alt/text gambar

Minggu, 14 Desember 2025

ANASIR SEJARAH DALAM NOVEL INDONESIA

(Kompas, 14 Desember 1986)


Oleh: Mattulada


Kehidupan sesungguhnya adalah rangkaian peristiwa yang membangun sejarah. Karena itu, sejarah memberi lukisan proses suatu kehidupan. Dan kalau novel adalah gambaran dari suatu aspek kehidupan yang utuh dalam ukuran kecil maupun besar–walaupun ia dinyatakan dalam fiksi atau khayalan–maka ia meniti proses logika sejarah untuk memberi makna kehidupan yang dituangkan dalam novel itu. 

Proses kejadian dalam novel juga merupakan gambaran kehidupan tokoh-tokoh yang menyandang nilai-nilai sosial tertentu. Nilai ini jadi titik tolak untuk suatu akhir kejadian yang membentuk pola nilai tertentu pula. Dalam hal ini novel mengandung anasir sejarah yang lazim disebut sejarah sosial.

Dalam batasan umum seperti itu kita mencoba menyoroti novel Indonesia. Logika sejarah maupun sejarah sosial merupakan titian untuk bangunan novel sebagai gambaran kehidupan yang bersifat fiksi. Anasir sejarah tadi biasanya dipertahankan secara tajam atau samar-samar sebagai semangat zaman yang mewakili kenyataan faktual.

ST. Alisyahbana menyatakan bahwa khayal dan kebenaran selalu bertentangan, tapi dalam kenyataan hidup, keduanya selalu sejalan dan bersatu. Bukan saja khayal selalu hanya dapat timbul atas dasar kebenaran, tapi kebenaran hanya dapat berkembang terus menerus dengan meniti kehidupan khayal. Selain itu, sering pula disebut, kebenaran hanyalah khayalan belaka. Meski demikian, sepanjang sejarah terbukti, bahwa khayal itu adalah penjelmaan kebenaran, tempat tumpuan manusia hidup dan berbuat menerawang kenyataan sejarah.

Di sinilah muncul apa yang ingin saya namakan dengan imajinasi kesejarahan, yaitu kemungkinan untuk memasuki kelampauan, untuk memahaminya dan untuk memunculkannya kembali, sebagai pengulangan sejarah.

                                             ***

Untuk keperluan analisis terhadap anasir sejarah dalam novel Indonesia itu, saya ajukan pembagian dalam periode-periode kejadian atau kehidupan yang tergambar dalam novel-novel itu. Tiga zaman itu ialah: 

1. Zaman Nusantara, yang meliputi a) kehidupan nusantara dengan suku-suku bangsa, puak puak dan perkauman yang terhisap kehidupan masyarakat prasejarah nusantara, b) kehidupan nusantara yang memulai kesadaran lebih luas, c) kehidupan nusantara dalam penjajahan asing (Eropa).

2. Zaman sekitar Perang Dunia II, yang meliputi a) saat-saat memasuki Perang Dunia II, b) pendudukan Jepang dan penaklukannya dalam perang.

3. Zaman sekitar perang kemerdekaan, mempertahankan proklamasi dan membangun negara, yang meliputi a) sekitar proklamasi kemerdekaan dan perang kemerdekaan, b) Indonesia sebagai negara merdeka, c) Indonesia membangun (mutakhir).

Dari pembagian zaman ini, kita mencoba memilih secara perkiraan umum, novel-novel Indonesia yang menggunakan anasir sejarah. Pembagian itu tidak didasarkan pada masa kelahiran novel itu, karena tentu selalu terbuka kemungkinan bahwa pada saat sekarang (th 1986) dapat lahir sebuah novel yang melukiskan zaman Sultan Hasanuddin dalam abad XVII.

                                             ***

Novel-novel seperti Sangkuriang di Jawa Barat, La Beu di Tana Ugi, Bawang Putih dan Bawang Merah di Tanah Melayu, Hang Tuah di Semenanjung Malaka, semua itu tergolong novel zaman Nusantara. Novel-novel itu penuh dengan semangat kesejarahan yang dipandang berguna bagi pengungkapan kenyataan sebagai sejarah. Ia penuh dengan tokoh-tokoh legendaris, malahan seringkali dalam ungkapan mitologis.

Novel seperti Penakluk Ujung Dunia, memberikan lukisan bagaimana kungkungan wilayah pemukiman terpencil, ditembus dan ditaklukan oleh penemuan jalan baru.

Sebuah novel bersemangat sejarah pergolakan Nusantara di Tana Ugi, ditulis oleh seorang Belanda, dengan judul De Laatste General van Bontorihu. la mengisahkan perlawanan pahlawan Tana Ugi (Bone), menghadapi invasi kolonial Belanda pada ekspedisi th 1906. Novel ini amat cermat menggunakan semangat sejarah dan disusun dalam pola-pola kehidupan masyarakat Tana Ugi yang sedang mengalami kerontokan dan desintegrasi. Para pembacanya di kalangan orang Bugis, sering tidak menyadari, buku-buku itu semata-mata novel. Mereka mengecam, bahwa tokoh-tokoh yang disebut tidak mengandung kebenaran sejarah.

Menurut pengamatan saya, novel-novel dalam gambaran semangat kenusantaraan, masih banyak menggunakan tokoh-tokoh legendaris, malah keadaan-keadaan mitologis, yang bertujuan membentuk pola ikutan dalam kehidupan. Penggunaan tema sejarah, sebagian besar bersifat dongeng. Tentu dapat dikecualikan, novel buah tangan Pujangga Baru.

                                                   ***

Novel-novel zaman ini umumnya dapat dipandang sebagai lukisan dari berbagai rangkaian penderitaan, kekejaman, perkosaan dan keinginan memenangkan kebenaran menurut pandangan masing-masing. Tema umumnya: mengantarkan kegelisahan dunia timur yang bergolak menemukan dirinya di atas pentas kehidupan.

Taufan di Atas Asia, merupakan salah satu kebangunan dunia timur dari kelelapan yang mendalam itu. Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka merupakan catatan kegiatan pergerakan orang Indonesia yang meliputi suasana Asia yang demam akan upaya pembebasan negeri-negeri Asia dari cengkeraman penajahan. la bukan novel, tapi kaya dengan bahan yang dapat membangkitkan daya khayal yang diperlukan dalam novel. Anasir sejarahnya padat. Ia juga melukiskan proses kehidupan dan pola-pola kehidupan bangsa Asia yang bergerak bangun.

Novel-novel yang kelihatannya diilhami atau sedikitnya saling isi dengan semangat zaman itu, dapat dirasakan dalam novel tokoh-tokoh Pujangga Baru, menjelang pecahnya Perang Dunia II. Khusus tentang peristiwa yang melukiskan keadaan pendudukan Jepang dan kekalahannya, dapat dilihat dalam novel Kalah dan Menang karya ST Alisyahbana (Dian Rakyat, 1978). Novel yang dirangkai dalam khayal ini, dibangun atas lukisan sejarah yang menyatu dalam kehidupan nyata. Kalau bukan dengan kekuatan khayal yang ditopang anasir sejarah, novel ini tak akan mampu memberikan kehidupan dan kenyataan hidup.

                                                      ***

Novel yang melukiskan kehidupan sekitar proklamasi, menurut pengamatan saya, tidak banyak dalam bentuk novel. Lebih banyak dalam bentuk cerpen yang termuat dalam majalah, dan adakalanya kemudian diterbitkan kembali dalam sebuah kumpulan cerpen. Pengarang Angkatan 45 banyak muncul dalam karya seperti itu.

Novel Keluarga Gerilya karya Pramoedya A Toer, mengisahkan keluarga gerilya pada zaman perang kemerdekaan dalam sebuah fiksi yang kaya khayalan, tapi diantarkan dalam suasana zaman yang jadi semangat perjalanan sejarah. Maka, ia membawa pemikiran-pemikiran kenyataan hidup yang menimpa masyarakat Indonesia.

Kumpulan cerpen seperti Kuli Kontrak, Bromocorah karya Mochtar Lubis, dan Tegak Lurus dengan Langit karya Iwan Simatupang, adalah contoh yang dapat digolongkan juga pada semangat zaman. Semua melukiskan kenyataan hidup dan kritik sosial yang tajam, dengan ketepatan mengesankan.

Setelah itu, rupa-rupanya sejalan dengan pertumbuhan masyarakat yang makin mapan, dalam arti pola-pola hubungan kemasyarakatan dan struktur kehidupan makin stabil, lahirlah novel-novel yang temanya menggunakan kerangka sejarah sosial. Karangan Marga seperti Saga Merah, Bukan Impian Semusim, Gema Sebuah Hati, Setangkai Edelweis, Karmila, Badai Pasti Berlalu dan lain-lain, melukiskan Indonesia kontemporer.

Kehidupan masyarakat Indonesia modern yang mengalami kegoncangan nilai dalam zaman pancaroba, menjadi tema umum novel kontemporer. Proses sosial yang dilukiskan umumnya menggunakan ukuran tertentu sebagaimana keadaan yang sedang bertumbuh menemukan polanya. Penggunaan anasir sejarah sosial ini, menunjukkan semakin terkaitnya pengaruh ilmu kemasyarakatan dalam membangun novel-novel itu.

                                               ***

Novel Indonesia tumbuh sesuai dengan pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Betapa besar anasir sejarah yang ikut memberi makna, ditemukan dalam novel-novel bertendens sejarah. Demikian juga terbentuknya pola-pola kehidupan dalam gambaran nilai yang jadi kekuatan pola kehidupan itu, ditemukan dalam novel bertema sejarah sosial.

Sesungguhnya pengutaraan anasir sejarah yang terdapat dalam novel Indonesia sampai sekarang, pada umumnya memperlihatkan gambaran masa lalu, atau sejauh-jauhnya keadaan yang sedang dalam proses menemukan pola tertentu. Mungkinkah hal itu ada hubungannya atau sedikitnya mendapat pengaruh dari kecenderungan berpikir bangsa Indonesia yang membesarkan atau mengutamakan masa lalu?

Novel yang melukiskan suatu masa depan dengan menggunakan metodologi sejarah sebagai alat perkiraan masa depan, kelihatannya belum tampak di permukaan. Kecenderungan itu baru nampak pada tulisan yang berlatar belakang ilmu sosial, khususnya ilmu ekonomi dan perencanaan sosial. Keadaan itu belum lagi diminati oleh para novelis.

Sesungguhnya, penggunaan metodologi sejarah dalam pelukisan kehidupan secara lengkap, meliputi masa lalu, masa kini dan masa depan. Pada masa kini itulah bertemu hasil masa lalu dengan harapan masa depan. Kecermatan masa lalu dan masa kini dan kejelian memahami harapan atau cita-cita masa kini, memungkinkan gambaran masa depan terlihat oleh kejelian mata hati seorang seniman, sastrawan.

Novel Indonesia suatu saat akan menggunakan anasir sejarah itu ke arah sana untuk menuntun pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan ke masa depan yang tentu penuh kesemarakan dan keagungan nilai dan martabat kemanusiaan. Pada bagian itulah terletak keunikan sastrawan, seniman dan pujangga, karena mereka menggunakan kebijakan sejarah. Demikian adanya.***


* Tulisan ini adalah singkatan dari makalah Prof Dr Mattulada pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Ujungpandang 22-25 November 1986.


Sumber: Kompas, 14 Desember 1986


Sabtu, 13 Desember 2025

,

MEMAHAMI KONTROVERSI TULISAN ULIL

(Kompas, 13 Desember 2002)


Oleh: Ratno Lukito



Tulisan Ulil Abshar Abdalla Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam ternyata menuai badai. Beberapa tokoh ulama Islam yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat beberapa waktu lalu menggugat tulisan tersebut karena dianggap telah melecehkan dan menghina ajaran Islam. Mereka bahkan sampai pada pendapat hukuman mati bagi penulis semacam itu.


Tokoh muda penggagas pemikiran Islam liberal ini sejak beberapa tahun lalu memang dikenal sangat vokal memperjuangkan pencerahan pemikiran Islam di negeri ini. Pemikiran semacam itu sejatinya bukanlah hal yang baru. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib maupun Nurcholish Majid, untuk menyebut beberapa saja, sudah sejak tahun tujuh puluhan mendahului dia menjadi lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Hanya saja kemunculan tulisan Ulil tersebut tampaknya memang bertepatan dengan situasi dalam negeri pada akhir-akhir ini yang belum reda dengan isu-isu global diseputar Islam dan Barat. Sehingga seolah-olah tulisan itu keluar dari konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan Islam.


Kontinuitas vs perubahan


Tapi apa benar ia telah melakukan penghinaan terhadap Islam gara-gara tulisan tersebut? Pertanyaan ini tentu tidak mudah menjawabnya sebab secara legal istilah "penghinaan" itu sendiri tidak pernah secara gamblang bisa didefinisikan. Apakah bisa dikatakan meng- hina Islam kalau seseorang mengemukakan pemikirannya tentang agama yang berbeda dengan pendapat orang lain? Apakah gara-gara pemikiran Ulil berlawanan dengan warna mayoritas ulama di negeri ini sehingga ia bisa dengan mudah dianggap telah melakukan penghinaan dan pemutarbalikan ajaran Islam?


Agaknya memang tidak mudah bagi tokoh pemikir Islam semacam Ulil menghadapi kenyataan masih banyaknya masyarakat kita yang memahami Islam sebagai "pakaian jadi" yang tinggal dipakai di manapun dan kapan pun. Situasi semacam ini sesungguhnya tidak spesifik Indonesia. Di belahan dunia Islam mana pun pemahaman semacam itu masih menjadi nomenklatur umum, sehingga usaha pencerahan dan pembaruan pemikiran agama senantiasa menemui masalah karena dianggap sebagai pendobrakan terhadap institusi yang sudah mapan.


Dalam hal seperti ini kelompok penentang pembaruan senantiasa menampilkan dirinya sebagai guardian of the faith, yang pada prakteknya menjadi agen utama pemertahanan institusi agama tersebut dari segala macam pengaruh gelombang perubahan. Doktrin bid'ah bagi mereka menjadi sangat luas pemakaiannya, tidak hanya spesifik pada aspek ibadah mahdlah tetapi juga aspek diluar itu, yaitu aspek agama itu sendiri secara umum. Islam karenanya menjadi sangat rigid dan antirejuvenalisasi karena segala upaya pemikiran ulang ajarannya senantiasa dihakimi sebagai tindakan bid'ah yang sesat dan menyesatkan (kullu bid'atin dlalalatun wa kullu dlalalatin finnaar).


Tulisan Ulil sejatinya hanya sekedar contoh dari suara sebagian anak muda cerdas yang jenuh dengan situasi kekinian di mana agama (Islam) tidak mampu lagi ditangkap élan vita-nya oleh masyarakat. Anak-anak muda itu dalam setiap kesempatan senantiasa berpikir bagaimana agar ajaran agama mampu memberikan tuntunan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. "Bagaimana agama dapat dipahami sedemikian rupa sehingga ajaran-ajarannya senantiasa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bagaimana doktrin-doktrin Islam dapat diterima dalam alam kehidupan yang sudah sangat berbeda dengan masa di mana Islam pertama kali diturunkan.


Disini Ulil sebetulnya hanya menuliskan suara hati kegelisahan anak-anak muda tersebut. Cobalah simak kalimat pertama yang ia goreskan ketika membuka tulisannya yang kontroversial itu: "Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah 'organisme' yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia." Dengan sangat gamblang, Ulil hanya ingin mengatakan bahwa Islam bukanlah barang mati, tetapi subyek yang berkembang searah jarum jam perjalanan sejarah manusia. Islam, karenanya berada dalam sejarah itu sendiri dan bukannya di luarnya.


Walhasil, Islam harus tidak dilepaskan dari ikatan kultur di mana Islam itu tumbuh dan berkembang. Performen keagamaan dalam Islam senantiasa dipengaruhi oleh variabel budaya tempatan. Artinya, harus dipahami bahwa penampilan Islam di suatu tempat tidaklah harus disamakan dengan penampilannya di lain ruang dan waktu. Islam di Arab tentu bersifat kearaban, karena itu wajar jika Muslim di Indonesia berkeinginan untuk menampilkan Islam secara keindonesiaan pula. Inilah poin lanjutan dari tulisan Ulil tersebut.


Menempatkan Islam dalam relativitas ruang dan waktu sebagaimana di atas sejatinya juga bukan hal yang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Tapi harus pula dipahami, bahwa pemikiran ini memang selalu mengundang kontroversi, karena oleh para oponennya ia dikhawatirkan akan melahirkan ketidakpastian dalam ajaran agama. Batas antara yang kekal (continuity) dan yang berubah (change) menjadi tidak jelas lagi. Dalam fenomena hukum Islam (Syariah), tarik ulur antara dua ekstrem ini juga tidak pernah selesai (N.J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law). Memang, membedakan mana dari aspek agama yang rigid dan mana yang fleksibel terhadap perubahan bukan pekerjaan yang mudah.


Sakral vs profan


Berkenaan dengan Syariah sebagai salah satu inti ajaran Islam, saya melihat bahwa sebetulnya Ulil sekadar ingin merefleksikan kembali pendapat bahwa institusi hukum dalam Islam sebetulnya senantiasa bertalian dengan tradisi tempatan masyarakat. Dalam proses pembentukan dan perkembangannya Islam senantiasa membuka diri dengan nilai-nilai ranah sosial masyarakat. Karenanya mengapa substansi hukum yang diderivasikan dari budaya masyarakat lokal (Arab, saat itu) sering diadopsi oleh Nabi untuk masuk dalam lingkup sistem hukum agama yang sakral (Wael Hallaq, History of Sunni Ushul Fiqh). Ambil contoh institusi hukum warisan, qisas, maupun hukum keluarga lainnya. Kita melihat betapa nilai-nilai adat masyarakat Arab sangat kental dalam filsafat bangunan hukumnya. Dengan demikian, dalam proses perkembangan berikutnya bangunan Syariah Islam perlu juga meng- adopsi tradisi hukum dalam masyarakat tertentu di mana ia dikembangkan. Inilah esensi kaidah usul fiqh Al-Adah Muhakkamah.


Walaupun terasa emosional, tapi Ulil benar ketika ia memberi contoh beberapa tradisi seperti berjenggot, berjubah, berjilbab, maupun hukum potong tangan sebagai tradisi Arab yang tidak perlu diikuti. Ia sebetulnya hanya ingin memisahkan mana yang sakral dan mana yang profan. Yang sakral dan immutable dalam sistem hukum Islam adalah nilai-nilai hukum universal (the values of universal law) yang dibawa Islam itu sendiri sedangkan aspek sub- stantive hukumnya bersifat profan dan mutable.


Terlepas dari pro dan kontra, tulisan itu harus dilihat secara jernih sebagai bagian dari perkembangan cara berpikir tentang agama yang dalam situasi kekinian perlu untuk terus didengungkan di Tanah Air. Kekeliruan Ulil mungkin hanya pada metode penyampaiannya yang terasa meledak-ledak dan emosional. Tapi ini tentu khas anak muda kan? Kenyataan bahwa ia telah berhasil mengekspresikan fenomena pemikiran Islam yang selama ini tidak berhasil diungkap secara sederhana dan lugas oleh orang lain tentu harus diakui.


Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengarahkan konflik pemikiran Islam di Tanah Air menjadi wacana yang sehat dan membangun. Kita harus menyadarkan diri kita masing-masing bahwa sebetulnya "kebenaran" itu banyak (the truth is not singular). Oleh karena itu apa yang pernah dikemukakan oleh JK Bernstein (Beyond Objectivism and Relativism, 1983) sebagai dialogue of the truth sungguh sangat perlu dilakukan dalam menghadapi pluralisme kebenaran itu. Dan bukan justru mengancamnya dengan hukuman mati.


Ratno Lukito, 

Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 


Sumber: Kompas, 13 Desember 2002

,

“HOW LIBERAL CAN YOU GO?”

(Kompas, 13 Desember 2002)


Oleh: Ahmad Gaus AF


Ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.


Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada irelevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia.


Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang "gelisah" bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan—atau menjawab—tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga "cemas" dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan.


Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam) di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba mempertahankan apa yang mereka anggap "kebenaran mutlak" yang tidak bisa di- ganggu gugat. Contoh paling mudah adalah Nurcholish Mad- jid ketika pada dekade 1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan perlunya kelompok pembaru yang liberal.


Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia, ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan tesis: Islam Yes, Partai Islam No!


Dalam makalahnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, ketua umum PB HMI dua periode ini juga mengkritik ide Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.


Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap telah lama membeku, dan seraya itu memberikan "rasa aman teologis" bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam.


                                           ***


Semangat untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam itu pulalah tampaknya yang kini diwarisi oleh anak-anak muda yang juga menyuarakan perlunya suatu pembaruan yang liberal dalam pemikiran Islam. Dinyatakan oleh koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar-Abdalla dalam tulisannya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.


Dibandingkan dengan gerakan pembaruan pemikiran Islam era 1970-an, apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar dan ka- wan-kawan di JIL sekarang ini jauh lebih agresif dan maju, karena terorganisir dengan baik. Tema-tema yang diangkat pun lebih beragam dengan melibatkan narasumber berbagai tokoh yang dipandang sejalan dengan, dan dapat mendukung, ideologi Islam liberal.


Atas dasar itu, tidak heran jika Ketua PB-NU KH Salahuddin Wahid pernah menyatakan bahwa JIL—yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU—jauh lebih liberal dari Cak Nur. Kalau Cak Nur, katanya kepada majalah Sabili Nomor 15, 25 Januari 2002, masih kental dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah masyarakat madani, sedangkan JIL menggunakan istilah masyarakat sipil. Berbeda dengan Kiai Salahuddin, para penentang JIL, cenderung berpendapat bahwa JIL itu hanya kelanjutan belaka dari proyek dan ide-ide Cak Nur.


Mana yang benar, bukanlah soal yang terlalu penting. Yang penting adalah sejauh mana ide-ide itu memang mampu membangunkan tidur orang banyak, bukan sekadar memancing kemarahan orang banyak. Dalam hal ini, pilihan-pilihan isu tidak bisa diabaikan. Apa yang membuat gerakan pembaruan pemikiran Islam era 70-an begitu spektakuler dan gaungnya begitu kuat, tidak lain karena pilihan isunya.


Kalau saja waktu itu Cak Nur bicara soal hak waris, kesaksian perempuan, jilbab, kawin antaragama, dan yang setara dengan itu, mungkin proyek pembaruannya tidak akan cukup berwibawa.


Betapapun gerakan pembaruan ketika itu adalah gerakan kultural, namun ia bisa menjadi counter political discourse bagi pemikiran arus utama (mainstream) yang tertanam kuat di benak para politisi dan aktivis Islam tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan negara. Boleh dibilang bahwa perdebatan mengenai hubungan ketiganya pada masa itu (Orde Baru) sudah menemui jalan buntu. Kaum Muslim di-fait accompli bahwa menjadi Muslim harus dengan sendirinya menjadi pendukung partai Islam dan mendirikan negara Islam; sebaliknya, rezim Orde Baru sangat alergi dengan partai Islam dan ide-ide negara Islam. Penghadapan antara umat dan rezim seakan-akan adalah zero sum game. Di sinilah kehadiran gagasan pembaruan ketika itu menemukan arti pentingnya; ia memberikan solusi dan jalan keluar dari kebuntuan.


                                                  ***


Apa yang diagendakan oleh gerakan Islam liberal sekarang ini sebenarnya juga sebagian menyangkut isu-isu struktural, seperti demokrasi dan penghargaan kepada HAM. Dalam ting- kat tertentu, isu-isu pinggiran seperti soal jilbab, kawin antaragama, dan lain-lain, juga bisa ditransformasikan menjadi isu struktural sehingga dampaknya langsung terasa. Misalnya kasus jilbab. Memang benar bahwa seorang ahli tafsir seperti Prof Quraish Shihab saja mengisyaratkan bahwa jilbab itu budaya Arab. Yang bukan bangsa Arab tidak terkena ketentuan untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh. Perintah dalam Al Quran dan hadis menyangkut ketentuan jilbab, kata Shihab, adalah perintah dalam arti sebaik-baiknya, bukan perintah wajib (Lihat, Wawasan Al Quran, 1996, tentang Pakaian). Akan tetapi, yang harus menjadi agenda para pejuang demokratisasi pemikiran keagamaan seperti JIL bukanlah soal hukumnya wajib atau tidak (itu soal interpretasi fiqih yang boleh berbeda), melainkan memperjuangkan agar orang bisa melaksanakan apa yang diyakininya sendiri tanpa paksaan. 


Sasaran kampanye JIL dalam hal ini bukanlah masyakarat itu sendiri, tetapi institusi atau otoritas yang membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan apa yang diyakini dari ajaran agamanya. JIL, sekadar contoh, tidak perlu mempengaruhi mahasiswa IAIN/UIN untuk tidak berjilbab, karena itu akan percuma selama institusinya sendiri mewajibkan jilbab. Artinya, kampanye demokratisasi Islam harus diarahkan langsung kepada sistem yang melingkupinya.


Begitu juga sebaliknya. Lembaga atau otoritas yang melarang perempuan Muslim memakai jilbab—seperti lazim di masa rezim Orde Baru—juga harus dilawan, demi persamaan hak yang dijunjung tinggi Islam liberal. Bukankah prinsip liberalisme adalah "mekanisme pasar"? Di sinilah diuji sejauhmana kalangan Islam liberal itu sungguh-sungguh liberal dalam pandangan dan sikapnya. How liberal can you go?


Kasus lain. Kawin antaragama adalah juga isu pinggiran, karena tidak menjadi mainstream dan cenderung tidak tampak. Diakui atau tidak, sudah banyak warga masyarakat yang melakukan kawin antaragama, sekalipun mereka tahu kesulitan yang akan mereka hadapi, misalnya dalam hal pencatatan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.


Isu pinggiran ini akan menjadi isu publik apabila agenda pemecahannya struktural. Misalnya, dalam Islam, memisahkan kantor urusan agama (KUA) dengan catatan sipil. Sehingga dengan begitu menghilangkan kendala pencatatan bagi pasangan beda agama. Dalam konteks ini perlu dipikirkan bahwa salah satu agenda Islam liberal adalah mereduksi campur tangan (birokrasi) negara dalam mengatur kehidupan umat beragama. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menyusun fiqih baru menyangkut ketentuan kawin beda agama.


Dua kasus itu sekadar contoh terhadap mana gerakan Islam liberal bisa memainkan peran strategisnya. Pendekatan baru adalah kata kuncinya. Bukankah Islam liberal sendiri hanya old wine in the new bottle? Karena itu, tanpa pendekatan baru, JIL tidak bisa mengelak dari tuduhan bahwa agendanya hanya mengulang-ulang proyek usang yang sudah ketinggalan zaman.


Akhirnya, dengan sedikit memperbandingkan gerakan Islam liberal era Cak Nur dan kawan-kawan pada dekade 1970-an dengan era Ulil Abshar dan kawan-kawan pada dekade 2000-an sekarang ini, bukanlah hendak menegaskan supremasi, prestise, dan kelebihan yang satu atas yang lain. Di setiap generasi, memang seharusnya muncul pikiran-pikiran baru yang menyegarkan. Gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan jawabannya.


Gerakan Islam liberal sekarang ini juga digulirkan pada era transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke Orde Demokrasi atau era kebebasan. Tantangan era kebebasan sekarang ini pasti jauh lebih kompleks, dan pasti pula membutuhkan pikiran-pikiran yang jauh lebih liberal, yang lebih menyentakkan kesadaran banyak orang, dan mengganggu tidurnya orang- orang yang malas. How liberal can you go?


Ahmad Gaus AF 

Peneliti di Paramadina, Jakarta 


Sumber: Kompas, 13 Desember 2002

Jumat, 12 Desember 2025

FUNDAMENTALISME

(MEDIA INDONESIA, 12 Desember 1998)


Oleh: Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU, Jakarta



Kata fundamentalisme, sebenarnya telah berkembang dari artinya semula. Berangkat dari pengertian Kristen, ia berhenti pada pengertian untuk semua agama. Dalam pengertian semula, kata itu berarti gerakan-gerakan yang menunjukkan fanatisme agama dan militansi terhadap ajaran-ajaran kitab suci. 


Kalau kaum Kristen mengatur kehidupan mereka berdasarkan fundamen-fundamen (dasar-dasar) yang disebutkan dalam kitab suci, maka jadinya adalah kaum yang lemah. Bukankah mereka yang memberikan pipi kanan kalau dipukul pipi kiri, mereka adalah kaum lemah secara rasional? 


Karenanya, mereka yang tidak setuju dengan semua yang dirumuskan kitab suci, lalu mencari fundamen-fundamen agama. Lahirlah apa yang dinamakan fundamentalisme agama, yaitu pencarian prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama dalam pandangan mereka. Ini harus dibedakan dari keinginan untuk mendasarkan kehidupan secara inspiratif dalam kehidupan bermasyarakat. Dari ajaran-ajaran formal agama, dicari prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bermasyarakat, bukan dari pengertian harfiahnya. 


Dari uraian di atas jelaslah bahwa dengan pendirian inspiratif seperti yang diaksudkan tadi, merupakan pencarian prinsip-prinsip pengaturan hidup masyarakat dari agama yang dipeluk seseorang. Jadi, bukanlah dengan mengemukakan dalil-dalil formal agama melalui kutipan kitab-kitab suci. Nah, dari pengertian fundamentalisme seperti inilah arti kata itu digunakan bagi agama-agama lain. 


Maka, lahirlah kata fundamentalisme Islam yang berarti pemahaman kata tersebut secara harfiah dari kitab suci Alquran dan hadits Nabi Muhammad saw. Karenanya, istilah tersebut menimbulkan ketakutan yang sangat pada fenomena penerapan hukum Islam secara harfiah. Seolah-olah dengan demikian, setiap tindakan menegakkan semangat Islam adalah penerapan hukum agama secara formal. 

Tidaklah terlihat adanya kemungkin lain bagi fundamentalisme Islam. Karenanya, istilah itu menjadi kata kotor dalam mengenali Islam sebagai proses kemasyarakatan. Bulu kuduk kita berdiri setiap kali mendengar istilah tersebut, tanpa ada kemungkinan memahaminya secara lain. 


Penyimpangan 

Dalam sebuah pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua UNICEF (Dana Darurat PBB untuk Anak-Anak), kepala perwakilannya di sini, membawa serta seorang bekas Menteri Perhubungan Ethiopia. Dikatakan bekas, karena ia baru saja berhenti dari kabinet dan kini tinggal di London. Mengapa ia pilih mengungsi di negara lain? Karena ada masalah pribadi yang bisa membuatnya “mati”. 


Penduduk Ethiopia 55% beragama Islam. Dengan demikian, ia dimasukkan dalam kabinet pada waktu itu guna mewakili kelompok yang besar, walaupun mayoritas muslim itu tidak diakui oleh dunia politik Ethiopia. Ia bersedia duduk di kabinet, walaupun di luarnya ada pihak garis keras yang menolak hal itu. Mereka justru menuntut agar Ethiopia diperintah oleh kabinet yang mencerminkan keadaan kaum muslimin sebagai kaum mayoritas. 


Karena menteri yang satu ini justru tidak mengindahkan tuntutan itu, maka ia lalu diserang sebagai pihak yang mengacaukan tuntutan. Karena itu, ia pernah diserang sebanyak tujuh kali upaya pembunuhan, yang kesemuanya berasal dari gerakan Islam berhaluan keras. Bukankah hal itu berarti ada orang Islam yang tunduk pada kekuasaan kaum bukan muslimin, yang berarti penyimpangan dari Alquran? Karenanya, bukankah orang yang demikian wajib dibunuh? Bukankah kabinet Ethiopia sekarang yang dipimpin presiden tidak beragama Islam, termasuk dalam apa yang dimaksudkan Alquran itu? 


Maka alangkat terkejutnya para anggota PBNU yang hadir dalam pertemuan itu ketika sang bekas menteri menjawab termasuk golongan apakah ia? “Saya adalah termasuk fundamentalisme muslim”. Ternyata istilah itu di Ethiopia mempunyai konotasi lain, yang berbeda dari pengertian yang biasa kita pahami. Dalam percakapan selanjutnya menjadi jelas, sang bekas menteri itu mempunyai pandangan keagamaan yang sama dengan pendirian NU. Di negara orang berkulit hitam itu, kata “Fundamentalisme Islam”, berarti orang-orang yang berpegang pada makna inspiratif agama tersebut, yaitu kelonggaran pada pihak lain, selama prinsip-prinsip Islam dihargai oleh setiap orang. 


Dengan menggunakan istilah tersebut, sang bekas menteri bermaksud menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang diambil dari inspirasi keagamaan adalah penentu kehidupannya. Sama dengan pemimpin Islam, sama dengan NU, yang menggunakan Islam dengan pengertian demikian alam hidup berpancasila di negeri ini. Bukankah dengan demikian, para pemimpin itu menggunakan fundamen-fundamen Islam dan bukannya kutipan-kutipan formalnya belaka? Bukankah dengan demikian, sang bekas menteri dari Ethiopia itu lebih mendekati pengertian harfiahnya dari kata “Fundamentalisme Islam” daripada yang kita kenal selama ini? 


Lalu kalau kita gunakan pengertian bekas menteri dari Ethiopia tersebut, apakah istilah yang lebih tepat untuk kaum perusuh yang memaksakan kehendak atas nama Islam di negeri ini? Jawabnya mudah saja, kaum muslim radikal, atau istilah apa pun yang mengandung arti seperti itu.***(A-2)


Sumber: MEDIA INDONESIA, 12 Desember 1998

SAPARDI MEMPERTANYAKAN KEBENARAN

(Kompas, 12 Desember 2010)


Oleh: Ilham Khoiri


Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus.

Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya, "Saya terus menulis. Kalau tidak menulis, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Praktis tiap hari saya di depan komputer, pokoknya tak-tuk, tak-tuk...," katanya seraya memeragakan orang mengetik.


Kami ngobrol santai di rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, pertengahan November lalu. Malam itu gerimis. Udara lembab dari Setu Gintung di belakang rumahnya sesekali menyelinap masuk lewat jendela.


Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.


Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah.


"Saya membuat puisi, kadang menulis cerita, atau menerjemahkan teks sastra Inggris," katanya. Sapardi menunjukkan puisi terakhirnya, Sajak dalam Sembilan Bagian, yang terbit di Kompas, pekan sebelumnya. Baginya, menulis adalah pekerjaan yang tak kenal pensiun.


Kapan pertama kali menulis puisi? 


Saya pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat umur saya 17 tahun. Tapi, puisi saya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang saya terus menulis puisi.


Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), saya berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, saya juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.


Bagaimana proses kreatif selanjutnya? 


Saya hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Bagi saya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.


Buku kumpulan puisi saya pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa saya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.


Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Saya mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut "belum ada namanya". Puisi, tetapi mirip dongeng Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.


Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.


Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang


Bagaimana kemudian puisi Anda dikenal sebagai puisi liris?

Banyak orang lebih menyukai puisi saya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.


Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.


Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya. bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.


Pendidik


Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Ingris di Kursus Bl Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang


Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di Ul sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.


Bagaimana pengalaman Anda selama menjadi dekan?


Itu, kan, seperti arisan dan kebetulan saya yang dapat giliran. Begitu terpilih sebagai dekan, saya tak bisa menolak. Saya belajar manajemen agar bisa masuk dengan pas. Dengan sistem yang sudah jadi, saya fokus membuat gagasan. Kan, nanti ada pegawai-pegawai yang melaksanakannya.


Saya pernah memimpin lembaga dari tingkat lebih rendah. Sebelumnya, saya menjadi pembantu dekan III dan pembantu dekan I. Pekerjaan sastrawan itu, kan, tidak setiap hari dan bisa dikerjakan secara sambilan. Beberapa sastrawan lain pernah menduduki jabatan, seperti Umar Khayam atau Budi Darma.


Sastra pop


Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit. seperti Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang. (1979), Sastra Indonesia Modern Beberapa Catatan (1983). dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).


Sebagai pengamat, seniman ini bisa  memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hing ga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.


Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra zaman sekarang?


Sastra berkembang cepat. Buku sastra diterbitkan di mana-mana. Ada kumpulan puisi, cerpen, atau novel. Apalagi sekarang ada media dunia maya di internet yang memungkinkan siapa saja menulis sastra, entah lewat blog Facebook, Twitter, atau e-mail.


Media ini luar biasa karena membuat sastra mudah tersebar ke mana-mana. Semua itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya minat baca dan menulis serta pengembangan bahasa.


Kualitasnya bagaimana?


Jumlah karya sastra banyak dan di antaranya ada yang bagus. Sebagian anak muda serius menguasai bahasa. Yang menarik, para pengarang itu tak terpaut hanya pada bahasa baku, tetapi bahasa sehari-hari, seperti bahasa gaul yang sangat luwes.


Bagaimana dengan sukses pasar novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi, misalnya? 


Sastra itu bukan barang sakral. Semua orang bisa ambil bagian karena sastra milik kita semua.


Dua novel itu termasuk sastra populer. Dalam arti, keduanya mengandung sesuatu yang disukai, pesannya jelas, mencoba  untuk luruskan keadaan, dan mengusung kesimpulan jelas: yang benar harus diberi hadiah dan yang salah dihukum. Mungkin ada misi dakwah yang disampaikan secara gamblang.


Di luar negeri, sastra populer juga diminati, seperti novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown, Twilight karya Stephenie Meyer, atau Harry Potter karya JK Rowling. Karya-karya sastra pop belum tentu jelek dan karya sastra eksperimental juga belum tentu bagus. Itu perkara selera. Biarkan pembaca menilai. Iklimnya sekarang jauh lebih demokratis. 


Bagaimana perkembangan sastra yang tidak populer?


Marak juga, tetapi tak banyak yang mengeroyok. Ada perkembangan baru, seperti dari karya Nukila Amal, Djoko Pinurbo, Linda Christanty, dan Ayu Utami Namun, jangkauannya terbatas. Mungkin Saman karya Ayu Utami bisa jadi contoh sastra inovatif yang laku.


Saya menyebutnya sebagai sastra inovatif karena berniat mempertanyakan norma umum, kebenaran. Penulis menyajikan masalah secara baru, mengungkapkan kompleksitasnya, dan mencoba mempertanyakan segala sesuatu, termasuk nilai yang disepakati bersama.


Itu pula yang dilakukan Armijn Pane lewat novel Belenggu tahun 1940-an, Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, 1950-an), dan NH Dini (Pada Sebuah Kapal, tahun 1970-an). Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berkembang saat itu, entah soal rumah tangga, perjuangan, atau hubungan antarmanusia.


Nah, pada tahun 2000-an sekarang beberapa pengarang berusaha mempertanyakan soal seksualitas, agama, hubungan perempuan-perempuan, dan atau membongkar nilai-nilai lain. Di sini, pembaca seperti diajak untuk ikut menulis, menciptakan dunia sendiri yang baru. Teks sastra hanya semacam godaan yang merangsang pemikiran.


Apa relevansi sastra bagi kehidupan sekarang?


Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.


Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng seperti kisah Adam dan Hawa


Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri. 


SAPARDI DJOKO DAMONO

• Lahir: Solo, 20 Maret 1940 


• Ayah: Sadyoko


• Ibu: Sapariah 


• Pendidikan:

- Sekolah Rakyat Keraton "Kasatriyan", Solo

- SMPN II Solo, SMAN II Solo

- Sastra Inggris UGM, Yogyakarta (1958-1964)

- Program Doktoral Sastra Universitas Indonesia (lulus tahun 1989)

- Profesor Bidang Ilmu Sastra UI (1994)


• Pekerjaan:

- Guru di Madiun, Solo, dan Semarang.

- Dosen di Universitas Diponegoro, Semarang

- Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia

- Redaktur Majalah Sastra "Horison", Jakarta (20 tahun, tahun 1973-1993)

- Dosen di Fakultas Sastra UI, Jakarta (sejak 1973)

- Dekan Fakultas Sastra Ul (1995-1999)


• Buku (kumpulan sajak).

- duka-Mu abadi (tahun 1969)

- Mata Pisau dan Akuarium (1974)

- Perahu Kertas (1983)

- Sihir Hujan (1984)

- Hujan Bulan Juni (1994) 

- Arloji (1998)

- Suddenly the Night (1988)

- Ayat-ayat Api (2000)

- Mata Jendela (2002)

- Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002)

- Kolam (2009).


• Buku (esai, karangan ilmiah): -

- Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978)

- Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979)

- Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983)

- Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990)

- Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)

- Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)

• Penghargaan:

- Cultural Award dari Australia (1978)

- Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)

- SEA-Write Award darl Thailand (1986)

- Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1990)

- Mataram Award (1985)


Sumber: Kompas, 12 Desember 2010

Trik Gila Baca Buku

Fakta menariknya, penelitian dari Cognitive Neuroscience Journal menemukan bahwa otak manusia hanya mampu mempertahankan fokus optimal sekitar dua puluh menit sebelum perhatian mulai menurun. Artinya, kehilangan fokus saat membaca bukan tanda kamu malas, tapi respons alami otak saat bertemu sesuatu yang terasa monoton. Jadi wajar jika halaman enam belas terasa jauh lebih berat daripada halaman pertama. Bukan kamu yang lemah, pola bacanya saja yang tidak cocok.

Masalahnya, banyak orang membaca buku seperti sedang menjalankan ritual wajib. Duduk diam, membuka halaman satu, lalu berharap bisa tenggelam dengan sendirinya. Padahal buku bukan tontonan pasif seperti film. Buku menuntut partisipasi. Membaca adalah dialog. Jika kamu memperlakukannya seperti rutinitas sunyi yang kering, wajar kalau pikiran kabur entah ke mana.

Sekarang mari kita coba trik yang sedikit gila tetapi justru efektif.

1. Jangan mulai dari awal. Mulailah dari bagian yang langsung membuatmu penasaran. Misalnya saat membaca Thinking Fast and Slow, kamu tidak harus membuka pendahuluan yang panjang. Cari bab yang terasa paling dekat dengan hidupmu. Ketika rasa ingin tahu memimpin, fokus akan mengikuti.

2. Ubah tujuan membaca. Jangan baca untuk menamatkan buku, tapi untuk menemukan satu ide yang mengubah cara pandangmu. Satu paragraf yang membuatmu berpikir, jauh lebih bernilai daripada memaksa diri menuntaskan tiga ratus halaman tapi tidak mengingat apa pun. Tanyakan pada dirimu, apa satu gagasan yang bisa kubawa pulang dari bacaan ini.

3. Coba membaca dengan suara pelan. Banyak orang tidak sadar bahwa kata kata menjadi lebih hidup ketika terdengar. Suaramu sendiri bisa menjadi jembatan antara teks dan pikiranmu. Kadang kalimat yang biasa saja akan terasa berbeda ketika kamu mendengarnya keluar dari mulutmu.

4. Pindah tempat membaca untuk menipu otakmu. Bacalah di teras saat hujan, di kursi berbeda, atau bahkan sambil berdiri. Otak merespons lingkungan baru dengan meningkatkan kewaspadaan dan rasa ingin tahu. Perubahan kecil bisa membuat bacaan terasa segar kembali.

5. Ketika menemukan kalimat yang menusuk, berhenti. Jangan buru buru lanjut. Biarkan kalimat itu tinggal sedikit lebih lama. Rasakan bagaimana ia memantik pertanyaan dalam dirimu. Bacaan yang baik seharusnya membuatmu berhenti, bukan berlari.

Jika kamu mencoba trik ini satu per satu, kamu akan sadar bahwa rasa bosan bukan musuhmu. Ia hanya indikator bahwa otakmu membutuhkan cara baru untuk memasuki dunia buku. Dan begitu kamu menemukan ritme yang tepat, membaca tidak lagi terasa seperti beban, tapi seperti percakapan yang selalu ingin kamu kunjungi lagi.

Sumber: Fb



TERBARU

MAKALAH