alt/text gambar

Jumat, 17 Januari 2025

Harvard dan Kelas Menulis


Profesor Stella, alumnus Harvard University, dalam wawancaranya di "Kick Andy" menyebutkan bahwa hanya ada satu kelas yang diwajibkan untuk seluruh mahasiswa semester 1 di Harvard University, Amerika Serikat. 

"Bung Andy mau tebak kelas apa itu?" tanya Prof Stella. 

"Apa itu?" Andy balik bertanya. 

Orang mengatakan itu kelas matematika dan sebagainya, ternyata tidak. Jadi, apa? 

"Yaitu kelas 'menulis'," kata Prof Stella. 

Mau jurusan apa pun mahasiswa di Harvard, katanya, yang jelas setiap mahasiswa wajib mengikuti kelas menulis. Jadi harus bisa menulis dengan baik dan benar. 

Jadi, apa yang diterapkan di Harvard menunjukkan betapa pentingnya skill menulis. Karena ilmu tak mungkin dapat berkembang tanpa tulisan. Orang tak mungkin bisa menyebarkan ilmu pengetahuan jika tak punya kemampuan menulis. Peradaban tak mungkin berkembang tanpa tulisan. 

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," kata Pramoedya Ananta Toer.

Stella Christie adalah seorang akademisi, Ilmuwan Kognitif yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

DITUNGGU: PARTAI OPOSISI

 


Oleh: Arief Budiman


Tidak ada orang yang menyangka bahwa Gus Dur akan menjadi presiden. Termasuk Gus Dur sendiri barangkali. Peroleh suara partainya, PKB, relatif kecil dibandingkan dengan PDI Perjuangan, Golkar, dan bahkan PPP. Tapi kemudian muncul Poros Tengah, yang bertujuan mencegah terpilihnya Habibie dan Megawati. Tiba-tiba Gus Dur meluncur tanpa hambatan dan menjadi presiden. Luar biasa! 

Bagi saya, memang duet Gus Dur-Mega merupakan kombinasi yang paling baik dari semua kemungkinan realistis yang ada. Dengan adanya kombinasi ini, wacana politik Indonesia terhindari dari polarisasi Islam kontra non-Islam. Kalau polarisasi ini yang terjadi, massa radikal PDI akan berhadapan dengan massa fanatik kelompok Islam, dan Indonesia akan masuk ke dalam konflik politik yang sukar diselesaikan. Konflik ini, dalam ukuran mini, sudah kita alami di Ambon. 

Namun, setelah kombinasi unggul ini terjadi, muncul persoalan baru: pemerintah menjadi terlalu kuat. Apalagi Gus Dur dalam dalam menyusun kabinet melakukan superkompromi dengan hampir semua kekuatan yang ada di parlemen, yakni Golkar, PPP, PAN, Partai Keadilan, dan militer. Dalam komposisi kabinet seperti ini, praktis tidak ada oposisi yang efektif di parlemen. 

Oposisi pasti akan datang dari kalangan intelektual dan pers berupa kritik-kritik. Tapi, oposisi seperti itu, meskipun bisa memengaruhi opini publik, tidak bisa menggantikan pemerintah. Dia hanya bisa merupakan kekuatan moral yang bermain di luar mekanisme politik dan lembaga-lembaga demokrasi yang ada. 

                                                        ***        

Mengapa dibutuhkan oposisi efektif yang bisa menggantikan pemerintah? Sebab, seperti pernah dikatakan Goenawan Mohamad, kita membutuhkan dua mobil dalam menjalankan pemerintahan. Kalau mobil yang satu mogok, ada mobil lain yang siap jalan untuk menggantikan. 

Pemerintahan Soeharto tidak pernah menyediakan mobil alternatif ini. Bagi Soeharto, mobil alternatif merupakan usaha untuk mendongkel dan menggulingkan pemerintah yang ada. Karena itu, mobil ini harus dihancurkan. 

Tidak adanya mobil alternatif ini terasa akibatnya ketika Gus Dur tiba-tiba harus memimpin lembaga eksekutif tanpa persiapan. Lembaga eksekutif yang dibentuknya terkesan amburadul. 

Pertama, dia tidak siap dengan menteri-menterinya. Banyak menteri yang ditunjuk hanyalah merupakan hasil improvisasi dan kompromi politik berdasarkan kedekatan pribadi dengan para penyusun kabinet. Dia bukan merupakan hasil suatu pemikiran yang lama dan matang tentang sebuah tim kabinet dengan program yang tajam dan jelas. Sangat tipikal jawaban Gus Dur ketika ditanya mengapa menteri ini atau itu yang didudukkan dalam kabinet. Dengan ringan dia menjawab: “Itu kan bawaan si Polan, dan dia menggaransi.” Belum sebulan umur kabinet tersebut, Gus Dur kemudian sudah mengintimidasi kabinetnya sendiri dengan mengatakan bahwa beberapa di antaranya terlibat KKN dan dia sudah siap dengan penggantinya. Apakah ini bukan yang namanya amburadul? 

Kedua, ketika menyusun kabinetnya, mula-mula Gus Dur bilang akan memangkas jumlah departemen yang ada. Hasilnya, memang dia memangkas dua departemen, tapi membentuk departemen baru yang rasanya kurang diperlukan. Kedua departemen yang dihapuskan, yakni Departemen Penerangan dan Sosial, tidak lebih atau kurang pentingnya ketimbang departemen yang baru—bahkan ada desas-desus bahwa penghapusan Departemen Sosial disebabkan oleh kelupaan. Sekali lagi hal ini menunjukkan kerja yang tergopoh-gopoh dan kurang profesional. 

Coba kalau sudah ada mobil alternatif tadi. Semua ini pasti tidak akan terjadi. 

                                                   ***         

Dalam hal oposisi, di negara tempat demokrasi sudah menjadi tradisi politik, oposisi juga sudah menjadi sebuah lembaga. Partai yang beroposisi menyiapkan sebuah kabinet bayangan. Paling sedikit ada menteri-menteri bayangan untuk posisi yang dianggap penting. Tugas menteri bayangan ini adalah mempersiapkan sebuah kebijakan alternatif dan melontarkan kritik terhadap menteri yang sedang berfungsi. Dengan demikian, menteri bayangan ini tahu betul kekuatan dan kelemahan kebijakan yang dijalankan oleh menteri yang ada, dan menteri ini sudah punya konsep yang relatif matang untuk dilaksanakan begitu ada kesempatan bagi mereka untuk berkuasa. 

Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad. Hanya sekitar sepuluh tahun kita mengalami sistem politik yang demokratis, yakni pada 1950-an. Selanjutnya, kita berada di bawah sistem yang otoriter, baik sistem yang bernama Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila. Baru di penghujung abad ini, pada 1998 ketika Soeharto dapat digulingkan kita kembali menata sistem yang demokratis. 

Di bawah sistem politik yang otoriter, kita berdemokrasi dengan menyerang pemerintah yang menekan kebebasan. Tokoh-tokoh politik dan intelektual segera menjadi “pahlawan” pujaan masyarakat karena keberaniannya menyerang pemerintah. Tapi hanya sedikit, kalaupun masih ada, yang memikirkan sebuah pemerintah bayangan. Mungkin pada waktu itu sangat tidak terbayangkan ada kekuatan yang bisa menggantikan pemerintah militer yang ada, di samping pemikiran seperti ini akan mendapatkan ganjaran yang berat kalau diketahui oleh penguasa waktu itu. 

Paling-paling yang ada hanyalah semacam gambaran bahwa pemerintah yang akan datang merupakan pemerintah demokratis yang menghormati hak asasi manusia. Visi umum inilah yang dimiliki Gus Dur ketika masuk ke lembaga eksekutif. Ini tentunya sangat baik, tapi memang belum cukup. 

Kehidupan politik yang demokratis meminta syarat-syarat lain bagi “pahlawan-pahlawan”-nya. Yang dibutuhkan bukanlah sekadar keberanian mereka yang luar biasa dan visi umum yang baik, melainkan juga program operasional yang efektif. Juga harus ada kendaraan politik yang memadai untuk mendukung program ini. 

Dengan perkataan lain, dibutuhkan sebuah mobil alternatif siap meluncur begitu mobil yang sedang dipakai mogok. Yakni, sebuah partai politik oposisi yang efektif. 

                                                           ***    

Kita ketahui bahwa dalam sebuah sistem politik yang demokratis, kekuatan partai didasarkan kepopuleran partai itu di mata orang banyak. Dalam masyarakat yang masih setengah agraris dan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah seperti halnya di Indonesia, kepopuleran seorang pemimpin masih didasarkan pada karisma yang ada pada pemimpinnya, bukan pada kualitas program partai tersebut. Karisma seorang pemimpin biasanya ada pada pemimpin kelompok tradisional. 

Dari pemilihan umum yang baru lalu dapat kita lihat bahwa ada tiga kelompok tradisional yang kiranya akan menguasai Indonesia pada dasawarsa mendatang, yakni kelompok Sukarnois, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Pada dasawarsa pertama milenium kedua, sudah hampir dapat dipastikan bahwa akan sukar diharapkan adanya sebuah partai politik yang kuat di luar ketiga kelompok ini. 

Sayangya, partai-partai yang bernaung di bawah ketiga kelompok ini sudah merupakan bagian dari pemerintah. Memang masih ada kemungkinan bahwa satu atau dua partai akan meninggalkan kabinet ini, tapi kemungkinan ini tampaknya kecil bisa terjadi dalam masa lima tahun mendatang. (Sebenarnya akan menarik kalau ketika Hamzah Haz mengundurkan diri, PPP kemudian menarik menteri-menterinya yang lain dan menyatakan dirinya menjadi partai oposisi. Sayang, hal ini tidak terjadi). 

Apa yang bisa kita harapkan adalah oposisi dari kaum intelektual, akademisi, bersama beberapa NGO. Tapi, seperti dikatakan di atas, oposisi ini lebih merupakan oposisi moral karena tidak bisa menggantikan pemerintah. Dia hanya berfungsi sebagai sebuah model. Setelah hampir 40 tahun di bawah pemerintahan Sukarno dan Soeharto yang otoriter, nampaknya memang kita harus belajar berdemokrasi lagi dari aksara yang paling pertama.

Arief Budiman, Pengamat politik dan profesor di Universitas Melbourne


Sumber: TEMPO, Edisi Khusus Tahun 2000, 16 Januari 2000

Selasa, 14 Januari 2025

Media Massa, Rasisme Struktural, dan Legitimasi Kekerasan di Papua


Oleh: Victor Mambor


Pada tahun 1915 sampai dengan 1918, pada saat Perang Dunia I (PD I) berlangsung, pemerintah Turki secara sistematis membantai populasi Armenia yang ada di negara itu. Orang Armenia menjadi korban deportasi, pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Sejumlah besar populasi Armenia ini diusir ke Syria dan padang pasir, sehingga mereka mati akibat kelaparan dan kehausan. 

Pembantaian terhadap ras Armenia kembali terjadi tahun 1920 sampai dengan 1923. Kali ini dilakukan oleh oposisi Pemuda Turki yang memiliki pandangan kemurnian ras yang sama. Total diperkirakan satu setengah juta orang Armenia terbunuh selama periode 1915-1923 tersebut. 

Dua pembantaian ras Armenia di Turki ini, tak bisa dilepaskan dari peran media di Turki sejak tahun 1915. Media Turki, selama periode PD I, telah membangun propaganda ideologis tentang pembentukan kekaisaran Turki baru yang disebut Pan-Turanism, yang terbentang dari Anatolia hingga Asia Tengah. Ide Pan-Turanism rencananya hanya menjadi milik orang Turki asli saja. Propaganda inilah yang menjadi pembenaran atas pembunuhan besar-besaran dalam dua periode waktu tersebut. 

Turki dan periode kekelamannya hanyalah salah satu dari contoh bagaimana media terlibat dalam propaganda yang secara sadar meletakkan satu komunitas berada di bawah komunitas lainnya. Praktik rasisme secara struktural ini, pernah terjadi juga pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Juga terjadi pada zaman perbudakan ras Afrika abad XVI. Setelah kesombongan Turki, Nazi kembali mempraktikkan rasisme struktural ini terhadap bangsa Yahudi. 

Pasca Perang Dunia II, rasisme struktural ini terjadi lagi secara masif di Afrika Selatan, bangsa Indian di benua Amerika dan bangsa Aborigin di Australia. Dua yang terakhir, masih terjadi hingga saat ini. Pada semua praktik rasisme struktural ini, peran media massa sangat signifikan dalam membangun opini publik yang memungkinkan hal itu terjadi.

Media massa ibarat pedang bermata-dua. Pada satu sisi ia bisa memainkan peran untuk mendorong terwujudnya kondisi sosial yang egaliter dan harmonis di antara beragam perbedaan sosial dan politik. Pada sisi lainnya, media massa adalah alat propaganda yang ampuh untuk memelihara rasisme struktural yang pada akhirnya membenarkan tindakan kekerasan secara berkelanjutan oleh negara yang dikuasai oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Di sini kelompok minoritas ditempatkan pada posisi yang paling rendah dalam kebudayaan dan akal budinya.

Pelanggaran Etika, Mempertahankan Rasisme Stuktural

Rasisme struktural yang dipompa oleh media massa juga berlangsung di Papua. Pada Rabu 27 Mei 2015 misalnya, Kantor Berita Antara menyiarkan berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang disandera” yang ditulis oleh Evarukdijati. Pemberitaan ini kemudian dikutip oleh berbagai media online, salah satunya adalah Merdeka.com dengan judul berita yang sangat tidak etis, “Kelompok bersenjata sebut 2 TNI yang ditangkap sudah dimasak'.

Berita tersebut, sangat menyesatkan dan menyebarkan opini rasis terhadap orang asli Papua. Berita ini telah menggiring opini publik pada praktek kanibalisme yang menempatkan orang asli Papua sebagai komunitas yang sangat rendah kebudayaan dan akal budinya, seperti ditunjukkan oleh beberapa laman situs online, antara lain bersamadakwah.com, beritacenter.com, jakartagreater.com, wartapriangan.com, dan pojoksatu.id.

Pemberitaan selanjutnya yang disiarkan oleh Kantor Berita Antara pada tanggal 28 Mei 2015 yang berjudul “Panglima TNI bantah dua prajurit disandera”, semestinya secara otomatis mengonfirmasi bahwa berita pertama yang ditayangkan sebagai berita yang tidak valid dan tidak akurat.

Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers, Huruf C menegaskan Pers nasional melaksanakan peranannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Berita berjudul “Pangdam Berupaya Bebaskan Anggota TNI yang Disandera” telah gagal memenuhi unsur informasi yang tepat, akurat dan benar sehingga merugikan orang asli Papua. Berita tersebut justru telah mengembangkan pendapat umum namun tidak didasarkan oleh informasi yang tepat, akurat dan benar. Bantahan Panglima TNI dalam berita berjudul “Panglima TNI Bantah Dua Prajurit Disandera” mengkonfirmasi bahwa penyanderaan yang diberitakan tersebut tidak pernah terjadi. Sehingga patut dipertanyakan ketepatan, keakuratan dan kebenaran informasi dalam berita tersebut.

Pemberitaan tersebut telah melanggar beberapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang diterbitkan oleh Dewan Pers antara lain Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga praduga tak bersalah.

Berita berjudul “Pangdam Berupaya Bebaskan Anggota TNI yang Disandera” jelas tidak berimbang karena hanya berdasarkan informasi dari Panglima Kodam Cenderawasih yang didapatkan dari Danramil Komepa serta mencampurkan fakta dan opini yang menyesatkan melalui kalimat “Kedua Anggota TNI Sudah Dimasak'. Patut diragukan jika wartawan yang menulis berita tersebut telah melakukan uji informasi.

Kemudian Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Berita berjudul "Pangdam Berupaya Bebaskan Anggota TNI yang Disandera" adalah berita bohong dan fitnah karena telah dibantah oleh Panglima TNI melalui berita “Panglima TNI Bantah Dua Prajurit Disandera”. Selain itu, berita ini layak disebut berita yang sadis karena memuat kalimat “Kedua anggota TNI sudah dimasak” yang menggiring opini publik pada praktek kanibalisme.

Kemudian Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit cacat jiwa atau cacat jasmani.

Berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang disandera” adalah berita yang disiarkan berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap Orang Asli Papua dan merendahkan martabat Orang Asli Papua melalui kalimat “Kedua anggota TNI sudah dimasak" yang dikutip oleh berbagai media lainnya. Kalimat ini telah menggiring opini publik, seakan praktek kanibalisme masih dilakukan oleh Orang Asli Papua.

Terakhir adalah Pasal 10 l: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Meskipun Panglima TNI telah membantah adanya penyanderaan atas dua anggota TNI seperti yang diberitakan dalam berita “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang disandera”, namun Kantor Berita Antara tidak dengan segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Mencari Legitimasi atas Kekerasan di Papua

Awal tahun 2000, Noam Chomsky, Profesor di Massachusetts Institute of Technology muncul dengan pendapatnya tentang: 'kontrol opini publik'. Ia mengatakan ada dua model demokrasi dalam sejarah, yakni demokrasi di mana masyarakat secara aktif berpartisipasi dan satunya lagi di mana masyarakat dimanipulasi dan dikendalikan kesadarannya. Menurut Chomsky, yang juga dikenal sebagai father of modern linguistics, propaganda dalam demokrasi digunakan sebagai gada oleh negara totaliter, dan media massa adalah kendaraan utama untuk menyampaikan propaganda di Amerika Serikat. 

Analisanya terhadap Komisi Creel (sebenarnya bernama Komite Informasi Publik), bentukan Presiden Woodrow Wilson. Dalam masa PD I itu, Wilson menempatkan temannya George Creel, seorang jurnalis dan editor pada surat kabar Rocky Mountain News untuk mengubah sikap populasi Amerika Serikat yang pasif menjadi histeris agar Amerika Serikat mendapatkan legitimasi publik untuk terlibat dalam PD I.

Praktik yang sama dilakukan dalam masa pemerintahan George Bush untuk melegitimasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang di Irak. Chomsky menemukan bahwa media massa dan Industri Kehumasan telah digunakan sebagai propaganda untuk menghasilkan dukungan publik agar Amerika Serikat terlibat dalam perang di Irak. 

Profesor ini pada akhirnya berkesimpulan, industri kehumasan di abad XX telah sangat dipengaruhi oleh teori Walter Lippmann "Penonton Demokrasi', yang memandang masyarakat sebagai 'kelompok yang bingung' sehingga perlu diarahkan, bukan diberdayakan. Industri Kehumasan di Amerika Serikat dan banyak negara berkembang ternyata menempatkan fokus mereka pada 'mengendalikan pikiran publik' dan bukan pada menginformasikan sesuatu yang menjadi hak publik atas informasi.

Di Papua, kontrol terhadap media dan kontrol  terhadap opini publik menjadi sangat berharga bagi negara. Sangat berharganya hingga kalimat “Kedua anggota TNI sudah dimasak” yang pasti hanyalah sebuah “kode dalam institusi TNI—Kode yang semestinya tak perlu disampaikan kepada publik—harus disampaikan kepada publik melalui media massa. 

Terbukti, kalimat ini ditafsirkan secara berbeda oleh publik dan Kepolisian Daerah Papua kemudian mengirimkan satu seleton anggota Brigade Mobil ke Enarotali. Sadar atau tidak sadar, media dan Industri Kehumasan telah terlibat dalam melegitimasi praktik kekerasan berkelanjutan di Papua dan melegitimasi kehendak negara untuk melibatkan sebanyak mungkin aparat keamanan di Papua melalui rasisme struktural. Jurnalisme terlalu berharga untuk dikendalikan oleh sebuah institusi dan merendahkan satu komunitas.

VICTOR MAMBOR, Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua. Sekarang menjadi Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi


Sumber: 

Majalah LENTERA/Nomor 4/NOVEMBER 2016, h. 35-37





Senin, 13 Januari 2025

Martin Heidegger


Pernyataan Martin Heidegger ini menekankan pentingnya hidup autentik, yaitu menjalani hidup berdasarkan pilihan dan tujuan yang kita tetapkan sendiri, bukan karena ketakutan atau tekanan dari harapan orang lain.

Pesannya adalah untuk tidak membiarkan rasa takut membatasi potensi kita atau menjadikan ekspektasi orang lain sebagai penentu jalan hidup kita. Kita bertanggung jawab atas takdir kita sendiri, dan hanya dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri, kita bisa menjalani hidup yang bermakna.

Minggu, 12 Januari 2025

Kata Bijak Camus


Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis dan absurd, sering menyoroti kebebasan manusia dalam konteks kehidupan yang penuh dengan absurditas. Dalam kutipan tersebut, ia menegaskan bahwa hidup adalah perjalanan yang terdiri dari keputusan-keputusan, dan setiap keputusan memiliki konsekuensinya masing-masing terhadap kebebasan kita.

1. Keputusan Sebagai Bagian Dari Kebebasan

Camus melihat manusia sebagai makhluk yang bebas, tetapi kebebasan itu tidak hanya berarti kebebasan memilih. Setiap keputusan membawa tanggung jawab dan menentukan arah hidup. Keputusan yang kita buat dapat memperkuat kebebasan kita, yaitu semakin mandiri, otentik, dan sesuai dengan nilai-nilai yang kita pilih sendiri, atau justru menjauhkan kita dari kebebasan, seperti ketika kita menyerah pada tekanan, ketakutan, atau konformitas sosial.

2. Hubungan Dengan Absurditas

Camus menyadari bahwa hidup sering kali tidak memberikan jawaban pasti atau tujuan yang jelas, yang ia sebut absurditas. Dalam dunia yang absurd ini, manusia tetap harus memilih dan bertindak, meskipun tidak ada jaminan bahwa keputusan itu “benar” atau “salah.” Kebebasan justru terwujud ketika seseorang menerima absurditas ini dan tetap berani menjalani hidup dengan keputusan yang sadar.

3. Dekat atau Jauh dari Kebebasan

Setiap keputusan mencerminkan sejauh mana seseorang mengarahkan hidupnya sendiri. Keputusan yang dibuat berdasarkan kesadaran diri dan tanggung jawab pribadi membawa kita lebih dekat pada kebebasan. Sebaliknya, keputusan yang diambil karena paksaan eksternal atau penolakan untuk berpikir sendiri dapat menjauhkan kita dari kebebasan itu.

Secara keseluruhan, Camus menekankan pentingnya kesadaran dan keberanian dalam menghadapi absurditas hidup. Hidup menjadi bermakna ketika kita menjalani kebebasan dengan penuh tanggung jawab, bahkan di tengah ketidakpastian dan absurditas dunia.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1AxoP7868a/

Budaya Birokrasi: Dari Abdi Dalem Sampai Pegawai Negeri

Dr. Kuntowijoyo (sumber gambar: kompasiana.com) 

Oleh: Dr. Kuntowijoyo


BIROKRASI sebagai sebuah struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial dan struktur budaya. Penyelenggaraan kekuasaan dan pelayanan tidak dapat terlepas dari komposisi sosial yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, hingga sering birokrasi hanya melayani lapisan masyarakat yang dominan. Selain itu sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem simbol masyarakat juga mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan karena pelaksanaan kekuasaan hanya dapat terjadi jika ada kesediaan budaya masyarakatnya untuk menerima kehadirannya. 

Oleh karena amat penting bagi kita untuk mengetahui sampai berapa jauh sebenarnya birokrasi kita sebagai penyelenggara kekuasaan telah melayani sistem sosial dan sistem budaya. Apakah ada kontradiksi-kontradiksi yang melekat pada birokrasi kita sehingga birokrasi tidak menjadi pelayan yang baik bagi masyarakatnya. Dalam hal ini kita ingin melihat bagaimana birokrasi telah berfungsi dari waktu ke waktu. Birokrasi yang semestinya melayani kepentingan seluruh masyarakat pernah hanya menjadi pelayan dari lapisan atas yang sangat terbatas jumlahnya, yaitu para elite penguasa.

Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu akan kita sebut sebagai budaya birokrasi. Berturut-turut akan kita bahas budaya birokrasi abdi dalem, priyayi, dan pegawai negeri. Urutan ini kurang lebih mencerminkan evolusi sejarah birokrasi di Indonesia, yaitu sesuai dengan sistem sosial patrimonial, kolonial, dan nasional secara kronologis. 

Untuk setiap kategori akan kita lihat bagaimana konsep tentang kenegaraan dan kekuasaan pada suatu zaman telah mendefinisikan birokrasi pada zamannya, bagaimana birokrasi itu dilembagakan, dan bagaimana kerangka simbolis masing-masing ternyata menyumbangkan sesuatu pada budaya birokrasi itu. Uraian ini tentu saja terlalu singkat untuk menjangkau permasalahan birokrasi yang sangat kompleks, tetapi kiranya memadai sekadar untuk mengantisipasi perkembangan ke depan. Dalam bagian akhir akan kita coba untuk memberikan gambaran bagaimana birokrasi kita harus didefinisikan secara baru dalam pembangunan jangka panjang yang kedua.

Birokrasi sebagai Abdi Dalem

Di masa lalu kerajaan-kerajaan di Indonesia terbagi dalam dua kategori, yaitu kerajaan maritim dan kerajaan agraris, masing-masing dengan birokrasi yang berbeda, Penyelenggaraan kekuasaan itu berbeda dalam keluasan dan jangkauannya. Karena perbedaan sifat ekologi dan sumber ekonomi. Dalam kerajaan maritim birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan dalam kerajaan agraris ekonomi pertanian. Di sini kita mengambil contoh kerajaan agraris, karena rupanya birokrasi macam inilah yang mempunyai bekas paling dalam pada birokrasi kita masa kini.

Sebuah negara agraris atau argo-managerial state seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Jawa sampai abad ke-20 biasanya menetapkan bahwa pemilikan atas sumber ekonomi, yaitu tanah dan tenaga kerja ialah pada raja. Negara-negara patrimonial semacam itu memberikan kekuasaan pada raja untuk mengatur pembagian kehormatan, kemakmuran, dan kedudukan rakyatnya. Raja yang memiliki tanah dan tenaga kerja masyarakat melimpahkan penguasaannya pada anggota keluarga dan orang-orang yang dianggap berjasa pada raja sebagai lungguh.

Keluarga raja disebut sebagai sentana dan mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan kekuasaan disebut sebagai abdi dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam lembaga yang kita sebut birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja dengan dengan kawula-nya. Sementara itu rakyat yang harus mengerjakan tanah-tanah raja dan lungguh dengan imbalan mendapat hak gaduh atas tanah mereka. Rakyat juga harus menyerahkan bermacam-macam pajak yang ditentukan. 

Kedudukan birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja dalam hubungan atas-bawah yang bersifat konsentris membuat kedudukan birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani masyarakat, tetapi melayani kepentinan raja. Penyelenggaraan kekuasaan teritorial, perpajakan, pengadilan, keamanan, dan keagamaan lebih berupa penguasaan daripada sebuah pelayanan. 

Banyak abdi dalem yang bahkan secara khusus menyelenggarakan pelayanan kepada raja dan keluarganya. Birokrasi tentu saja harus diartikan sebagai penyelenggaraan kekuasaan publik. Para abdi dalem macam ini kemudian berkembang menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang berada terpisah dari masyarakat pada umumnya. Mereka mendapat kesempatan untuk menurunkan kedudukannya pada anggota keluarga, jika raja berkenan. 

Anggota-anggota keluarga lainnya juga mempunyai kesempatan menduduki jabatan-jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja sebuah lembaga dengan fungsi-fungsinya, tetapi juga sebuah lapisan sosial. Sebagai penyelenggara kekuasaan mereka termasuk dalam elite penguasa, yang mempunyai orientasi ke atas kepada kepentingan raja, lebih daripada ke bawah kepada kepentingan Orang-orang kecil. 

Kedudukan sosial abdi dalem diperkuat dengan bermacam-macam atribut yang dianugerahkan oleh raja. Mereka mendapat gelar-gelar, pangkat, dan perangkat upacara yang tertentu. Bahkan, segala atribut itu kemudian menjadi monopoli kelas mereka yang tidak diperkenankan bagi orang kecil untuk memperolehnya. Untuk mendukung kebaktian mereka kepada raja, mereka juga dibebani dengan buku-buku piwulang yang memuat etika abdi dalem, yang di dalamnya kepatuhan kepada raja dianggap sebagai puncak nilai, dan pengingkaran kepada raja dianggap sebagai kehinaan. 

Mereka diharuskan terlibat dalam upacara-upacara, merayakan hari-hari besar publik dan hari besar raja, yang ketidaksertaan di dalamnya dapat menjatuhkan malapetaka. Dalam upacara-upacara itu kedudukan, gelar, pangkat, dan segala atribut dimantapkan kembali. Hubungan antara abdi dalem dengan taja dan keluarganya juga dikukuhkan. Ritual-ritual politik itu sedemikian sering, seolah itulah satu-satunya tugas birokrasi kerajaan. 

Deskripsi umum tentang bagaimana keberadaan sebuah birokrasi dalam kerajaan patrimonial itu, secara tinci dapat dilihat dalam birokrasi kerajaan di Jawa, sejak taman Majapahit sampai abad ke-20 pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem itu tentu saja sangat membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat sehingga sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi dapat saja budaya itu masih melekat. 

Birokrasi sebagai Priyayi 

Perubahan sebenarnya sudah terjadi sejak masuknya pemerintah kolonial di Jawa. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah kolonial mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan pemerintahan kolonial dan sebagian lainnya dalam sebuah pemerintahan ganda yang selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial masih juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk semua saja yang mendapat imbalan berupa gaji besar maupun kecil, dapat disebut sebagai priyayi

Tujuan pemerintah kolonial adalah eksploitasi ekonomi dan penguasaan politik. Untuk melaksanakan dua tujuan itulah birokrasi dibentuk, sehingga kedudukan birokrasi kolonial juga tidak lebih daripada sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan kolonial. Priyayi sebagai ambtenaar, yaitu priyayi yang mempunyai kekuasaan—bukan sekadar orang gajian, karena mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat. Kekuasaan kolonial pada abad ke-19 sudah sampai ke tingkat paling bawah. Ketika itu konsep tentang negara dan kekuasaan belum banyak mengalami perubahan mengingat pemerintah memakai institusi patrimonial, seperti dalam pemilikan dan penguasaan atas tanah, tenaga kerja, dan surplus sosial. Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga mempengaruhi kedudukan priyayi sebagai penyelengara kekuasaan. Mereka seolah tidak menjadi bagian dari masyarakat umum, tetapi merupakan bagian dari kekuasaan negara. 

Sebenarnya sudah ada perubahan penting dalam cara anggota birokrasi diangkat oleh pemerintah kolonial. Priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genealogis, tetapi berdasarkan kriteria rasional, satu hal yang berbeda dengan para abdi dalem yang diangkat karena kemurahan raja. Karenanya, pada mulanya priyayi lebih sebagai sebuah kelas fungsional, tetapi kemudian priyayi juga berkembang menjadi sebuah status karena mereka pun juga mempunyai hak-hak tersendiri berbeda dengan orang kebanyakan. Demikian juga priyayi yang sebenarnya tidak temurun, tetapi karena mereka mempunyai kesempatan untuk melestarikan posisi sosial mereka, akhirnya kepriyayian juga menurun, sekalipun tetap berbeda dengan abdi dalem. 

Kecenderungan priyayi menjadi sebuah status didukung oleh gaya hidup yang khas yang makin lama makin tumbuh di kalangan priyayi sendiri. Berbeda dengan abdi dalem yang katakanlah mempunyai orientasi konservatif dan klasik, para priyayi lebih menekankan pada kemajuan dan pembaruan. Priyayi lebih banyak berhubungan dengan orang-orang Belanda sehingga mereka mengadopsi banyak gaya hidup Barat dan mengadaptasikan ketimuran mereka pada budaya yang didominasi oleh kognisi, etika, dan estetika Barat. 

Mereka lebih suka memakai bahasa Belanda sebagai simbol, sama seperti para abdi dalem yang memakai bahasa kawi dan kedaton sebagai kebanggaan. Mereka dengan senang mengikuti model busana, bujana, dan tegur sapa Belanda. Demikian juga pola penggunaan waktu-waktu luang mereka. 

Apa yang kita pelajari dari sejarah priyayi ialah kecenderungan mereka untuk mendudukkan diri sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sama seperti para abdi dalem yang menganggap diri sebagai bagian dari penguasa patrimonial. Oleh karenanya, di Indonesia kita tidak punya tradisi birokrasi yang lebih mengidentifikasikan diri sebagai sebuah pelayanan sosial. Kita tentu saja mengharapkan hal itu terjadi sesudah kita mendirikan negara nasional dan membangun birokrasi baru dengan personalnya yang kita sebut sebagai pegawai negeri. 

Birokrasi sebagai Pegawai Negeri 

Negara nasional yang muncul sejak kemerdekaan memberikan definisi baru pada birokrasi, yaitu sekaligus sebagai penyelenggara kekuasaan dan penyelenggara pelayanan. Sama seperti halnya priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri terdiri dari berbagai pangkat, golongan, dan eselon. Dalam semboyannya pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah ungkapan yang masih menyarankan betapa orientasi ke atas merupakan ciri utama pegawai negeri. Artinya berorientasi pada kekuasaan, sebab negara adalah nama lain dari kekuasaan. Di tingkat desa ada pemerintah desa, yang pelaksanaannya kemudian disebut dengan pamong atau perabot desa. Tentu saja istilah itu tidak akan berlaku untuk pegawai tingkat di atas desa. 

Meskipun di tingkat bawah pegawai hanya berupa pamong, tetapi dalam perjalanan kekuasaan mereka pun semakin besar, bersamaan dengan melemahnya perangkat sosial masyarakat. Kekuasaan negara sekarang ini sangat dirasakan kehadirannya dalam masyarakat sampai ke tingkat bawah, sebab tidak seorang warga pun yang dapat menghindar dari birokrasi. Masalah kecil, seperti pemberian KTP dan kredit merupakan bukti bahwa kekuasaan negara telah merasuk sampai desa. 

Kekuasaan pegawai negeri sebenarnya pada saat ini sangat luas, tetapi pegawai negeri gagal menjadi sebuah kelas sosial yang eksklusif, karena ada penurunan kemakmuran di satu pihak dan ada penambahan jumlah di lain pihak. Dibandingkan dengan rata-rata petani, pegawai negeri masih lebih makmur daripada petani, tetapi bila dibandingkan dengan usaha-usaha non-pertanian, pegawai negeri sering tidak dapat bersaing. Jumlah pegawai negeri juga sangat besar, sehingga tidak ada lagi yang istimewa dalam kedudukan sosial mereka. 

Kedudukan tinggi yang diberikan masyarakatnya pada priyayi dapat disebut sebagai elite, pegawai negeri lebih mirip dengan orang kebanyakan yang posisi sosialnya ditentukan oleh ukuran-ukuran pelapisan yang berlaku umum, Kepegawaian rupanya berbeda dengan kepriyayian di masa lalu. Kepegawaian hanya mempunyai konotasi fungsional, sedangkan kepriyayian mempunyai konotasi kultural. Pegawai negeri adalah orang biasa, priyayi adalah literati. Gejala priyayinisasi yang muncul akhir-akhir ini tidak semata-mata menjadi ciri pegawai negeri, tetapi milik siapa saja yang mampu membayar biayanya. Pegawai negeri yang umum tidak mempunyai kesempatan menjadi priyayi baru. 

Yang menarik dalam gejala birokrasi sekarang ialah keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis secara formal, satu gejala yang tak pernah terjadi di masa lalu. Pegawai negeri masuk ke dalam proses politik melalui keterlibatan mereka dalam dukungan formal kekuatan politik. Jika di masa lalu unsur politik dalam birokrasi tidak ada, dan hanya tingkat pengambilan keputusan tertentu merupakan jabatan politik, sekarang bahkan tingkat pelaksana terbawah masuk dalam politik. Kita tidak ingin menyatakan kembali bahwa keterlibatan politik dapat menyebabkan berkurangnya efisiensi kerja mereka dan memberi peluang untuk sebuah korupsi birokratis. 

Gejala lain ialah adanya ideologisasi pegawai negeri, yaitu dengan adanya penataran-penataran kesadaran politik. Tentu saja ideoloisasi amat penting dalam pertumbuhan semangat kebangsaan, tetapi jika ideologisasi itu menggantikan cara berpikir analitis, tentu hal itu tidak banyak membawa manfaat bagi pengembangan birokrasi sebagai sebuah pelayanan. Penyelesaian masalah-masalah sosial sering hanya dilihat dari sudut ideologis, tanpa mengindahkan kerangka sosialnya. Birokrasi hanya menjadi penyelenggara kekuasaan dan tidak menadi penyelenggara pelayanan apabila hanya mempunyai kualifikasi ideologis. Pegawai negeri lalu tidak ubahnya seperti abdi dalem. Gejala berikutnya ialah ritualisasi. 

Adanya baju-baju seragam, upacara-upacara, sumpah-sumpah mengingatkan kita pada bagaimana para abdi dalem di masa lalu direkayasa. Kita tidak menyatakan bahwa ritualisasi semacam itu sia-sia, tetapi ada kekhawatiran bahwa etos pelayanan juga akan hilang dari pegawai negeri, dan yang tinggal adalah etos kekuasaan. Dengan kata lain, kita tidak ingin ritualisme itu menjadi gejala sebuah refeodalisasi. 

Kaitannya dengan Industrial 

Dalam pembangunan jangka panjang kedua akan terjadi industrialisasi secara lebih luas. Untuk keperluan itu kita perlu menyiapkan sebuah model budaya birokrasi yang menunjang baik penyelenggaraan kekuasaan maupun pelayanan. Masyarakat masa depan juga adalah masyarakat demokratis, sebab kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat sudah muncul, seperti munculnya lapisan menengah yang semakin bebas dari kekuasaan pemerintah. 

Metropolitanisasi juga terjadi di kota-kota yang sekarang masih merupakan kota-kota sekunder. Masyarakat kota memerlukan sebuah birokrasi yang sungguh-sungguh efisien. Industrialisme, demokratisme dan urbanisme merupakan tantangan baru bagi birokrasi. Jika birokrasi kita masih mempunyai budaya abdi dalem dan priyayi kita akan gagal mengelola masyarakat masa depan. Orientasi ke bawah, dalam arti melihat permasalahan dengan kritis dan analitis lebih diperlukan daripada seperangkat pendidikan ideologis, sebab ternyata sebenarnya sekarang ini pun kita akui bahwa pragmatisme lebih menonjol daripada ideologi. Menjadikan pegawai negeri menjadi lebih efektif adalah tugas dari pendidikan bagi pegawai negeri, katakanlah namanya pendidikan perubahan. 

Priyayinisasi pegawai negeri dalam arti proses menuju elitisme pegawai harus dicegah dengan penyadaran bahwa pegawai neggeri adalah civil servants, lebih daripada sebagai penguasa. Semboyan abdi negara dasat diubah menjadi “abdi masyarakat” supaya kesadaran sosiologis lebih besar daripada kesadaran ideologis. Hanya dengan birokrasi yang profesional, masalah sosial masa depan dapat dipecahkan dengan baik. Profesionalisme dapat dikembangkan dengan meniadakan keterlibatan pegawai negeri dalam politik praktis. Kita mengharapkan sebuah budaya birokrasi baru akan muncul bersamaan dengan diterapkannya langkah-langkah itu. 

Dr. Kuntowijoyo, budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia


Sumber: Dr. Kuntowijoyo, "Budaya Birokrasi: Dari Abdi Dalem Sampai Pegawai Negeri", dalam Dr. Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Yogyakarta: IRCiSoD, 2018, h. 233-245.








TERBARU

MAKALAH