alt/text gambar

Kamis, 20 November 2025

"ADA-DALAM-KEMATIAN vs ADA-MENUJU-KEMATIAN": Hegel dan Heidegger tentang Kematian

Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus


Kematian menempati posisi penting dan menarik dalam filsafat Hegel dan Heidegger. Hegel menekankan potensi kematian pada segala sesuatu. Heidegger menekankan potensi kematian dalam eksistensi manusia. 

Menurut Heidegger, segala yang kita lakukan dalam hidup kita mengandaikan satu hal: kematian. Kematian menentukan keseluruhan hidup kita. Apa yang terjadi kalau kita tidak mati mati? Kita berada dalam penundaan abadi untuk melakukan segala sesuatu, untuk bekerja, sekolah, menikah dan punya anak. Toh semua itu dapat dilakukan dalam durasi hidup kita yang tanpa akhir. 

Karena itu, makna kehidupan kita bersumber dari kematian. Justru karena kita suatu saat akan mati, maka hidup kita, dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, bermakna. Kalau kita tidak mati, atau kalau kita hidup selamanya, maka hidup tidak bermakna. Itu sama dengan sebutir pasir tidak bermakna di gurun pasir. Untunglah kita dapat mati sehingga hidup kita bermakna. Hiduplah kematian!

Selama belum mati, manusia adalah kemungkinan-kemungkinan (Sein-können). Manusia sebagai kemungkinan berakhir dalam kematian. Kematian adalah ketidakmungkinan dari kemungkinan. Manusia ada menuju kematian (Sein zum Tode), kata Heidegger. Kematian hadir bersamaan dengan kehidupan. Karena itu, begitu seseorang lahir, ia telah cukup tua untuk mati. 

Hegel beda. Menurutnya, kematian itu universal, terdapat pada segala sesuatu, bukan hanya pada manusia. Bahkan Tuhan sendiri mati, kata Hegel. Kematian terdapat pada setiap momen realisasi diri Tuhan. Dunia ini adalah tempat penyaliban atau Golgota (die Schädelstätte) Tuhan. 

Tapi kematian tidak identik dengan ketiadaan atau kesiaan-siaan. Hegel menyebut kematian sebagai ”Tuan absolut” (der absolute Herr) karena dialah yang mengorientasikan keseluruhan hidup kita di dunia ini. Dalam "Dialektika Tuan dan Budak", Hegel memperlihatkan betapa positifnya kematian itu dalam kehidupan. 

Kematian tidak sama dengan ketiadaan. Di sini, Hegel memberi basis filosofis untuk kehidupan setelah mati. Dalam kematian, katanya, yang lenyap hanyalah apa yang alami (natural) dalam kehidupan, misalnya tubuh fisik, tulang belulang dan organ-organ tubuh yang berhenti berfungsi.

Sementara, elemen esensial dari kehidupan, yakni roh itu sendiri, akan tetap tinggal dan kembali menyatu kepada pemiliknya, yakni yang universal. Alam tidak memiliki otoritas terhadap yang tidak-alami yang terdapat dalam diri manusia. 

Ritus penguburan mayat, pembakaran atau pelarungan abu jenasah ke laut, dan lain-lain, semua itu dapat dilihat sebagai proses pengembalian individu yang meninggal itu kepada yang universal. 

Dua teori filosofis tentang kematian: Sein zum Tode (Ada menuju kematian) menurut Heidegger,  Sein in Tode (Ada dalam Kematian) menurut Hegel.

==========

SEMINAR NASIONAL FILSAFAT


"DIALEKTIKA KEMATIAN DAN KEHIDUPAN MENURUT HEGEL DAN HEIDEGGER" 

Bersama: Dr. Fitzerald K. Sitorus (Dosen Filsafat di Univ Pelita Harapan, Karawaci)

Selasa, 25 November 2025

Pk. 19.00 WIB

Via Zoom Meeting

Terbuka bagi yang berminat |Pendaftaran via WA (Minci): 0881-9935-614

Partisipasi kontributif: 50k

Pendaftaran ditutup 24 November jam 17.00 WIB

Sumber:

https://www.facebook.com/share/p/1GjY9UpWRG/

MEMIHAK


Oleh: Goenawan Mohamad


POLITIK adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theolog itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik—artinya seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama. 

Niebuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata "tugas”. Kata yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apa pun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidakadilan.

Saya menyebutnya "luka” karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkret, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang dilenyapkan di masa "Orde Baru” dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang dibunuh dengan brutal karena ia mengkritik orang yang berkuasa. 

Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang terasa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya apa yang adil, aku terpanggil.

Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata clerc disebut sebagai ”intelektuil”, tapi itu adalah padanan yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke kalangan rohaniwan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok dan mengobar-ngobarkan "nafsu politik”. 

Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia menganggap "nilai-nilai universal” itu sudah terpatri selesai di dalam diri. Ia tak mengakui bahwa yang ”universal” datang dari pengalaman manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang berkekurangan, terbatas, hidup dengan liyan, fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapa pun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai universal konon ditampik.

Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru bagi "ras Arya”, kaum ”Islamis” hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri. Apa yang kini disebut ”budayawan”, atau “inteligensia”, atau ”intelektual publik” yang memihak ke kaum macam itu memang tak akan mengakui politik sebagai tugas yang sedih. Di kancah itu, politik adalah kerja yang brutal. 

Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi cita-citanya tak hanya untuk kebaikan kaumnya. Dalam cerita Afrika Selatan luka ketidakadilan itu memanggil keadilan dalam arti yang sebenarnya: sebab sebuah keadaan itu berlaku bagi siapa saja. Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas dalam politik Mandela berlangsung dalam proses: universalitas yang, dalam kata-kata Alain Badiou, ” kreatif” karena merombak perbedaan yang berabad-abad dianggap seakan-akan kodrat.

Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Tapi dengan itu ia memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita. 

Dengan demikian, seperti Mandela, memihak tak berarti melenyapkan sikap tak memihak. Perjuangan, atau pergulatan politik, memang bisa menjadikan sikap memihak menjadi mutlak. Disitulah bahaya “politik sebagai panglima” yang mengarahkan segala sudut hidup kita seakan-akan bisa bikin dunia jadi sempurna. Tidak, kita mau tak mau harus menyadari dunia adalah tempat yang cacat. Tiap perjuangan politik akan terbentur pada keterbatasannya sendiri.

Sebab itu, bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat—sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti. 

Tak berarti kita menyerah. Tak berarti kita pelan-pelan menghalalkan ketakadilan sebagai kodrat hidup. Sebab, di tengah ketakadilan yang akut, kita selalu merasakan bahwa kita tak bisa mengelakkan panggilan keadilan. Keadilan yang entah di mana, keadilan yang entah kapan datang. 

Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras—dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri. 

Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Tapi kita siap: kalaupun gagal, setidaknya ada yang berharga yang diperkelahikan. Maka selalu ada saat untuk bertindak dan memihak, ada saat untuk berdiri menjauh, merenungkan apa yang tadi kita lakukan. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan. 

Tempo, 14 Juni 2009 

Sumber: 

Goenawan Mohamad, Caping 9, h. 413-416


Rabu, 19 November 2025

HARMOKO


Oleh: Goenawan Mohamad


Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan "Orde Baru”, datanglah seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajahnya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja penerima tamu, ia berkata, "Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.” 

Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, "Maaf Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.” 

”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi. 

Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum samar-samar yang sama, "Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.” 

Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak terhenyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab sabar, "Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.” 

Dan perempuan itu pun pergi. 

Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucapan, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali. 

Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian curiga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Penerangan. 

Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya memang hanya pura-pura banyak kerja) pun menunggu. Dengan mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang lagi. 

Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal sendiri, dengan didampingi dua direktur jenderal, duduk menemuinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar. Senyumnya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya: "Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Harmoko. Petugas kami sudah memberi tahu bahwa Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang lagi, datang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi? Apa maksud Ibu, sebenarnya?”

"Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu. ”Saya datang berkali-kali kemari karena saya senang mendengar kabar baik itu berkali-kali.” 

Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan dalam latar masa "Orde Baru”, ketika ada ketaksukaan yang meluas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak henti-hentinya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang itu-itu juga, seraya tak putus-putusnya bermulut manis kepada Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan orang takut membantah kebohongan para pembesar. 

Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaiban bisa sangat sederhana: seorang menteri berhenti. 

Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem politik yang meniadakan keajaiban. Ada yang lugas di sini: berhentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari regularitas. 

Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar tour of duty seperti yang harus dijalani para birokrat sipil dan militer. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih bisa jadi berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur yang agonistik: yang naik dan yang berhenti bergerak dalam sebuah bangunan politik dengan ketegangan, perjuangan, persaingan, pertentangan. Ada kalah dan menang. 

Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi oleh hantu yang sesekali memperlihatkan diri, seperti hantu sang aja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah Berantah. Ketika ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-benar jelas bagi dirinya sendiri. 

Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh artikulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Berantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin dalam satu wacana. 

Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang produktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang negatif, yang traumatis, di sekitarnya. 

Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan manajemennya, perubahan para legislator dan undang-undangnya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks demokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) meniadakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah sistem yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Berantah.

Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sana duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit pongah, memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama adalah cahaya ”wakil suara rakyat” cahaya kedua, "pembuat undang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum. 

Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan mencapai apa yang normatif. Ia terbatas. Masih ada sesuatu yang tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan. 

Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam Antah-Berantah: la seperti hantu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu dalam Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon. 

Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah sebuah tragedi. Kalaupun keadilan mirip hantu, ia bukan mukjizat. Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—dan ia bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali. 

Tempo, 30 Maret 2008

Sumber: 

Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 9, Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011, h. 153-156



PLAGIARISME

Kolom Gatra


Oleh: Afan Gaffar


Kasus plagiarisme muncul lagi dalam lingkungan perguruan tinggi kita semenjak masalah tesis seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, muncul ke permukaan. Kasus itu menjadi berita besar karena menyangkut UGM, universitas tertua dengan segala reputasi yang dimilikinya. Bahkan Majalah GATRA membuat berita yang sebenarnya keliru dengan judul berita yang cukup sensasional. Dan kebetulan saya sendiri, sebagai pembimbing, terlibat di dalamnya.


Tentu saja hal itu sangat mengecewakan dan menyakitkan karena saya sangat percaya terhadap mahasiswa itu, seperti halnya para guru saya juga sangat percaya kepada saya. Apakah UGM mentolerir hal seperti itu? Saya yakin, tak hanya perlu waktu untuk memprosesnya supaya semuanya tak salah langkah karena ada konsekuensi hukumnya. Saya sendiri, setelah meneliti skripsi dan tesis tersebut, memang sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi penjiplakan atau tindakan plagiat, dan saya tak dapat menerima hal itu sehingga saya mengirim surat kepada Rektor agar gelar dan ijazah yang bersangkutan dicabut.


Dunia perguruan tinggi atau dunia keilmuan pada umumnya memiliki sejumlah norma, aturan, etika, yang harus diikuti siapa pun yang terlibat di dalamnya. Bagaimana melakukan aktivitas keilmuan, yaitu meneliti, melakukan diskursus, menulis karya ilmiah, dan sebagainya. Etika dan norma itu sudah harus diketahui oleh siapa pun begitu dia memasuki dunia keilmuan. Salah satu norma atau etika yang harus diikuti adalah kepantangan melakukan plagiarisme, di samping norma atau etika lainnya, seperti memanipulasi atau memfabrikasi data, termasuk cara memperolehnya, atau menggunakan sasaran atau objek penelitian yang dapat dianggap melanggar nilai moral dan agama. Hal seperti itu merupakan kepantangan, dan siapa pun yang melakukannya tak pantas lagi berkecimpung dalam dunia keilmuan karena yang terakhir ini selalu berpegang pada prinsip kebenaran dalam mencari kebenaran.


Plagiarisme adalah tindakan mengambil ide atau pikiran seseorang yang sudah tertulis dengan sama sekali tanpa memberikan kredit kepada orang yang memiliki buah pikiran atau ide tersebut. Tindakan seperti ini jelas tak dapat ditolerir. Dalam ilmu sosial, sangat jarang sebuah aktivitas keilmuan yang dilakukan seseorang 100% berasal atau bersumber dari si peneliti. Teoretisasinya berasal dari orang lain, terutama kalangan ilmuwan terdahulu yang sudah sangat mapan dan dikenal luas. Demikian juga metodologinya. Oleh karena itu sudah menjadi sebuah norma atau etika untuk selalu mencantumkan sumber buah pikiran itu berasal. Bahkan aturannya sudah jelas. Kalau itu bersumber dari sebuah buku, maka harus jelas judul, tahun penerbitan, di mana buku itu diterbitkan. Kalau memang itu secara khusus bersumber dari buku tersebut maka harus disebutkan halamannya. Apalagi kalau mengutip, jelas hal itu lebih ketat lagi aturannya. Kalau tak melakukan itu, orang tersebut telah melakukan plagiat terhadap karya orang lain.


Akan tetapi, apakah plagiarisme dan manipulasi/fabrikasi merupakan masalah baru? Saya yakin tidak. Karena hal ini merupakan masalah klasik yang dapat terjadi di lembaga pendidikan mana pun dan di mana pun. Disertasi untuk doktor seorang tokoh masyarakat kulit hitam Amerika, Martin Luther King, ternyata kemudian diketahui jiplakan dari disertasi orang lain. Sayang, King sudah meninggal ketika hal itu diungkapkan sehingga tak ada efek apa-apa baginya. Apalagi dia sudah menjadi pahlawan. Di tempat saya bersekolah, di Ohio State, pernah seorang yang sudah memperoleh gelar doktor dalam bidang komunikasi ditarik kembali gelarnya karena ternyata datanya ia karang sendiri. Ini yang namanya fabrikasi. Tentu saja universitas mana pun tak akan mau menerimanya dan akan mengambil tindakan tegas.


Di Indonesia? Itu sama sekali bukan hal baru, dan saya percaya bahwa beberapa judul skripsi di UGM, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung telah dijiplak berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Hanya saja tak ketahuan. Berapa buku teks yang ada dalam bidang ilmu sosial tertentu yang sebenarnya masuk dalam kategori jiplak? Mestinya banyak sekali, hanya tak ada yang mempermasalahkannya. Ada sejumlah buku hanya mencantumkan daftar pustaka saja. Bahkan pernah secara iseng saya melihat-lihat sebuah buku, yang baru terbit tahun ini dipajang di sebuah toko buku terkenal di Yogyakarta, sama sekali tak ada referensinya. Segala macam rumus ada di situ. Apakah buah pikiran si penulis sendiri? Tak mungkin, ilmu itu berasal dari Amerika Serikat. Berapa banyak buku hasil jiplakan atau setengah jiplakan? Banyak sekali, hanya tak ada yang mau melacaknya. Orang Indonesia memang sangat luar biasa. Dalam satu tahun dapat menghasilkan lebih dari satu buku. Kapan penelitian dilakukan. Itu merupakan sebuah misteri dalam dunia keilmuan di sini.


Mengapa orang melakukan plagiarisme? Barangkali ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, orang itu bodoh. Mau dapat gelar tapi otaknya tak mendukung. Maka ambil saja karya orang lain. Kedua, orang itu sudah kepepet. Dia diancam akan di-drop out, waktu sudah sangat mendesak, biaya makin menipis, apalagi dengan biaya sendiri. Ketiga, orang itu pada dasarnya sudah tak benar sehingga tindakan apa pun ia lakukan untuk memperoleh gelar. Sebab gelar dalam masyarakat kita begitu penting.


Karena itu penjiplakan sebenarnya sudah sangat meluas, hanya saja ada yang ketahuan ada yang tidak, ada yang mempermasalahkannya ada juga yang menganggapnya sebagai hal yang tak perlu dipersoalkan. Saya tak bermaksud membela diri dan membela UGM karena saya tak terlibat di dalamnya. Hanya saja, saya ingin menyatakan bahwa plagiarisme merupakan masalah hati nurani. Orang yang memahami tata nilai atau norma serta etika dunia keilmuan tak akan melakukannya karena akan melanggar hati nuraninya.


Oleh karenanya dunia keilmuan tak mentolerir sikap dan perbuatan seperti itu, dan mereka yang mencoba melakukannya tak akan dapat lari dari tanggung jawab. Setidaknya terhadap dunia keilmuan dan terhadap dirinya sendiri. Pernah terjadi di program S-2 UGM, seorang mahasiswa dari luar Jawa mencoba melakukannya, kemudian ketahuan sebelum dia diuji. Maka pada saat dia diuji, yang bersangkutan disuruh mengundurkan diri dengan suatu alasan tertentu. Dengan demikin, dia tak dipecat dan pulang kembali ke kampung halaman. Dia bernasib jelek, seperti mahasiswa saya yang melakukan itu. Dia ketahuan. Yang tak ketahuan bernasib baik. Kadang-kadang saya benci kepada realitas kehidupan seperti itu karena tidak fair.


Afan Gaffar, Pengajar di UGM, Yogyakarta


Sumber: GATRA, Nomor 1, Tahun II, 18 November 1995


,

Eksistensial Analitik Heidegger sebagai Fondasi Pemahaman Keberadaan Manusia di Tengah Kehidupan Modern

Martin Heidegger


Eksistensial analitik yang dirumuskan Martin Heidegger kerap terdengar abstrak dan jauh dari pengalaman manusia biasa. Namun, justru sebaliknya, gagasan ini lahir dari keinginan untuk memahami kehidupan manusia bukan sebagai objek teori, tetapi sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh dijalani. Psikologi, antropologi, atau biologi dapat menjelaskan banyak aspek tentang manusia, tetapi semua itu bergerak dari luar, manusia dilihat sebagai data, fenomena, atau spesimen. Heidegger berangkat dari posisi yang berbeda, memahami manusia dari dalam kehidupannya sendiri dari kecemasan, pilihan, rutinitas, relasi, makna, dan rasa kehilangan yang menyusun pengalaman kita sehari-hari.

Heidegger menolak definisi klasik tentang manusia sebagai “hewan berakal” dalam filsafat Yunani atau “citra Tuhan” dalam tradisi Kristen bukan karena ia menganggap definisi itu keliru, melainkan karena keduanya menjadikan manusia entitas tetap, seolah dapat didefinisikan sekali untuk selamanya. Padahal manusia tidak pernah “tetap”. Kita berubah dari waktu ke waktu: yang kita inginkan lima tahun lalu mungkin tak lagi kita inginkan sekarang; keyakinan yang dulu kita pegang teguh bisa kita tinggalkan; orang yang dulu kita pikir tak bisa kita lepaskan mungkin kini hanya menjadi bagian dari kenangan. Manusia adalah keberadaan yang sedang menjadi selalu bergerak, mencari, meragukan, berharap, dan menafsirkan dirinya kembali.

Di sinilah konsep faktisitas menjadi pusat eksistensial analitik. Kita semua memulai kehidupan dari kondisi yang tidak kita pilih: keluarga, ekonomi, waktu sejarah, tubuh, bakat, bahkan kepribadian awal. Kita seperti “dilempar” ke dunia (Geworfenheit) tanpa bertanya apakah kita mau ada di sini. Namun, dari titik keberadaan yang tidak kita pilih ini, kita harus memilih memutuskan arah hidup kita, menentukan siapa kita hendak menjadi. Kita tidak memilih titik mulai, tetapi kita bertanggung jawab atas perjalanan selanjutnya. Dimensi inilah yang membuat hidup terasa berat sekaligus bermakna: kita bukan sekadar mengalir, tetapi harus mengambil sikap terhadap hidup kita sendiri.

Eksistensial analitik juga membongkar kesalahpahaman yang sering kita lakukan tanpa sadar: anggapan bahwa manusia adalah “subjek” yang mengamati dunia sebagai “objek”. Dalam kenyataannya, kita tidak pernah berada di luar dunia; kita selalu terlibat di dalamnya. Kita bekerja, belajar, membangun relasi, mencari nafkah, mencemaskan masa depan, menunggu kabar dari seseorang, kecewa, berharap, merencanakan, mencintai, dan kehilangan. Dunia bukan ruang netral; dunia adalah ruang keterlibatan. Ponsel di tangan, pemberitahuan pekerjaan, komentar di media sosial, tuntutan keluarga, kecemasan terhadap masa depan semua ini bukan “objek” yang kita amati secara teoritis, tetapi bagian dari jaringan kehidupan yang menyusun keseharian kita. Di sinilah konsep In-der-Welt-sein "berada-di-dalam-dunia" menjadi dasar pemahaman keberadaan manusia.

Sumber intelektual Heidegger memberi bobot reflektif pada pemikiran ini. Dari Paulus, Agustinus, dan Luther muda, ia menangkap intensitas kehidupan batin manusia: pergulatan pribadi dengan waktu, pilihan, dan moralitas. Dari Aristoteles, ia memperoleh bahasa filosofis untuk mengartikulasikan hidup sebagai dinamika praksis, bukan sebagai substansi statis. Gabungan keduanya memungkinkan Heidegger merumuskan struktur dasar eksistensi manusia tanpa kehilangan nuansa drama eksistensial yang kita alami sehari-hari.

Eksistensial analitik akhirnya diarahkan pada pertanyaan yang lebih radikal: apa makna ada? Heidegger berpendapat bahwa pertanyaan mengenai ada hanya dapat dijawab melalui penjelasan mengenai keberadaan manusia, karena manusia adalah satu-satunya entitas yang mempermasalahkan keberadaannya sendiri. Kita bertanya tentang arah hidup, tentang tujuan, tentang cinta, tentang pekerjaan, tentang keluarga, bahkan tentang kematian. Tidak ada hewan yang mempertanyakan hidupnya; hanya manusia yang gelisah. Eksistensial analitik, karenanya, bukan semata‐mata deskripsi teoretis, tetapi cara membuka jalan bagi manusia untuk memahami dirinya sebagai makhluk yang mengada dalam waktu.

Di titik ini, relevansi gagasan Heidegger bagi kehidupan modern tampak jelas. Dalam dunia yang penuh distraksi, kompetisi, dan tuntutan produktivitas, kita mudah terjerat dalam pola hidup otomatis, bangun, bekerja, pulang, mengulang, tanpa benar-benar hadir dalam hidup kita sendiri. Eksistensial analitik mengajak manusia berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita benar-benar memilih jalan ini, ataukah kita hanya mengalir karena tekanan sosial, ekspektasi keluarga, atau ketakutan akan penilaian orang lain? Dengan kesadaran akan keterlemparan dan kemungkinan, manusia diarahkan untuk menjalani hidup secara otentik, bukan sekadar mengikuti arus dunia.

Dengan demikian, eksistensial analitik bukan filsafat abstrak, melainkan pengingat radikal bahwa hidup adalah proyek yang harus ditanggung, diperjuangkan, dan dimaknai. Ia mengajarkan bahwa filsafat tidak sekadar memberi teori tentang hidup, melainkan membantu manusia menyalakan kesadaran agar ia benar-benar hidup, bukan hanya hidup.


Sumber: 

https://www.facebook.com/share/p/1CyxUVVEDT/

FANATISME POLITIK


Oleh: William Chang


Sistem pemerintahan Orba beranjak dari sebuah “fanatisme politik” untuk melumpuhkan kebangkitan antek-antek PKI. Akibatnya, dalam kasus-kasus tragis, seperti pembunuhan dukun santet di daerah Banyuwangi dan sekitarnya, PKI dikambinghitamkan, walaupun hingga kini belum bisa dipastikan kebenaran asumsi ini. Memenuhi tradisi formalisme, setiap WNI wajib mencantumkan "agama" dalam KTP-nya supaya tidak dicap sebagai "ateis" yang dianggap mengancam keselamatan nusa dan bangsa.


Korban "fanatisme politik" Orba masih bisa dilacak di Kabupaten Sambas, Pontianak dan Sanggau (Kalimantan Barat) dan beberapa kawasan dalam Republik ini. Sebuah dokumen historis berupa rekaman pemantauan J Widodo (Kompas, 23 November 1967) membenarkan peristiwa tragis yang diabadikan dengan siksaan dan darah manusia. Hingga kini masih terdapat "kamp pengungsian" di tengah bangsa yang pernah dijuluki "macan kecil" di kawasan Asia Tenggara.


Kesuburan "fanatisme politik" dipicu oleh penguasa Orba yang menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan politik sesuai dengan semangat Machiavellian. Tak heran kalau manusia Indonesia acapkali digebuk, disiksa, diperkosa dan malah dibunuh sewenang-wenang demi idealisme politik. Penguasa politik berusaha mengabadikan kursinya sehingga lawan politik tidak sanggup menggesernya. Sandiwara dan rekayasa politik tercatat sebagai agenda pokok dari seluruh sistem fanatisme ini. Akibatnya, masyarakat kecil dan terpencil dibodohi dan banyak yang dibingungkan oleh para pelaku fanatisme politik.


Salah satu metode pelestarian kekuasaan adalah mengontrol kebebasan rakyat. Lingkup gerak, cara berbicara dan tulisan-tulisan dari sejumlah tokoh (Pramoedya Ananta Toer) sangat dibatasi. Tindak kekerasan dan pelecehan kodrat kemanusiaan termasuk konsekuensi logis fanatisme ini. Aksi-aksi teror tersembunyi dan penculikan aktivis-aktivis demokratis termasuk gejala "fanatisme politik" yang ingin menakut-nakuti mereka yang bermaksud memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam hidup sosial politik.


Peristiwa dikotomis yang menerpa PDI sebenarnya menunjukkan masih aktifnya benih "fanatisme politik" di Indonesia. Kekuatan sebuah partai politik dilemahkan dan perjuangan partai yang kecil dipatahkan. Tidak ada pihak yang bersedia mempertanggungjawabkan keterpecahan tubuh partai. Seandainya tidak diaduk oleh "fanatisme politik", mungkinkah terjadi perpecahan dalam tubuh PDI? PDI dan PDI Perjuangan dapat dilukiskan sebagai buah pertengkaran elite politik.


Tingginya "fanatisme politik" tampak selama kampanye dan "peserta demokrasi" 1997. Sekurang-kurangnya 19 orang ditahan dengan pasal tindak kriminal, 15 tewas, 29 luka berat, 71 luka ringan dan 403 kena tilang (Kompas, 7 Mei 1997). Manusia rela mengorbankan diri demi kemenangan partai politiknya. Seolah-olah yang harus menang adalah partai politik yang sedang berkuasa. Kebesaran hati untuk menerima dan menghargai keunggulan partai politik lain hampir tak ada. Sebagai pemegang roda pemerintahan warga Golkar seakan- akan tak pernah membayangkan bahwa mereka akan kalah dalam pemilu. Akibatnya, menyongsong pemilu mendatang (Mei 1999) PDI takut akan paku, kuku dan komputer yang dapat mengubah data perhitungan suara. Karenanya, ada pihak yang mengusulkan supaya pemilu ditangani oleh pihak independen dan bukan Pemerintah (Kompas, 30 Oktober 1998).


Sebuah penyimpangan 


Sebagai patologi tingkah laku manusia, fanatisme politik termasuk kategori penyimpangan perilaku politik yang sehat dan berdasarkan norma umum perpolitikan. Perilaku politik fanatis ini menganggap bahwa "perkauman" merekalah yang berhak memonopoli dan me- nguasai kebenaran mutlak sedangkan pihak lain tidak memiliki kebenaran sedikit pun. Pemilikan kebenaran ini dipandang sebagai pemberian dari kekuasaan adikodrati yang tak dapat dikritik, diganggu-gugat dan direbut oleh kelompok lain. Pemilik fanatisme ini memaksa kelompok lain untuk menerima pandangan yang mereka anggap sebagai kebenaran. Secara tidak langsung fanatisme ini menempuh jalur kekerasan (violence) yang merugikan manusia.


Perilaku fanatisme politik sebegitu mengutamakan ambisi politis, sehingga "epikeia" diabaikan dalam perwujudan cita-cita kesejahteraan dan kemajuan bersama. (Epikuris – penganut paham kenikmatan rohani lebih tinggi daripada kenikmatan jasmaniah —Red). Amat sukar muncul keluwesan dalam perilaku yang kaku dan dingin ini. Biasanya perilaku ini tercermin dalam pernyataan- pernyataan atau keputusan-keputusan politik yang arogan. Rakyat dipaksa untuk menerima "satu-satunya keputusan politik", seperti satu-satunya pakaian seragam, satu-satunya calon presiden dan satu-satunya asas yang harus dianut. Alternatif lain dalam dunia politik disingkirkan dan malah tidak diperhatikan. Suara rakyat diremehkan! Kekuasaan pemerintah yang memutuskan dan menentukan segala-galanya. Fanatisme ini menolak segala bentuk kritik, termasuk kritik konstruktif, sebab kritik itu dianggap sebagai saingan yang bakal melemahkan kelompok fanatisme politik.


Pembelaan diri kelompok fanatisme politik, menurut P Palazzini, seringkali dilakukan secara disproporsional dengan maksud membela diri dan ide irasional. Kemenangan dalam pembelaan diri merupakan sasaran akhir pembelaan diri. Jarang terdengar bahwa kaum fanatik politik ini rela "mengakui kesalahan" atau "meminta maaf" di depan umum. Seakan-akan mereka tak pernah bersalah dalam kebijaksanaan politik. Padahal, fanatisme politik ini sangat kuat didominasi oleh pandangan yang keliru, berlebihan dan superfisial. 


Perbaiki perilaku politik


Memasuki era pasca-Orba proses perbaikan perilaku berpolitik adalah mutlak, sebab fanatisme politik telah dan akan menimbulkan tindak kekerasan, teror mental dan kerugian material yang tak terhitungkan. Tameng pembelaan diri berupa segala bentuk keyakinan irasional tak sanggup mematahkan kejelian masyarakat majemuk yang sarat informasi kritis. Para pelaku politik seharusnya semakin meningkatkan dan memasyarakatkan riset kebenaran yang tak pernah direkayasa. Yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Penerapan hukum sipil tidak mengenal pola diskriminatif. Masyarakat harus dididik dan dibebaskan dari aneka kebodohan supaya mereka sanggup memilih yang terbaik pada saat pemilu. Perbaikan perilaku ini perlu memperhatikan kecenderungan fanatisme politik untuk "memaksakan" kehendak dengan aneka sistem intimidasi terselubung yang menggelisahkan masyarakat yang berkehendak baik.


Sudah waktunya bahwa iklim hidup sosial dan politik di Indonesia menciptakan sistem yang sungguh transparan dan terbuka untuk menerima kritik konstruktif dari semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas kemajuan nusa dan bangsa. Daya pendengaran pemerintah dipertajam dan suara rakyat kecil sama sekali tak boleh diabaikan. Sikap-sikap arogan, tidak mau mengakui keterbatasan, kelemahan dan kesalahan, keinginan menang sendiri, penyelesaian masalah tanpa kompromi, sapu bersih dan ketidakjujuran merupakan ciri-ciri fanatisme politik. Fanatisme ini tetap tinggal dan bakal berkembang subur kalau iklim hidup sosial dan politik di negara kita tidak berubah.


Perbaikan perilaku politik dalam dirinya bertujuan memerangi fanatisme politik yang memancing tindak kekerasan dan menyakitkan pihak-pihak lain. Perbaikan ini bakal terwujud kalau setiap pelaku politik sungguh memegang teguh etika politik dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Jika nilai-nilai moral dalam etika politik diabaikan, maka lambat-laun akan terkondisi "fanatisme politik". Menghadapi fanatisme ini sangat perlu dikembangkan "rasionalitas" dalam pembicaraan dan pemikiran politis yang kritis dan terbuka terhadap pandangan-pandangan luar.


Kecenderungan kodrati manusia untuk menang sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri perlu diimbangi dengan sikap dasar membangun kesejahteraan bersama. Kekayaan negara bukan sumber pengayaan diri pribadi atau kelompok tertentu, melainkan dipergunakan secara bertanggung jawab demi kemajuan bersama. Perbaikan perilaku politik ini harus segera dimulai, supaya sikap dasar berpolitik di bumi Nusantara dapat dipertanggungjawabkan secara etis.

Dr William Chang, dosen moral dan pemerhati masalah- masalah sosial.


Sumber: Kompas, 19 November 1998

TERBARU

MAKALAH