|
Dr. Kuntowijoyo (sumber gambar: kompasiana.com) |
Oleh: Dr. Kuntowijoyo
BIROKRASI sebagai sebuah struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial dan struktur budaya. Penyelenggaraan kekuasaan dan pelayanan tidak dapat terlepas dari komposisi sosial yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, hingga sering birokrasi hanya melayani lapisan masyarakat yang dominan. Selain itu sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem simbol masyarakat juga mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan karena pelaksanaan kekuasaan hanya dapat terjadi jika ada kesediaan budaya masyarakatnya untuk menerima kehadirannya.
Oleh karena amat penting bagi kita untuk mengetahui sampai berapa jauh sebenarnya birokrasi kita sebagai penyelenggara kekuasaan telah melayani sistem sosial dan sistem budaya. Apakah ada kontradiksi-kontradiksi yang melekat pada birokrasi kita sehingga birokrasi tidak menjadi pelayan yang baik bagi masyarakatnya. Dalam hal ini kita ingin melihat bagaimana birokrasi telah berfungsi dari waktu ke waktu. Birokrasi yang semestinya melayani kepentingan seluruh masyarakat pernah hanya menjadi pelayan dari lapisan atas yang sangat terbatas jumlahnya, yaitu para elite penguasa.
Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu akan kita sebut sebagai budaya birokrasi. Berturut-turut akan kita bahas budaya birokrasi abdi dalem, priyayi, dan pegawai negeri. Urutan ini kurang lebih mencerminkan evolusi sejarah birokrasi di Indonesia, yaitu sesuai dengan sistem sosial patrimonial, kolonial, dan nasional secara kronologis.
Untuk setiap kategori akan kita lihat bagaimana konsep tentang kenegaraan dan kekuasaan pada suatu zaman telah mendefinisikan birokrasi pada zamannya, bagaimana birokrasi itu dilembagakan, dan bagaimana kerangka simbolis masing-masing ternyata menyumbangkan sesuatu pada budaya birokrasi itu. Uraian ini tentu saja terlalu singkat untuk menjangkau permasalahan birokrasi yang sangat kompleks, tetapi kiranya memadai sekadar untuk mengantisipasi perkembangan ke depan. Dalam bagian akhir akan kita coba untuk memberikan gambaran bagaimana birokrasi kita harus didefinisikan secara baru dalam pembangunan jangka panjang yang kedua.
Birokrasi sebagai Abdi Dalem
Di masa lalu kerajaan-kerajaan di Indonesia terbagi dalam dua kategori, yaitu kerajaan maritim dan kerajaan agraris, masing-masing dengan birokrasi yang berbeda, Penyelenggaraan kekuasaan itu berbeda dalam keluasan dan jangkauannya. Karena perbedaan sifat ekologi dan sumber ekonomi. Dalam kerajaan maritim birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan dalam kerajaan agraris ekonomi pertanian. Di sini kita mengambil contoh kerajaan agraris, karena rupanya birokrasi macam inilah yang mempunyai bekas paling dalam pada birokrasi kita masa kini.
Sebuah negara agraris atau argo-managerial state seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Jawa sampai abad ke-20 biasanya menetapkan bahwa pemilikan atas sumber ekonomi, yaitu tanah dan tenaga kerja ialah pada raja. Negara-negara patrimonial semacam itu memberikan kekuasaan pada raja untuk mengatur pembagian kehormatan, kemakmuran, dan kedudukan rakyatnya. Raja yang memiliki tanah dan tenaga kerja masyarakat melimpahkan penguasaannya pada anggota keluarga dan orang-orang yang dianggap berjasa pada raja sebagai lungguh.
Keluarga raja disebut sebagai sentana dan mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan kekuasaan disebut sebagai abdi dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam lembaga yang kita sebut birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja dengan dengan kawula-nya. Sementara itu rakyat yang harus mengerjakan tanah-tanah raja dan lungguh dengan imbalan mendapat hak gaduh atas tanah mereka. Rakyat juga harus menyerahkan bermacam-macam pajak yang ditentukan.
Kedudukan birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja dalam hubungan atas-bawah yang bersifat konsentris membuat kedudukan birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani masyarakat, tetapi melayani kepentinan raja. Penyelenggaraan kekuasaan teritorial, perpajakan, pengadilan, keamanan, dan keagamaan lebih berupa penguasaan daripada sebuah pelayanan.
Banyak abdi dalem yang bahkan secara khusus menyelenggarakan pelayanan kepada raja dan keluarganya. Birokrasi tentu saja harus diartikan sebagai penyelenggaraan kekuasaan publik. Para abdi dalem macam ini kemudian berkembang menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang berada terpisah dari masyarakat pada umumnya. Mereka mendapat kesempatan untuk menurunkan kedudukannya pada anggota keluarga, jika raja berkenan.
Anggota-anggota keluarga lainnya juga mempunyai kesempatan menduduki jabatan-jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja sebuah lembaga dengan fungsi-fungsinya, tetapi juga sebuah lapisan sosial. Sebagai penyelenggara kekuasaan mereka termasuk dalam elite penguasa, yang mempunyai orientasi ke atas kepada kepentingan raja, lebih daripada ke bawah kepada kepentingan Orang-orang kecil.
Kedudukan sosial abdi dalem diperkuat dengan bermacam-macam atribut yang dianugerahkan oleh raja. Mereka mendapat gelar-gelar, pangkat, dan perangkat upacara yang tertentu. Bahkan, segala atribut itu kemudian menjadi monopoli kelas mereka yang tidak diperkenankan bagi orang kecil untuk memperolehnya. Untuk mendukung kebaktian mereka kepada raja, mereka juga dibebani dengan buku-buku piwulang yang memuat etika abdi dalem, yang di dalamnya kepatuhan kepada raja dianggap sebagai puncak nilai, dan pengingkaran kepada raja dianggap sebagai kehinaan.
Mereka diharuskan terlibat dalam upacara-upacara, merayakan hari-hari besar publik dan hari besar raja, yang ketidaksertaan di dalamnya dapat menjatuhkan malapetaka. Dalam upacara-upacara itu kedudukan, gelar, pangkat, dan segala atribut dimantapkan kembali. Hubungan antara abdi dalem dengan taja dan keluarganya juga dikukuhkan. Ritual-ritual politik itu sedemikian sering, seolah itulah satu-satunya tugas birokrasi kerajaan.
Deskripsi umum tentang bagaimana keberadaan sebuah birokrasi dalam kerajaan patrimonial itu, secara tinci dapat dilihat dalam birokrasi kerajaan di Jawa, sejak taman Majapahit sampai abad ke-20 pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem itu tentu saja sangat membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu masih melekat.
Birokrasi sebagai Priyayi
Perubahan sebenarnya sudah terjadi sejak masuknya pemerintah kolonial di Jawa. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah kolonial mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan pemerintahan kolonial dan sebagian lainnya dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial masih juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk semua saja yang mendapat imbalan berupa gaji besar maupun kecil, dapat disebut sebagai priyayi.
Tujuan pemerintah kolonial adalah eksploitasi ekonomi dan penguasaan politik. Untuk melaksanakan dua tujuan itulah birokrasi dibentuk, sehingga kedudukan birokrasi kolonial juga tidak lebih daripada sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan kolonial. Priyayi sebagai ambtenaar, yaitu priyayi yang mempunyai kekuasaan—bukan sekadar orang gajian, karena mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat. Kekuasaan kolonial pada abad ke-19 sudah sampai ke tingkat paling bawah. Ketika itu konsep tentang negara dan kekuasaan belum banyak mengalami perubahan mengingat pemerintah memakai institusi patrimonial, seperti dalam pemilikan dan penguasaan atas tanah, tenaga kerja, dan surplus sosial. Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga mempengaruhi kedudukan priyayi sebagai penyelengara kekuasaan. Mereka seolah tidak menjadi bagian dari masyarakat umum, tetapi merupakan bagian dari kekuasaan negara.
Sebenarnya sudah ada perubahan penting dalam cara anggota birokrasi diangkat oleh pemerintah kolonial. Priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genealogis, tetapi berdasarkan kriteria rasional, satu hal yang berbeda dengan para abdi dalem yang diangkat karena kemurahan raja. Karenanya, pada mulanya priyayi lebih sebagai sebuah kelas fungsional, tetapi kemudian priyayi juga berkembang menjadi sebuah status karena mereka pun juga mempunyai hak-hak tersendiri berbeda dengan orang kebanyakan. Demikian juga priyayi yang sebenarnya tidak temurun, tetapi karena mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayian juga menurun, sekalipun tetap berbeda dengan abdi dalem.
Kecenderungan priyayi menjadi sebuah status didukung oleh gaya hidup yang khas yang makin lama makin tumbuh di kalangan priyayi sendiri. Berbeda dengan abdi dalem yang katakanlah mempunyai orientasi konservatif dan klasik, para priyayi lebih menekankan pada kemajuan dan pembaruan. Priyayi lebih banyak berhubungan dengan orang-orang Belanda sehingga mereka mengadopsi banyak gaya hidup Barat dan mengadaptasikan ketimuran mereka pada budaya yang didominasi oleh kognisi, etika, dan estetika Barat.
Mereka lebih suka memakai bahasa Belanda sebagai simbol, sama seperti para abdi dalem yang memakai bahasa kawi dan kedaton sebagai kebanggaan. Mereka dengan senang mengikuti model busana, bujana, dan tegur sapa Belanda. Demikian juga pola penggunaan waktu-waktu luang mereka.
Apa yang kita pelajari dari sejarah priyayi ialah kecenderungan mereka untuk mendudukkan diri sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sama seperti para abdi dalem yang menganggap diri sebagai bagian dari penguasa patrimonial. Oleh karenanya, di Indonesia kita tidak punya tradisi birokrasi yang lebih mengidentifikasikan diri sebagai sebuah pelayanan sosial. Kita tentu saja mengharapkan hal itu terjadi sesudah kita mendirikan negara nasional dan membangun birokrasi baru dengan personalnya yang kita sebut sebagai pegawai negeri.
Birokrasi sebagai Pegawai Negeri
Negara nasional yang muncul sejak kemerdekaan memberikan definisi baru pada birokrasi, yaitu sekaligus sebagai penyelenggara kekuasaan dan penyelenggara pelayanan. Sama seperti halnya priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri terdiri dari berbagai pangkat, golongan, dan eselon. Dalam semboyannya pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah ungkapan yang masih menyarankan betapa orientasi ke atas merupakan ciri utama pegawai negeri. Artinya berorientasi pada kekuasaan, sebab negara adalah nama lain dari kekuasaan. Di tingkat desa ada pemerintah desa, yang pelaksanaannya kemudian disebut dengan pamong atau perabot desa. Tentu saja istilah itu tidak akan berlaku untuk pegawai tingkat di atas desa.
Meskipun di tingkat bawah pegawai hanya berupa pamong, tetapi dalam perjalanan kekuasaan mereka pun semakin besar, bersamaan dengan melemahnya perangkat sosial masyarakat. Kekuasaan negara sekarang ini sangat dirasakan kehadirannya dalam masyarakat sampai ke tingkat bawah, sebab tidak seorang warga pun yang dapat menghindar dari birokrasi. Masalah kecil, seperti pemberian KTP dan kredit merupakan bukti bahwa kekuasaan negara telah merasuk sampai desa.
Kekuasaan pegawai negeri sebenarnya pada saat ini sangat luas, tetapi pegawai negeri gagal menjadi sebuah kelas sosial yang eksklusif, karena ada penurunan kemakmuran di satu pihak dan ada penambahan jumlah di lain pihak. Dibandingkan dengan rata-rata petani, pegawai negeri masih lebih makmur daripada petani, tetapi bila dibandingkan dengan usaha-usaha non-pertanian, pegawai negeri sering tidak dapat bersaing. Jumlah pegawai negeri juga sangat besar, sehingga tidak ada lagi yang istimewa dalam kedudukan sosial mereka.
Kedudukan tinggi yang diberikan masyarakatnya pada priyayi dapat disebut sebagai elite, pegawai negeri lebih mirip dengan orang kebanyakan yang posisi sosialnya ditentukan oleh ukuran-ukuran pelapisan yang berlaku umum, Kepegawaian rupanya berbeda dengan kepriyayian di masa lalu. Kepegawaian hanya mempunyai konotasi fungsional, sedangkan kepriyayian mempunyai konotasi kultural. Pegawai negeri adalah orang biasa, priyayi adalah literati. Gejala priyayinisasi yang muncul akhir-akhir ini tidak semata-mata menjadi ciri pegawai negeri, tetapi milik siapa saja yang mampu membayar biayanya. Pegawai negeri yang umum tidak mempunyai kesempatan menjadi priyayi baru.
Yang menarik dalam gejala birokrasi sekarang ialah keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis secara formal, satu gejala yang tak pernah terjadi di masa lalu. Pegawai negeri masuk ke dalam proses politik melalui keterlibatan mereka dalam dukungan formal kekuatan politik. Jika di masa lalu unsur politik dalam birokrasi tidak ada, dan hanya tingkat pengambilan keputusan tertentu merupakan jabatan politik, sekarang bahkan tingkat pelaksana terbawah masuk dalam politik. Kita tidak ingin menyatakan kembali bahwa keterlibatan politik dapat menyebabkan berkurangnya efisiensi kerja mereka dan memberi peluang untuk sebuah korupsi birokratis.
Gejala lain ialah adanya ideologisasi pegawai negeri, yaitu dengan adanya penataran-penataran kesadaran politik. Tentu saja ideoloisasi amat penting dalam pertumbuhan semangat kebangsaan, tetapi jika ideologisasi itu menggantikan cara berpikir analitis, tentu hal itu tidak banyak membawa manfaat bagi pengembangan birokrasi sebagai sebuah pelayanan. Penyelesaian masalah-masalah sosial sering hanya dilihat dari sudut ideologis, tanpa mengindahkan kerangka sosialnya. Birokrasi hanya menjadi penyelenggara kekuasaan dan tidak menadi penyelenggara pelayanan apabila hanya mempunyai kualifikasi ideologis. Pegawai negeri lalu tidak ubahnya seperti abdi dalem. Gejala berikutnya ialah ritualisasi.
Adanya baju-baju seragam, upacara-upacara, sumpah-sumpah mengingatkan kita pada bagaimana para abdi dalem di masa lalu direkayasa. Kita tidak menyatakan bahwa ritualisasi semacam itu sia-sia, tetapi ada kekhawatiran bahwa etos pelayanan juga akan hilang dari pegawai negeri, dan yang tinggal adalah etos kekuasaan. Dengan kata lain, kita tidak ingin ritualisme itu menjadi gejala sebuah refeodalisasi.
Kaitannya dengan Industrial
Dalam pembangunan jangka panjang kedua akan terjadi industrialisasi secara lebih luas. Untuk keperluan itu kita perlu menyiapkan sebuah model budaya birokrasi yang menunjang baik penyelenggaraan kekuasaan maupun pelayanan. Masyarakat masa depan juga adalah masyarakat demokratis, sebab kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat sudah muncul, seperti munculnya lapisan menengah yang semakin bebas dari kekuasaan pemerintah.
Metropolitanisasi juga terjadi di kota-kota yang sekarang masih merupakan kota-kota sekunder. Masyarakat kota memerlukan sebuah birokrasi yang sungguh-sungguh efisien. Industrialisme, demokratisme dan urbanisme merupakan tantangan baru bagi birokrasi. Jika birokrasi kita masih mempunyai budaya abdi dalem dan priyayi kita akan gagal mengelola masyarakat masa depan. Orientasi ke bawah, dalam arti melihat permasalahan dengan kritis dan analitis lebih diperlukan daripada seperangkat pendidikan ideologis, sebab ternyata sebenarnya sekarang ini pun kita akui bahwa pragmatisme lebih menonjol daripada ideologi. Menjadikan pegawai negeri menjadi lebih efektif adalah tugas dari pendidikan bagi pegawai negeri, katakanlah namanya pendidikan perubahan.
Priyayinisasi pegawai negeri dalam arti proses menuju elitisme pegawai harus dicegah dengan penyadaran bahwa pegawai neggeri adalah civil servants, lebih daripada sebagai penguasa. Semboyan abdi negara dasat diubah menjadi “abdi masyarakat” supaya kesadaran sosiologis lebih besar daripada kesadaran ideologis. Hanya dengan birokrasi yang profesional, masalah sosial masa depan dapat dipecahkan dengan baik. Profesionalisme dapat dikembangkan dengan meniadakan keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis. Kita mengharapkan sebuah budaya birokrasi baru akan muncul bersamaan dengan diterapkannya langkah-langkah itu.
Dr. Kuntowijoyo, budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia
Sumber: Dr. Kuntowijoyo, "Budaya Birokrasi: Dari Abdi Dalem Sampai Pegawai Negeri", dalam Dr. Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Yogyakarta: IRCiSoD, 2018, h. 233-245.