alt/text gambar

Kamis, 18 Desember 2025

, ,

Kartini tentang Tuhan dan Takdir


Oleh: Pramoedya Ananta Toer


Tambah jauh dengan surat-suratnya, tambah banyak Kartini bicara tentang Tuhan, dan tambah jauh ia meninggalkan bentuk-bentuk keibadahan atau agama. Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat, jadi ia termasuk dalam golongan javanis Jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama yang dianut, bahkan juga bagi si ateis sekalipun, sebagaimana jelasnya dinyatakannya dalam hubungan dengan buku Edna Lyall We Two

Ia dapat menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikan atas agama apapun, sebagaimana halnya pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz Quo Vadis?

Dan bagaimana tentang kepercayaannya sendiri sebagai seorang pemeluk agama Islam? 

"Tahun-tahun datang dan mereka kemudian pergi...... Kami bernama orang-orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah kata, adalah bunyi tanpa makna...... Demikianlah kami hidup terus—sampai terbitlah hari yang akan mendatangkan pergulingan di dalam kehidupan rohani kami."

Kalau Kartini menyatakan seperti itu, bukan berarti ia memunggungi agama nenek-moyangnya, tetapi hanyalah suatu pengakuan jujur tentang suasana hati sesaat, di mana ia merasa tidak puas terhadap sikap orang-orang yang menamakan dirinya orang Islam, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang justru tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya beragama. Dan perlakuan semacam itu terlalu banyak diterima oleh Kartini dari orang-orang yang justru mengakui dirinya Islam, terutama perlakuan dalam bentuk fitnah dan bisik-desus. Memang Kartini banyak bicara tentang religi, tetapi sebenarnya ia lebih banyak seorang humanis, yang melihat segala dari jurusan kepentingan manusia: amal manusia kepada manusia sebagai dasar moral dunia modern. Asas ini yang menyebabkan ia dengan kata-kata yang terasa keluar dari hati jengkel menulis:

In 't kort, zendingsarbeid—doch zonder doop

atau: 

Pendeknya, kerja amal—tapi tanpa baptis. 

Ini dinyatakannya kepada E.C. Abendanon sebagai syarat-jawaban, yang mungkin sekali hendak mempergunakan krisis pengertian Kartini atas religi yang tidak memuaskan hatinya sebagai kesempatan untuk berpindah kepercayaan Protestan, sebagaimanamana dilakukan oleh Pandita Ramabai di Hindia Inggris. Dan selanjutnya ia menyatakan, bahwa, kalau Belanda hendak mengajarkan kesalehan mutlak pada orang Jawa, haruslah diajarkan kepada mereka itu cara mengenal Tuhan yang Mahaesa, Bapa Cinta. Bapa seluruh Makhluk-Nya, tak peduli Orang Nasrani, Islam, Buddha, ataupun Yahudi. Kemudian Kartini menyatakan pula, bahwa: 

".... agama yang sesungguhnya ialah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.” 
Kembali di sini orang berhadapan dengan sinkretisme dalam jiwa Kartini, yang selalu mencoba meninggalkan syarat, untuk tidak terpeleset dari asas ajaran. Tapi lebih jelas ialah sebagaimana ia rumuskan sendiri: 
"Selalu menurut paham dan pengertian kami, inti segala agama adalah 'Kebajikan', yang membuat setiap agama menjadi baik dan indah. Tapi, duh! Orang-orang ini apakah yang telah kalian perbuat atasnya! 
Agama adalah dimaksudkan sebagai karunia, untuk membentuk ikatan antara semua makhluk Tuhan, coklat dan putih, dari kedudukan, jenis, kepercayaan apapun, semua kita adalah anak-anak dari satu Bapa, dari satu Tuhan! 
Tak ada Tuhan lain terkecuali Allah! Kata kami orang-orang Islam, dan bersama kami juga semua orang beriman, kaum monoteis, Allah adalah Tuhan, Pencipta Sekalian Alam.
Anak-anak dari satu Bapa, saudara dan saudari jadinya, harus saling cinta-mencintai, artinya tunjang-menunjang bertolong-tolongan. Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta-mencintai, itulah nada-dasar segala agama. 
Duh, kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya: karunia! 
Itu yang justru membuat kami bersiaga terhadap agama, ialah bahwa para pemeluk agama yang satu menghinakan, membenci, kadang memburu-buru yang lain, malah..."
Jadi, sebagai humanis Kartini memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya. Jelas sekali pendapat ini berasal dari golongan javanis dan dirumuskan secara modern sejalan dengan humanisme Eropa dan yang oleh Multatuli dalam Minnebrieven-nya dikristalisasikannya dengan kata-kata: “Tugas Manusia ialah menjadi Manusia.” 
Sejalan dengan gaya Kartini yang bermakna-ganda, pernyataan-pernyataannya tentang soal yang sangat khusus nampaknya ini, bukan tidak mungkin mempunyai latar belakang lain lagi, yaitu hubungan tanpa berperikemanusiaan antara penjajah putih dan terjajah coklat. Meninggalkan kemungkinan adanya makna-ganda dalam pernyataannya tersebut menarik adalah istilah-istilah Nasrani yang dipergunakannya dalam membicarakan bidang ini, hampir tak pernah dipergunakannya istilah Arab. Benar ia pernah menyatakan, di lingkungannya tiada seorang pun paham bahasa Arab, tapi sedikit atau banyak mengherankan juga keadaan ini.
Namun apapun kekurangannya di bidang agama Islam, ia tiada pernah mencederai agamanya, sebagaimana ia pun tiada pernah mencederai Rakyatnya. 
R.M. Notosuroto menyatakan, bahwa “perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan imannya, dalam mana ia terdidik, tetapi suatu keteguhan yang berbareng dengan pengertian yang lembut di mana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan agama-agama lain. Penghargaannya ini menyebabkan kalbunya tidak membeku dalam dogma-dogma kaku, tapi sebaliknya menyebabkan ia menjadi lebih kaya dan membuat ia mengerti quintessence atau inti setiap religi: kebajikan dan cinta sesama. 
Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis watak Kartini yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari orang-orang lain."
“Keseimbangan yang sama dengan anggapannya terhadap religinya sendiri serta orang lain dapat kita temukan kembali di dalam penghargaannya terhadap sifat pandangan hidup Timur maupun Barat.” 
Jadi yang manakah Tuhan Kartini sesungguhnya? Segera atas pertanyaan ini Mr. C. Th. van Deventer menjawab: “Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini? Yah, Dialah Yang Tertinggi tanpa Batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi bersaudara satu dengan yang lain, yang menyebabkan juga orang-orang Brahma dan bahkan juga orang Kafir dijiwai dan bahwa Kebajikan dan Cinta merupakan ketentuan-ketentuannya yang terutama. Kepercayaan pada Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi. Sebagai orang yang terdiri secara Islam, ia ingin tetap menjadi Islam sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan dari ajaran itu, karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal kedua, dan setiap bentuk itu pun punya kelemahannya sendiri.
"... Tidak pernah dihadapkan kepada kita dengan lebih jelas betapa perasaan-perasaan keagamaan pada orang Jawa yang telah bersentuhan dengan peradaban Barat mendapatkan suatu pentahbisan yang lebih tinggi tanpa harus memunggungi agama Islam.” 
Dan setelah memahami Tuhan-nya Kartini, barulah orang dapat memahami pula ucapan-ucapannya dalam mana Tuhan disebut-sebutnya. 
Sungguh mengherankan, sekalipun begitu banyak menyebut-nyebutnya, hampir selalu ia mempergunakan istilah dan isi yang ada dalam ajaran Nasrani yang dicampuraduknya dengan ajaran-ajaran Islam yang diterimanya hanya secara tradisional dan asimilatif dan nampak sekali Kartini tidak pernah berkenalan dengan teologi baik menurut Islam maupun Nasrani, dan di sana-sini muncul teori-teori yang berasal dari bacaan. Baik teori-teorinya sendiri maupun yang telah menjadi kepunyaannya sendiri, tidak pernah meninggalkan pengutamaan nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat. 

Manusia dan batas kemampuannya 

Sekalipun pengutamaannya atas nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat, Kartini tidak melupakan kenyataan, bahwa usaha dan kesanggupan manusia ada batasnya. Dan kebijaksanaan Kartini justru terletak pada kemampuannya mengenal batas ini, sehingga, sekalipun Abu Hanifah menamainya sebagai “wanita idealis dari Jepara”, ia tidaklah termasuk idealis yang tak kenal batas. Sebaliknya, bukankah kemampuannya mengenal batas itu justru salah satu ciri dari realisme? Sekalipun pada tarafnya yang permulaan? Tetapi apakah Kartini seorang idealis ataukah seorang realis, sebenarnya tidak mengurangi maknanya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam sejarah kebudayaan Indonesia. 
Dalam suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada bulan Oktober tahun 1900, ia mengatakan, bahwa “Pemenuhan dari hasrat-hasrat hati, banyak kali dibarengi dengan penerimaan luka-luka pada hati itu pula.” 
"Dan begitu banyak kejadian pada hari-hari belakangan ini menunjukkan: Manusia menimbang—Tuhan jua yang menentukan. Itulah peringatan bagi kami orang-orang berpemandangan cetek ini, peringatan agar terutama sekali tidak congkak: merasakan sungguh-sungguh, bahwa kita sendiri mempunyai kemauan sendiri."
Dan kemudian: 
"Ada suatu Kekuasaan, yang lebih besar daripada seluruhnya yang ada di atas muka bumi ini; ada suatu Kemauan, lebih kuat, lebih berkuasa daripada seluruh kemauan umat manusia. Celakalah manusia, yang menyombongkan kemauan besi dan dahsyatnya sendiri! 
Hanya ada satu Kemauan, yang boleh dan harus kita punyai; kemauan untuk mengabdi kepadanya: Kebajikan!... "
Teori-teori semacam itu selamanya dinyatakan oleh Kartini sewaktu ia berada dalam situasi jiwa yang pelik, dan ada dirasainya suatu tenaga yang lebih besar daripada tenaganya sendiri, usaha yang lebih besar daripada usahanya sendiri, yang semuanya itu membatasi kemampuannya, gerak-geriknya, usahanya. Jadi teori-teori semacam itu seakan-akan menjadi kebutuhan baginya sebagai kompensasi atas kegagalan-kegagalannya, atau semacam hiburan yang lahir karena kesadaran akan keterbatasan manusia. Lama-kelamaan, karena terlalu sering mengalami yang demikian, ia lebih hati-hati dalam usahanya, bahkan dalam pemikirannya pun, sehingga memberinya sifat baru padanya, yaitu sifat mengenal batas. 
Juga di masa-masa ia merasa di dalam jurang penderitaan yang paling dalam, dari keyakinannya akan keterbatasan manusia, timbul anakkepercayaan, bahwa pasti ada sesuatu penjelasan atau jalan keluar, entah dari mana datangnya—yang pasti datang—dan karena tiada diketahuinya sebelumnya dari mana datangnya, maka dinamainya "tenaga gaib". Dan tenaga ini mengangkatnya ke atas dari dasar jurang, melalui salah satu peristiwa, keadaan, yang mungkin tak pernah disangka-sangka sebelumnya, tetapi yang mana ia menolaknya dinamai "kebetulan". Dengan demikian sampailah ia kemudian pada teorinya tentang Takdir. 
"Kebetulan!—tidak, bukan kebetulan, itulah takdir Tuhan. Allah, Bapa kami, yang mengirimkan kemari mereka ke sini, untuk mengisi jiwa-jiwa muda kami yang muda dan berjuang dengan tenaga dan ketabahan segar. Pertemuan itu merupakan titik balik di dalam hidup kami. Mulanya kami masih ragu-ragu, tapi setelah itu mantaplah tekad kami untuk mencapai cita-cita kami, apapun korban yang dipintanya. 
Dahulu nampaknya begitu gaib; sekarang telah menjadi jelas, bening, sederhana. 
Tuhan sajalah yang mengerti rahasia dunia; tangan-Nya mengendalikan alam semesta; Dialah, yang mempertemukan jalan-jalan yang berjauhan menjadi satu jalan baru. 
Demikianlah ia telah arahkan jalan kawan-kawan itu kepada kami, agar kami menjadi lebih kuat oleh pertemuan-pertemuan itu, disatukan dengan jiwa-jiwa besar dan kuat, menjadi jalan baru yang dapat dilalui oleh mereka yang berada di belakang kami. Kami tidak mengenal sama sekali satu daripada yang lain, dan kami sama sekali tidak mengetahui tentang mereka. Maka tiba-tiba kami pun berhadap-hadapan, dan roh-roh yang tadinya asing itu, kemudian memancarkan simpati satu kepada yang lain. Beberapa jam hanya pertemuan kami itu; waktu kami berpisahan, tahulah kami, bahwa kami akan bersahabat.
Keajaiban itu telah dimulai, dan ia mengembangkan dirinya! Sebulan setelah pertemuan itu terjadi sesuatu, yang tiada pernah kami duga-duga sebelumnya, mengimpikannya pun tidak. Nyonya tahu bukan, bahwa keluar rumah bagi gadis-gadis Jawa bukanlah adat, bahwa mereka semestinya harus terus dikurung di balik tembok atau pagar bambu, sedemikian lamanya sampai datang seorang yang sama sekali tak dikenalnya, “seorang suami yang ditakdirkan Tuhan” itu dan datang menuntutnya dan menyeretnya ke rumahnya. Begitu pendek kami baru mengenal kebebasan, atau bagaimana sajalah Nyonya menamainya. Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu ialah: kami berada di Batavia di tempat sahabat-sahabat baru. 
“Rasanya aku harus jelajahi seluruh Jawa untuk dapat bertemu dengan kalian, aku harus temukan kalian. Dan kalau sudah aku temukan kalian, puaslah hatiku.” 
Kami ditakdirkan untuk bertemu, pertemuan untuk mengemudiankan pengaruh besar atas hidup kita. 
Sebelum kedatangan mereka kami telah melayang-layang dalam keraguan, maklumlah, waktu itu masih gelap-gulita di sekeliling kami. Tanpa sadar kami, mau atau tidak, mereka telah obori arah yang pasti ketika kami dalam keadaan melayang-layang. Ke sanalah kami harus pergi, menempuh jalan menuju Cita!"
Jelaslah bahwa Takdir bagi Kartini bukan kata lain daripada defiatisme, fatalisme, atau penyerahan diri dalam kehilangan kepercayaan diri, tapi berasal dari wawasan yang luas serta mendalam tentang tugas sang kebajikan itu bagi peningkatan terus-menerus umat manusia ke arah yang baik dan lebih baik, pendeknya bagi evolusi manusia dan masyarakatnya. 

Sumber

Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003,
h. 260-267.

Keterangan

Tulisan Pramoedya Ananta Toer ini saya ambil dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja, yaitu dari halaman 260 sampai 267. Judul di atas dari saya sendiri. 


BISAKAH KITA . . .?

(TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42)


Oleh: Ignas Kleden

“Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Itulah kalimat Goethe yang paling menyenangkan, semenjak saya membaca riwayatnya beberapa tahun lalu. Ucapan itu baru-baru ini menjadi hidup lagi dalam kepalaku. Bagaimana tidak?


Hari itu siang bolong, hari amat panas dengan suhu Jakarta pada maximum. Kantor redaksi majalah itu sepi-sepi saja. Hampir semua reporter tugas-luar. Dengan ragu-ragu, teman diskusi, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang sejak tadi hilang-timbul di sudut matanya. Dalam nada yang aneh: “Bung, menurut bung, adakah kemungkinan manusia berbahagia?” Saya juga pernah risau dengan soal tersebut, tetapi segera lupa begitu saja. Kesibukan mencari duit dan sesuap nasi merenggut saya keluar dari renungan semuskil itu. Apalagi tanpa duit, agak bingung rasanya bagaimana akan berbahagia di Jakarta. 


Tetapi teman wartawan itu nampak bertekun. “Saya kok obsesi benar! Seandainya kita tak mungkin berbahagia, buat apa harus begitu banyak berkorban?” Dan dia mulai berbicara tentang Mao. Tokoh almarhum ini kabarnya mencita-citakan lahirnya Manusia Baru, suatu ungkapan yang sering juga saya dengar dalam pelajaran agama di Sekolah Menengah. Menurut Mao, rakyat RRC harus dididik untuk tidak mudah tergoda oleh materialisme – atau menurut teman saya – tidak mudah terpancing oleh keinginan-keinginan daging. Seingat saya, cita-cita itu pernah dianjurkan oleh Gandhi dan Kristus, dan saya tak tahu – mungkin juga oleh beberapa penganjur lain dalam sejarah. Dan sahabat saya berbisik risau setiap kali: “Mungkinkah ada masa di manusia tak begitu serakah, tidak dilanda banjir kerakusan yang bukan-bukan?” Mao misalnya mendidik rakyatnya bekerja keras sekali tanpa suatu hak milik atas tanah. Rasanya rada kelewatan. Tapi demikianlah titah sang Maha-Pemimpin, dan Tiongkok seperti mengalami hari penciptaan kedua. Kelaparan pupus- menyingkir dari daratan Cina.


Bagaimanapun pokok soal tinggal yang sama. Mao ternyata sukses, seperti juga Firaun Mesir sukses membangun Piramide di Giza. Hanya tidakkah rakyat harus berkorban terlalu banyak?


                                             ***

Bagi banyak orang, Mao menimbulkan kegemparan besar, baik dalam keyakinan maupun dalam cara-fikir. Bisa timbul kesan: manusia ternyata selalu dapat menyesuaikan diri, tanpa batas, tanpa sisa. Kalau seorang anak Semarang belajar teknik ke Jerman Barat, maka dia akan butuh beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan hawa di sana, beberapa minggu untuk menyesuaikan perutnya dengan makanan di sana, beberapa bulan untuk menguasai bahasa percakapan di sana dan beberapa tahun untuk bisa faham cara-fikir dan adat-istiadatnya. Jadi apa yang disusahkan? 


Kalau sekelompok rakyat harus diharuskan takluk pada suatu sistim politik, mereka juga niscaya akan sanggup menyesuaikan dirinya dengan sistim itu – atau sistim apa saja – asal pemerintahnya cukup kuat untuk meng-enforce-kan pelaksanaan sistim itu. Dan selesailah soalnya: masuk kandang kambing mengembik. 


                                                  ***   

Pada tahap penjelasan dan reasoning ini, perasaan saya jadi repot. Kalau benar misalnya bahwa manusia semata-mata mahluk yang adaptik dalam seluruh seginya, maka apa yang bernama kodrat, martabat, human condition, das Sollen dan sebagainya, hanya dusta dan bual orang-orang pintar. Menurut jalan fikiran di atas, apa yang dinamakan kodrat manusia – dari mana berasal hak-hak azasi manusia – sebenarnya omongkosong. Kalaupun ada kodrat, maka kodrat manusia adalah adaptasi. Karena itu kita sebetulnya tak punya alasan sungguhan yang benar-benar asasi untuk menentang kolonialisme. Kita hanya harus menyesuaikan, dan cepat atau lambat kita akan betah juga berada di bawah sayap penjajahan asing. Lalu mengapa perang kemerdekaan? Dan 10 Nopember di Surabaya? Barangkali karena pemerintah Belanda dan Sekutu pada waktu itu kurang kuat memaksakan sistim dan kehendak politiknya? 


Amerika Serikat kiranya boleh dipandang sebagai “orang kuat”. Kuat juga dalam seluruh perlengkapan yang mendukung sistim politiknya: komunikasi, senjata, dollar, diplomasi, logidtik bahkan persuasi dan pengalaman. Ternyata dia tumbang di Vietnam. Dan Rusia, mengapa dia tak cukup kuat memaksakan seorang Solzhenitsyn menyesuaikan diri dengan kehendak partai Komunis? 


Bagi saya segi praktis yang membuat bergidik adalah: kalau kita tak punya suatu apa yang bernama kodrat, martabat (atau apalah namanya), kita niscaya tak mempunyai alasan dasar untuk menolak, bila sekali kelak akan ada (semoga dihindarkan kiranya!) suatu sistim yang lalil yang hendak dipaksakan ke atas Indonesia. 


                                          ***

Kembali ke soal Mao: dengan dasar manakah Mao berhak memaksakan 800 juta manusia bertekuk lutut di depan kehendaknya? Bukankah hanya karena de facto dia berkuasa dan amat berkuasa? Rakyat seakan mengorbankan segala sesuatunya (hak, kegembiraan, kebebasan dan lain-lain) demi mewujudkan cita-cita sang Pemimpin, sementara dunia dengan rasa kagum menyampaikan salut karena 800 juta perut tidak lagi diancam rasa lapar. Namun saya tak dapat membayangkan bagaimana bisa berhitung dengan kelaparan jiwa yang dikorbankan. Demi apa ya sebetulnya? Sistim Mao kukuh seperti Tembok Besar yang melindungi RRC dari luar. Tetapi siapa bisa memastikan bahwa sistim itu bisa menjadi baluarti untuk meringkus hati nurani yang bebas dan menaklukan yang bernama martabat? 


Dalam percakapan pribadi dengan Prof. De Vries – rektor pertama IPB, sekarang mahaguru universita Pittsburg – baru-baru ini, dia membicarakan tentang perlunya Indonesia memperhatikan juga suatu rencana kebudayaan, yang memikirkan bagaimana secara kongkrit dijaga, dikembangkan dan diperluas nilai-nilai yang menunjang martabat manusia. Saya tak menjamin bahwa saya faham sekalian yang dikatakannya, tetapi rasanya tertangkap juga beberapa bayangan maksudnya, yang masih memerlukan waktu dan pengalaman untuk disingkapkan lebih jelas. Di hati saya berfikir, persoalan kebudayaan kita dari segi ini mungkin berarti: bagaimana mengusahakan agar supaya sambil berikhtiar memperbaiki seluruh nasibnya, tiap orang bisa berbahagia dengan keadaannya masing-masing, karena terjaga martabatnya. 


Ada teman lain alumnus pesantren Pondok Gontor berkunjung ke tempat saya. Setelah percakapan jadi asyik, saya akhirnya bertanya apa kiranya yang menurut dia paling khas diberikan Pondok Gontor bagi perkembangan dirinya. “Ada satu utang budi” dia menjawab tanpa pikir, “sekarang saya merasa mampu untuk hidup di mana saja dengan rasa senang. Di pesantren saya belajar menghargai dan dihargai orang”. Dengan pasti saya dapat meraba bahwa di balik penghargaan yang disebutnya itu adalah martabat manusia. 


                                               ***


Ada sebuah ucapan Mao yang amat terkenal: “Politik keluar dari laras senapan”. Seorang pengagumnya baru-baru ini di Amerika Serikat bahkan menyatakan: “Moral keluar dari laras senapan”. Dalam khayal saya, muncul kantor majalah itu. Terdengar suara setengah memberontak: mungkinkah kita berbahagia? Hari ini tak dapat saya bayangkan untuk menjawabnya dengan parafrase lain dari ucapan Mao: kebahagiaan keluar dari laras senapan. 


Bagi saya Goethe lebih menyenangkan, dan barangkali lebih benar. “Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Dan Goethe menurut kisahnya sendiri merasakan kebahagiaan yang sepenuhnya, ketika dia diam-diam melarikan diri dari istana Weimar, turun dari negeri utara ke Italia dan mengadakan pengembaraan di sana di negeri “kebebasan dan penemuan”. 


Sumber: TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42

Rabu, 17 Desember 2025

UKURANNYA JELAS, BUKAN SEKADAR NOMOR SEPATUNYA AKBAR TANDJUNG

(Kompas, 15 Desember 1998)


(Catatan Kecil buat Saur Hutabarat)

Oleh: Abdurrahman Wahid

Di harian dan ruangan ini, beberapa waktu lalu, Saur Hutabarat (SH) mengemukakan pendapat yang sangat menarik. Intinya, tiap bangsa mempunyai ukuran kepemimpinan tersendiri, yang berbeda dari waktu ke waktu dialami oleh masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, ia menolak tegas pendapat Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Golkar, yang menganggap bahwa tidak ada orang yang mempunyai kepemimpinan untuk meneruskan pemerintahan di masa ini. Karena itu pulalah, lalu, Pak Harto (Soeharto, mantan Presiden RI) tetap menjadi pemimpin selama tiga puluh tahun hingga dijatuhkan bulan Mei lalu. Saur menolak anggapan bahwa bangsa in tidak memiliki pemimpin yang tidak sesuai dengan kebesarannya sebagai masyarakat. Melainkan, hal ini terjadi karena tidak ada yang diberi kesempatan oleh Golkar untuk menjadi pemimpin sekaliber itu. 


Pendapat di atas benar, dan memang harus dibenarkan. Akibatnya, yang parah juga tidak bisa ditutup-tutupi oleh siapa pun. Demikian banyak biaya dikeluarkanuntuk memperoleh pemimpin yag diharapkan. Dengan kata lain, kita menyia-nyiakan waktu untuk hanya ingin memiliki pemimpin yang cakap. 


Dengan mengemukakan pendapat ini, penulis bukan bermaksud menolak anggapan SH, bahkan seluruh hidup penulis sepulang dari Timur Tengah banyak dihabiskan untuk berjuang menegakkan demokrasi. Sebab, itu semua merupakan persyaratan utama bag mmi kejayaan sebuah bangsa, seperti yang dicapai oleh negera-negara industri maju. Contohnya, Uni Soviet yang mempunyai Kapal Angkasa untuk mendarat di bulan, adalah nyata menunjukknan hal itu. Begitu pemerintahannya jatuh, Negeri Beruang Merah itu langsung mengalami krisis yang berkepanjangan yang belum selesai hiingga hari ini. Hal itu sama halnya industri pesawat terbang kita, yang sama sekali tidak didukung  oleh basis ekonomi yang sehat dan teknologi maju secara keseluruhan. Bukankah ini sangat menyedihkan?


Bahwa, sumber dari kelemahan ini adalah kurangnya perhatian kita terhadap dasar-dasar teknologi dan kurangnya sendi-sendi yang kukuh bagi ekonomi kita di segala bidang. Dalam hal ini, ada sebuah lelucon yang menggambarkan kenyataan di atas tadi dengan tepat. Yaitu, ketika Neil Amstrong mendaratkan kapsulnya di bulan, ia melihat orang Cina dan Indonesia. “Kami bisa sampai ke sini (bulan) dengan menaiki pundak kami, sebab bangsa Cina jumlahnya satu milyar lebih, hingga sampai di bumi,” ujar orang Cina itu. Akan tetapi lain lagi, lain lagi kata orang Indonesia, “Kami sampai di sini (bulan) karena memanjat makalah-makalah dan pidato-pidato yang diadakan di negeri kami (selama masa Orde Baru).” Dari sini jelaslah, jelaslah bawa sikap hidup orang Indonesia tidaklah realistik, melainkan hanya tertulis belaka.


Hal itu juga berlaku dalam soal kepemimpinan. Begitu tingginya syarat-syarat yang ditekankan pada hampir semua pihak, mulai dari MPR hingga buku-buku P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)—yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin bangsa ini, ternyata tak bisa dicapai. Konsep beriman dan bertaqwa, misalnya, keduanya telah membuat keruwetan masing-masing. Padahal, bangsa lain tak pernah merumuskan tentang hal tersebut. Namun, dengan hukum dasar yang sangat sederhana, seperti terhadap pihak-pihak yang memenangkan pertarungan politik, mereka mampu mencapai tingkat pembangunan yang sangat pesat yang membuat bangsa-bangsa lain iri. Lihat saja Australia yang dulunya dikenal banyak dihuni para pembunuh dan perampok, kini justru menjadi pemerintahan yang kukuh dan kuat.  


Hal itulah yang dilupakan oleh negeri kita. Semakin banyak yang dirumuskan, maka semakin sedikit pula yang dikerjakan. Pelaksanaan sebagian besarnya merupakan persiapan, bukannya omong kosong yang tak memberi hasil apa-apa. Suatu bangsa yang tak menyadari hal ini aka tinggal dalam kemiskinan dan ketertinggalan, sementara bangsa-bangsa lain di sekitarnya terus semakin maju. Jika kenyataan ini saja sering terlepas dari perhatian kita, bagaimana kita akan memikirkan hal-hal yang lebih besar yang terbentang di hadapan kita, sebagai sebuah bangsa. 


Salah satu akibat dari kesenangan kita untuk verbalisasi kepemimpinan, karena langkanya pemimpin-pemimpin di hampir segala bidang untuk digantikan oleh orang yang sungguh-sungguh punya kemampuan. Akhirnya, kecerdikan selalu memanipulasi keadaan dan kesediaan menyembunyikan fakta dipakai sebagai ukuran. Akibatnya, masalah kepemimpinan kita jadi rancu, dan hal ini pun sangat tampak dalam tulisan SH. Karenanya, tulisan ini dibuat untuk meluruskan hal tersebut. Karena, keadaannya akan jadi parah jika hal itu akan diterus-teruskan lagi. 

                                               ***

Masalahnya sederhana saja: apabila saudara SH menyatakan dirinya sebagai pengikut setia Golongan Putih (Golput). Hal itu, disebabkan ketiadaan pemimpin yang mempunyai persyaratan dan terlepas dari pengaruh Golkar. Tentunya, semua itu tidak disadarinya, tetapi justru dianggap sebagai sebagai kecendekiaan tersendiri. Persoalannya, jika tidak ada yang memenuhi syarat, lalu bagaimana? Dengan kata lain, di sini, persoalannya sangat terkait dengan struktur tidak adil yang menguasai masyarakat. Jadi, tidak ada jawaban yang cukup memuaskan yang dapat diberika lagi. 


Juga, hal yang sama dapat dilihat dalam tuntutan penggantian pemimpin yang tidak becus. Mengapa? Karena tidak ada yang dapat menyainginya. Bukankah itu berarti bahwa seluruh bangsa yang salah karena struktur politik yang tidak memungkinkan tumbuhnya seorang pemimpin. Atau, tidak ada yang bersalah karena keadaannya tidak memungkinkan bagi munculnya sang pemimpin. Logika semacam inilah yang harus diberlakukan pada pendapat SH itu. Ia menjadi pengikut Golput, karena tidak mau jadi pengikut golongan lain. Akan tetapi, ia tidak bisa jadi pengikut golongan lain, karena yang tersedia baginya hanyalah Golput. Jadi, logika tidak bisa dipakai dalam hal seperti itu, dan memaksakan logika dalam ini sama sekali tidak mungkin. Tak semua warga Jerman menjadi Hitler, karena memang bagi mereka tak ada pilihan lain. Dan, bangsa kita tak bisa memilih orang lain karena pilihan yang tersedia hanyalah Soeharto. 


Dengan demikian, terlihat jelas ketiadaan konsistensi dalam penggunaan akal untuk menjawab argumentasi; mengapa kita memilih Soeharto. Dan itu sekaligus langkanya peluang untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Karena jatuhnya saudara SH pada keadaan tidak logis ini, maka jawaban yang kita peroleh pun tak memuaskan. Karena itu, kita mesti berhati-hati dalam menyuarakan perasaan, karena kesan yang akan diperoleh juga akan lain dari yang kita inginkan. Inilah kesulitan hidup kita, antara pikiran dan kenyataan hidup terdapat celah lebar yang seakan-akan tak dpat dijembatani lagi. 

                                                    *** 

Dengan argumentasi seperti inilah, kita juga mendudukkan latar belakang histroris dari berbagai hal yang terjadi dalam sejarah. Pada waktu penulis dan seorang teman berkendaraan dari stasiun sentral Amsterdam menuju ke arah utara, kami berdua melintasi Afslusdijk (tanggul tertutup di sebelah belakang). Tanggul ini, memisahkan antara tanah Polder di sebelah timurnya dengan laut utara (North Sea) di sebelah kirinya. Tanah itu semula berupa laut yang, kemudian airnya dipompa ke lautan. Hingga, setelah mengering, kini terlihat di sebelah timur itu—yang berada di bawah titik terendah permukaan air laut—daerah pertanian yang subur, ruas jalanan serta hal-hal lain di atas yang tadinya tertutup air laut. Teman penulis mengatakan bahwa untuk membuat Polder ini, dulunya dibangun tanggul (Dijk) sepanjang kurang lebih 21 km, yang tentu hanya dimungkinkan oleh tersedianya biaya yang cukup. Dan, biaya itu bukankah mereka peroleh dari proses penjarahan (kolonialisasi) di tanah air kita? 


Penulis menjawab bahwa hal itu mungkin saja benar. Akan tetapi, itu juga membuktikan adanya kelemahan kita sebagai bangsa. Sebab, sejak dahulu mereka telah bersatu dalam sebuah Nation (bangsa), sedangkan kita terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Makanya, kita jangan melihat keserakahan bangsa Belanda saja, tetapi juga melihat kelemahan bangsa kita sendiri yang tidak mampu bersatu. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya melihat dari satu arah atau sebab kesejarahan saja melainkan harus melihatnya dari sudut lain. Dan, sudut lain itu berupa ketidakmampuan kita bersatu dan pendeknya pandangan kesejarahan kita sendiri. 


Pertanyaannya, adakah dosa kolketif dalam hal ini? Kalaupun ada, penulis yakin, tidak dapat dilihat sebagai suatu kesadaran bersama, melainkan sebagai sikap khusus yang tak memungkinkan kita untuk menyalahkannya sebagai dosa bersama dari semua kerajaan tersebut. Hal inilah yang sering dilupakan oleh orang ketika membahas apa yang dinamakan “dosa sejarah” dari sebuah bangsa dalam menjalani sejarahnya. Artinya, sejarah atau kebenaran praktis tidak dapat diukur atau dari satu sudut kenyataan saja, melainkan suatu keruwetan tersendiri yang menunjukkan kekalangkabutan sejarah itu juga. Inilah yang sering dilupakan banyak orang, termasuk saudara SH, yang hanya melihat kesalahan kolektif Golkar sebagai sebuah kenyataan sejarah. Yang menarik, justru kesimpulan ini datang dari penulis sendiri yang sepanjang hidupnya belum pernah menjadi anggota Golkar, tetapi ingin mempelajari sejarah dari perspektif yang benar. 


Yakni bahwa antara kenyataan sejarah dan rasio tidaklah bisa disamakan begitu saja. Wallahu a’alam bi shawab! 


*Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU, pengamat sosial dan politik, tinggal di Jakarta 


Sumber: Kompas, 15 Desember 1998

Selasa, 16 Desember 2025

BERPOLITIK, ATAS NAMA TUHAN

(TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983)


Oleh: Fachry Ali


Andropov sakit, atau bahkan meninggal dunia, tidaklah penting. Yang menarik adalah doa para pendeta Kristen Ortodoks Uni Soviet yang meminta umur orang terkuat negara komunis itu diulur lebih lanjut. Suatu doa yang memerluka tarikan napas panjang.

Tapi di sinilah terletak masalahnya. Sejak dahulu kala—demikianlah Marx pernah berkata—agama dan pendeta selalu punya kecenderungan mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx dianggap menindas rakyat. 

Bahwa sikap teologi para pendeta ini tidak selalu berkenan di hati Paus adalah benar. Namun, toh Paus asal Polandia ini menyerang jantung Marxisme. “Kalau Anda menyerang Polandia, saya akan meninggalkan tahta Petrus untuk berjuang bersama orang-orang sebangsaku,” ujarnya dalam sepucuk surat kepada Breznev. 

Banyak hal telah berubah, seperti juga banyak yang tidak. Bagi Marx tidaklah begitu penting – sebagian karena dia telah meninggal. Namun, generalisasi pandangan Marx, yang hanya melihat sejarah agama di Eropa, ada gunanya juga dipakai untuk melihat pergulatan agama dan politik dunia Islam. Gunanya, bukan karena banyak ditemukan kebenaran analisa Marx, melainkan justru karena berubah-ubahnya fungsi dan peran variabel yang sama; agama dan ulama di pelbagai negara dunia Islam.

Pembentukan kekuasaan politik, yang kemudian melahirkan kerajaan Arab Saudi, misalnya, bukanlah karena manipulasi agama oleh elite penguasa, melainkan justru ajaran moral. 

Moral puritanisme ajaran Islam yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab – yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabiah – menarik perhatian Ibnu Sa’ud, penguasa lokal Jazirah Arabia abad ke-18, untuk bergabung. Jadilah satu gerakan yang pengaruhnya saling menyilang. Suatu gerakan menegakkan moral agama, sekaligus menegakkan struktur kekuatan politik dan kekuasaan. 

Sampai kini, sisa-sisa keturunan kelompok Wahabi yang kemudian membentuk kelas ulama masih tetap penting sebagai kekuatan penyeimbang kebijaksanaan pemerintah dalam memodenisasikan diri dan masyarakatnya. 

Semacam NU, peranan Ulama Arab Saudi kemudian menjadi pemberi legitimasi spiritual terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Sedangkan kaum politisi dan birokrat berfungsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, terjadilah dikotomi “syu’riah-tanfidziah” jika kita pakai analoginya dengan NU di Indonesia. 

Tapi Islam Iran memberikan wajah lain. Agama adalah keseluruhan kehidupan. Revolusi Iran – yang menumbangkan mitos bahwa hanya kaum komunis yang mampu menggerakkan revolusi di abad ke-20 – meletakkan kaum ulama pada posisi strategis, baik dalam dunia politik maupun pemerintahan. 

Sampai di sini, dikotomi “syu’riah-tanfidziah” tidak ditemukan. Masalah yang menarik adalah, mampukah corak keagamaan seperti itu nanti memelihara semangat kritisnya kali ini justru terhadap kekuasaan yang baru dibangunnya sendiri. 

Di Mesir soalnya lain lagi. Dua kelompok paham keagamaan berdiri dalam dua pola yang ekstrem dan tidak bisa dipertemukan. 

Kelompok pertama diwakili ulama Al-Azhar. Sepanjang sejarah, Al-Azhar memang tidak jemu-jemu mengeluarkan fatwa untuk selalu patuh kepada penguasa. Lembaga pendidikan tinggi agama yang didirikan Bani Fatimah tahun 972 ini selalu mengintegrasikan kepada kekuasaan elite yang bertahta. Tidak peduli dari mana dan siapa pun. 

Dalam tahun 1798, ketika Mesir di bawah Prancis, ulama Al-Azhar berseru “Kita berlindung kepada Tuhan dari aneka ragam fitnah (fitan) dan kita mohonkan kepada-Nya untuk melenyapkan orang-orang yang menyebarkan kemurkaan di muka bumi serta merusakkan hubungan baik rakyat Mesir dengan tentara Prancis.” Ketika giliran Inggris yang berkuasa, ulama Al-Azhar pun berbuat yang sama. Juga waktu Sadat berkuasa dan berdamai dengan Israel. 

Kelompok kedua tidak kalah hebatnya. Mulai dari tokoh dan kalangan revolusioner yang konseptual sampai pada kelompok revolusioner yang awut-awutan. Kelompok ini memberikan citra yang bertentangan dengan kaum ulama Al-Azhar, meskipun sama-sama menekankan utamanya al-asala (kemurnian ajaran Islam) dan menolak al-mabadi al-mustawrada (doktrin impor).

Bedanya, yang kedua meletakkan Islam sebagai blueprint untuk segala aspek kehidupan. Pandanngan keagamaannya mengenai politik dan kekuasaan tidak bias pada kehendak penguasa, seperti yang dilakukan kelompok pertama. Tesis mereka, sejauh pemerintah tidak menelurkan kebijaksanaan yang sesuai dengan corak keislamannya, konsep al-nizam al-jahili atau darl harb tetap relevan dikenakan untuk pemerintah. 

Dari sinilah kita menyaksikan lahirnya kelompok al-Ihwan al-Muslimun. Suatu kelompok yang secara terus menerus berusaha mengguncangkan struktur kekuasaan di Mesir. Logika keislaman mereka membenarkan tindakan pengguncangan itu. Bahkan, sejauh yang dapat direkam dari pengadilan Sayyid Quthb tahun 1966—tokoh kedua setelah Hasan Al-Banna yang terbunuh tahun 1949—tindakan-tindakan kekerasan yang bagaimanapun bisa dibenarkan. 

Ideologi radikalisme Islam inilah yang secara terus-menerus menjaga api gerakan al-Ihwal al-Muslimun. Hanya satu dasawarsa setelah Sayyid Qutbh, mucul pula pada tokoh muda yang karismatis, Ahmad Shukri Mustafa. Berdasarkan ideologi radikal itu, ia mendirikan suatu kelompok baru, perwujudan lain dari Al-Ihawal al-Muslimun, yang tidak kalah ekslusifnya, al-Tafkir wal Hijra. 

Di tangan merekalah, Anwar Sadat dibantai. Suatu pertumpahan darah yang dahsyat yang, sayangnya, tetap mengatasnamakan Tuhan. Persis yang dilakukan ulama al-Azhar, dalam bentuk yang sebaliknya. 


Sumber: TEMPO, No. 42, Thn. III, 17 Desember 1983


REIS

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, TEMPO, No. 11/XXVII/15-21 Desember 1998)


Oleh: Goenawan Mohamad


Seorang  intel yang berbau bawang menguntit seorang penyair yang sebenarnya tak hendak mengikuti kabar dunia. Apa sebenarnya yang berbahaya dari orang ini, yang dalam umur 48 baru pulang dari rantau, lebih sering di kamar, menulis sajak, dan melakukan tiga kegiatan rahasia yang sama sekali tak mengancam keamanan nasional: mencintai seorang gadis cacat, meniduri seorang perempuan pelayan yang setia, dan bercakap-cakap dengan sesosok hantu?


Tidak ada. Tapi sebuah kekuasaan otoriter bisa saja begitu sibuk untuk hal-hal yang tak serius. Sebuah kekuasaan yang gatal tangan akan merogoh ke mana saja, juga ke dalam dunia privé, karena baginya batas yang privé dan yang bukan tak relevan lagi, mungkin patah. Dan ini bukan Indonesia, para pembaca, melainkan Portugal. Persisnya Portugal di tahun 1930-an, ketika kediktaturan Perdana Menteri Salazar masih segar dan kaum fasis gemuruh bergerak di seluruh Jazirah Iberia. Bukan cerita Jakarta, melainkan Lisbon sebagaimana dikisahkan José Saramago dalam Ano da morte de Ricardo Reis ("Tahun Kematian Ricardo Reis").


Tapi jika ada persamaan antara Portugal tahun 1930-an dan Indonesia tahun 1990- an, apa boleh buat. Kekuasaan otoriter, yang menekan untuk hal-hal yang tak perlu ditekan, punya perilaku yang, selain bisa buas, merisaukan, memuakkan, juga menggelikan. Terutama jika yang melihat adalah seorang Saramago.


Saya membaca bukunya lewat terjemahan Inggris, dan saya tak bisa mengatakan apakah saya pengagumnya. Saramago tak menyebabkan kita tercenung, saya kira, seperti bila kita membaca novel Kawabata. Tapi juri Nobel sekarang rupanya punya preferensi yang mungkin cocok dengan temperamen waktu. Di tahun 1997, mereka memilih Dario Fo dari Italia; grup teaternya punya hubungan dengan Partai Komunis meskipun di tahun 1968 ia bikin marah Partai. Di tahun ini mereka memilih Saramago, yang masuk Partai Komunis Portugal di tahun 1968 ketika partai itu masih jadi partai terlarang. Di masa pascakomunisme dan pascafasisme, dua orang tua "ekstrem kiri" rupanya jadi bagian sejarah dan khazanah ekspresi sastra yang penting ditengok.


Tentu saja karena "ekstrem kiri" mereka bukanlah gaya yang mengangkat tinju. Fo dan Saramago adalah contoh bahwa "kiri" bisa berarti kurang ajar dan komikal; geli adalah sebuah respons yang paling bebas terhadap represi. Sebagaimana Milan Kundera di Cekoslowakia tertawa menghadapi kekuasaan komunis, Fo dan Saramago tertawa menghadapi kekuasaan antikomunis. Khususnya penulis Portugis ini punya sarkasme yang menggigit dengan gigi yang tersembunyi, seraya bercerita ke segala penjuru dalam novel- novel yang seakan-akan ganjil tapi sebenarnya tidak – bahkan kadang telah terduga arahnya.


Dalam Ano da morte de Ricardo Reis, Victor, si intel berbau bawang (dan sebab itu ia praktis tak bisa menyamarkan diri) suatu ketika menyiapkan penggerebekan sebuah pertemuan gelap. Tim polisi itu demikian bersemangat, dan mereka berhasil menyerbu, namun si pemimpin komplotan ternyata lepas. Tapi ini bukan akhir dari kekonyolan. Sebab ternyata seluruh operasi hanyalah sebuah adegan untuk sebuah film pemerintah....


Dalam adegan lain, yang khidmat dan megah berubah jadi lucu. Pada suatu hari di tepi Sungai Tagus, Presiden Jendral Carmona akan meluncurkan kapal João de Lisboa dengan sebuah upacara besar. Semua siap: pejabat, fotograf, doa Gereja Katolik, dan sebotol anggur Bairrada. Tapi sebelum Paduka Yang Mulia melangkah untuk memecahkan botol itu ke tubuh kapal, lihat, João de Lisboa lepas meluncur sendiri ke air. Awak kapal bersorak hore dan camar laut beterbangan, dan Presiden murka dan seluruh aparat pemerintah malu. "Ada tanda-tanda bahwa penindasan intelektual Salazar tak menyebar secara efektif seperti yang dimaksudkan penggerak utamanya," tulis Saramago.


Yang jadi pertanyaan ialah: mengapa rezim yang seperti itu bisa bertahan lama – sejak 1932 sampai 1974? Jawabannya bisa banyak. Mungkin karena Salazar, profesor ekonomi itu, adalah wakil rasionalitas di tengah ketakutan akan yang irasional, suara tertib di tengah khaos. Portugal, sebagaimana dilukiskan Saramago di sini, adalah sebuah negeri di mana sapi akan dibawa memberikan suara dalam pemilihan, kemudian dagingnya—yang tipis, yang tebal, yang jeroan dan akhirnya yang ekor—dimakan, misalnya untuk sup buntut. Mungkin juga karena Gereja telah mengatakan bahwa Portugal adalah Kristus dan Kristus itu Portugal dan orang ramai bilang amin. Mungkin juga karena seperti Ricardo Reis, begitu banyak yang "lumpuh".


Ricardo Reis menyukai tata, sebagaimana ditunjukkan oleh Fernando Pessoa, seorang penyair yang mati sebulan sebelumnya dan mengunjunginya sebagai hantu. Ia berbicara tentang "Nasib", dan "Nasib" apalagi kalau bukan "tata". Ia meniduri Lydia, perempuan pelayan berumur 30 tahun itu, dan menghamilinya, tapi ia tak akan menyeberangi jarak kelas sosial mereka. Ia tak tertarik kepada sejarah yang sedang bergerak di sekitarnya (ia bahkan mula-mula tak tahu siapa Salazar), dan ia tak bisa mengerti kenapa kakak Lydia, seorang kelasi, ikut dalam pemberontakan yang sia-sia dan gugur.


Mungkin sebab itu hidup dan mati Ricardo Reis tanpa pathos, tanpa gelora perasaan, dan kematiannya hanya bagian dari rutin dalam sejarah kediktaturan yang panjang. Ia mati dalam keadaan murung dan mungkin putus asa tapi kita tak menyaksikan sebuah peristiwa bunuh diri. Ia hanya berangkat bersama hantu Fernando Pessoa, pergi tanpa topi. Lalu novel ini pun berakhir, seperti dongeng, dengan kalimat yang seakan datang dari jauh: "Di sini, di mana laut berakhir dan bumi menunggu."


Menunggu, bukan mulai. Pasif dan terentang panjang.


Goenawan Mohamad


Sumber: TEMPO, No. 11/XXVII/15-21 Desember 1998

,

DEMOKRASI

(Kompas, 16 Desember 2007, “Asal Usul”)


Oleh: Ariel Heryanto


Ketika ada pejabat bilang demokrasi itu cuma cara dan bukan tujuan, kita kaget. Tetapi, saya terlebih kaget ketika tahu ada banyak orang marah-marah. Termasuk teman-teman sendiri. Apakah pernyataan pejabat itu salah? Di mana salahnya?

Sosiolog Vedi Hadiz pernah mengingatkan, perangkat demokrasi Indonesia dengan santainya sudah ditunggangi mantan politikus Orde Baru. Termasuk partai politik, parlemen, pengadilan, media massa, dan pemilu. Dengan leluasa mereka menyelamatkan, bahkan melipatgandakan, harta warisan dari masa Orde Baru yang tidak berhasil disita bangsa Indonesia.

Pada zaman Orde Baru ketika demokrasi diharamkan, para politikus itu sudah berjaya. Berpangkat tinggi. Harta berlimpah. Ke mana-mana disembah, atau minta disembah para bawahan. Sebagian dari bawahan ini berharap suatu hari kelak akan menggantikan yang disembah.

Sesudah Orde Baru tumbang, reformasi dan demokrasi menjadi kaidah dan slogan yang paling berwibawa. Tetapi, para politikus Orde Baru yang sama tetap berkibar. Ada yang pernah diadili dan dihukum. Tetapi, dengan ilmu akrobatik politik tingkat tinggi mereka dibebaskan. Malahan ada yang diangkat menjadi pejabat tinggi negara.

Mereka tahan banting terhadap perubahan iklim politik. Sekarang ada kebebasan berpartai politik, bertengkar di parlemen, atau bersaing dalam pemilu. Tetapi, yang menang ya itu-itu lagi yang dulu berkuasa pada zaman Orde Baru. Untuk mereka, Indonesia boleh berguling-guling dari satu sistem politik kenegaraan ke sistem lain, dari yang paling fasis, demokratis, atau anarkis. Bagi mereka, semua itu "cuma cara" menuju tujuan yang sama: harta dan kuasa.

Jadi, buat apa marah jika ada di antara mereka yang membuka rahasia perusahaan? Mestinya kita terharu mendengar kejujuran itu. Persoalannya bukan apa pendapat mereka tentang demokrasi, tetapi mengapa orang-orang dengan pandangan seperti itu bisa merajalela di Indonesia, juga di banyak negara demokrasi yang lain?

                                           ***

Mungkin demokrasi merupakan pilihan bernegara yang terbaik dari yang ada, tetapi demokrasi tidak usah dikeramatkan seperti Orde Baru mengeramatkan Pancasila, UUD 1945, atau pembangunan. Demokrasi dipahami orang berbeda-beda.

Ada yang memahami demokrasi sebagai kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilihan umum. Tetapi, jangan lupa, lewat pemilu seorang Hitler terpilih di Jerman (1933) dan Bush di Amerika Serikat (2000). Ada yang meragukan kualitas proses pemilu di Singapura. Saya berani bertaruh, seandainya pemilu mereka bebas-bersih-terbuka, pemenangnya akan tetap sama.

                                                     ***

Di banyak negara otoriter di Asia, demokrasi diteriakkan rakyat kecil dengan pengertian berbeda. Tuntutan berdemokrasi artinya "jangan rampok tanah kami", "jangan culik anak kami", "jangan tembak bapak kami", atau "jangan perkosa putri dan ibu kami". Bila diktator di negara mereka terguling, rakyat kembali sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Mereka ogah berpolitik, apalagi membangun demokrasi.

Itu yang terjadi di Indonesia sesudah tumbangnya Orde Baru (1998). Juga di Thailand sesudah rakyat menolak kekuasaan militer (1992) dan di Filipina setelah jatuhnya tirani Marcos (1986). Saya duga akan sama bila junta militer di Burma runtuh.

Ada pengertian demokrasi lain yang kurang populer. Yakni, demokrasi sebagai proses dan kerja bareng sebanyak mungkin warga negara dari beraneka latar belakang dan cita-cita. Mereka tidak perlu setuju dalam semua hal, kecuali menghargai perbedaan itu sambil tarik-ulur kata dan kekuatan, mencari kesepakatan yang selalu sementara sifatnya. Ini proyek berjangka panjang, mahal, dan meletihkan. 

Adakah yang berminat pada demokrasi dalam pengertian ini? Di tanah air kita pemilihan umum dibilang pesta demokrasi dan calon presiden bersaing tarik suara seperti ikut Indonesian Idol. Dí Amerika Serikat jumlah pemilih yang datang ke kotak suara sering kali hanya separuh dari yang berhak. Di Australia, pemilu dijalankan seperti P4 di Indonesia. Hukumnya wajib dan ada sanksi pidana bagi pemilih yang tidak hadir di tempat pemungutan suara. 

Kalau demokrasi itu baik, kenapa orang mesti dipaksa-paksa di negara yang liberal? Mengapa di banyak tempat demokrasi tidak meningkatkan peradaban atau kesejahteraan rakyat? Kalau kebebasan berserikat, berpendapat, dan bersaing dalam pemilu tidak cukup, apa lagi yang dibutuhkan?

                                                ***

Jawabnya disinggung dalam film Sicko arahan Michael Moore. Percuma saja ada kebebasan demokrasi bila rakyat sakit-sakitan, takut pada pemerintah, miskin, dan kurang terdidik. Bagi mereka tidak penting negara ini demokrasi atau tidak, atau siapa berkuasa.

Mirip seperti pejabat yang hidup berlimpah, bagi mereka yang serba kekurangan: demokrasi, revolusi, demonstrasi, pawal umum, ibadah, atau premanisme itu semua "cuma cara".

Ariel Heryanto, sosiolog


Sumber: Kompas, 16 Desember 2007

TERBARU

MAKALAH