marcel. Lihat W. Kaufmann, ibidem, hal. 49-50. 

11. Patrick Henry, "The Myth of Sisyphus and The Stranger of Albert Camus”, dalam Philosophy Today, XIX (1975), hal. 358-368.

12. Tentang analisa L'Etranger, baca misalnya Wahono Prawiro, ”Sebuah Model Manusia Menurut Albert Camus, dalam majalah Driyarkara, hal. 103-109. 

13 La Peste, hal. 96. 

14 Ibidem, hal. 207.

15 La Peste, hal. 83

16 Ibidem, hal. 74 

17 Ibidem, hal. 257

18. Copleston, The History of Philosophy, vol IX, London, 1974, hal 392. 

19 Adele King, ibidem, hal. 9. 

20. Ibidem, hal. 35. 

21. Ibidem, hal. 26

22 Ibidem, hal. 25. 

23 Pol Gaillard, ibidem, hal. 50-56. 

24 La Peste, hal. 253. 

25 Pol Gaillard, ibidem, hal. 50. 

26 Ibidem, hal. 51. 

27. La Peste,  hal. 253. 

28 Adele King, ibidem, hal. 70. 

29 La Peste, hal. 87. 

30 Ibidem, hal. 230. 

31. La Peste, hal. 190. 

32 Albert Camus, Carnets 1942-1951, (trans. with introd. by Philip Thody), London, 1966, hal. 15. Carnets adalah catatan-catatan yang digunakan Camus dalam menyusun rencana karangan-karangannya. Tambahan kurung dari penulis, sedang garis bawah pada: tidak mengajarkan apa-apa dari Camus sendiri. 

33. Ibidem, hal. 32.

34 Dalam L'Exil et le royaume dan dalam L'Envers et l'endroit, Camus menunjukkan kemenduaan dunia. Di satu pihak dunia adalah tempat di mana manusia terbuang, di lain pihak adalah kerajaannya sendiri. Lihat Adele King, Ibidem, hal. 97.

35. Ibidem, hal. 29-30.

36 Ibidem. hal. 10.

37. Pol Gaillard, ibidem, hal. 77-79. Dalam Carnets, Camus juga menulis bukan saja perencanaan plot, tetapi juga penggunaan ekspresi dan gaya bahasa yang setepat-tepatnya.


Sumber tulisan

Sindhunata dan A. Sudiardja, "La Peste: Suatu Penampilan Absurditas dan Pemberontakan Camus", dalam M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 15-31.



Segala Sesuatu Memiliki Waktunya Sendiri


Alexandra Stoddard dalam kutipan ini mengajak kita untuk menjalani hidup dengan lebih tenang, tanpa terburu-buru atau terlalu khawatir akan hasil akhir.

Di dunia yang serba cepat ini, banyak orang merasa harus selalu bergerak, mengejar kesuksesan, dan mencapai sesuatu dalam waktu singkat. Namun, ketergesaan sering kali justru membawa stres, kecemasan, dan keputusan yang kurang matang. Stoddard mengingatkan bahwa segala sesuatu memiliki waktunya sendiri—tidak perlu memaksakan diri atau merasa tertinggal.

Percaya pada proses berarti memahami bahwa setiap langkah yang kita ambil, sekecil apa pun, memiliki makna dan akan membawa kita ke tempat yang seharusnya. Dengan bersikap lebih tenang dan sabar, kita bisa menikmati perjalanan tanpa terbebani oleh kekhawatiran yang berlebihan.

Pesan utama dari kutipan ini adalah bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani prosesnya. Dengan bersabar dan percaya pada perjalanan kita sendiri, kita bisa menemukan kedamaian di setiap langkah yang kita ambil.

,

Demokrasi adalah Dissensus, Bukan Konsensus: Memahami Pemikiran Politik Demokrasi-nya Jacques Ranciere

 

Ranciere membedakan "politik" dan "polis". Politik adalah perjuangan untuk keadilan, kesetaraan. Sedangkan polis adalah "tatanan" birokratis-oligarkis. Tatanan pemerintahan ini, menurut Ranciere, adalah polis, bukan politik. 

Kapan politik terjadi? Jawabannya: jarang terjadi. Kalau pun terjadi, segera setelah subjek politis menjadi bagian tatanan, pada saat itu juga ia menghilang ke dalam tatanan (polis).

Pemikiran Ranciere dalam konteks ini mengingatkan pada kata-kata Hannah Arendt: seorang revolusioner paling radikal sekali pun, akan berubah menjadi konservatif, satu hari setelah revolusi usai. 

Salah satu contoh "politik" dalam sejarah bangsa kita adalah Revolusi merebut kemerdekaan 1945.

Padanannya tampak dalam proses subjektivikasi demos (mereka yang luput terhitung). Begitu politik demokrasi terjadi, begitu le part-sans-part menampilkan diri, pada saat itulah subjek muncul. Namun begitu bagian yang tak terhitung diterima masuk dalam tatanan (la police), pada saat itulah subjek hilang lagi. Yang ada kemudian adalah tatanan. Dan tatanan ini akan selalu luput menata semuanya, sehingga pasti akan ada lagi gangguan. Kesetaraan menjadi “gangguan dari dalam” demokrasi itu sendiri. Karena itulah, demokrasi bagi Ranciere, adalah dissensus, bukan konsensus. (Referensi: A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 427).

***

Setyo Wibowo menulis:

De facto, kita hidup dalam tatanan oligarkis. Di mana-mana, termasuk di Prancis, demokrasi adalah tatanan oligarkis. Itu tidak bisa diapa-apakan. Demokrasi, dalam bahasa GM, terkutuk dalam kurva lonceng. Tetapi kita tidak perlu khawatir. Tatanan oligarkis—yang adalah situasi sehari-hari kita dalam rezim demokrasi—selalu tidak pernah sempurna dalam menata. Selalu ada yang luput ditata. Maka, sebagai demokrat sejati, kita wait and see saja. Bila ada yang luput dari perhitungan, memunculkan diri, di situ kita bisa ikut bergabung dan mendukungnya. Pada saat-saat yang jarang, politik demokratis akan terjadi. Namun tak perlu berilusi, sekali politik itu terjadi, tatanan akan muncul lagi (A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 429).


Minggu, 23 Februari 2025

Sejarah Intelektual, Membaca Ignas Kleden

OLEH RIWANTO TIRTOSUDARMO

Peneliti independen

Ignas Kleden adalah seorang sosiolog yang sejak sangat muda terdidik dalam filsafat. Sosiologinya karena itu bukanlah yang berurusan dengan penelitian empiris tapi dengan dunia pemikiran yang hampir selalu filosofis. Sosiologi dan filsafatnya bukan sebagai vokasi (keahlian) tetapi sebagai alatnya untuk memahami sejarah pemikiran yang berkembang di dunia dan bangsanya.

Melihat riwayat pendidikan formal Ignas, kecuali S3-nya, selalu filsafat. Yang pertama di STF/TK (Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik) Ledalero, sebuah lembaga untuk mendidik para calon imam Katolik yang letaknya tidak jauh dari tempat kelahirannya, Waibalun, sebuah desa di pinggir laut yang terletak di jalan raya antara Larantuka dan Maumere, Flores. Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai editor di Yayasan Obor dan Prisma, di samping sebagai kolumnis yang produktif, kemudian melanjutkan studi filsafatnya (S2) di Muenchen dan sosiologi (S3) di Bielefeld, keduanya di Jerman, sebuah negeri di mana filsafat mungkin berkembang paling subur setelah sebelumnya benih filsafat tumbuh di Yunani.

Di bawah bimbingan Hans-Dieter Evers, seorang ahli sosiologi perkotaan yang juga meneliti di Indonesia, Ignas menulis disertasi tentang Clifford Geertz, ahli antropologi dari Amerika yang tesis doktornya tentang Agama Jawa. Tesis doktornya berjudul “The Involution of the Involution Thesis: Clifford Geertz’s on Indonesia Revisited”, sebuah kritik mungkin yang terlengkap terhadap raksasa ilmu-ilmu sosial yang sangat berpengaruh itu.

Dengan ilmu, penguasaan bahasa dan keterampilan menulis yang dimiliki tidak sulit sebetulnya bagi Ignas untuk menjadi ilmuwan kaliber dunia dan bekerja di universitas di luar negeri dengan gaji yang tinggi dan kesempatan meneliti yang nyaman. Jalan vokasi yang jadi dambaan banyak akademisi itu tidak dipilihnya. Ignas memilih bekerja di negerinya sendiri meneliti dengan caranya sendiri dan menuliskan hasil pemikiran dan perenungannya dalam bahasa Indonesia untuk publik Indonesia.

Ignas adalah seorang pemikir-penulis yang produktif. Tulisan-tulisan lepasnya telah dikumpulkan dan terbit dalam banyak buku. Buku yang sedang saya baca ini, Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka adalah kumpulan tulisannya tentang 17 tokoh politik dan kebudayaan Indonesia yang sebagian telah telah meninggal kecuali empat orang: Putu Widjaya, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad dan Sardono W. Kusumo. Lainnya adalah Sukarno, Hatta, STA (Sutan Takdir Alisyahbana), Sjahrir, Tan Malaka, Soedjatmoko, Frans Seda, Gus Dur, Sultan Hamengkubuwono, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer.

Kenapa tokoh-tokoh ini yang dipilih untuk diulasnya, Ignas menjelaskannya secara tidak langsung dalam bagian awal buku yang diberi judul "Atas Nama Apologia" dengan mengutarakan dua hal yang disebutnya sebagai kelemahan dari bukunya. Yang pertama adalah apologinya tentang hakikat bukunya yang lahir bukan dari niat menulis buku tetapi menulis seorang tokoh, terutama pemikirannya, untuk sebuah acara atau untuk penerbitan tertentu, terutama Kompas, Tempo dan Prisma; tiga media cetak yang merepresentasikan panggung intelektual pasca 1965.

Jadi kelemahan pertama ini berhubungan dengan keterbatasan dan fragmentasi pemilihan tokohnya. Kelemahan yang kedua yang tampaknya disadari sebagai semacam dosa besar dan karena itu apologinya panjang lebar adalah karena tidak satupun tokoh yang dibahasnya perempuan. Yang mestinya harus dipertanggungjawabkan oleh Ignas adalah bahwa kelemahan kedua sebetulnya turunan saja dari kelemahan pertama.

Tanpa disadarinya, ide menulis seorang tokoh, baik yang berasal dari dirinya atau dari pihak lain yang mengundangnya untuk membicarakan tokoh tertentu, mencerminkan masih dominannya laki-laki dalam dunia pemikiran. Perempuan, memakai istilah Simone de Beauvoir, masih merupakan "the second sex". Sebuah apologia mungkin tidak cukup karena Ignas tanpa disadari juga menjadi pantulan dari sebuah dunia yang masih menempatkan perempuan sebagai "the second sex". Ignas memang bukan, atau berpretensi, menjadi seorang feminis.

Dalam bagian pengantar yang dimaksudkan untuk memberi konteks dari tulisan-tulisannya yang diberi judul "Intelektual dalam Sejarah: Pembuat Sejarah atau Produk Sejarah?". Ignas memulai pengantarnya dengan mengacu pada buku Edward Said (Representations of the Intellectuals, 1996) namun kemudian kita dibawa untuk memasuki relung-relung pemikiran para pemikir lain di dunia dan sekaligus menyusup masuk ke dalam dunia pemikiran tokoh-tokoh Indonesia, terutama yang ingin dikupasnya. Pengantar ini (73 halaman) memperlihatkan upaya Ignas yang tidak tanggung-tanggung untuk menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri, intelektual memproduksi atau diproduksi sejarah? Sampai akhir saya kira sebagai pembaca kita tidak diberi jawaban yang otoritatif, kita harus merenungkan sendiri betapa intelektual dan sejarah adalah dua hal yang akan selalu berhubungan secara bolak-balik, intelektual adalah produk sekaligus pembuat sejarah.

Meskipun di pengantar yang panjang ini Ignas mengakhiri dengan mengajukan pertanyaan (retorik?) yang buat saya agak sedikit menimbulkan tandatanya karena masihkah pertanyaan itu perlu diajukan karena jawabannya telah tersirat dalam keseluruhan narasi panjang yang telah dibuatnya, “Apakah kaum terpelajar sekarang akan setia menjadi produk sejarah, atau tergoda untuk membuat sejarah lain yang mengingkari sumpah kemerdekaan?” Karena menurut saya sudah hampir bisa dipastikan jika kaum terpelajar (Ignas tidak memakai kata intelektual) akan memproduksi sejarahnya sendiri, tanpa harus mengingkari sejarah sebelumnya yang juga telah memproduksinya.

Fragmen Buku


Bagian yang merupakan isi buku oleh Ignas dibagi menjadi 2 bagian. Bagian 1: Pemikiran Politik Indonesia, mengulas Soekarno (2 tulisan), Mohammad Hatta (2 tulisan), Sjahrir (2 tulisan), Tan Malaka (2 tulisan), Soedjatmoko (1 tulisan panjang), Frans Seda (1 tulisan lumayan panjang), Gus Dur dan Frans Seda (obituari dua tokoh yang meninggal hanya selang sehari) dan terakhir Hamengku Buwono IX (semula merupakan makalah seminar dalam bahasa Inggris).

Bagian 2: Pemikiran dalam Sastra dan Kebudayaan, membahas STA (Sutan Takdir Alisjahbana) - 3 tulisan, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Mochtar Lubis, Rendra (2 tulisan), GM (Goenawan Mohamad) dan STA, GM, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W. Kusumo, Jacob Oetama ? (tulisan ini berbeda dengan yang lain sebenarnya kurang jelas siapa tokoh yang menjadi fokusnya) dan Pramoedya Ananta Toer. Cara membagi yang dilakukan Ignas terhadap isi buku menjadi pemikiran politik dan pemikiran sastra dan kebudayaan terkesan agak menyederhanakan sebuah realitas yang sesungguhnya kompleks dari kebudayaan.

Tetapi itu juga kesulitan yang mau tidak mau memang harus dihadapi oleh Ignas sebagai ex post-facto - ketika dia harus membuat kategori dari tulisan-tulisannya yang sudah jadi, sudah berbentuk. Tulisan-tulisan itu menurut hemat saya memang merupakan esai-esai, ada yang pendek ada yang panjang yang mirip risalah ilmiah-akademis. Sebagai esai dia mengungkap yang obyektif sekaligus yang subyektif, dia bukan sepenuhnya tulisan yang secara ketat mengikuti kaidah-kaidah akademik. Dari semua tulisan barangkali yang paling akademik adalah yang mengupas Hamengku Buwono IX, sementara lainnya lebih merupakan tulisan kreatif (creative writing), esai panjang yang mencerminkan secara diam-diam sudut pandangnya yang dipengaruhi latar belakang pendidikan formalnya, filsafat dan sosiologi, di samping tentu saja tradisi belajar yang sejak kecil ditanamkan di dalam keluarganya dan jalan kehidupan yang dipilihnya sebagai seorang pemikir-penulis bebas.

Membaca buku ini bagi saya seperti membaca Ignas sang penulis, erudisinya dalam bacaan, empati terhadap tokoh yang sedang ditulisnya, keketatannya dalam berbahasa dan kadar intelektualitasnya yang sulit tertandingi yang hampir selalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang dibangunnya sendiri. Oleh Ignas tokoh-tokoh itu ditampilkan dalam narasi yang seringkali panjang untuk menampung sebuah analisis kritis namun jelas berangkat dari rasa simpati yang dalam. Mungkin juga bukan sebuah kebetulan jika tokoh-tokoh yang diulasnya adalah tokoh-tokoh yang pada dasarnya sangat dihormatinya. Hasilnya sang tokoh seperti dihidupkan kembali oleh Ignas sebagai sosok dalam sejarah dengan pemikiran, kecenderungan intelektual, keterlibatan sosial, aspirasi politik dan ekspresi artistiknya yang utuh.

Persoalan, jika ada, dari buku ini saya kira terletak pada hakikatnya sebagai sebuah kumpulan tulisan. Meskipun, saya kira dengan apologia, bukan hanya "caveat" yang ditempatkan di awal buku, Ignas tidak perlu lagi dikritik karena apa yang akan dikritik telah diakuinya secara jujur bahwa bukunya adalah kumpulan fragmen-fragmen yang pada dirinya melekat fragmentasi yang tak terhindarkan. Terlepas dari persoalan itu, buku "Fragmen Sejarah Intelektual" telah menampilkan sosok-sosok penting intelektual Indonesia, merintis tidak saja sebuah cabang kajian sejarah sosial politik bangsanya namun juga membuka kesempatan munculnya bidang-bidang kajian yang lain seperti misalnya psikologi politik, politik sastra atau kajian tentang strategi kebudayaan.

"Membaca buku ini bagi saya seperti membaca Ignas sang penulis, erudisinya dalam bacaan, empati terhadap tokoh yang sedang ditulisnya, keketatannya dalam berbahasa dan kadar intelektualitasnya yang sulit tertandingi"


Sebagai antologi yang berisi fragmen-fragmen yang memang ditulis dengan konteks dan niatnya masing-masing menjadikan setiap tulisan dapat dinikmati sendiri-sendiri, artinya pembaca tidak perlu menyusuri tulisan dari halaman pertama hingga akhir namun bisa meloncat dari satu tulisan ke tulisan lain. Bahkan setiap tokohpun oleh Ignas bisa ditampilkan dalam dua bahkan tiga tulisan yang terpisah. STA oleh Ignas ditulis dalam 3 tulisan yang berbeda. Apakah ini memperlihatkan sebuah afinitas antara keduanya? Membaca ulasan Ignas tentang STA di tulisan pertama, tidak sulit untuk melihat afinitas Ignas yang kuat terhadap STA. Pada tulisan yang dibuat untuk menyambut 100 tahun STA itu Ignas tidak menyembunyikan rasa kagumnya "...STA adalah pengejawantahan suatu pandangan hidup yang serba jelasTak dapat disangkal bahwa dia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang amat luas tentang berbagai bidang: ilmu bahasa, filsafat, teori kebudayaan, pendidikan, sastra, dan berbagai bidang ilmu sosial yang dijelajahinya dengan penuh gairah. Tak dapat disangkal energi yang sulit dipercaya, yang diperlihatkannya dalam menekuni berbagai bidang yang telah dipilih dan dimasukinya" (hal 233).

Pada tulisan kedua yang lebih panjang untuk pengantar buku mengenai STA, Ignas seperti memulai ulasannya dengan sebuah kesimpulan "Begitulah, berbicara tentang dia pertama-tama bukanlah berurusan dengan kedalaman tetapi keluasan, bukan dengan kecanggihan tetapi kejelasan, bukanlah mengkaji kualitas melainkan berhadapan dengan skala dan intensitas, bukan terpesona oleh kegemilangan melainkan mengagumi kesungguhan yang tidak kepalang tanggung" (hal. 217). Dalam kaitan dengan krisis yang menurut Ignas menjadi kata kunci untuk memahami pemikiran STA, menjadi pertanyaan apakah krisis itu tercipta atau diciptakan oleh STA sendiri untuk mendorong kemajuan? Dalam posisi kedua itu, STA adalah tipe intelektual yang memproduksi dan bukan sekedar yang diproduksi oleh sejarah. Dengan kata lain, STA adalah orang yang meyakini sebuah rekayasa sosial untuk mencapai kemajuan dan kemodernan.

Tulisan ketiga mengulas novel-novel STA. STA wafat tahun 1994 artinya sempat hidup dalam masa kejayaan Orde Baru, tapi dari tiga tulisan Ignas tidak terlihat apa makna Orde-Baru bagi STA? Bukankah Orde Baru adalah sebuah rekayasa sosial yang bisa dikatakan paling besar dalam sejarah Indonesia?

Dalam komentar pendek ini saya hanya menyinggung sedikit tentang seorang tokoh yang dipilihnya yaitu STA, padahal setiap tokoh dalam buku ini memiliki daya tariknya sendiri-sendiri, kontroversi dan posisinya yang krusial dalam panggung sejarah bangsanya sebagai intelektual. Tak diragukan lagi bahwa Ignas Kleden adalah satu dari sedikit pemikir-penulis yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan sosial kebudayaan bangsanya. Buku-bukunya, termasuk yang terakhir ini, memperlihatkan penjelajahan pemikirannya yang luas dan di beberapa bagian mendalam. Jika memakai cara pandang yang digunakannya, tulisan-tulisannya bisa dianggap sebagai tanggapannya yang bersifat ad hoc terhadap isu tertentu yang dimintakan kepadanya untuk menulis atau juga atas kemauannya sendiri untuk memberikan komentar tentang isu tertentu yang saat itu menarik minatnya.

Dalam buku ini berbagai isu yang dikomentarinya secara umum bisa dikelompokkan pada tiga ranah: politik, sastra dan kebudayaan. Di awal Ignas juga sudah menyadari bahwa ada banyak tokoh, isu dan dengan demikian juga ranah-ranah lain yang belum disentuhnya. Isu agama misalnya, belum menjadi ranah yang dikupasnya secara mendalam padahal jika melihat latar belakangnya jangan-jangan agama adalah sebuah ranah yang paling dekat dengan hatinya. Ignas tentulah orang yang paling menyadari bahwa sebagus-bagusnya sebuah kumpulan tulisan mengidap dalam dirinya persoalan fragmentasi dan ketidakbulatan sebagai buku yang utuh.

Terlepas dari kekurangan itu, satu hal yang tampaknya menjadi ciri atau kecenderungan strategi menulisnya adalah lebih dipentingkannya “clarity” daripada “conciseness”. Ciri atau kecenderungan itu terlihat dari upayanya untuk menjelaskan sesuatu secara rinci dengan referensi yang “exhausted” karena tidak ingin pembacanya menafsirkan sesuatu tidak seperti yang dimaksudkannya. Kata, kalimat, bahasa menjadi sentral dalam memahami Ignas. Ignas menulis untuk memprovokasi pikiran bukan untuk mengagitasi sebuah aksi.

Apakah Ignas Kleden, menggunakan istilahnya sendiri, posisinya sebagai intelektual lebih sebagai produk dari sejarah?. Posisi seperti itu adalah hal yang biasa dalam sejarah intelektual apalagi di negara yang tingkat literasi penduduknya rendah. Tapi apakah Ignas dengan tingkat erudisinya yang sudah demikian tinggi akan terus dalam posisi itu? Apakah Ignas tidak ingin memproduksi sejarah? Misalnya dengan membuat buku yang sejak awal dirancang untuk, misalnya menyusun sebuah teori atau strategi kebudayaan? Keluasan cakrawala pemikiran yang dipunyai serta kedalaman daya tiliknya yang tajam terasah itu pastilah membuatnya tidak terlalu sulit untuk memilih topik yang mungkin paling diperlukan oleh dunia intelektual bangsanya. Jika ini dilakukannya, dia telah memberi jawaban terhadap pertanyaan yang diajukannya sendiri di kata pengantar bukunya yang panjang "Intelektual dalam sejarah: Pembuat Sejarah atau Produk Sejarah?".

* Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di portal kajanglako.com

TERBARU

MAKALAH