![]() |
| (TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983) |
Oleh: Fachry Ali
Andropov sakit, atau bahkan meninggal dunia, tidaklah penting. Yang menarik adalah doa para pendeta Kristen Ortodoks Uni Soviet yang meminta umur orang terkuat negara komunis itu diulur lebih lanjut. Suatu doa yang memerluka tarikan napas panjang.
Tapi di sinilah terletak masalahnya. Sejak dahulu kala—demikianlah Marx pernah berkata—agama dan pendeta selalu punya kecenderungan mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx dianggap menindas rakyat.
Bahwa sikap teologi para pendeta ini tidak selalu berkenan di hati Paus adalah benar. Namun, toh Paus asal Polandia ini menyerang jantung Marxisme. “Kalau Anda menyerang Polandia, saya akan meninggalkan tahta Petrus untuk berjuang bersama orang-orang sebangsaku,” ujarnya dalam sepucuk surat kepada Breznev.
Banyak hal telah berubah, seperti juga banyak yang tidak. Bagi Marx tidaklah begitu penting – sebagian karena dia telah meninggal. Namun, generalisasi pandangan Marx, yang hanya melihat sejarah agama di Eropa, ada gunanya juga dipakai untuk melihat pergulatan agama dan politik dunia Islam. Gunanya, bukan karena banyak ditemukan kebenaran analisa Marx, melainkan justru karena berubah-ubahnya fungsi dan peran variabel yang sama; agama dan ulama di pelbagai negara dunia Islam.
Pembentukan kekuasaan politik, yang kemudian melahirkan kerajaan Arab Saudi, misalnya, bukanlah karena manipulasi agama oleh elite penguasa, melainkan justru ajaran moral.
Moral puritanisme ajaran Islam yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab – yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabiah – menarik perhatian Ibnu Sa’ud, penguasa lokal Jazirah Arabia abad ke-18, untuk bergabung. Jadilah satu gerakan yang pengaruhnya saling menyilang. Suatu gerakan menegakkan moral agama, sekaligus menegakkan struktur kekuatan politik dan kekuasaan.
Sampai kini, sisa-sisa keturunan kelompok Wahabi yang kemudian membentuk kelas ulama masih tetap penting sebagai kekuatan penyeimbang kebijaksanaan pemerintah dalam memodenisasikan diri dan masyarakatnya.
Semacam NU, peranan Ulama Arab Saudi kemudian menjadi pemberi legitimasi spiritual terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Sedangkan kaum politisi dan birokrat berfungsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, terjadilah dikotomi “syu’riah-tanfidziah” jika kita pakai analoginya dengan NU di Indonesia.
Tapi Islam Iran memberikan wajah lain. Agama adalah keseluruhan kehidupan. Revolusi Iran – yang menumbangkan mitos bahwa hanya kaum komunis yang mampu menggerakkan revolusi di abad ke-20 – meletakkan kaum ulama pada posisi strategis, baik dalam dunia politik maupun pemerintahan.
Sampai di sini, dikotomi “syu’riah-tanfidziah” tidak ditemukan. Masalah yang menarik adalah, mampukah corak keagamaan seperti itu nanti memelihara semangat kritisnya kali ini justru terhadap kekuasaan yang baru dibangunnya sendiri.
Di Mesir soalnya lain lagi. Dua kelompok paham keagamaan berdiri dalam dua pola yang ekstrem dan tidak bisa dipertemukan.
Kelompok pertama diwakili ulama Al-Azhar. Sepanjang sejarah, Al-Azhar memang tidak jemu-jemu mengeluarkan fatwa untuk selalu patuh kepada penguasa. Lembaga pendidikan tinggi agama yang didirikan Bani Fatimah tahun 972 ini selalu mengintegrasikan kepada kekuasaan elite yang bertahta. Tidak peduli dari mana dan siapa pun.
Dalam tahun 1798, ketika Mesir di bawah Prancis, ulama Al-Azhar berseru “Kita berlindung kepada Tuhan dari aneka ragam fitnah (fitan) dan kita mohonkan kepada-Nya untuk melenyapkan orang-orang yang menyebarkan kemurkaan di muka bumi serta merusakkan hubungan baik rakyat Mesir dengan tentara Prancis.” Ketika giliran Inggris yang berkuasa, ulama Al-Azhar pun berbuat yang sama. Juga waktu Sadat berkuasa dan berdamai dengan Israel.
Kelompok kedua tidak kalah hebatnya. Mulai dari tokoh dan kalangan revolusioner yang konseptual sampai pada kelompok revolusioner yang awut-awutan. Kelompok ini memberikan citra yang bertentangan dengan kaum ulama Al-Azhar, meskipun sama-sama menekankan utamanya al-asala (kemurnian ajaran Islam) dan menolak al-mabadi al-mustawrada (doktrin impor).
Bedanya, yang kedua meletakkan Islam sebagai blueprint untuk segala aspek kehidupan. Pandanngan keagamaannya mengenai politik dan kekuasaan tidak bias pada kehendak penguasa, seperti yang dilakukan kelompok pertama. Tesis mereka, sejauh pemerintah tidak menelurkan kebijaksanaan yang sesuai dengan corak keislamannya, konsep al-nizam al-jahili atau darl harb tetap relevan dikenakan untuk pemerintah.
Dari sinilah kita menyaksikan lahirnya kelompok al-Ihwan al-Muslimun. Suatu kelompok yang secara terus menerus berusaha mengguncangkan struktur kekuasaan di Mesir. Logika keislaman mereka membenarkan tindakan pengguncangan itu. Bahkan, sejauh yang dapat direkam dari pengadilan Sayyid Quthb tahun 1966—tokoh kedua setelah Hasan Al-Banna yang terbunuh tahun 1949—tindakan-tindakan kekerasan yang bagaimanapun bisa dibenarkan.
Ideologi radikalisme Islam inilah yang secara terus-menerus menjaga api gerakan al-Ihwal al-Muslimun. Hanya satu dasawarsa setelah Sayyid Qutbh, mucul pula pada tokoh muda yang karismatis, Ahmad Shukri Mustafa. Berdasarkan ideologi radikal itu, ia mendirikan suatu kelompok baru, perwujudan lain dari Al-Ihawal al-Muslimun, yang tidak kalah ekslusifnya, al-Tafkir wal Hijra.
Di tangan merekalah, Anwar Sadat dibantai. Suatu pertumpahan darah yang dahsyat yang, sayangnya, tetap mengatasnamakan Tuhan. Persis yang dilakukan ulama al-Azhar, dalam bentuk yang sebaliknya.
Sumber: TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983






