![]() |
| (Kompas, 14 Desember 1986) |
Oleh: Mattulada
Kehidupan sesungguhnya adalah rangkaian peristiwa yang membangun sejarah. Karena itu, sejarah memberi lukisan proses suatu kehidupan. Dan kalau novel adalah gambaran dari suatu aspek kehidupan yang utuh dalam ukuran kecil maupun besar–walaupun ia dinyatakan dalam fiksi atau khayalan–maka ia meniti proses logika sejarah untuk memberi makna kehidupan yang dituangkan dalam novel itu.
Proses kejadian dalam novel juga merupakan gambaran kehidupan tokoh-tokoh yang menyandang nilai-nilai sosial tertentu. Nilai ini jadi titik tolak untuk suatu akhir kejadian yang membentuk pola nilai tertentu pula. Dalam hal ini novel mengandung anasir sejarah yang lazim disebut sejarah sosial.
Dalam batasan umum seperti itu kita mencoba menyoroti novel Indonesia. Logika sejarah maupun sejarah sosial merupakan titian untuk bangunan novel sebagai gambaran kehidupan yang bersifat fiksi. Anasir sejarah tadi biasanya dipertahankan secara tajam atau samar-samar sebagai semangat zaman yang mewakili kenyataan faktual.
ST. Alisyahbana menyatakan bahwa khayal dan kebenaran selalu bertentangan, tapi dalam kenyataan hidup, keduanya selalu sejalan dan bersatu. Bukan saja khayal selalu hanya dapat timbul atas dasar kebenaran, tapi kebenaran hanya dapat berkembang terus menerus dengan meniti kehidupan khayal. Selain itu, sering pula disebut, kebenaran hanyalah khayalan belaka. Meski demikian, sepanjang sejarah terbukti, bahwa khayal itu adalah penjelmaan kebenaran, tempat tumpuan manusia hidup dan berbuat menerawang kenyataan sejarah.
Di sinilah muncul apa yang ingin saya namakan dengan imajinasi kesejarahan, yaitu kemungkinan untuk memasuki kelampauan, untuk memahaminya dan untuk memunculkannya kembali, sebagai pengulangan sejarah.
***
Untuk keperluan analisis terhadap anasir sejarah dalam novel Indonesia itu, saya ajukan pembagian dalam periode-periode kejadian atau kehidupan yang tergambar dalam novel-novel itu. Tiga zaman itu ialah:
1. Zaman Nusantara, yang meliputi a) kehidupan nusantara dengan suku-suku bangsa, puak puak dan perkauman yang terhisap kehidupan masyarakat prasejarah nusantara, b) kehidupan nusantara yang memulai kesadaran lebih luas, c) kehidupan nusantara dalam penjajahan asing (Eropa).
2. Zaman sekitar Perang Dunia II, yang meliputi a) saat-saat memasuki Perang Dunia II, b) pendudukan Jepang dan penaklukannya dalam perang.
3. Zaman sekitar perang kemerdekaan, mempertahankan proklamasi dan membangun negara, yang meliputi a) sekitar proklamasi kemerdekaan dan perang kemerdekaan, b) Indonesia sebagai negara merdeka, c) Indonesia membangun (mutakhir).
Dari pembagian zaman ini, kita mencoba memilih secara perkiraan umum, novel-novel Indonesia yang menggunakan anasir sejarah. Pembagian itu tidak didasarkan pada masa kelahiran novel itu, karena tentu selalu terbuka kemungkinan bahwa pada saat sekarang (th 1986) dapat lahir sebuah novel yang melukiskan zaman Sultan Hasanuddin dalam abad XVII.
***
Novel-novel seperti Sangkuriang di Jawa Barat, La Beu di Tana Ugi, Bawang Putih dan Bawang Merah di Tanah Melayu, Hang Tuah di Semenanjung Malaka, semua itu tergolong novel zaman Nusantara. Novel-novel itu penuh dengan semangat kesejarahan yang dipandang berguna bagi pengungkapan kenyataan sebagai sejarah. Ia penuh dengan tokoh-tokoh legendaris, malahan seringkali dalam ungkapan mitologis.
Novel seperti Penakluk Ujung Dunia, memberikan lukisan bagaimana kungkungan wilayah pemukiman terpencil, ditembus dan ditaklukan oleh penemuan jalan baru.
Sebuah novel bersemangat sejarah pergolakan Nusantara di Tana Ugi, ditulis oleh seorang Belanda, dengan judul De Laatste General van Bontorihu. la mengisahkan perlawanan pahlawan Tana Ugi (Bone), menghadapi invasi kolonial Belanda pada ekspedisi th 1906. Novel ini amat cermat menggunakan semangat sejarah dan disusun dalam pola-pola kehidupan masyarakat Tana Ugi yang sedang mengalami kerontokan dan desintegrasi. Para pembacanya di kalangan orang Bugis, sering tidak menyadari, buku-buku itu semata-mata novel. Mereka mengecam, bahwa tokoh-tokoh yang disebut tidak mengandung kebenaran sejarah.
Menurut pengamatan saya, novel-novel dalam gambaran semangat kenusantaraan, masih banyak menggunakan tokoh-tokoh legendaris, malah keadaan-keadaan mitologis, yang bertujuan membentuk pola ikutan dalam kehidupan. Penggunaan tema sejarah, sebagian besar bersifat dongeng. Tentu dapat dikecualikan, novel buah tangan Pujangga Baru.
***
Novel-novel zaman ini umumnya dapat dipandang sebagai lukisan dari berbagai rangkaian penderitaan, kekejaman, perkosaan dan keinginan memenangkan kebenaran menurut pandangan masing-masing. Tema umumnya: mengantarkan kegelisahan dunia timur yang bergolak menemukan dirinya di atas pentas kehidupan.
Taufan di Atas Asia, merupakan salah satu kebangunan dunia timur dari kelelapan yang mendalam itu. Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka merupakan catatan kegiatan pergerakan orang Indonesia yang meliputi suasana Asia yang demam akan upaya pembebasan negeri-negeri Asia dari cengkeraman penajahan. la bukan novel, tapi kaya dengan bahan yang dapat membangkitkan daya khayal yang diperlukan dalam novel. Anasir sejarahnya padat. Ia juga melukiskan proses kehidupan dan pola-pola kehidupan bangsa Asia yang bergerak bangun.
Novel-novel yang kelihatannya diilhami atau sedikitnya saling isi dengan semangat zaman itu, dapat dirasakan dalam novel tokoh-tokoh Pujangga Baru, menjelang pecahnya Perang Dunia II. Khusus tentang peristiwa yang melukiskan keadaan pendudukan Jepang dan kekalahannya, dapat dilihat dalam novel Kalah dan Menang karya ST Alisyahbana (Dian Rakyat, 1978). Novel yang dirangkai dalam khayal ini, dibangun atas lukisan sejarah yang menyatu dalam kehidupan nyata. Kalau bukan dengan kekuatan khayal yang ditopang anasir sejarah, novel ini tak akan mampu memberikan kehidupan dan kenyataan hidup.
***
Novel yang melukiskan kehidupan sekitar proklamasi, menurut pengamatan saya, tidak banyak dalam bentuk novel. Lebih banyak dalam bentuk cerpen yang termuat dalam majalah, dan adakalanya kemudian diterbitkan kembali dalam sebuah kumpulan cerpen. Pengarang Angkatan 45 banyak muncul dalam karya seperti itu.
Novel Keluarga Gerilya karya Pramoedya A Toer, mengisahkan keluarga gerilya pada zaman perang kemerdekaan dalam sebuah fiksi yang kaya khayalan, tapi diantarkan dalam suasana zaman yang jadi semangat perjalanan sejarah. Maka, ia membawa pemikiran-pemikiran kenyataan hidup yang menimpa masyarakat Indonesia.
Kumpulan cerpen seperti Kuli Kontrak, Bromocorah karya Mochtar Lubis, dan Tegak Lurus dengan Langit karya Iwan Simatupang, adalah contoh yang dapat digolongkan juga pada semangat zaman. Semua melukiskan kenyataan hidup dan kritik sosial yang tajam, dengan ketepatan mengesankan.
Setelah itu, rupa-rupanya sejalan dengan pertumbuhan masyarakat yang makin mapan, dalam arti pola-pola hubungan kemasyarakatan dan struktur kehidupan makin stabil, lahirlah novel-novel yang temanya menggunakan kerangka sejarah sosial. Karangan Marga seperti Saga Merah, Bukan Impian Semusim, Gema Sebuah Hati, Setangkai Edelweis, Karmila, Badai Pasti Berlalu dan lain-lain, melukiskan Indonesia kontemporer.
Kehidupan masyarakat Indonesia modern yang mengalami kegoncangan nilai dalam zaman pancaroba, menjadi tema umum novel kontemporer. Proses sosial yang dilukiskan umumnya menggunakan ukuran tertentu sebagaimana keadaan yang sedang bertumbuh menemukan polanya. Penggunaan anasir sejarah sosial ini, menunjukkan semakin terkaitnya pengaruh ilmu kemasyarakatan dalam membangun novel-novel itu.
***
Novel Indonesia tumbuh sesuai dengan pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Betapa besar anasir sejarah yang ikut memberi makna, ditemukan dalam novel-novel bertendens sejarah. Demikian juga terbentuknya pola-pola kehidupan dalam gambaran nilai yang jadi kekuatan pola kehidupan itu, ditemukan dalam novel bertema sejarah sosial.
Sesungguhnya pengutaraan anasir sejarah yang terdapat dalam novel Indonesia sampai sekarang, pada umumnya memperlihatkan gambaran masa lalu, atau sejauh-jauhnya keadaan yang sedang dalam proses menemukan pola tertentu. Mungkinkah hal itu ada hubungannya atau sedikitnya mendapat pengaruh dari kecenderungan berpikir bangsa Indonesia yang membesarkan atau mengutamakan masa lalu?
Novel yang melukiskan suatu masa depan dengan menggunakan metodologi sejarah sebagai alat perkiraan masa depan, kelihatannya belum tampak di permukaan. Kecenderungan itu baru nampak pada tulisan yang berlatar belakang ilmu sosial, khususnya ilmu ekonomi dan perencanaan sosial. Keadaan itu belum lagi diminati oleh para novelis.
Sesungguhnya, penggunaan metodologi sejarah dalam pelukisan kehidupan secara lengkap, meliputi masa lalu, masa kini dan masa depan. Pada masa kini itulah bertemu hasil masa lalu dengan harapan masa depan. Kecermatan masa lalu dan masa kini dan kejelian memahami harapan atau cita-cita masa kini, memungkinkan gambaran masa depan terlihat oleh kejelian mata hati seorang seniman, sastrawan.
Novel Indonesia suatu saat akan menggunakan anasir sejarah itu ke arah sana untuk menuntun pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan ke masa depan yang tentu penuh kesemarakan dan keagungan nilai dan martabat kemanusiaan. Pada bagian itulah terletak keunikan sastrawan, seniman dan pujangga, karena mereka menggunakan kebijakan sejarah. Demikian adanya.***
* Tulisan ini adalah singkatan dari makalah Prof Dr Mattulada pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Ujungpandang 22-25 November 1986.
Sumber: Kompas, 14 Desember 1986





