![]() |
| Zohran |
— Literasi, bagi Zohran, adalah keterampilan dasar seorang pemimpin
Oleh: Benny Arnas
Tidak semua anak berani menatap huruf. Sebagian merasa huruf-huruf di halaman seperti batu yang menumpuk di dada: berat, menakutkan, dan sulit dipahami. Tapi membaca, bagi siapa pun yang mau bersabar, selalu merupakan bentuk keberanian pertama.
Zohran Mamdani tumbuh di Queens, New York City, di sebuah lingkungan yang penuh suara: sirene ambulans, langkah tergesa pekerja, dan percakapan lintas bahasa di trotoar sempit. Ia lahir di Kampala, Uganda, dari keluarga berdarah India: ayahnya seorang ekonom, ibunya seorang penyair dan aktivis sosial. Dari kedua orang tua itulah ia belajar bahwa literasi adalah bentuk perlawanan, dan bahwa membaca bukan hanya soal huruf, tapi juga soal memahami dunia.
Sejak muda, Zohran gemar mendengar cerita ibunya. Puisi-puisi yang ditulis di ruang tamu keluarga menjadi jendela awalnya mengenal kata. Namun, yang lebih lama membentuknya justru “membaca” realitas di sekelilingnya: rumah-rumah sewa yang tak layak huni, pekerja migran yang dibayar rendah, dan warga kulit berwarna yang sering tak diundang ke meja pengambilan keputusan. Dari sanalah ia belajar membaca tanda-tanda sosial, alfabet kehidupan yang menuntun seseorang memahami ketimpangan dan kemanusiaan.
Ketika dewasa, ia memilih jalur aktivisme. Ia menjadi pengorganisir masyarakat di Queens, memperjuangkan hak perumahan dan transportasi publik yang lebih adil. Setiap kali berbicara di hadapan warga, ia membawa buku catatan lusuh berisi kutipan dari tokoh-tokoh dunia dan data dari berbagai laporan riset. Ia percaya, fakta adalah fondasi moral. “Kalau ingin memperbaiki dunia, pertama-tama bacalah dunia,” ucapnya suatu kali.
Pada 2021, ia terpilih menjadi anggota New York State Assembly. Empat tahun kemudian, ia mencatat sejarah: pada November 2025, ia memenangkan pemilihan Walikota New York City, kota terbesar dan paling beragam di Amerika.
Kemenangan itu segera dicatat dunia, bukan hanya karena usia dan gagasan progresifnya, tetapi karena ia menjadi walikota muslim pertama dalam sejarah kota itu, sebuah simbol perubahan di tengah zaman yang sering curiga terhadap perbedaan.
Dalam wawancara setelah kemenangannya, ia mengatakan bahwa kemenangan itu bukan hanya soal politik, tapi juga soal literasi: kemampuan masyarakat membaca keadaan mereka sendiri dan memilih perubahan.
Bagi Zohran, membaca tidak berhenti di halaman buku. Ia berbicara tentang membaca kota: membaca ritme warganya, membaca data kemiskinan dan polusi, membaca raut wajah para pekerja yang menanti bus malam. Literasi, baginya, adalah keterampilan dasar seorang pemimpin. Karena tanpa kemampuan membaca tanda-tanda zaman, kekuasaan hanya akan menjadi gema dari masa lalu.
Salah satu janji kampanyenya adalah memperkuat budaya membaca di sekolah negeri. Ia mendukung perluasan perpustakaan komunitas, pelatihan literasi bagi guru, dan akses digital gratis bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Ia juga menekankan pentingnya membaca sains dan sejarah, agar siswa tak mudah terjebak disinformasi. “Kita harus belajar membaca, agar tak dibaca oleh kebohongan,” ujarnya di hadapan mahasiswa di Columbia University.
Buku, bagi Zohran, bukan sekadar sumber pengetahuan, tetapi juga cara mempertajam nurani. Ia sering menyebut bahwa membaca membuat seseorang lebih lambat marah, lebih dalam berpikir. Dari biografi tokoh-tokoh perjuangan hingga buku teori ekonomi, ia meminjam semangat yang sama: bahwa keberanian sejati lahir dari pemahaman. “Membaca menuntut kerendahan hati,” katanya dalam salah satu pidato, “karena kita harus rela mengakui bahwa kita belum tahu.”
Keberanian itulah yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Ketika beberapa politisi memilih jalan populisme, menebar rasa takut demi suara, Zohran memilih jalur yang lebih sunyi: menyodorkan data dan akal sehat. “Kita tak bisa memenangi debat dengan kemarahan,” ujarnya, “tapi kita bisa menyembuhkan kebencian dengan pemahaman.”
Dan keberanian itu diuji, tak lama setelah ia menang.
Ketika Donald Trump–yang kembali aktif dalam politik nasional—menyerang integritas warga New York dengan menyebarkan teori konspirasi tentang pemilu 2025, banyak tokoh memilih diam. Tapi Zohran berdiri di depan kamera dan menanggapinya secara langsung. Tanpa teriakan, tanpa ejekan.
Ia hanya berkata, “Kita akan selalu punya orang yang berusaha menulis ulang kenyataan. Tugas kita bukan membalas dengan kebencian, tapi dengan fakta. Karena kebenaran tidak butuh teriakan, hanya keberanian untuk tetap diucapkan.”
Ucapan itu beredar luas, dipuji sebagian, dicibir sebagian lain. Tapi ia tidak bergeser. Ia tahu, di tengah dunia yang gaduh, berpihak pada kebenaran sering tampak seperti keheningan. Dan di situlah keberanian sesungguhnya: keberanian yang tumbuh dari pengetahuan, dari kesadaran bahwa kata-kata bisa melawan kebohongan jika disampaikan dengan tenang.
Namun Zohran bukan satu-satunya yang memahami hubungan antara membaca dan keberanian. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadikan pengetahuan sebagai pedang moral. Sultan Mehmed II, Al-Fatih, yang menaklukkan Konstantinopel pada usia dua puluh satu tahun, adalah seorang pembaca tekun. Ia menguasai tujuh bahasa, mempelajari matematika, filsafat, dan strategi perang dari teks-teks klasik. Dalam catatan sejarawan Ottoman, ia sering membawa buku ke medan tempur. Bagi Al-Fatih, membaca bukan kegiatan sunyi, melainkan persiapan spiritual untuk menaklukkan kebodohan. “Ilmu,” tulisnya dalam sebuah surat kepada muridnya, “adalah senjata yang tak pernah berkarat.”
Dari dunia modern, kita mengenal Malala Yousafzai, gadis Pakistan yang menantang Taliban dengan buku di tangannya. Ketika ia ditembak karena menolak berhenti belajar, dunia menyadari bahwa membaca bisa menjadi bentuk paling nyata dari perlawanan terhadap ketakutan. Dan jauh sebelumnya, di Amerika abad ke-19, Frederick Douglass, budak kulit hitam yang mencuri ilmu baca-tulis dari majikannya, menulis dalam otobiografinya: “Once you learn to read, you will be forever free.”
Ketiganya—Al-Fatih, Malala, Douglass—berasal dari zaman dan tempat yang berbeda, tetapi disatukan oleh satu hal: keberanian yang lahir dari membaca. Bagi mereka, membaca bukan sekadar cara mengetahui dunia, melainkan cara mengubahnya.
Kini, di taman-taman kota, anak-anak membuka buku dari perpustakaan komunitas yang tetap hidup berkat perjuangannya di majelis negara bagian. Lewat kampanye #SaveOurLibraries pada 2023–2024, ia mendesak agar pemerintah New York tidak memangkas anggaran bagi ruang baca publik. Kini buku-buku itu berpindah tangan di bawah langit Queens—dibaca dengan suara pelan, kadang terbata, tapi dengan cahaya di mata. Zohran tahu, dari halaman-halaman itulah masa depan sedang ditulis ulang.
Karena membaca, seperti halnya keberanian, adalah latihan menatap dunia dengan jujur.
Dan di kota yang terus bergerak tanpa jeda itu, Zohran menjadi pengingat bahwa pengetahuan mungkin tak selalu membawa kebahagiaan, tetapi, idealnya, selalu mampu menumbuhkan keberanian untuk berpikir di tengah keramaian, menolak kebohongan meski sendirian, dan menegakkan kebenaran dengan kepala tegak dan suara yang jernih.(*)
Benny Arnas
Lubuklinggau, 6 November 2025
Sumber gambar: costar.com
Tulisan yang lain, termasuk versi lengkap (lebih panjang dan lengkap dengan daftar pustaka) atas esai di atas, dapat dibaca di www.bennyarnas.com






