alt/text gambar

Jumat, 12 Desember 2025

FUNDAMENTALISME

(MEDIA INDONESIA, 12 Desember 1998)


Oleh: Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU, Jakarta



Kata fundamentalisme, sebenarnya telah berkembang dari artinya semula. Berangkat dari pengertian Kristen, ia berhenti pada pengertian untuk semua agama. Dalam pengertian semula, kata itu berarti gerakan-gerakan yang menunjukkan fanatisme agama dan militansi terhadap ajaran-ajaran kitab suci. 


Kalau kaum Kristen mengatur kehidupan mereka berdasarkan fundamen-fundamen (dasar-dasar) yang disebutkan dalam kitab suci, maka jadinya adalah kaum yang lemah. Bukankah mereka yang memberikan pipi kanan kalau dipukul pipi kiri, mereka adalah kaum lemah secara rasional? 


Karenanya, mereka yang tidak setuju dengan semua yang dirumuskan kitab suci, lalu mencari fundamen-fundamen agama. Lahirlah apa yang dinamakan fundamentalisme agama, yaitu pencarian prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama dalam pandangan mereka. Ini harus dibedakan dari keinginan untuk mendasarkan kehidupan secara inspiratif dalam kehidupan bermasyarakat. Dari ajaran-ajaran formal agama, dicari prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bermasyarakat, bukan dari pengertian harfiahnya. 


Dari uraian di atas jelaslah bahwa dengan pendirian inspiratif seperti yang diaksudkan tadi, merupakan pencarian prinsip-prinsip pengaturan hidup masyarakat dari agama yang dipeluk seseorang. Jadi, bukanlah dengan mengemukakan dalil-dalil formal agama melalui kutipan kitab-kitab suci. Nah, dari pengertian fundamentalisme seperti inilah arti kata itu digunakan bagi agama-agama lain. 


Maka, lahirlah kata fundamentalisme Islam yang berarti pemahaman kata tersebut secara harfiah dari kitab suci Alquran dan hadits Nabi Muhammad saw. Karenanya, istilah tersebut menimbulkan ketakutan yang sangat pada fenomena penerapan hukum Islam secara harfiah. Seolah-olah dengan demikian, setiap tindakan menegakkan semangat Islam adalah penerapan hukum agama secara formal. 

Tidaklah terlihat adanya kemungkin lain bagi fundamentalisme Islam. Karenanya, istilah itu menjadi kata kotor dalam mengenali Islam sebagai proses kemasyarakatan. Bulu kuduk kita berdiri setiap kali mendengar istilah tersebut, tanpa ada kemungkinan memahaminya secara lain. 


Penyimpangan 

Dalam sebuah pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua UNICEF (Dana Darurat PBB untuk Anak-Anak), kepala perwakilannya di sini, membawa serta seorang bekas Menteri Perhubungan Ethiopia. Dikatakan bekas, karena ia baru saja berhenti dari kabinet dan kini tinggal di London. Mengapa ia pilih mengungsi di negara lain? Karena ada masalah pribadi yang bisa membuatnya “mati”. 


Penduduk Ethiopia 55% beragama Islam. Dengan demikian, ia dimasukkan dalam kabinet pada waktu itu guna mewakili kelompok yang besar, walaupun mayoritas muslim itu tidak diakui oleh dunia politik Ethiopia. Ia bersedia duduk di kabinet, walaupun di luarnya ada pihak garis keras yang menolak hal itu. Mereka justru menuntut agar Ethiopia diperintah oleh kabinet yang mencerminkan keadaan kaum muslimin sebagai kaum mayoritas. 


Karena menteri yang satu ini justru tidak mengindahkan tuntutan itu, maka ia lalu diserang sebagai pihak yang mengacaukan tuntutan. Karena itu, ia pernah diserang sebanyak tujuh kali upaya pembunuhan, yang kesemuanya berasal dari gerakan Islam berhaluan keras. Bukankah hal itu berarti ada orang Islam yang tunduk pada kekuasaan kaum bukan muslimin, yang berarti penyimpangan dari Alquran? Karenanya, bukankah orang yang demikian wajib dibunuh? Bukankah kabinet Ethiopia sekarang yang dipimpin presiden tidak beragama Islam, termasuk dalam apa yang dimaksudkan Alquran itu? 


Maka alangkat terkejutnya para anggota PBNU yang hadir dalam pertemuan itu ketika sang bekas menteri menjawab termasuk golongan apakah ia? “Saya adalah termasuk fundamentalisme muslim”. Ternyata istilah itu di Ethiopia mempunyai konotasi lain, yang berbeda dari pengertian yang biasa kita pahami. Dalam percakapan selanjutnya menjadi jelas, sang bekas menteri itu mempunyai pandangan keagamaan yang sama dengan pendirian NU. Di negara orang berkulit hitam itu, kata “Fundamentalisme Islam”, berarti orang-orang yang berpegang pada makna inspiratif agama tersebut, yaitu kelonggaran pada pihak lain, selama prinsip-prinsip Islam dihargai oleh setiap orang. 


Dengan menggunakan istilah tersebut, sang bekas menteri bermaksud menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang diambil dari inspirasi keagamaan adalah penentu kehidupannya. Sama dengan pemimpin Islam, sama dengan NU, yang menggunakan Islam dengan pengertian demikian alam hidup berpancasila di negeri ini. Bukankah dengan demikian, para pemimpin itu menggunakan fundamen-fundamen Islam dan bukannya kutipan-kutipan formalnya belaka? Bukankah dengan demikian, sang bekas menteri dari Ethiopia itu lebih mendekati pengertian harfiahnya dari kata “Fundamentalisme Islam” daripada yang kita kenal selama ini? 


Lalu kalau kita gunakan pengertian bekas menteri dari Ethiopia tersebut, apakah istilah yang lebih tepat untuk kaum perusuh yang memaksakan kehendak atas nama Islam di negeri ini? Jawabnya mudah saja, kaum muslim radikal, atau istilah apa pun yang mengandung arti seperti itu.***(A-2)


Sumber: MEDIA INDONESIA, 12 Desember 1998

SAPARDI MEMPERTANYAKAN KEBENARAN

(Kompas, 12 Desember 2010)


Oleh: Ilham Khoiri


Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus.

Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya, "Saya terus menulis. Kalau tidak menulis, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Praktis tiap hari saya di depan komputer, pokoknya tak-tuk, tak-tuk...," katanya seraya memeragakan orang mengetik.


Kami ngobrol santai di rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, pertengahan November lalu. Malam itu gerimis. Udara lembab dari Setu Gintung di belakang rumahnya sesekali menyelinap masuk lewat jendela.


Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.


Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah.


"Saya membuat puisi, kadang menulis cerita, atau menerjemahkan teks sastra Inggris," katanya. Sapardi menunjukkan puisi terakhirnya, Sajak dalam Sembilan Bagian, yang terbit di Kompas, pekan sebelumnya. Baginya, menulis adalah pekerjaan yang tak kenal pensiun.


Kapan pertama kali menulis puisi? 


Saya pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat umur saya 17 tahun. Tapi, puisi saya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang saya terus menulis puisi.


Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), saya berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, saya juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.


Bagaimana proses kreatif selanjutnya? 


Saya hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Bagi saya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen.


Buku kumpulan puisi saya pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa saya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.


Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Saya mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut "belum ada namanya". Puisi, tetapi mirip dongeng Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia.


Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak.


Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang


Bagaimana kemudian puisi Anda dikenal sebagai puisi liris?

Banyak orang lebih menyukai puisi saya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin.


Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.


Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya. bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.


Pendidik


Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Ingris di Kursus Bl Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang


Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di Ul sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.


Bagaimana pengalaman Anda selama menjadi dekan?


Itu, kan, seperti arisan dan kebetulan saya yang dapat giliran. Begitu terpilih sebagai dekan, saya tak bisa menolak. Saya belajar manajemen agar bisa masuk dengan pas. Dengan sistem yang sudah jadi, saya fokus membuat gagasan. Kan, nanti ada pegawai-pegawai yang melaksanakannya.


Saya pernah memimpin lembaga dari tingkat lebih rendah. Sebelumnya, saya menjadi pembantu dekan III dan pembantu dekan I. Pekerjaan sastrawan itu, kan, tidak setiap hari dan bisa dikerjakan secara sambilan. Beberapa sastrawan lain pernah menduduki jabatan, seperti Umar Khayam atau Budi Darma.


Sastra pop


Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit. seperti Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang. (1979), Sastra Indonesia Modern Beberapa Catatan (1983). dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990).


Sebagai pengamat, seniman ini bisa  memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hing ga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.


Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra zaman sekarang?


Sastra berkembang cepat. Buku sastra diterbitkan di mana-mana. Ada kumpulan puisi, cerpen, atau novel. Apalagi sekarang ada media dunia maya di internet yang memungkinkan siapa saja menulis sastra, entah lewat blog Facebook, Twitter, atau e-mail.


Media ini luar biasa karena membuat sastra mudah tersebar ke mana-mana. Semua itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya minat baca dan menulis serta pengembangan bahasa.


Kualitasnya bagaimana?


Jumlah karya sastra banyak dan di antaranya ada yang bagus. Sebagian anak muda serius menguasai bahasa. Yang menarik, para pengarang itu tak terpaut hanya pada bahasa baku, tetapi bahasa sehari-hari, seperti bahasa gaul yang sangat luwes.


Bagaimana dengan sukses pasar novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi, misalnya? 


Sastra itu bukan barang sakral. Semua orang bisa ambil bagian karena sastra milik kita semua.


Dua novel itu termasuk sastra populer. Dalam arti, keduanya mengandung sesuatu yang disukai, pesannya jelas, mencoba  untuk luruskan keadaan, dan mengusung kesimpulan jelas: yang benar harus diberi hadiah dan yang salah dihukum. Mungkin ada misi dakwah yang disampaikan secara gamblang.


Di luar negeri, sastra populer juga diminati, seperti novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown, Twilight karya Stephenie Meyer, atau Harry Potter karya JK Rowling. Karya-karya sastra pop belum tentu jelek dan karya sastra eksperimental juga belum tentu bagus. Itu perkara selera. Biarkan pembaca menilai. Iklimnya sekarang jauh lebih demokratis. 


Bagaimana perkembangan sastra yang tidak populer?


Marak juga, tetapi tak banyak yang mengeroyok. Ada perkembangan baru, seperti dari karya Nukila Amal, Djoko Pinurbo, Linda Christanty, dan Ayu Utami Namun, jangkauannya terbatas. Mungkin Saman karya Ayu Utami bisa jadi contoh sastra inovatif yang laku.


Saya menyebutnya sebagai sastra inovatif karena berniat mempertanyakan norma umum, kebenaran. Penulis menyajikan masalah secara baru, mengungkapkan kompleksitasnya, dan mencoba mempertanyakan segala sesuatu, termasuk nilai yang disepakati bersama.


Itu pula yang dilakukan Armijn Pane lewat novel Belenggu tahun 1940-an, Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, 1950-an), dan NH Dini (Pada Sebuah Kapal, tahun 1970-an). Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berkembang saat itu, entah soal rumah tangga, perjuangan, atau hubungan antarmanusia.


Nah, pada tahun 2000-an sekarang beberapa pengarang berusaha mempertanyakan soal seksualitas, agama, hubungan perempuan-perempuan, dan atau membongkar nilai-nilai lain. Di sini, pembaca seperti diajak untuk ikut menulis, menciptakan dunia sendiri yang baru. Teks sastra hanya semacam godaan yang merangsang pemikiran.


Apa relevansi sastra bagi kehidupan sekarang?


Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia.


Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng seperti kisah Adam dan Hawa


Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri. 


SAPARDI DJOKO DAMONO

• Lahir: Solo, 20 Maret 1940 


• Ayah: Sadyoko


• Ibu: Sapariah 


• Pendidikan:

- Sekolah Rakyat Keraton "Kasatriyan", Solo

- SMPN II Solo, SMAN II Solo

- Sastra Inggris UGM, Yogyakarta (1958-1964)

- Program Doktoral Sastra Universitas Indonesia (lulus tahun 1989)

- Profesor Bidang Ilmu Sastra UI (1994)


• Pekerjaan:

- Guru di Madiun, Solo, dan Semarang.

- Dosen di Universitas Diponegoro, Semarang

- Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia

- Redaktur Majalah Sastra "Horison", Jakarta (20 tahun, tahun 1973-1993)

- Dosen di Fakultas Sastra UI, Jakarta (sejak 1973)

- Dekan Fakultas Sastra Ul (1995-1999)


• Buku (kumpulan sajak).

- duka-Mu abadi (tahun 1969)

- Mata Pisau dan Akuarium (1974)

- Perahu Kertas (1983)

- Sihir Hujan (1984)

- Hujan Bulan Juni (1994) 

- Arloji (1998)

- Suddenly the Night (1988)

- Ayat-ayat Api (2000)

- Mata Jendela (2002)

- Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002)

- Kolam (2009).


• Buku (esai, karangan ilmiah): -

- Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978)

- Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979)

- Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983)

- Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990)

- Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)

- Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)

• Penghargaan:

- Cultural Award dari Australia (1978)

- Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)

- SEA-Write Award darl Thailand (1986)

- Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1990)

- Mataram Award (1985)


Sumber: Kompas, 12 Desember 2010

Trik Gila Baca Buku

Fakta menariknya, penelitian dari Cognitive Neuroscience Journal menemukan bahwa otak manusia hanya mampu mempertahankan fokus optimal sekitar dua puluh menit sebelum perhatian mulai menurun. Artinya, kehilangan fokus saat membaca bukan tanda kamu malas, tapi respons alami otak saat bertemu sesuatu yang terasa monoton. Jadi wajar jika halaman enam belas terasa jauh lebih berat daripada halaman pertama. Bukan kamu yang lemah, pola bacanya saja yang tidak cocok.

Masalahnya, banyak orang membaca buku seperti sedang menjalankan ritual wajib. Duduk diam, membuka halaman satu, lalu berharap bisa tenggelam dengan sendirinya. Padahal buku bukan tontonan pasif seperti film. Buku menuntut partisipasi. Membaca adalah dialog. Jika kamu memperlakukannya seperti rutinitas sunyi yang kering, wajar kalau pikiran kabur entah ke mana.

Sekarang mari kita coba trik yang sedikit gila tetapi justru efektif.

1. Jangan mulai dari awal. Mulailah dari bagian yang langsung membuatmu penasaran. Misalnya saat membaca Thinking Fast and Slow, kamu tidak harus membuka pendahuluan yang panjang. Cari bab yang terasa paling dekat dengan hidupmu. Ketika rasa ingin tahu memimpin, fokus akan mengikuti.

2. Ubah tujuan membaca. Jangan baca untuk menamatkan buku, tapi untuk menemukan satu ide yang mengubah cara pandangmu. Satu paragraf yang membuatmu berpikir, jauh lebih bernilai daripada memaksa diri menuntaskan tiga ratus halaman tapi tidak mengingat apa pun. Tanyakan pada dirimu, apa satu gagasan yang bisa kubawa pulang dari bacaan ini.

3. Coba membaca dengan suara pelan. Banyak orang tidak sadar bahwa kata kata menjadi lebih hidup ketika terdengar. Suaramu sendiri bisa menjadi jembatan antara teks dan pikiranmu. Kadang kalimat yang biasa saja akan terasa berbeda ketika kamu mendengarnya keluar dari mulutmu.

4. Pindah tempat membaca untuk menipu otakmu. Bacalah di teras saat hujan, di kursi berbeda, atau bahkan sambil berdiri. Otak merespons lingkungan baru dengan meningkatkan kewaspadaan dan rasa ingin tahu. Perubahan kecil bisa membuat bacaan terasa segar kembali.

5. Ketika menemukan kalimat yang menusuk, berhenti. Jangan buru buru lanjut. Biarkan kalimat itu tinggal sedikit lebih lama. Rasakan bagaimana ia memantik pertanyaan dalam dirimu. Bacaan yang baik seharusnya membuatmu berhenti, bukan berlari.

Jika kamu mencoba trik ini satu per satu, kamu akan sadar bahwa rasa bosan bukan musuhmu. Ia hanya indikator bahwa otakmu membutuhkan cara baru untuk memasuki dunia buku. Dan begitu kamu menemukan ritme yang tepat, membaca tidak lagi terasa seperti beban, tapi seperti percakapan yang selalu ingin kamu kunjungi lagi.

Sumber: Fb



,

POLITIK ISLAM

(Kompas, 12 Desember 2010)


Oleh: Deliar Noer


Manuel Kaisiepo dalam artikel "PPP Menyongsong Era Baru: Persaingan Isi 'Halaman Baru' Partai Politik Islam" dalam harian Kompas Minggu, 29 November 1998 halaman 7 dengan panjang lebar menguraikan perjalanan hidup PPP yang mulanya berasas Islam, kemudian Pancasila, akhirnya – dengan muktamar ini – kembali kepada Islam. Tetapi Kaisiepo juga mengemukakan sifat perpolitikan modern yang menurut dia mau tak mau berbeda dari yang tradisional agama (traditional religiopolitical). Dalam rangka ini ia merujuk pada Donald K Smith. Ia juga mengutip Schattsneider yang mengemukakan bahwa partai politik adalah "produk gerakan demokrasi dan demokrasi modern merupakan produk tambahan dari kompetisi partai". Maka "logika dan idiom politik seperti strategi, taktik, manuver, kontra-manuver, mobilisasi, pressure (tekanan), konflik" tercakup di dalamnya. Maka Kaisiepo juga merujuk pada ungkapan bahwa "mengatakan ke mana arah tujuan suatu negeri (atau negara) adalah suatu hal (penting), namun mengusahakan rakyat atau masyarakat untuk ikut di dalamnya adalah hal (penting) lain pula". Ia mengesankan bahwa yang akhir ini agar masyarakat ikut pada partai bersangkutan merupakan hal yang lebih penting, yang bisa berbeda dari arah tujuan. Dengan kata lain, menggalang massa bisa menggeser kepen- tingan ideologi.

Saya rasa banyak benarnya juga apa yang dikemukakan oleh Kaisiepo. Agaknya pula sebagian besar kenyataan hidup perpolitikan di banyak negeri Barat yang demokratis memang demikian. Sekurang-kurangnya usaha memenangkan pemilihan umum bagaikan lebih diutamakan ketimbang berdiri tegak dengan prinsip-prinsip tujuan. Apalagi sekularisme memang sudah berkembang pesat di sana. 


Namun bila kita bicara tentang Islam – dan perpolitikan Islam termasuk di dalamnya, berbagai hal perlu pula dijadikan pertimbangan dan rujukan. Pertimbangan dan rujukan ini berkaitan dengan sifat pandangan hidup Islam, termasuk dalam soal politik. Sebagai agama yang tidak memisahkan kehidupan rohani dan jasmani, lahir dan batin, dunia dan akhirat, maka Islam di samping mengajarkan tegaknya nilai-nilai kehidupan dalam diri pribadi dan masyarakat (serta negara), menganjurkan pula tegaknya cara-cara tertentu, termasuk sistem, secara umum. Cara dan sistem tersebut banyak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang bagi orang Islam harus dan perlu dijadikan contoh. Cara dan sistem harus disertai nilai tadi.


Maka antara lain, nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, amanah, tanggung jawab, satu kata dengan perbuatan, sikap istiqamah (konsisten) dan sebagainya, perlu tegak. Ini menuntut pengaturan (jadi sistem) kehidupan masyarakat (dan negara) yang juga sesuai dengan nilai-nilai ini. Umpamanya saja, semua nilai ini dapat lebih terjaga dan terawasi sesuai ajaran, apabila pengaturan, sikap dan perbuatan – khususnya yang  berkaitan dengan kehidupan bersama masyarakat dan negara, diselenggarakan secara terbuka, apabila persamaan tegak, apabila tanggung jawab dan gugatan bisa dilakukan. Dengan demikian rakyat dapat mengukur apakah sikap, perbuatan dan pelaksanaan dalam pengaturan masyarakat dan negara tadi memang sesuai dengan tuntutan nilai-nilai tersebut, ataupun sesuai dengan aspirasi rakyat banyak.


Dalam rangka ini baik juga dicatat bahwa pelaksanaan suatu pengaturan merupakan bagian dari budaya lingkungan yang terkait. Suatu pengaturan itu tidak tumbuh dari ketiadaan. Maka dengan kedatangan Islam di negeri kita, lingkungan tempat tumbuhnya Islam itu pun turut mempengaruhi. Maka dijumpailah pengaruh baik dan pengaruh tidak baik di tengah masyarakat sebagai warisan paham dan budaya lama, sebagaimana juga dijumpai pengaruh baik dan tidak baik bila kedatangan pengaruh asing. Apakah sistem dan pengaruh kawula- gusti, konsepsi kosmologis seperti yang dijumpai dalam zaman Majapahit, umpamanya. sesuai dengan kehidupan masa kini atau dengan ajaran Islam? Apakah gotong royong bisa diterima? Pengaruh dari luar berkaitan dengan paham demokrasi modern (kalau demokrasi lama kita jumpai pada umumnya di desa-desa),  trias politika, pendidikan modern, kesejah-  Perlu juga diperhatikan bahwa kehidupan sekuler ada yang bisa  juga diterima dalam Islam, terteraan sosial dalam arti modern, ataupun apa yang disebut negara kesejahteraan (welfare state) – semua ini bisa pula dirujuk.  

                                              ***


Dibawakan ke soal Islam, tentulah ukuran Islam itu sendiri perlu dijadikan tolok ukur dalam menentukan apakah kita akan dapat menerima bagian-bagian paham lama, ataupun bagian-bagian paham baru. Perlu juga diperhatikan bahwa kehidupan sekuler ada yang bisa juga diterima dalam Islam, terutama bila segi teknis yang lebih diperhatikan. Transparansi dalam negeri demokrasi modern Barat (baca: sekuler) merupakan syarat bagi tegaknya demokrasi; demikian juga trias politika.  


Yang mudah pula untuk diperhatikan adalah segi akhlak (moral, etik) yang dituntut oleh Islam dan yang harus ditegakkan oleh para penganutnya. Akhlak ini tentu berhubungan dengan diri pribadi (niat, sikap, perbuatan, pikiran, perasaan), tetapi ia juga harus tegak di tengah masyarakat dan negara. Maka politik Islam menuntut penganutnya untuk mengikutsertakan akhlak, etik dan moral dalam sikap dan tindakannya. Kalau tidak, maka yang lebih menonjol dalam sikap dan tindakan itu adalah segi kepraktisan atau kepragmatisan belaka. Lebih parah lagi bila dalam sikap dan tindakan tadi hanya tujuan singkat yang dikejar umpamanya kursi, atau harta tanpa memperhatikan apakah tujuan itu dicapai dengan disertai kelurusan, kebenaran dan keadilan.


Itu sebabnya para pemikir Islam dahulu di negeri kita banyak menolak kapitalisme dan komunisme, yang pada mulanya dan pada prinsipnya menggelar aksioma "tujuan menghalalkan cara" (walaupun ungkapan ini lebih dikaitkan dengan komunisme, namun kapitalisme semula juga praktis mempraktekkannya). Maka sekitar tahun 1921 perdebatan dalam kongres Sarekat Islam tentang paham mana yang membela rakyat banyak (komunisme atau Islam) dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang terpengaruh oleh paham komunisme (seperti Darsono) dan mereka yang bertahan dengan ajaran Islam (termasuk H Agus Salim dan Abdul Moeis – ketika itu HOS Tjokroaminoto sedang dalam tahanan Belanda). Ketika itu Salim dengan bangga mengemukakan bahwa pembelaan terhadap rakyat banyak telah jauh lebih dahulu dicontohkan Nabi Muhammad SAW.


Dalam menghadapi masyarakat, Nabi berbekal shalat (sembahyang) lima waktu yang khusus dijemputnya dalam Isra dan Mi'raj, langsung dari Allah SWT. Tak lama kemudian ia hijrah ke Madinah, dan di sinilah ia membina masyarakat yang oleh banyak pakar, termasuk Barat, sudah dipandang sama dengan negara. Dapatlah dipahami mengapa ayat Al Quran mengatakan bahwa "shalat mencegah kekejian dan kemungkaran" (Q 29:45). Bahwa shalat bagaikan tidak mencegah hal-hal ini di negeri kita yang penuh KKN ini, tentulah merupakan masalah lain pula.


                                                  ***


Perlu juga diperhatikan bahwa di antara ajaran Islam itu ada yang bisa saja dipraktekkan oleh masyarakat yang tidak menyadari ajaran Islam, ataupun yang tidak Islami sama sekali. Umpamanya, menuntut ilmu itu menurut Hadits – wajib bagi tiap muslim dan muslimah; juga bahwa pendidikan itu sepanjang hayat – “dari buaian ke liang kubur" Namun apakah terpengaruh oleh ajaran ini atau tidak, UUD 1945 kita menyebut bahwa "tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran" (Pasal 31). Malah di negeri-negeri Barat, wajib belajar itu benar-benar dilaksanakan, biasanya paling sedikit selama 12 ta- hun. Wajib belajar di sana gratis, di negeri kita bebas uang sekolah, tetapi disertai sumbangan wajib!


Demikian juga tentang pekerjaan. "Tap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" (UUD 45 Pasal 27 ayat 2). Persamaan kesempatan dalam Islam merupakan cermin dari keadilan, dan seseorang dalam Islam wajib membela para mustadh'afin (kaum yang lemah). Di negeri Barat pada umumnya mereka yang menganggur menerima bantuan sosial yang memadai untuk hidup, mereka yang tua juga memperoleh tunjangan hidup (lepas dari soal apakah mereka sebelumnya bekerja untuk pemerintah atau tidak). Juga pengobatan pada umumnya gratis. Perlu juga dicatat bahwa sudah agak lama Singapura – tanpa menyebut atau merujuk kepada

ajaran Islam – melarang judi di negerinya. Singapura menyadari benar mudharat judi bagi masyarakat sehingga larangan berjudi pun ditetapkan dengan konsekuen. (Tetapi sebagai catatan tambahan, baik juga dikemukakan bahwa orang-orang Singapura kalau ingin berjudi, pergi ke Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini antara lain di Batam).


Hal-hal seperti ini bersangkut dengan ideologi. Tetapi ideologi seperti yang dikemukakan liberalisme kapitalisme telah banyak mengalami perubahan Negeri-negeri ini mengejar apa yang disebut welfare state (negara kesejahteraan). Oleh sebab itu dalam hal-hal tertentu perjuangan partai di negeri-negeri Barat itu di samping memperhatikan cara untuk memenangkan pemilihan umum (bagaimana mendapatkan pengikut), tidak juga lepas dari ideologi yang berubah tadi, yang lebih memperlihatkan kesamaan arah antara berbagai partai. Malah kesamaan arah tadi memungkinkan partai-partai di Barat lebih memperhatikan cara memperoleh kemenangan. Dengan demikian pendapat Kaisiepo di atas tadi tidak sepenuhnya dapat ditelusuri di tengah masyarakat modern sebagai keterpilahan masyarakat secara hitam dan putih dalam berideologi. Mau tidak mau tujuan, yang lebih dipahami sebagai program dekat, juga dikaitkan dengan usaha mendapatkan pengikut


Dalam rangka ini perlu juga diperhatikan imbauan kalangan Islam dalam Konstituante tahun 1956-59. Kalangan Islam mengemukakan keinginannya agar bagi mereka yang muslim diperlakukan hukum Islam, dan agar mereka yang bukan muslim memperlakukan hukumnya pula (Katolik bagi yang Katolik, Protestan bagi yang Protestan dan sebagainya), dan supaya negara membenarkan dan memperlakukan hal seperti ini. Hal seperti ini pernah terjadi di zaman khilafat selama ratusan tahun; ada pengadilan untuk orang Nasrani, pengadilan tersendiri untuk orang Kopt – agama tua di Mesir, pengadilan untuk orang Greek Orthodox, di samping tentunya pengadilan untuk orang Islam. Dalam zaman Nabi Muhammad SAW hal demikian juga pernah dilaksanakan. Dalam rangka apa yang disebut Konstitusi Madinah, seorang Muslim yang melanggar ketentuan tersebut mendapat hukuman dari Nabi. Tetapi kalau ada orang Yahudi yang melanggarnya, Nabi pergi dahulu menjumpai pendeta Yahudi, menanyakan apa hukuman yang dikenakan bagi pelanggar bersangkutan menurut ketentuan agama Yahudi. Ketentuan agama Yahudi ini yang dilaksanakan oleh Nabi SAW. Toleransi memang jadi pegangan. 


Keruwetan, kemajemukan, keragaman hidup masa kini hendaknya dapat kita lihat dengan jernih. Namun prinsip haruslah tegak, termasuk oleh partai yang menginginkan kemenangan dengan persaingan antarpartai. Islam menyuruh umatnya untuk menegakkan prinsip ini bagi diri, masyarakat dan kehidupan negara. Oleh sebab itu dalam rangka berpartai ia harus pula menegakkan dan antara lain memperhatikan akhlak, tetapi juga ajaran-ajaran prinsip tadi. Ia juga tidak memaksa orang lain menerimanya. Dalam rangka keagamaan, tentulah persamaan ditegakkan pula. Kalau tidak, ia telah meninggalkan Islam; Islam bisa hanya tinggal nama tanpa isi. Tentu hal ini tidak kita inginkan, terutama kalau diingat bahwa Islam hendaknya menjadi "rahmat bagi sekalian alam". Bagi kita semua seharusnya ungkapan "tujuan menghalalkan segala cara" hendaknya ditinggalkan. Oleh sebab yang tradisional-agama pun ada yang perlu dilanjutkan dalam zaman modern ini.

Deliar Noer, pakar ilmu politik, tinggal di Jakarta


Sumber: Kompas, 12 Desember 1998

Rabu, 10 Desember 2025

Kartini dan Buku

Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003


"Tak ada orang di sampingnya, yang menunjukkan kepadanya pada yang indah, yang tinggi yang ada di dekat segala yang rendah dan hina dalam kehidupan ini. Kebiasaan Pribumi membuat sedemikian rupa, bahwa ada suatu jarak yang harus dipertahankan antara orangtua dan anak-anaknya. Memang mereka dapat bergaul akrab satu dengan yang lain, tapi sampai pada keakraban sebagaimana pada orangtua-orangtua Eropa, mereka tiada kan sampai. Ni mencintai Ayahnya, namun, sekalipun tidaklah bakal menyinggung hati orangtuanya, menyatakan pikirannya yang paling intim kepada mereka, ia tak dapat. Dingin dan adem saja etiket Jawa yang keras itu memisahkan mereka berdua. Ni melarikan diri sebanyak mungkin dari orang-orang yang melecehkannya dengan sinisme mereka. Dan di mana adat dan kebiasaan negerinya tak memberinya tempat pelarian di dalam tangan orangtua, di dalam hati orangtua, terhadap jiwanya yang berdukacita menderita itu, ia dapat hiburan pada sahabat-sahabatnya yang pendiam dan bisu: “buku”. 

Selalu ia suka membaca, tapi kini kecintaannya pada pustaka telah menjadi candu. Segera setelah pekerjaan yang ditugaskan kepadanya selesai, tangannya pun menggapai buku, atau koran. Segala-galanya ia baca, apa saja yang jatuh di bawah matanya, ia menelan segala dengan lahapnya, mentah ataupun matang. Ada juga terjadi ia lemparkan buku yang berisikan penuh hal-hal menjijikkan. Tak perlu ia cari-cari di dalam buku, kalau hanya hendak mengetahui hal-hal menjijikkan dan kotor, kehidupan yang nyata ini sudah penuh dengannya, dan justru untuk menghindarkan diri daripadanya, ia masuk ke dalam dunia-dunia yang menciptakan kecerdasan manusia melalui realita atau fantasi. 

Ada banyak buku-buku bagus, yang ini artinya yang membuat ia lupa pada kehidupan yang menjengkelkan ini. Tokoh-tokoh yang indah, pandangan hidup yang mulia, jiwa-jiwa dan pikiran-pikiran besar, membuat hatinya membara penuh semangat dan menggeletar takjub. Ia hidup bersama dengan segala yang dibacanya. Dan tentang bacaan ini ia tiada berkekurangan suatu apa, ia hanya harus mengulurkan tangan ke dalam leestrommel, yang setiap minggu membawakan perbekalan baru, dan Ayahnya sendiri suka dan sering melihat nafsu bacanya, dan dirusakkannya dia dengan hadiah buku-buku. Tak semua yang dibacanya dipahaminya, namun hal itu tak perlu mengecilkan hatinya. Apa yang kurang jelas pada pembacaan pertama, pada pembacaan kedua mulai menerawang, dan pada ketiga atau empat kalinya menjadi agak terfahami. Setiap kata asing yang ditemuinya, dicatatnya, agar kelak, kalau abang yang dicintainya datang, dapatlah ia minta mengartikannya. Dan abang itu selalu menolong adiknya dengan suka hati dan setianya. O! Betapa takjub ia, kalau lambat-laun ia mengetahui, bahwa bacaan itu bukan saja memberikannya kenikmatan, tapi juga pelajaran yang tiada habis-habisnya. O! Sekiranya tak ada padanya bapa yang dicintai, abangnya yang setia dan buku-bukunya, mungkinkah ia dapat lewatkan tahun-tahun gelap itu dengan selamat? Tentulah ia sudah tewas, tak tahan menderitakan tindasan berat kejengkelan yang begitu banyak di atas panggung hidupnya dan jiwanya yang masih begitu muda. Ayah dan abang mengisi hatinya yang menanggung lapar cinta, sedang buku-buku itu mengisi jiwanya yang lapar."

Sumber

Kartini, "Surat Panjang, Agustus 1900", kepada Nyonya Abendanon, dalam Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 73-74.


***

Kartini, Feodalisme, dan Buku-buku Barat


Dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer, menulis tentang pemberontakan Kartini terhadap sistem masyarakat feodalistik Jawa. Kartini tercerahkan karena membacai banyak buku-buku Barat. Pram menulis:

Dalam tulisan-tulisannya Kartini memang tidak pernah menyebut kata “feodal” atau “feodalisme”. Ia hanya menyebut bangsawan, ningrat, belum sampai pada sistem yang mereka dukung. Tetapi mengapakah ia tidak pernah menyebut-nyebut feodalisme sebagai suatu sistem? Apakah ia belum sampai pada pengertian ini ataukah, demi ayahnya, ia sengaja tidak menyebut-nyebutnya? Apabila ia tidak memahami ini, ditambah dengan semangat kerakyatannya yang berapi-api, sebenarnya ia berada di dalam keruwetan, yang hanya dengan banyak luka-luka saja dapat melepaskan diri daripadanya. Tetapi, melihat dari cara ia memandang persoalan hampir tidak pernah meninggalkan kata Rakyat, memberikan kepada orang dugaan yang keras, bahwa sesungguhnya ia memahami feodalisme sebagai sistem, setidak-tidaknya, bila paham ini tidak didapatkannya dari bacaan tentulah dari intuisinya. 

Secara intuitif ia pun tahu kedudukan ayahnya yang tidak bisa diganggu-gugat. Lapisan lebih luas, yang melingkungi Ayahnya, adalah Ibu tuanya, kemudian saudari-saudarinya yang lebih tua daripadanya. Baru kemudian dirinya dan semua adik-adiknya. 

Lapisan yang lebih luas lagi terdiri atas sanak famili yang agak jauh, yang tinggal di kabupaten itu. Kemudian lapisan lebih luas, yang terdiri atas pembantu-pembantu rumahtangga, termasuk di dalamnya tukang jahit, tukang emas, tukang kebun, tukang masak, dan lain-lain.

Antara satu lapisan dengan yang lain, menganga jarak pemisah yang tak dapat diseberangi. Antara satu lapisan dengan yang lain terdapat hubungan perintah, jadi seperti dalam susunan kekuasaan militer. Karena itu simpati Kartini terhadap Rakyat, sebenarnya telah menyimpang dari kebiasaan, ia telah melawan tata hidup feodalisme Pribumi yang sangat keras.

Berabad-abad lamanya tata hidup ini dijalankan terus tanpa suatu protes. Orang tidak pernah merasa keberatan terhadap ini. Mengapa Kartini bisa bersimpati terhadap Rakyat, bukankah Rakyat itu termasuk kasta terbawah, dan sudah semestinya saja menderita? Ini tidak lain disebabkan bacaannya, yaitu buku-buku Barat, majalah dan koran yang ditulis buat semua pembaca, tidak peduli seorang feodal tinggi, menengah, rendah, atau Rakyat jelata. Pengetahuan dari dunia Barat bersifat demokratik, artinya dapat dimiliki oleh siapa saja tanpa memandang tinggi rendah kedudukannya dalam masyarakat ataupun kebangsawanannya. Dari bacaan yang demokratik ini ia dapat mengetahui, secara sadar atau intuitif, bahwa keadaan dunia Barat adalah lebih baik daripada keadaan tata hidup Pribumi. Dari perbandingan ini ia mengerti, bahwa tata hidup pribumi masih sangat terbelakang atau primitif. 

Tata hidup Pribumi yang hanya mengenal atasan dan bawahan, tentu saja menyebabkan orang kurang menghargai perasaan orang lain: kekurangan perikemanusiaan. Dari bacaan itu pula Kartini mengetahui, bahwa dalam kehidupan Barat, manusia satu dengan yang lain berhubungan atau berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Sedang di dunia Pribumi Jawa, hubungan semacam itu tidak ada. Yang ada cuma atasan dengan bawahan, yang satu memerintah, yang lain diperintah. Kalau yang diperintah kurang baik melakukannya, ia mendapat amarah atau hukuman. Tidak ada yang bisa melewati pelapisan-pelapisan itu, ada maha pengatur yang mempertahankannya dengan keras dan ganas. Bukan manusia maha pengatur yang sangat berkuasa ini, tetapi hukum, dan hukum itu pun tiada tertulis. Hukum ini biasanya dinamai adat. 

Adat ini dipatuhi dari lapisan masyarakat paling atas sampai paling bawah. Setiap lapisan diperintah oleh adat tertentu. Hubungan antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, pun diatur oleh hukum tertentu pula. Setiap tindakan yang diganjur dikendalikan olehnya, sampai-sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya: cara bicara, berdiri, duduk, membuka mulut, mengulurkan tangan, bahkan cara bernafas pun! 

Hanya orang yang mengenal tata hidup dunia lain, sekali pun hanya melalui bacaan, dapat menilai tata hidup dunianya sendiri. Memang “tidak sesuatu yang baru di bawah pancaran sang surya,” kata Kartini, tetapi tidak semua diketahui orang. Dengan pengetahuannya tentang dunia Barat, mulailah ia bisa menilai tata hidup sendiri. (lihat Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 88-89).

***

Kartini dan Kritik atas Feodalisme


Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, menjelaskan dengan baik sekali tentang sikap Kartini terhadap tata hidup masyarakat “feodal".

Feodalisme, menurut Pram, tidak lain adalah "imperialisme Pribumi" yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri. 

Pram menulis:

Hubungan antara orang-orang feodal dalam lingkungan kecil semacam itu telah memenuhi hampir seluruh sastra tradisional Jawa, terutama di dalam kitab Babad Tanah Jawa, sebuah kronik raja-raja Jawa yang ditulis pada abad yang lalu. Hubungan yang kaku antara orang-orang feodal Jawa ini dapat ditemukan kembali di dalam drama (wayang) yang mengisahkan epos-epos Hindu Mahabharata dan Ramayana. Tetapi sampai sedemikian terperinci, baru Kartini yang menulis. 


Dari kutipan-kutipan kecil itu nampaklah, bahwa kehormatan manusia terletak pada nilai kebangsawanannya, tak peduli orang itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak. Barangsiapa tinggi kebangsawanannya, dia berhak dihormati oleh siapapun yang kurang keningratannya, tak peduli orang itu lebih terpelajar, lebih berbudi, ataupun lebih bijaksana. Maka juga nilai manusia tidak terletak pada kemampuannya, kebisaannya, dan jasanya kepada masyarakatnya—semua itu tidak berarti dalam tata hidup feodalisme Pribumi Jawa. 


Sebagaimana nampak pada surat-suratnya yang akan dikutip kemudian, Kartini tidak membenarkan tata hidup “feodalisme yang penyakitan” ini, karena dengan tata hidup demikian baik dan buruk tidak ada batasnya, bahkan tidak punya bentuk ataupun isi, karena semua itu tidak berarti. Yang menjadi ukuran hidup kemudian adalah anggukan atau gelengan kaum feodal. Kalau kaum feodal mengangguk, itulah ketentuan bahwa segala-galanya boleh diperbuat. Segala-galanya! Demikian pula sebaliknya kalau kaum feodal menggeleng. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak berharga. 


Tetapi apakah sebabnya tata hidup sedemikian dipertahankan terus? Dan mengapa dia bisa bertahan terus? Bukankah dia menunjukkan kurangnya kesusilaan, peradaban, dan tidak memungkinkan timbulnya setiakawan antarmanusia? 


Menurut paham zaman modern dewasa ini, zaman yang sudah diresapi semangat demokrasi, tata hidup “feodalisme yang sakit” itu tidak lain daripada imperialisme Pribumi yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri. Pada zamannya tata hidup ini memang memberi rahmat kepada masyarakat, karena hanya dengan pelapisan-pelapisan yang sangat keras itu masyarakat bisa diatur dan dibela terhadap serangan-serangan dari  luarnya yang terlampau sering terjadi. 


Dengan runtuhnya Majapahit, sebenarnya selesailah zaman feodalisme Pribumi ini. Zaman Islam di Jawa belum sempat melakukan perombakan tata hidup ini, karena tidak berapa lama kemudian masuklah penjajah Barat. Justru melalui kaum feodallah Rakyat Pribumi dikalahkan oleh penjajahan Barat. Kemudian penjajah itu mempertahankan terus berlangsungnya tata hidup itu, karena hanya dengan jalan demikian perikemanusiaan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan setiakawan dapat dihalang-halangi tumbuhnya. 


Melalui kaum feodal, dalam tata hidup feodalisme, Rakyat Pribumi diperintah oleh penjajah (Belanda, Inggris, Portugis, Prancis), sehingga penjajah itu sendiri tidak perlu bekerja payah-payah. 


Sudah tentulah, bahwa dalam tata hidup ini petani dan pekerjalah, yang sangat menderita, karena jasa mereka terhadap masyarakat tidak diakui, dan sementara itu mereka harus hidupi kaum feodal, yang tidak berbuat atau bekerja sesuatu pun. Maka "kerja" sama nilainya dengan kehinaan, dan tidak kerja sama nilainya dengan kemuliaan. 


Kalau Kartini menyerukan “kerja!" apalagi buat Rakyatnya, malah ingin “disebut dengan satu nafas dengan Rakyat”, ini tidak lain daripada kata-kata lain yang menyatakan pemberontakannya terhadap seluruh tata hidup feodalisme Pribumi, suatu revolusi jiwa yang tidak kurang dahsyatnya daripada revolusi apapun. Ia bukan lagi menentang dan melawan perseorangan, ia telah perangi dan berantas suatu sistem, suatu tata hidup. 


Tata hidup ini nampak oleh Kartini secara lebih intensif di dalam lingkungannya sendiri—lingkungan kabupaten yang terkurung oleh tembok tebal lagi tinggi. Pelapisan-pelapisan yang ada tidak lain daripada kerja berat dan rintihan pada lapisan yang lain. Lapisan yang bawah menderita karena lapisan yang di atasnya lagi, dan demikian seterusnya. 


Permaduan adalah salah satu mata rantai penderitaan raksasa ini. Tidak ada seorang bawahan pun, apa lagi wanita, berani menolak perintah bangsawan untuk menjadi istrinya yang ke sekian atau ke sekian. Permaduan ini bukan berasal dari agama Islam, tetapi dari tata hidup feodalisme itu sendiri, jadi jauh sebelum masuknya Islam.


Dan di lingkungannya sendiri ini ia saban hari melihat permaduan itu beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Ayahnya sendiri yang mempermadu wanita-wanita itu, dan ibu-ibunya sendiri yang dimadu itu. Dari lingkungannya sendiri ini Kartini memahami keburukan permaduan sebagai matarantai penderitaan raksasa. Kalau dalam perlawanannya terhadap tata hidup feodalisme ia dapatkan Ayahnya sendiri sebagai benteng yang melindungi musuhnya, juga dalam penolakannya terhadap permaduan, kembali ia dapatkan Ayahnya yang sangat dihormati dan dicintainya itu sebagai benteng yang melindungi musuhnya. Sedang Kartini sendiri dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah benteng musuh ini.


Dengan memahami posisinya ini, orang akan lebih mudah mengerti, betapa sulit sebenarnya hidup Kartini. Sedang sezarah pun ia tidak ingin melukai hati Ayahnya. Dan sikap ini pula, yang menyebabkan Kartini untuk selama-lamanya terbelah dalam perjuangannya. Dalam salah sebuah suratnya ia menyatakan, bahwa adat yang diturutnya itu tinggal hanya cintanya terhadap Ayahnya. Sekalipun demikian, hal itu tidak mengurangi keterbelahannya. 


Pengetahuan Kartini tentang dunia Pribumi sebenarnya hanya perluasan daripada pengetahuannya tentang lingkungannya sendiri yang kecil, karena segala apa yang terjadi di luar, terjadi pula di dalam kabupaten. Yang berbeda hanyalah format dan variasinya, nilai dan warna dan macamnya. 


Sudah sejak semula orang telah mengenal sikap Kartini terhadap lingkungannya, terhadap tata hidup feodal: ia melawan dan memeranginya, terkecuali ayahnya. Ia lebih bersimpati pada Rakyat jelata dengan penderitaannya. Kepada kaum feodal ia menyatakan proklamasinya: “Adeldom verplicht” atau: Kebangsawanan mewajibkan, artinya makin tinggi kebangsawanan seseorang, makin berat tugas dan kewajibannya terhadap Rakyat. 


Ini berarti Kartini ingin menyembuhkan tata hidup “feodalisme Pribumi yang sakit” itu, dan mengembalikan tugasnya seperti pada zaman sebelum jatuhnya Majapahit. Bila kebangsawanan itu tidak sanggup memikul tugas dan kewajiban itu, dia pun tidak berarti sesuatu pun, dan hanya merupakan beban belaka bagi masyarakat (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 91-93).

***

Kartini: Multatuli dan Berbagai Bacaannya

Dan karena Rakyat itu hidupnya sangat tergantung pada pertanian, dan pertanian pada gilirannya tergantung pada teraturnya musim, kalau musim tidak menepati janji seluruh Rakyat akan menerima bencana, seperti yang terjadi pada tahun 1901. Waktu itu musim kering melewati waktu yang semestinya, “Di mana-mana keadaan tidak sehat karena kekeringan besar itu. Kasihan negeri ini,” kata Kartini, “apalagi yang melayang-layang di atas kepalamu terkecuali penyakit-penyakit yang berbahaya itu?” 

Kartini menulis:

"Oleh karena kekeringan besar ini hampir di seluruh negeri berbagai sawah rusak. Di Grobokan, bencana ini lebih-lebih lagi, di sana berjangkit bahaya kelaparan, dan dengan ngeri dan gigil orang di Demak dengan 26.000 bahu sawah gagal dan dalam pada itu mengamuk pula kolera, menghadapi musim hujan yang setiap tahun membenam daerahnya. Kasihan negeri ini, yang kekeringan di musim kering karena bencana air, dan di musim hujan terbenam karena bencana air pula." 

Melihat kondisi yang serba buruk itu ia ingin membaktikan tenaganya kepada mereka. Kalau saja diijinkan ayahnya—dan ijin ini penting sekali; karena ia tak mau melewati ayahnya begitu saja—ia mau serahkan segala-galanya buat kepentingan Rakyatnya. Tetapi justru itulah yang ia tidak diperkenankan melakukannya. Karena itu ia tidak pernah hidup di tengah-tengah Rakyat Pribumi secara akrab dan wajar. Hanya simpati dan pikirannya yang hidup, berjuang, dan menderita bersama dengan Rakyat. 

Pengenalannya terhadap Rakyatnya sebagian didapat dari bacaan Multatuli, dari koran dan majalah, serta dari diskusi-diskusinya dengan orang-orang terpelajar, terutama sekali dari Ayah dan Pamannya sendiri. 

Hubungannya dengan Rakyat memang terbatas, tetapi mendalam, dan ia melihatnya dengan pandangan yang jernih, baik tentang kekurangannya maupun kelebihannya. Bacaan tentang Rakyatnya sendiri, selain yang berbahasa Belanda juga yang berbahasa Jawa. 

Pada-suatu kali karena ia dianggap telah menjadi orang Belanda sedang ia sendiri tidak membenarkannya itu, sedang untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan umum itu, Kartini dengan tulus dan ikhlas mulai mempelajari buku-buku berbahasa Jawa, maka, Kartini menulis:

"Seseorang orang tua karena girangnya tentang itu, datang kepada kami menyerahkan koleksi bukunya, naskah-naskah Jawa tulisan tangan, di antaranya berhuruf Arab.... Barangkali kau sudah mengetahui, buku-buku Jawa sangat susah bisa didapatkan, karena masih tertulis dengan tangan, hanya beberapa di antaranya saja tercetak. Sekarang kami sedang membaca sajak-sajak indah, ajaran-ajaran yang bijaksana tertulis dalam bahasa bunga. Betapa inginku kau mengenal bahasa kami; o, ingin sekali aku berbagi kenikmatan dengan kau tentang bahasa ini membaca dari aslinya; dalam terjemahan tentu tiadalah seperti aslinya. Tiadakah hasratmu buat mempelajari bahasa Jawa? Bahasa itu sangat sukar, memang, tetapi duh betapa indahnya! Bahasa ini adalah bahasa perasaan penuh puisi dan... tajam. Sering takjublah kami, anak-anak negeri ini sendiri tentang ketajaman orang-orang sebangsa kami. Kau tiadalah dapat bayangkan, apapun mereka bisa lukiskan. Sebut saja sesuatu, sembarangan saja, tunjuklah sesuatu benda, dan seorang Jawa yang cerdas (geestig), yang terutama sekali banyak kau dapatkan di antara Rakyat yang sesungguhnya, tahu saja dengan segera untuk menyajakkannya, yang mentakjubkan oleh karena ketajamannya dan kecerdasannya (geestigheid). Itulah bakat pada orang Timur barangkali."  

Di antara pustaka warisan nenek moyangnya sendiri yang dibacanya adalah Wulangreh, dan dengan sendirinya, sebagaimana biasanya pada anak-anak feodal pada masa itu juga buku Centini, dan sudah pasti hikayat-hikayat wayang, hikayat berantai Panji, hikayat berantai Menak yang berlaku di Asia Dekat. Kecintaannya pada bahasa dan sastra Jawa tidak lain daripada pernyataan dalam bentuk lain akan cintanya pada bangsa dan Rakyat serta negerinya. Hanya ia menyayangkan, bahwa sastra itu: 

"... begitu banyak mengandung simbolik dalam bahasa yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Dan ini pula lagi: orang Jawa menangkap buku-bukunya secara harfiah, dan karenanya pabila tidak semua maka banyak di antara nilai-nilainya yang praktis menjadi mubazir. 

Dalam moral Jawa, misalnya, ada dipujikan mengurangi makan dan tidur sebagai jalan ke arah kesejahteraan kehidupan fana dan baqa. 

Pikiran-pikiran indah yang menjadi dasar tulisan-tulisan tersebut luputlah bagi massa pembaca. 

Maka orang pun berpuasa, berlapar diri, berjaga, dan berkhayal sedemikian rupa, sedang gagasan bagus itu tergelincir daripadanya. Tidak makan, minum, atau tidur menjadi tujuan hidup—dan—dengan jalan menderita (ikhtiar, penguasaan diri, dan pembatasan diri) akan mendapatkan kebahagiaan! 

Dan demikianlah orang berbuat dalam banyak hal lagi."

Memang sastra Jawa yang telah tertulis, sampai sejauh itu adalah sastra feodal, yang bukan saja tidak terbaca oleh Rakyat jelata, tetapi memang pada mulanya tidak boleh dibaca sebagai akibat dari pengaruh Hinduismes yang tidak mengizinkan kasta sudra dan paria mendengar weda-weda mereka. Dalam hal ini sastra Jawa mempunyai wajah yang serba sebaliknya daripada sastra Melayu yang terus-menerus bersifat demokratik sekalipun dengan tema-tema feodal. 

Dan apabila Kartini meninggalkan sastra feodal Jawa yang penuh retorik gagah, penuh kontras antara yang putih dan yang hitam, antara nilai-nilai moral tradisional dengan kepahlawanan-kepahlawanan satria-satria di dalam peperangan, kehalusan-kehalusan para wanitanya dan kemurnian-kemurnian para bhagawan, mendadak sontak Kartini berhadapan dengan pendapat umum dari kalangan orang-orang Belanda kolonial bahwa (Kartini menulis): "Orang Jawa adalah pembohong turunan yang sama sekali tidak bisa dipercaya." (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, 95-98).

***

Feodalisme: Memecahbelah Masyarakat dan Sikapnya di Hadapan Kekuasaan Kolonial

Terlalu banyak memang hubungan antara kaum feodal dengan bawahan terutama Rakyat jelata yang dirasai oleh Kartini mengganggu perasaan kemanusiaannya. Dan hubungan semacam itu tidak bakal menimbulkan persatuan di kalangan Pribumi. Feodalisme itu sendiri telah merupakan tata hidup yang memecah-belah masyarakat dalam lapisan dan susunan hamba-berhamba. Jangankan persamaan yang memang sudah ditentang oleh feodalisme itu, bahkan persaudaraan pun tidak ada—juga antara saudara seibu-sebapa. Tanggung jawab sosial yang ada hanya berasal dari bawah kepada kaum feodal, sebaliknya kaum feodal tidak bertanggung jawab sesuatu kepada bawahannya, apa lagi Rakyat. Kebebasan berbuat kaum feodal ini makin tinggi kefeodalannya, makin mutlak, terkecuali terhadap satu-satunya batasan yang tidak bakal diterjangnya tanpa mengalami kehancuran sendiri: pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Dalam usahanya untuk memajukan Rakyat, siapa pun menghadapi pemerintah jajahan ini sebagai penghalang, tapi dalam pada itu terutama penghalang dari pihak Pribumi sendiri: kaum feodal. h. 104-105

***

Benar sekali, bahwa bidang penggarapan Kartini di sini cuma dibatasi sampai keamtenaran atau kepangrehprajaan semata. Tetapi pun tidak dapat dilupakan, bahwa pada masa itu bidang kesatriaan adalah bidang kepangrehprajaan ini, dan berabad-abad lamanya Dunia Pribumi rusak karena lapisan satria, yang memerintah ini, telah kehilangan pusatnya, yaitu Brahman atau konseptor, pencipta konsep-konsep yang semestinya lapisan satria itu yang mewujudkannya. Tanpa Brahman, tanpa konseptor, lapisan satria menjadi gelandangan tanpa pegangan, tidak tahu dengan tepat apa sesungguhnya mereka harus kerjakan, sehingga Bung Karno mempergunakan pencirian atas tata hidup mereka sebagai “feodalisme sakitan”. Justru dengan tulisannya tersebut, sekalipun cuma menggarap bidang kepangrehprajaan, bidang kesatriaan, tanpa disadarinya Kartini sebenarnya telah menduduki tempat sebagai Brahman, sebagai pemikir, sebagai konseptor. Paling sedikit ia telah meletakkan konsep, bahwa: kedudukan amtenar harus lebih banyak direbut oleh Pribumi terpelajar. h. 113

***




Senin, 08 Desember 2025

PROTES

(TEMPO, No. 41, Thn. XV, 7 Desember 1985)


Oleh: Goenawan Mohamad


Di daerah pesisir utara Jawa Tengah yang datar dan berdebu, di pertengahan abad ke-19, seseorang menulis sejumlah buku. Ia adalah Haji Mohamad Rifangi.


Waktu itu usianya pasti sudah agak lanjut. Ia dilahirkan pada 1786 di wilayah Kendal, beberapa puluh kilometer dari Semarang. Ia juga pasti orang yang berilmu dan berpengikut. la anak seorang pengulu, dan itu berarti bukan seorang santri kampung sembarangan. Pada satu tahap dalam riwayatnya, ia berangkat ke Mekkah, dan bermukim selama delapan tahun. Setelah itu, ia kembali, ke tempat ia dilahirkan. Tapi sikapnya berubah.


la bentrok dengan para ulama. Baginya, kehidupan beragama sebagaimana yang dilihatnya di sekitarnya itu keliru. Dan ia mengutarakan soal itu dengan keras. Mungkin karena ini, ia sempat difitnah dan masuk penjara. Tapi Rifangi punya nasib baik: setelah istrinya meninggal, ia menikah dengan janda demang yang makmur. Lepas dari penjara, Rifangi pun pindah ke Kalisalak, mendirikan pusat pengajian dan menulis sejumlah buku.


Sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Protest Movements in Rural Java, Rifangi sebenarnya tak mengumumkan ajaran baru. Karya-karyanya, yang kumpulannya disebut Tarajumah, sejenis bunga rampai terjemahan dari pelbagai kitab. Hanya Haji Mohamad Rifangi menyusunnya dalam bentuk tembang berbahasa Jawa.


Toh bunga rampai itu ia pilih dengan kecaman kepada keadaan di sekitar. Para peng- uasa negeri, di mata Rifangi, berdosa. Para pengulu, pejabat keagamaan resmi, tak mau menuruti perintah menegakkan hukum Allah. Banyak hal menyimpang dari Quran dan Hadis. Maka, orang harus sadar: para bupati dan wedana dan lurah itu tak lain cuma orang-orang munafik. Siapa yang menghamba kepada "raja kafir" dalam hal agama, tak lebih baik ketimbang anjing dan babi.


Sebagaimana umumnya para "reformis", ada sikap kesucian yang memusuhi praktis siapa saja dalam pendirian Rifangi. Ia memang ingin membawakan suatu kehidupan beragama yang tak tercampur dengan noktah apa pun dari luar doktrin. Tak heran bila Rifangi pun menentang hal-hal seperti wayang dan gamelan.


Kita agaknya kenal dengan tipe ini. Dalam riwayat, pelbagai versi Rifangiisme datang dan pergi: perawat-perawat yang gigih yang mencoba mensterilkan ruang sejarah ketika mengarungi waktu. Dalam proses masuk ke luar debu dan lumpur ini, dalam kendaraan yang terguncang-guncang, tiap kita diharapkan tetap murni, bersih. Untuk itu surga menunggu. Juga keselamatan di dunia. Dalam Kitab Nalam Wikayah, salah satu karyanya, Haji Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah "Tanah Jawa" yang makmur, tanpa begal dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.


Tak ayal, para pengikut berkerumun di sekitar kiai Kalisalak. Pertengahan abad ke- 19 dan seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial telah mempertemukan kakek-nenek kita itu dengan lingkungan budaya yang telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada kekuasaan yang terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada bentuk-bentuk kebaha giaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan. Ada frustrasi, ada penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin, sejenis kepastian dan jaminan, di tengah perubahan sosial-budaya yang tak tenteram.


Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering kali memakai bendera Islam, meletup.


Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para penduduk pedesaan Kedu dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai pemimpin ngèlmu Kalisalak. Para santrinya, disebut santri Budiah, memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak menonton wayang; juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan – menurut laporan Residen Pekalongan – mereka menolak kawin di depan penghulu. Para wanita mereka tak keluar ke tempat umum, dan di luar kalangan mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang sesat.


Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang – khususnya para pejabat keagamaan gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang, untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin dianggap suatu ancaman yang bisa mengganggu ketertiban – meskipun Rifangi tak pernah angkat golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri Budiah setelah sang guru tak ada.


Rifangi memang bukan pemberontak. la hanya pemimpin suatu gerakan "sektarian", seperti dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang memisahkan diri, seorang yang merasa paling di depan dalam menjaga kemurnian agama. la layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa selamanya diikuti.


Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu "saat dramatik" ketika Rifangi berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia "kalah". Kita tak tahu bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia bukan  cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.

Goenawan Mohamad■


Sumber: TEMPO, No. 41, Thn. XV, 7 Desember 1985

TERBARU

MAKALAH